Soft Launching Buku “Maqashid Syariah Lin Nisa”

KAMIS, 8 Juni 2023, atas dukungan AIPJ2, Rumah KitaB sukses menyelenggarakan acara soft launching buku “Maqashid Syariah Lin Nisa: Metode Pembacaan Teks Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Perempuan dan Kelompok Rentan”, Pukul 08.00 – 13.00 WIB, Ruang Auditorium, Lt. 2, Universitas PTIQ Jakarta.

Hadir dalam acara ini Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A. (Rektor Universitas PTIQ Jakarta dan Imam Besar Masjid Istiqlal) yang memberi sambutan sekaligus meluncurkan buku. Selanjutnya didiskusikan oleh para narasumber: Jamaluddin Mohammad (Peneliti Rumah KitaB), Dr. Lena Larsen (Director, The Oslo Coalition of Freedom of Religion or Belief, Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo), Usman Hamid, M. Phil. (Executive Director of Amnesty International Indonesia and Executive Board of Transparency International Indonesia), Umdah El-Baroroh, M.Ag. (Institut Pesantren Mathali’ul Falah [IPMAFA] Pati), dan Prof. Dr. K.H. Abdul Mustaqim, S.Ag., M.Ag. (Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Dr. Nur Arfiyah Febriani sebagai moderator, serta para peserta yang terdiri dari para akademisi, dosen dan mahasiswa dari sejumlah kampus di Jakarta.

Dalam sambutannya Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa perempuan adalah manusia yang paling dekat dengan agama. Majlis-majlis ta’lim bertebaran di mana-mana, dan pesertanya adalah ibu-ibu. Tetapi yang paling tidak respek terhadap perempuan adalah agama. Banyak sekali teks keagamaan yang diskriminatif dan tidak berpihak kepada perempuan. Misalnya, perempuan digambarkan tercipta dari tulang rusuk laki-laki.

“Feminis Barat, menurutnya, yang pertama mereka gugat adalah sejumlah ayat di dalam Bible yang, pertama, mencitrakan perempuan sebagai pelengkap hasrat laki-laki. Kedua, menggambarkan perempuan diciptakan dari tulang rusuk kiri bawah. Sementara ayat-ayat al-Qur`an lebih banyak menyebut dhamîr mudzakkarkum’ (kata ganti laki-laki). Dalam gramatika bahasa Arab, ketika al-Qur`an menyebut dhamîr mudzakkar, itu sudah dianggap cukup dan tidak perlu menyebut dhamîr mu`annats (kata ganti perempuan). Karena perempuan adalah bagian dari laki-laki. Tidak perlu mendoakan perempuan, karena mendoakan laki-laki berarti juga mendoakan perempuan, tetapi tidak sebaliknya. Apabila ada khitab untuk perempuan, itu untuk perempuan, bukan juga untuk laki-laki,” paparnya.

Ia menambahkan, diperlukan cara baca baru terhadap teks-teks keagamaan untuk mengubah realitas ketidakadilan yang menimpa perempuan. “Buku Maqashid Syariah Lin Nisa yang ditulis oleh para peneliti Rumah KitaB ini sangat bagus. Tetapi ini tidak cukup untuk mengubah keadaan saat ini. Diperlukan kajian-kajian lain lebih lanjut yang lebih detail dan lebih dalam. Dan kita sadar, ini memerlukan banyak upaya dan perjalanan yang cukup panjang,” tambahnya.

Erni Nurbayanti, perwakilan dari AIPJ2, menyampaikan bahwa Rumah KitaB dan AIPJ telah bekerjasama tahun 2017 di bawah strategi peningkatan keadilan bagi perempuan dan anak, yaitu bagaimana keadilan bagi perempuan dan anak bisa terus ditegakkan. Dan Rumah KitaB secara khusus bekerja dalam program pencegahan perkawinan anak.

“Dalam temuan kami banyak ulama yang membenarkan 80% perkawinan anak. Inilah titik kerja kami dengan Rumah KitaB. Karena itu, kami menyambut baik peluncuran buku Maqashid Syariah Lin Nisa ini, bahwa ada cara baca baru terhadap teks-teks keagamaan. Kami sangat senang dengan adanya produk pengetahuan yang diharapkan dapat menambah pengetahuan para hakim serta para ulama dan mengubah pemahaman mereka,” katanya.

Apresiasi disampaikan oleh Lena Larsen kepada peneliti Rumah KitaB yang dinilainya berhasil membangun suatu metodologi yang kuat dan kokoh, Maqashid Syariah Lin Nisa. Ia mengatakan,

“Saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Rumah KitaB atas terbitnya buku Maqashid Syariah Lin Nisa. Buku ini sangat bagus, metodologi yang dibangun sangat kokoh. Saya merasa sangat excited bahwa buku ini lahir dari Indonesia. Muhammad Abduh pergi ke Paris untuk mendapatkan inspirasi guna melanjutkan pembaharuan di Mesir. Dan saya pergi ke Indonesia untuk mendapatkan inspirasi guna melanjutkan pembaharuan di Norwegia.”

Usman Hamid juga menyampaikan apresiasi kepada Rumah KitaB yang telah menerbitkan sebuah buku yang menurutnya cukup baik menyajikan metodologi alternatif pembacaan teks.

“Buku ini, seperti yang dikatakan oleh Ibu Lena Larsen, layak untuk diapresiasi. Saya dulu sering mendengar dari orangtua, para guru, dan para ustadz di madrasah ajaran bahwa Islam adalah agama keadilan, Nabi Muhammad adalah manusia yang adil, dan bahwa al-Qur’an adalah kitab keadilan. Tetapi ajaran-ajaran ini akan terasa janggal ketika melihat realitas di lapangan, di mana ketidakadilan terjadi di masyarakat, khususnya ketidakadilan yang menimpa perempuan akibat pemahaman yang salah terhadap teks-teks agama,” tuturnya.

Menurut Usman, banyak teks agama yang sebenarnya merupakan apresiasi Islam terhadap realitas. Sebut saja, misalnya, sebuah ayat di dalam al-Qur`an yang berbunyi “wa li al-rijâli ‘alayhinna darajah,” bahwa laki-laki satu derajat lebih tinggi daripada perempuan. Terjadi perdebatan di kalangan ulama mengenai makna “darajah”. Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud “darajah” adalah kemampuan, artinya laki-laki satu tingkat lebih tinggi derajatnya dibanding perempuan dari sisi kemampuan. Sebagian lain berpandangan bahwa “darajah” adalah tanggungjawab, bahwa laki-laki bertanggungjawab mengayomi, memberi nafkah, dan melindungi perempuan.

“Dalam tradisi masa lalu, setidaknya di masa Nabi, pemaknaan ‘darajah’ dengan kemampuan bisa jadi relevan. Karena saat itu kedudukan perempuan sangat rendah, bahkan dianggap sebagai komuditas yang bisa diperjual-belikan. Namun di masa kini, saat laki-laki dan perempuan setara, pemaknaan itu tidak bisa dipakai lagi. Konteksnya sudah berbeda. Dan ayat tersebut sebetulnya adalah sebentuk apresiasi Islam terhadap realitas saat itu,” imbuhnya.

Di antara kelebihan buku ini, lanjut Usman, adalah, pertama, tidak hanya biacara mengenai tahlîl al-nashsh (analisis teks), tetapi juga tahlîl al-wâqi’ (analisis realitas) yang bisa mendorong untuk membaca ulang teks-teks agama yang mungkin tidak sesuai dengan maqashid syariah. Kedua, buku ini cukup berhasil menumbangkan pandangan bahwa agama tidak ramah terhadap perempuan.

“Mungkin ada yang bertanya, bukankah sudah ada Maqashid Syariah, kenapa harus ada Maqashid Syariah Lin Nisa? Ini sama dengan pertanyaan, bukankah sudah ada Undang-Undang Dasar 1945, kenapa harus ada Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, kenapa harus ada Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual, dan seterusnya? Inilah yang disebut evolusi perubahan hukum,” tegasnya.

Sementara itu Umdah El-Baroroh mengatakan bahwa jarang sekali para peneliti dan akademisi laki-laki yang mempunyai perhatian terhadap isu-isu perempuan, apalagi sampai memikirkan untuk merumuskan metodologi untuk membaca dan menyelesaikan masalah-masalah perempuan.

“Para peneliti Rumah KitaB saya kira perlu diapresiasi karena selalu istiqamah melakukan kajian-kajian keadilan gender. Hanya saja saya merasa aneh kenapa buku yang bicara Maqashid Syariah Lin Nisa tetapi semua penulisnya adalah laki-laki, tidak ada perempuannya. Tetapi ini tidak mengurangi kualitas buku ini,” paparnya.

Abdul Mustaqim menyatakan bahwa konstruksi fikih lama memang banyak memarjinalkan perempuan. Dan konstruksi fikih yang bertentangan dengan kemaslahatan, kemanusiaan dan keadilan, itu harus direkonstruksi.

“Saya ingat pernyataan Prof. Nasaruddin Umar bahwa kita memerlukan kontruksi baru ushul fikih yang berpihak kepada nilai-nilai kemanusiaan bi shifah âmmah (secara umum) dan kepada perempuan bi shifah khâshshah (secara khusus). Buku Maqashid Syariah Lin Nisa yang ditulis oleh para peneliti Rumah KitaB saya kira memiliki signifikasi ke sana, sebagai salah satu upaya perubahan cara pandang keagamaan di masyarakat,” pungkasnya.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.