Islam dan Negara Khilafah

DI dalam tradisi yang diwariskan kepada kita, Islam itu dibangun “di atas lima perkara”, yang kalau kita tidak mematuhinya maka kita dianggap keluar dari Islam, sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadits dari Ibn Umar, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, melaksanakan haji, dan puasa Ramadhan,” [HR. al-Bukhari].

Hadits itu sendiri sebenarnya merupakan perasan dari sejumlah firman Allah, di antaranya, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” [QS. Fushshilat: 33], “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan [pula] seorang Nasrani, tetapi ia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri [kepada Allah] dan sekali-kali ia tidak termasuk golongan orang-orang musyrik,” [QS. Ali Imran: 67], “Musa berkata, ‘Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri,” [QS. Yunus: 84], “Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail), ia berkata, ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk [menegakkan agama] Allah?’ Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab, ‘Kamilah penolong-penolong [agama] Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri,” [QS. Ali Imran: 52], dan banyak ayat lainnya yang menegaskan bahwa Islam telah dibawa oleh para nabi dan rasul hingga kemudian sampai kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai penutup risalah.

Seiring dengan perkembangan nilai-nilai kemanusiaan, maka turunlah ayat lain yang merangkum ayat-ayat tersebut, “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak [pula] mereka bersedih hati,” [QS. al-Baqarah: 62]. Kalau mengacu kepada makna ini, orang-orang yang menganut agama selain Islam tidak akan diterima. Tetapi kalau mereka bersaksi bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah” dan tidak bersaksi bahwa “Muhammad adalah utusan Allah”, mereka tidak bisa dianggap bukan bagian dari Islam selama mereka berbuat baik atau beramal saleh. Kalau tidak, tentu para makhluk yang ada di planet-planet lain tidak akan bisa menjadi muslim, “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan,” [QS. Ali Imran: 83].

Namun umat Muslim hari ini membaca al-Fatihah di dalam shalat mereka dengan keyakinan bahwa “orang-orang yang dimurkai” (al-maghdhûbi ‘alayhim) dan “orang-orang sesat” (al-dhâllîn) adalah umat Kristiani dan Yahudi. Mereka tidak mau berpikir secara lebih mendalam untuk mengetahui apa sesungguhnya yang dimaksud al-Qur`an dengan “orang-orang yang dimurkai” dan “orang-orang yang sesat” itu. Mungkin mereka bergaul dengan para tetangga mereka dari agama-agama lain dengan senang hati, tetapi sebagian besar dari mereka percaya kembalinya kejayaan “Negara Islam” akan memposisikan umat dari agama-agama lain itu sebagai warga negara kelas dua yang harus membayar jizyah, kalau tidak maka dijatuhi hukuman hadd, seperti orang yang meninggalkan shalat dan pelaku dosa besar, juga sebagai orang-orang “musyrik” yang bisa diperangi jika diperlukan.

Mimpi “negara berlandaskan syariat Islam” menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian besar umat Muslim, sebuah negara di mana mereka memiliki kekuasaan, kekuatan, dan menguasai dunia, seperti yang terjadi di abad-abad yang lalu, sebuah negara di mana orang-orang akan menikmati keadilan dan kesetaraan. Mereka lupa bahwa negara-negara Islam di masa lalu, seperti Dinasti Umayyah (mungkin kita bisa mengecualikan masa pemerintahan Umar ibn Abdil Aziz) dan Dinasti Abbasiyah, bukanlah negara-negara yang berlandaskan pada keadilan dan kesetaraan, dan keberhasilannya bukan karena kesalehan para penguasanya tetapi karena kekuatan militer yang dimilikinya. Dan dalam hal ini, kita tidak menyangkal bahwa keduanya semata-mata hanya menerapkan ayat “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang [yang dengan persiapan itu] kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya,” [QS. al-Anfal: 60], tidak lebih.

Dan yang pasti, kedua dinasti itu, tidak ada hubungannya dengan ajaran Nabi Muhammad Saw., atau negara sipil ideal yang beliau rintis di Madinah. Sebaliknya, keduanya memanfaatkan Islam untuk mengukuhkan pemerintahan turun-temurun (monarki herediter) yang lebih mengedepankan kezhaliman dan ketidakadilan daripada kasih-sayang dan keadilan. Dan yang lebih buruk lagi, keduanya mempermainkan Islam sesuai dengan kepentingan para penguasa. Keduanya menghibur masyarakat dengan “halal” dan “haram” di bawah naungan ketaatan kepada penguasa. Kemudian datanglah orang-orang memperkuat penyimpangan ini yang mengubah ajaran rahmat semesta alam, sehingga sekarang kita mendapati mendapati diri kita di hadapan sebuah agama di mana keharaman menjadi asas dan kehalalan menjadi terbatas: orang yang makan dengan tangan kiri berdosa, mendengarkan musik berdosa, bersalaman dengan perempuan bukan muhrim berdosa, mengagumi keindahan patung di jalanan berdosa, dan ia tidak mengakhiri harinya melainkan ia telah mengumpulkan ribuan dosa, sehingga tidak ada tempat baginya di surga.

Sedangkan perempuan, yang dipandang “kurang akal dan agama”, dianggap sebagai kayu neraka, terutama “perempuan yang tidak berhijab” atau tidak mengenakan pakaian penduduk Jazirah Arab abad ke-7 Masehi, sehingga ia tidak mempunyai harapan keselamatan, karena hijab merupakan standar kesucian dan moral bagi perempuan. Dengan adanya standar ini, selain “jalan lurus” (al-shirâth al-mustaqîm) yang tidak mungkin dilalui bahkan oleh seorang pemain sirkus sekalipun, seseorang tentu membutuhkan orang yang dapat memperpendek jalan tersebut dan berkata kepadanya, “Perangilah orang-orang kafir, kau akan masuk surga tanpa keraguan.” Definisi “kafir” sendiri sebenarnya cukup beragam sesuai dengan banyaknya kepentingan di setiap zaman, karena kata “kufr” di dalam al-Qur`an adalah sebuah ucapan yang membutuhkan perincian di dalam pembahasannya. Kufur kepada Allah berarti menyatakan permusuhan terhadap agamanya dan kemudian memeranginya, dan kufur kepada Thaghut (tiran) berarti menyatakan iman kepada Allah dan Kalimat Tertinggi-Nya yang mendahului semua manusia di bumi, yaitu kebebasan, “Tidak ada paksaan untuk [memasuki] agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” [QS. al-Baqarah: 256].

Mungkin salah satu istilah yang telah membentuk mimpi sebagian umat Muslim hingga zaman kita sekarang ini adalah istilah “khalifah”, karena negara khilafah dianggap sebagai tujuan yang harus dicapai oleh setiap orang yang mendaku dirinya sebagai “muslim sejati”. Seperti yang kita tahu, julukan khalifah diberikan untuk pertama kalinya kepada Abu Bakar al-Shiddiq sebagai penerus pertama Nabi Saw. Tetapi Umar ibn al-Khattab lebih suka menyebut dirinya “Amirul Mukminin” atau pemimpin kaum beriman, yang menunjukkan bahwa julukan “khalifah” itu tidak sakral (suci), juga orang yang menyandangnya, dan itu tidak ada hubungannya dengan firman Allah, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,” [QS. al-Baqarah: 30], di mana Allah telah menunjuk manusia di muka bumi untuk memakmurkannya dengan segala karunia yang diberikan-Nya. Dan hadits-hadits, “Kekhilafahan umatku selama 30 tahun,” [HR. al-Tirmidzi], juga, “Dalam urusan [beragama, bermasyarakat, dan bernegara] ini, orang Quraisy selalu [menjadi pemimpinnya] selama mereka masih ada,” [HR. al-Bukhari] dan hadits-hadits sejenis tidak lain hanyalah rekayasa dan kebohongan atas nama Rasulullah Saw. untuk merebut kekuasaan selama berabad-abad. Dan selama itu pula umat Muslim digiring untuk mempertahankan negara khilafah di sini dan memberontak negara khilafah di sana, sehingga banyak sekali korban tak berdosa berjatuhan di bawah slogan-slogan mencengkram yang bertujuan merebut kekuasaan dan memperluas pengaruh, tidak lebih dan tidak kurang.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.