Al-Syathibi, Bapak Ilmu Maqashid Syariah

JIKA Muhammad ibn Idris al-Syafi’i dianggap sebagai bapak “Ilmu Ushul Fikih”, meskipun ia tidak mengklaim itu, bahkan sampai wafat ia tidak mengenal istilah “Ilmu Ushul Fikih”, maka sama halnya dengan Abu Ishaq al-Syathibi yang dianggap sebagai bapak “Ilmu Maqashid Syariah”, meskipun ia tidak mengklaim itu dan tidak menggunakan gelar tersebut. Ia sangat identik dengan Maqashid Syariah, sehingga ia nyaris tidak disebut melainkan disebutkan juga bersama dengan Maqashid Syariah, dan Maqashid Syariah nyaris tidak disebut melainkan juga disebut bersamanya. Kemasyhurannya melonjak dan reputasinya menyebar. Banyak buku, penelitian, dan artikel yang telah ditulis tentangnya di zaman kita.

Semua orang yang percaya pada kemunculan Ilmu Maqashid Syariah dan keistimewaannya, atau menyakini urgensi, manfaat dan kegunaannya di dalam perumusan hukum-hukum Islam, atau sedang dalam perjalanan membuat inovasi baru, menganggap bahwa buku yang ditulis oleh al-Syathibi adalah karya dasar di bidang ini.

Muhammad al-Thahir ibn Asyur, yang dikenal sebagai sarjana pertama yang menyerukan pembentukan ilmu baru yang independen, terlepas dari Ilmu Ushul Fikih dan saling melengkapi satu sama lain, yaitu Ilmu Maqashid Syariah, mengatakan, “Dan sosok unik yang secara khusus bekerja di bidang ini adalah Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathibi al-Maliki, seperti yang hendak ditonjolkannya pada bagian kedua dari bukunya yang berjudul ‘Unwân al-Ta’rîf bi Ushûl al-Taklîf fî Ushûl al-Fiqh, dan ia memberi judul bagian itu dengan Kitâb al-Maqâshid.”

Karya al-Syathibi, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, adalah sebuah buku yang sangat populer di dalam kajian ushul fikih. Buku ini merupakan representasi intelektual gagasan Maqashid Syariah pada masanya. Di masa kini buku ini hadir setelah diedit dan dicetak secara baik berkat upaya sungguh-sungguh dari seorang pembaharu Mesir yang semangat dan tak kenal lelah, yaitu Muhammad Abduh, dengan bantuan murid kesayangannya, Muhammad Rasyid Ridha. Ini menunjukkan seberapa besar hasrat atau antusiasme pembaharu besar Mesir ini, serta besarnya upaya yang dikerahkannya untuk menghidupkan karya-karya yang merupakan representasi rasionalisme dan pemikiran bebas di dalam tradisi Islam.

Kontribusi Muhammad Abduh sangat besar dalam “mengentaskan” karya-karya tersebut dari “dari lumpur-lumpur sejarah” dan menyebarkannya di dunia Islam. Kita contohkan Ibn Arabi yang oleh para ahli fikih dicemooh dan disingkirkan dari wilayah Islam. Namun ia mendapatkan pembelaan berupa apresiasi serta kekaguman yang mendalam dari Muhammad Abduh. Untuk membuktikan pembelaannya terhadap Ibn Arabi secara lebih jelas, Abduh telah mengakui salah satu teorinya tentang wahdah al-wujûd. Demikian juga yang dikakukannya terhadap Abu Ishaq al-Syathibi. Muhammad Abduh telah berhasil mengangkat manuskrip al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah dari “tong sampah” ketika ia berkunjung ke Tunisia pada tahun 1884 M. Kemudian ia mengerahkan segala daya dan upaya untuk menyebarkannya. Di sini kita melihat betapa penting posisi al-Syathibi.

Sebagai gambaran awal, al-Syathibi menulis al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah setengah abad sebelum runtuhnya Granada yang merupakan kota umat Muslim terakhir di Andalusia guna menghidupkan kembali syariat; mengajak umat Muslim untuk lebih memprioritaskan maslahat umum, mengarahkan mereka untuk memperhatikan realita dan alam. Satu setengah abad sebelumnya Ibn Arabi juga melakukan hal serupa, melalui tasawuf ia berupaya menyatukan antara agama dan dunia, makrifat dan wujud, Allah dan alam, “aku” dan “orang lain”, imajinasi dan kenyataan, akal dan perasaan. (Hassan Hanafi, Maqâshid al-Syarî’ah wa Ahdâf al-Ummah, Qirâ’ah fî al-Muwâfaqât li al-Syâthibîy, dalam Jurnal al-Muslim al-Muashir, vol. 26. no. 103, Cairo-Egypt: 2002, hal. 66)

Semula al-Syathibi menamakan karyanya tersebut dengan “al-Ta’rîf bi Asrâr al-Taklîf”. Hingga pada suatu hari ia bertemu dengan seseorang syaikh. Syaikh itu berkata padanya, “Semalam aku melihatmu dalam tidur, kau pegang di tanganmu sebuah kitab yang telah kau susun, aku tanyakan kepadamu tentangnya, lalu kau katakan bahwa itu adalah kitab al-Muwâfaqât.” Syaikh itu kembali berkata, “Aku tanyakan kepadamu tentang penamaan yang bagus ini, dan kau katakan bahwa dengan itu kau ingin menyatukan antara mazhab Ibnu al-Qasim dan Abu Hanifah.” Sejak saat itu al-Syathibi menyebut karyanya dengan al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî`ah. (Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, komentar dan tahkik: Syaikh Abdullah Darraz, Cairo-Egypt: al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 2006, Juz I, hal. 19)

Namun demikian, al-Syathibi bukanlah sarjana pertama yang mencetuskan Maqashid Syariah. Sebelumnya banyak dari pakar ushul fikih yang telah menggagasnya. Walaupun tidak secara eksplisit, para sarjana seperti al-Tirmidzi al-Hakim, sebagai salah satu tokoh abad ketiga, Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H), Abu Bakr al-Qifal al-Syasyi (w. 365 H), Abu Bakr al-Abhari (w. 375 H), dan al-Baqillani telah memulainya. Sebab pencantuman terma “maqâshid” dalam berbagai kitab tidak berarti menganggapnya sebagai metode teoritis dan pemikiran, tetapi lebih dimaksudkan untuk memainkan peran dalam ranah fikih.

Dalam hal ini, pembahasan tentang al-‘ilal al-syar’îyyah, atau mahâsin al-syarî’ah, bisa dianggap sebagai sesuatu yang ikut menghantarkan munculnya maqâshid sebagai sebuah teori. Abu Abdillah Muhammad ibn Abdirrahman al-Bukhari telah mengarang kitab “Mahâsin al-Islâm”, ia wafat pada tahun 546 H, yaitu setelah wafatnya al-Juwaini (478 H) dan al-Ghazali (505 H), keduanya adalah orang yang pertama kali menggagas maqâshid sebagai sebuah teori. (Syaikh Ali Hobbellah, Dirâsât fî Falsafah Ushûl al-Fiqh wa al-Syarî`ah wa Nazhrîyyah al-Maqâshid, Lebanon-Beirut: Dar el-Hadi, cet. Ke-I, 2005, hal. 81)

Pembahasan tentang “al-‘ilal dan al-mahâsin” juga banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh lain, namun tidak seorangpun dari mereka yang merumuskannya sebagai teori. Syaikh al-Shaduq misalnya, ia mengarang kitab ‘Ilal al-Syarâ`i’, dan banyak lagi tokoh yang lainya, khususnya para pengikut Hanafiyah, tetapi karya-karya mereka sangat jauh dari pembahasan tentang teori Maqashid sebagaimana yang dilakukan al-Juwaini. Dari sini dapat dikatakan bahwa al-Juwaini merupakan penggagas pertama teori Maqashid, seperti yang nampak pada ulasan-ulasannya dalam kitab al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh, di mana ia menisbatkan pembagian-pembagian al-mashâlih kepada dirinya, dan menjadikannya sebagai syarat mutlak bagi seorang mujtahid. (Syaikh Ali Hobbellah, hal. 81)

Al-Juwaini tidak membahas Maqashid secara khusus dalam satu bab seperti al-Syathibi, ia hanya menjadikannya sebagai bagian dari pembahasan mengenai ta’lîl dalam qiyas. Ini juga dilakukan oleh al-Ghazali dalam beberapa karyanya: al-Mankhûl, yang tidak jauh beda dari al-Burhân al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh, bahkan bisa dikatakan sebagai ikhtisar saja. Kemudian Syifâ’ al-Ghalîl dan al-Mustashfâ, dalam kedua karyanya ini terdapat hal baru yang tidak ditemukan dalam karya al-Juwaini. Di dalam Syifâ’ al-Ghalîl misalnya, al-Ghazali membahas tentang al-amr al-maqshûd yang tak lain adalah maslahat. Menurutnya, maslahat adalah menjaga tujuan Syâri` (Allah) yang diketahui dan dipahami melalui al-Qur`an, sunnah dan ijma`. (Syaikh Ali Hobbellah, hal. 82)

Nama lain yang tidak kalah penting adalah Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) dengan karyanya, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Walaupun kitab itu sebatas ikhtisar dari tiga kitab sebelumnya; al-Mu`tamad karya Abu Hasan al-Bashri, al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh karya al-Juwaini, dan al-Mustashfâ karya al-Ghazali, hanya saja ia membahas Maqashid dengan menjadikannya sebagai cabang dari qiyâs hingga ke tingkat kemungkinan melakukan tarjîh antara beberapa qiyâs berdasarkan Maqashid. Al-Amidi ini adalah sarjana pertama yang membagi al-dhâruriyyât menjadi lima yang nantinya mempengaruhi pemikiran al-Syathibi. (Syaikh Ali Hobbellah, hal. 83)

Setelah tiga abad kemudian, al-Syathibi (w. 790 H) kembali menggagasnya secara lebih detail dalam mahakaryanya, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî`ah. Bahkan secara khusus menyediakan satu jilid lengkap dari karyanya itu dengan diberi judul “Kitâb al-Maqâshid”. Setelah merunut pendapat para pendahulunya, ia mengajukan dua masalah baru; pertama, menyusun maqâshid; kedua, metode menyingkap maqâshid. (Syaikh Mahdi Mahrizi, Maqâshid al-Syarî`ah fî Madrasah Ahl al-Bayt, dalam jurnal Qadhaya Islamiyyah Mu`ashirah, No. 13, Cairo-Egypt: 2000, hal. 220)

Sesuatu yang sangat menarik adalah bahwa teori Maqashid yang digagas al-Syathibi dimaksudkan untuk memproduksi ushul fikih. Berbeda dengan para pakar ushul fikih lainnya yang menempatkannya pada posisi yang marjinal; salah satu bagian dari ushul fikih.

Dapat dipahami melalui munculnya terma “al-maqâshid” dan perkembangannya, bahwa teori al-Syathibi tentang Maqashid adalah orisinil. Sebelumnya memang telah muncul gagasan tentang al-dharûriyyât al-khams atau al-mashâlih al-‘âmmah, tetapi belum terkristalisasi dalam sebuah konsep Maqashid yang utuh dan menjadi salah satu pilar dalam merumuskan ilmu ushul fikih. Al-dharûriyyât al-khams atau al-mashâlih al-‘âmmah itu hanya menjadi bagian kecil dalam ijtihad atau qiyas dan menjadi salah satu cabang dari al-istidlâl al-mursal dengan nama al-istihsân atau al-istishhâb atau dalîl al-‘aql atau al-mashâlih al-mursalah. Pernah juga dianggap sebagai al-qiyâs al-hurr yang tidak tunduk pada logika qiyâs yang tegas, melepaskan hukum dari dasarnya (al-ashl) untuk kemudian ditarik kepada cabangnya (al-far’) dikarenakan ada kesamaan antara keduanya dalam hal al-‘illah, sebagaimana dalam al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl karya al-Ghazali. (Hassan Hanafi, hal. 66)

Dalam kitab al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî`ah, al-Syathibi tidak menjelaskan definisi Maqashid Syariah, baik secara etimologis ataupun terminologis. Sebabnya kembali kepada kejelasan makna etimologis dan terminologisnya dalam karya-karya para pendahulunya. Atau barangkali al-Syathibi melihat bahwa pembagian-pembagian definisi yang bakal disebutkannya nanti akan menghilangkan pemahaman tujuan Maqashid Syariah, sehingga menjadi karya yang hanya memuat definisi-definisi tanpa penjelasan komprehensif dan formulasi yang tegas sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulunya setiap kali membicarakan Maqashid. Mereka hanya menyajikan definisi, bahkan kadang terlalu berlebihan ketika menjelaskan batasan-batasannya, sehingga merekapun terjebak dalam sistem ushuliyah yang jauh dari tujuan-tujuan dibentuknya ilmu ushul fikih. Mereka terjebak dalam penjelasan kata-kata dan komentar-komentar dalam bentuk syarh (penjelasan) dan kemudian ikhtishâr (ringkasan). Hal ini berlangsung cukup lama, sehingga membebani ‘ilm al-ushûl dan menjadikannya tidak memiliki faedah sama sekali.

Sebagai sebuah teori, Maqashid Syariah oleh al-Syathibi tidak hanya diorientasikan untuk berperan dalam ranah fikih Islam, tetapi juga dijadikan sebagai pemberontakan dan revolusi terhadap bentuk-bentuk kalimat yang dominan di dalamnya. Dari sini dapat dipahami kenapa metode al-Syathibi terlihat berbeda dari metode para pendahulunya. Ia berusaha menghentikan akumulasi dalam ranah Maqashid untuk kemudian melakukan lompatan kualitas, akumulasi yang tertawan oleh metode tunggal serta wawasan-wawasan ilmiah yang terbatas dengan sisipan-sisipan yang terlampau banyak sejak al-Juwaini, namun pengaruhnya dalam fikih dan ilmu ushul fikih sangat sedikit—untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.[]

Menerka Tujuan Syariat (2/2)*

Oleh: Buya Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A.

 

KITA harus mengetahui kenapa diperintah dan dilarang melakukan sesuatu. Bagaimana kita melaksanakan perintah atau menjauhi larangan jika kita tidak mengetahui maksud Tuhan? Seorang Muslim yang jumud berpandangan bahwa dalam beragama tidak boleh berpikir. Orang yang sering bertanya dianggap sebagai Bani Israil. Islam dipandang relevan sepanjang zaman (al-Islâm shâlih fî kulli zamân), sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Qutb pada Kongres Ikhwanul Muslimin II di Mesir. Kalimat ini menyebar ke mana-mana yang memunculkan pemahaman bahwa pendapat para ulama klasik mengenai hukum syariat sudah final dan harus diyakini kebenarannya.

Dulu saya pernah menyampaikan tentang ketidakadilan terhadap perempuan dalam hal waris (yang hanya mendapatkan separuh saja) dan dalil-dalilnya kepada Menteri Agama Munawir Sadzali. Kemudian ia menyampaikannya di majalah Mimbar dan diserang habis-habisan. Ini adalah hal yang sangat sensitif dan perlawanannya sangat berat. Itulah kenapa perbudakan, mengawinkan anak kecil, dan memukul istri dibolehkan karena dianggap masih relevan. Apakah mengawinkan anak kecil itu relevan?

Kita tidak berbicara teori, tetapi realitas sehari-hari. Seorang perempuan datang kepada saya dan mengatakan bahwa ia dicerai secara lisan oleh suaminya. Saya mengatakan, cerai lisan telah dicabut oleh negara dan harus diproses di pengadilan—cerai tiga kali secara lisan tidak sah. Namun sebagian tokoh agama lain menyatakan bahwa itu sah. Akhirnya ia bercerai dan ia dengan susah payah membesarkan anak-anaknya sendirian. Di sini ada dualisme hukum; menaati fikih atau UU negara. Tentu yang seharusnya ditaati adalah UU negara.

Saya mengajukan calon bupati perempuan. Para kiyai menentangnya dan menyatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dengan dalil “al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ`”. Di sebagian negara Arab, ayat ini, dengan tafsir yang beredar saat ini, mungkin masih relevan. Tetapi di Indonesia tidak relevan, karena ada banyak perempuan yang menjadi rektor, menteri, pejabat, direktur, pimpinan perusahaan, pengasuh pesantren, dan seterusnya. Jika perempuan tidak boleh memimpin, semua kebijakan pada zaman Megawati akan tidak sah.

Secara linguistik, qiwâmah pada ayat “al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ`” bukan sulthânah (kesultanan/kekuasaan), imârah (keamiran/kepemimpinan), wishâyah, atau haymanah (penguasaan/hegemoni). “Qawwâm” berasal dari kata “qâma-yaqûmu” yang bermakna berdiri. Ism fa’il-nya adalah qâ`im—asalnya qâwim—dan kemudian menjadi qawwâm yang bermakna pendamping, bukan pemimpin. Misalnya Jokowi sedang berada di luar negeri dan tidak bisa menandatangani suatu dokumen keputusan resmi negara. Ma’ruf Amin kemudian menandatanganinya dengan menyantumkan strip Presiden RI ad interim. Itu disebut dengan al-qâ`im bi al-a’mâl (mewakili).

Dalam budaya Arab perempuan berada di bawah perlindungan laki-laki, karenanya perempuan yang ingin menikah harus punya wali. Perempuan tidak bisa menikah jika walinya tidak menyetujui. Artinya, perempuan tidak punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Padahal di hari akhirat nanti laki-laki dan perempuan bertanggungjawab atas dosanya masing-masing. Bagaimana mungkin perempuan yang ingin shalat di masjid saja harus mendapatkan izin dari suaminya? Kita harus memperjuangkan hak-hak perempuan itu.

Kita tidak mengabaikan atau meninggalkan teks. Al-Qur`an tidak perlu direvisi dan biarkan itu sebagai sesuatu yang sudah selesai. Kita menghormati dan membacanya karena itu adalah ibadah. Tetapi, tentu saja, kita perlu melakukan reinterpretasi sesuai dengan kebutuhan zaman. Dan teks-teks agama (baik al-Qur`an maupun hadits) mengenai perbudakan tidak perlu diinterpretasi ulang karena Tuhan pasti tidak suka manusia diperjualbelikan.

Islam tidak sedang melegalisasi praktik perbudakan, perkawinan anak, memukul istri, poligami, menceraikan istri seenaknya, melainkan hanya mengakomodir tradisi dan budaya setempat saja di masanya. Islam tidak sedang melegalisasi praktik perbudakan, perkawinan anak, memukul istri, poligami, menceraikan istri seenaknya, melainkan hanya mengakomodir tradisi dan budaya setempat saja di masanya. Tradisi dan budaya ini oleh Islam justru diupayakan untuk diubah secara bertahap demi terwujudnya kesetaraan laki-laki dan perempuan serta kesetaraan antara sesama manusia di masa-masa mendatang.

Sekarang banyak orang yang mulai merasa ribet dan terbebani dalam beragama. Teman saya yang seorang santri bekerja sebagai supir dan tidak melaksanakan shalat selama 10 tahun karena ia merasa susah—jam kerjanya dari siang sampai tengah malam. Jika demikian, seorang Muslim tidak bisa menjadi supir, pilot, nahkoda, dan masinis. Sejak kapan kita menganggap agama memberatkan hidup kita? Bagaimana mungkin kita menjadi terbebani dalam beragama. Solusinya: ia bisa mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan jamak taqdim sebelum mengambil mobil. Setelah mengantarkan barang ia bisa melaksanakan shalat Isya` dan Maghrib dengan jamak ta’khir.

Ada orang yang hidup di tahun 2022 sedangkan otaknya masih di abad ke-7. Kita diharuskan hidup dengan gaya orang abad ke-7 agar tidak dianggap sebagai pelaku bid’ah seperti cebok dengan batu dan tidak boleh dengan tisu, tidak boleh menonton televisi, tidak boleh pakai sendok saat makan, dan seterusnya. Segala hal yang tidak ada atau tidak dilakukan Nabi maka tidak boleh dilakukan karena dianggap bid’ah. Bahkan ada orang yang tidak mampu berinteraksi dengan teknologi sehingga muncul pertanyaan “bagaimana hukum mengantongi HP yang di dalamnya terdapat rekaman atau aplikasi al-Qur`an saat buang air besar?” Saya tanya balik, “Orang yang hafal al-Qur`an boleh tidak buang air besar?”[]

 

*) Disarikan dari presentasi Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A. dalam Diskusi Pendalaman “Maqashid Syariah Lin Nisa’” yang diselenggaran Rumah KitaB di Pondok Pesantren Ma’had Al-Shighor Al-Islamy Al-Dualy, Gedongan, Cirebon, Sabtu, 17 Desember 2022

Menerka Tujuan Syariat (1/2)*

Oleh: Buya Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A.

 

KETIKA seseorang menyampaikan suatu berita, ia bersumpah bahwa berita itu benar, dan kita tidak perlu menguji apakah berita itu benar atau salah. Di dalam agama, metode untuk menguji berita tersebut benar atau salah adalah tabayyun (klarifikasi). Tetapi, kita perlu tahu apa maksud orang tersebut menyampaikan berita itu kepada kita. Berita yang diterbitkan BBC benar karena didukung data, fakta, dan hasil wawancara. Dan mereka tentu punya maksud tertentu menerbitkan berita tersebut, yaitu membangun opini publik. Lafazh, kata, dan teks al-Qur`an serta hadits tidak punya makna, sebatas simbol-simbol, dan artinya berubah-ubah. Misalnya kata “duduk” saja tidak bisa dipahami, namun bila kalimatnya sempurna, “Hasan duduk di kursi”, maka maknanya adalah bokong Hasan menempel di kursi. Kata “duduk” pada kalimat “Belanda menduduki Indonesia”, “Pengacara bertanya kepada kliennya tentang duduk perkaranya”, itu maknanya berbeda lagi.

Kita belum tentu mengetahui maksud suatu kalimat meski rangkaiannya sempurna karena makna bahasa adalah bayang-bayangnya itu. Pertanyaan “Kapan kamu selesai iddah?” kepada seorang janda oleh seorang petugas KUA dan seorang duda punya makna yang berbeda. Kalimatnya sama, namun otak setiap orang bergerak. Kalau duda yang menanyakan hal itu, si janda mengira bahwa si duda akan melamarnya. Sementara kalau petugas KUA yang menanyakannya, si janda berpikir petugas itu sedang ingin memastikan hukumnya. Terjadi perbedaan pendapat karena otak setiap orang berbeda. Orang yang doyan kawin akan sangat senang dengan ayat “fankihû mâ thâba lakum min al-nisâ` matsnâ wa tsulâsa wa rubâ’” (maka nikahilah dari perempuan-perempuan itu dua, tiga atau empat). Ia menggunakan kesempatan dalam kesempitan.

Sebetulnya ada agenda besar di dalam pikiran Nabi Saw. yang tidak diamati oleh banyak orang. Kita bisa mengamati perbuatan seseorang seperti menyapu, membaca, dan lainnya. Hal yang lebih penting dari itu adalah, apa yang ada di dalam pikirannya sehingga ia terdorong berbuat seperti itu. Saat Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah, hal pertama yang dilakukan adalah membangun Masjid Quba. Apa maksud Nabi melakukannya? Ternyata masjid digunakan sebagai tempat untuk mengobati orang-orang sakit, mendamaikan orang yang bertengkar, mendidik para sahabat, berlatih perang, dan lain sebagainya. Dengan demikian, masjid saat itu adalah gedung serbaguna. Sedangkan masjid sekarang digunakan hanya untuk shalat. Banyak masjid yang pintunya dikunci setelah pelaksanaan shalat. Pengerdilan fungsi masjid saat ini terjadi karena sakralisasi yang berlebihan.

Nabi adalah tokoh pemersatu dan perdamaian. Sejak kecil beliau mendamaikan teman-temannya yang bertengkar, dan orang-orang yang mau bercerai, suku-suku yang mau berperang. Beliau menunjukkan kepiawaiannya dalam kasus siapa yang berhak meletakkan hajar aswad ke tempatnya pada saat renovasi Ka’bah. Peristiwa ini membuatnya semakin terkenal, dan beliau terus berupaya menghindari perpecahan di antara penduduk Makkah.

Saat mulai menyebarkan Islam, Nabi ditindas, diintimidasi, dan diteror oleh orang-orang Makkah. Dan kala itu, suku Aus dan Khazraj, dua suku di Madinah yang kerap berkonflik, meminta beliau untuk datang ke Madinah. Beliau dikenal sebagai tokoh pemersatu, dan kedua suku itu sudah lelah berperang saudara. Jadi, tujuan Nabi hijrah ke Madinah adalah untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang berkonflik, bukan melarikan diri.

Sebagai tokoh pemersatu dan perdamaian, visi dan misi yang dikumandangkan Nabi kepada masyarakatnya adalah kata persatuan (kalimat tauhid), yang kemudian memunculkan kalimat  “Lâ ilâha illâ Allâh”; Kita semua adalah hamba Allah. Karenanya kita semua, laki-laki dan perempuan, sama dan setara. Hanya Allah satu-satunya Tuhan—tempat menghamba, meminta, berharap, dan seterusnya.

Nabi saat itu melihat masyarakat Jahiliyah berada dalam keadaan porak-poranda—penindasan nilai kemanusiaan, perbudakan, jual beli manusia, perang antar suku. Beliau ingin membangun satu peradaban dunia besar yang berdasarkan kesetaraan dan keadilan sosial. Beliau membeli budak dan kemudian membebaskannya. Beliau juga meminta para sahabat yang kaya untuk melakukan hal yang sama. Beliau ingin menghapuskan perbudakan secara gradual—sebagaimana al-Qur`an diturunkan juga secara gradual. Beliau kemudian membuat kebijakan pembebasan budak: siapa saja yang melakukan tindak kriminal atau pelanggaran maka salah satu sanksinya adalah membebaskan budak.

Selanjutnya Nabi membuat kebijakan administratif bahwa budak boleh mengajukan permohonan merdeka kepada majikannya dengan syarat ia mampu menebus harga untuk dirinya. Melalui ayat al-Qur`an, Allah memerintahkan para majikan yang punya budak untuk menerima permohonan merdeka dari budak-budak mereka. Memang tidak ada ayat al-Qur`an atau hadits yang mengharamkan perbudakan. Tetapi kebijakan Nabi dan perintah Allah jelas mengarah kepada upaya penghapusan perbudakan.

Nabi mengatakan “al-ulamâ` waratsah al-anbiyâ`”, ulama adalah penerus ide dan agenda para Nabi. Dan banyak ulama mengabaikan hal ini. Pada 1960, Arab Saudi didesak untuk menghapuskan perbudakan sebagai persyaratan untuk mendapatkan bantuan ekonomi dan militer dari Amerika. Arab Saudi kemudian mendeklarasikan diri sebagai negara yang bebas dari perbudakan dan memerintahkan warganya untuk membebaskan budak-budaknya tanpa ada ganti rugi. Umat Muslim memprotes kebijakan tersebut dan menganggap Arab Saudi sebagai negara kafir. Mereka meyakini Islam sudah sempurna dan final: perbudakan diperbolehkan, perempuan boleh diperjual-belikan, dipoligami, dipaksa kawin, dan seterusnya.

Kita bebas membaca semua kitab, tetapi kita harus tetap berpikir sendiri. Kita mudah melihat dan mengamati orang sedang berbuat apa, tetapi kita tidak mudah mengetahui apa yang ada di dalam pikirannya sehingga ia terdorong melakukan ini dan itu. Pada 1974 lahir UU Perkawinan dan salah satu isinya adalah larangan kawin paksa. UU ini mendapatkan protes keras dari umat Muslim. Mereka beranggapan bahwa kawin paksa tidak dilarang oleh syariat sehingga negara tidak boleh melarangnya. Begitu juga dengan hak cerai yang sewenang-wenang.

Dalam sebuah wawancara di Aljazeera, Yusuf Qaradhawi membolehkan pemukulan istri dengan syarat jangan sampai luka. Padahal luka di muka cepat sembuh sedangkan luka di hati tidak pernah sembuh. Jika istri berselingkuh, ia dimutilasi tiga belas. Sebaliknya kalau suami selingkuh, itu dianggap sunnah rasul. Laki-laki pelaku poligami tidak akan pernah merasa berdosa menyakiti hati istrinya karena ia merasa paling benar. Namun persoalannya, dari mana ia mendapatkan pemahaman itu.

Kita tidak mempersoalkan teks-teks sunnah, tetapi yang perlu kita telusuri adalah agenda besar di dalam pikiran Nabi, di antaranya mengangkat martabat perempuan. Semula perempuan diperjualbelikan, diwariskan, tidak mendapatkan warisan, dikawin tanpa batas, dan seterusnya. Lalu Nabi mengangkat derajatnya secara gradual—memberinya warisan setengah dulu, melarang jual beli dan mewariskan perempuan, membatasi menikahi perempuan, dan lainnya. Pembatasan menikahi perempuan dua, tiga, atau empat belum final dan bersifat gradual. Isyarat finalnya adalah “wa in khiftum allâ ta’dilu fa wâhidah” (Jika kalian khawatir tidak bisa adil, maka cukup satu saja).

Dasar pertimbangan pembagian warisan adalah budaya Arab bahwa anak laki-laki punya peran penting sehingga anak laki-laki mendapatkan satu dan anak perempuan setengah. Sementara dalam budaya Indonesia, anak perempuan justru punya peran penting—mengasuh adik-adiknya, menyapu, pergi ke pasar, mencuci, dan lainnya, sementara anak laki-lakinya bermain saja. Bagaimana mungkin anak perempuan yang berperan penting mendapatkan setengah, sedangkan anak laki-laki yang tidak berperan mendapatkan satu? Kita khawatir anak cucu kita kelak akan lebih memilih murtad karena tidak merasakan keadilan Tuhan. Mereka menganggap hukum fikih sudah final. Ini adalah tembok besar yang harus kita tembus. Tidak bisa sendirian melakukannya, melainkan harus bersama-sama.[]

 

*) Disarikan dari presentasi Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A. dalam Diskusi Pendalaman “Maqashid Syariah Lin Nisa’” yang diselenggaran Rumah KitaB di Pondok Pesantren Ma’had Al-Shighor Al-Islamy Al-Dualy, Gedongan, Cirebon, Sabtu, 17 Desember 2022