Peringatan pemicu: Tulisan ini memuat deskripsi detail mengenai kekerasan yang mungkin dapat mengganggu sebagian pembaca.
~~~
Malam itu, seorang perempuan berusia 29 tahun ditemukan tak bernyawa di rumahnya. Luka lebam di wajahnya bercerita lebih banyak daripada yang bisa diungkapkan oleh media. Tetangganya pun terkejut, mereka mengira pernikahannya baik-baik saja, “Istrinya orang yang pendiam,” kata salah satu dari mereka. Tapi, diam tak selalu berarti baik. Kadang, diam itu menutupi banyak luka, diam yang menyembunyikan penderitaan, diam yang akhirnya berujung pada maut.
Kasus terbunuhnya perempuan dalam konteks rumah tangga menunjukkan angka yang memprihatinkan. Kasus tersebut adalah realitas yang dihadapi perempuan di seluruh dunia. Menurut penelitian UNODC dan UN Women tahun 2024, 60% dari sekitar 85.000 perempuan yang dibunuh secara sengaja, tewas di tangan pasangan intim atau anggota keluarganya. Di Indonesia, Komnas Perempuan mengonfirmasi bahwa 86,9% pembunuhan terhadap perempuan terjadi di ranah privat. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, justru sering kali merenggut nyawa perempuan.
Mendefinisikan Femisida: Perempuan Dibunuh Karena Mereka Perempuan
Seharusnya, femisida tak bisa hanya dikategorikan sebagai pembunuhan biasa. Kasus ini adalah bentuk ekstrem dari kekerasan berbasis gender, di mana perempuan dibunuh karena mereka adalah perempuan, yang secara socio-cultural dianggap inferior. Naasnya, budaya patriarki menanamkan keyakinan bahwa ketika seorang perempuan menikah, ia otomatis menjadi milik suaminya. Dari sinilah muncul pembenaran atas berbagai bentuk kekerasan rumah tangga, seolah-olah aksi tersebut adalah bentuk suami mendidik istri.
Merujuk pada sejarah munculnya istilah femisida, Diana E. H. Russell, seorang feminis dan sosiolog asal Afrika Selatan, mempopulerkan istilah femisida pada tahun 1976. Ia ingin menunjukkan bahwa pembunuhan perempuan memiliki motif dan pola berbeda dari pembunuhan biasa, bukan sekadar kejahatan tunggal, tapi hasil dari sistem patriarki yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan.
Beberapa negara di dunia sudah lebih maju dalam mengakui femisida sebagai kejahatan yang perlu penanganan khusus. Mereka mengategorikan femisida ke dalam hukum pidana, lengkap dengan definisi dan hukuman yang lebih tegas. Sayangnya, di Indonesia belum sampai ke tahap itu.
Kasus femisida masih diproses dengan pasal-pasal umum tentang pembunuhan atau kekerasan, tanpa melihat bahwa ini adalah kejahatan berbasis gender yang punya pola dan akar masalah berbeda. Mengakui femisida sebagai kategori kejahatan yang spesifik sangat penting untuk mengembangkan langkah-langkah hukum dan kebijakan yang memadai, guna mencegah jenis pembunuhan ini dan meminta pertanggungjawaban para pelaku.
Menangani femisida tidak hanya membutuhkan respons peradilan pidana, tetapi juga perubahan sosial yang lebih luas untuk membongkar norma-norma sosial dan budaya patriarki yang mendasari dan terkadang menopang aksi KDRT.
Ketika Pernikahan Menjadi Neraka Bagi Perempuan
Laila (nama samaran) menikah dengan lelaki yang awalnya penuh cinta. Namun, setelah beberapa tahun pernikahan, cinta itu berubah menjadi pukulan dan ancaman. Setiap kali ia berpikir untuk pergi, terngiang di kepalanya “Sabar, nanti dia berubah. Jangan buat malu keluarga”. Asumsi yang kerap kali tertanam pada perempuan yang terjebak dalam toxic relationship. Cerita Laila, merepresentasikan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan.
Berdasarkan statistik, femisida dalam pernikahan adalah bentuk femisida yang paling umum. Komnas Perempuan mencatat bahwa 42,3% kasus femisida terjadi dalam pernikahan. Para korban sering kali telah lama mengalami kekerasan sebelum akhirnya dibunuh.
Hal ini selaras dengan temuan Internatioal, menurut Dr. Kevin Fullin dari American Medical Association, “Sepertiga dari semua cedera pada perempuan yang masuk ke ruang gawat darurat bukanlah kecelakaan. Sebagian besar adalah hasil dari tindakan kekerasan yang disengaja dan direncanakan. Dan sering kali terjadi berulang kali hingga perempuan tersebut meninggal.”
Mengapa Perempuan Tidak Bisa Keluar dari Toxic Relationship?
Dalam melihat kasus KDRT, kita mungkin mempertanyakan “Kenapa tidak cerai saja?” Seolah-olah meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan adalah hal yang mudah. Pada realitanya, ada begitu banyak alasan yang membuat perempuan terjebak dalam kasus KDRT. Dalam banyak budaya, perempuan diajarkan untuk tunduk kepada suami.
Mereka didoktrin untuk percaya bahwa meninggalkan pernikahan adalah aib. Tidak peduli seberapa menyakitkan atau mengancamnya situasi yang mereka hadapi, perempuan sering kali ditekan untuk tetap bertahan, dengan dalih menjaga kehormatan keluarga atau demi anak-anak mereka.
Ketergantungan finansial juga menjadi salah satu penghalang terbesar. Bagi perempuan yang tidak memiliki sumber penghasilan sendiri, mereka cenderung takut tidak bisa bertahan hidup jika pergi. Ke mana mereka harus meminta pertolongan? Bagaimana mereka akan menghidupi anak-anak mereka? Tanpa akses terhadap sumber daya yang cukup, perempuan akan rentan terjebak dalam situasi abusive ini.
Setiap kali sebuah kasus femisida terjadi, kita berduka, kita marah, tapi apa yang bisa kita perbuat? Mencegah femisida bukan hanya tugas negara, tapi tanggung jawab kita semua. Kita harus mulai dengan mendengarkan dan mempercayai korban. Ketika seseorang bercerita tentang kekerasan yang mereka alami, jangan menghakimi.
Sebaliknya, kita harus memberikan dukungan nyata, baik itu dengan menawarkan tempat perlindungan, membantu mereka mengakses layanan hukum, atau sesederhana menjadi tempat mereka merasa aman untuk bercerita.
Kita juga perlu mendorong kemandirian finansial perempuan, bagi penulis hal ini sangatlah penting, karena perempuan yang memiliki sumber finansial, lebih mungkin untuk meninggalkan hubungan yang abusif. Terlepas dari itu, kebijakan yang melindungi hak perempuan harus diperjuangkan. Selama hukum masih lemah, nyawa perempuan akan terus terancam.
Namun, semua upaya ini tidak akan efektif, jika kita tidak membongkar akar dari permasalahannya: norma patriarkal yang mengakar. Perubahan sosial harus dimulai dari pendidikan di rumah, dari cara kita membesarkan anak-anak kita, dari bagaimana kita menanamkan nilai kesetaraan dalam keluarga, dan dari keberanian kita menolak normalisasi kekerasan terhadap perempuan.
Perubahan ini, bukan hanya tugas para aktivis atau pembuat kebijakan, tetapi tugas setiap individu. Kita tidak bisa terus berduka tanpa bertindak, tidak bisa hanya marah tanpa mencari solusi. Tanyakan pada diri sendiri “Apa yang bisa kita lakukan agar perempuan tidak terjebak dalam situasi kekerasan sejak awal?”