Kesadaran, Peran Sosial, dan Kepedulian terhadap Lingkungan (3/3)

Unsur-unsur Menjaga Lingkungan dari Aspek Ketiadaan

 

Pengendalian Pencemaran Lingkungan

 

Apa yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan? “Kita katakan bahwa lingkungan hidup ini tercemar apabila keseimbangan senyawa-senyawa di dalamnya terganggu, karena prinsip dasar dalam lingkungan hidup adalah keseimbangan antara senyawa-senyawa organik dan non-organik, dan yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keserasian dan kebersihan.”

 

Polusi dianggap sebagai salah satu praktik paling negatif yang dilakukan manusia terhadap lingkungan dengan menghabiskan sumber dayanya, melanggar keseimbangan vital di dalamnya, dengan membunuh hewan, membakar pohon, dan mencemari lingkungan secara umum karena penyebaran gas beracun yang dikeluarkan oleh pabrik, kendaraan, dan mesin pengangkut, serta akibat pembuangan limbah pabrik ke laut, atau penguburannya di bawah tanah, yang mengakibatkan keracunan organisme darat dan perairan, selain akibat tenggelamnya kapal-kapal tanker minyak di lautan, atau bahan beracun dan limbah yang mereka buang.

 

Sumber dan lokasi pencemaran cukup beragam, tidak hanya terjadi di udara saja, melainkan pencemaran di tanah, dan pencemaran di air, yang dampaknya tidak hanya terhadap makhluk hidup saja, namun juga terhadap manusia sendiri. Sebuah penelitian membuktikan bahwa “jumlah kematian akibat polusi udara adalah 180.000 setiap tahunnya. Di Tiongkok saja, 75 juta orang menderita asma setiap tahunnya.”!

 

 

1 – Hak Masyarakat atas Lingkungan yang Bersih

 

Merupakan hak manusia atas sesamanya untuk hidup dalam suasana yang suci dan lingkungan yang bersih. Jika ia berjalan di jalan raya, ia tidak akan terhalang oleh batu, sampah, atau air kotor. Dan jika ia beristirahat dan memulihkan diri, ia tidak akan diganggu oleh bau kotor di dekat pohon tempat ia berteduh, atau di  pantai dekat tempat ia merasa nyaman untuk tidur. Nabi Saw. bersabda: “Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.”

 

Nabi Saw. bersabda: “Hati-hatilah dengan orang yang dilaknat oleh manusia!’ Para sahabat bertanya, ‘Siapa itu orang yang dilaknat oleh manusia, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, ‘Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia,” [H.R. Muslim].

 

Makna dari hadis ini adalah bahwa orang yang mengganggu jalan dan tempat duduk manusia, ia akan dimusuhi dan dilaknat.

 

Mengganggu jalan manusia atau di bawah naungannya adalah salah satu dosa besar, termasuk jalan menuju rumah, pasar, desa, sumber air, dan setiap tempat yang mereka duduki untuk mendapatkan manfaat, dan ini meliputi pasar, taman, dan lain-lain.

 

Kita melihat hadis tersebut mengandung dua hal: pertama, larangan mengganggu dan membuang hajat, air seni atau kotoran/sampah di tempat-tempat yang sering dikunjungi manusia. Kedua, hukuman bagi siapa pun yang melakukan perbuatan tercela berupa laknat dari masyarakat sehingga ia termasuk golongan orang-orang zhalim yang terlaknat.

 

Disebutkan juga dalam sunnah Nabi, dalam konteks yang sama, bahwa dilarang membuang air kecil di air yang tergenang, dan dilarang buang air besar di jalanan, di tempat-tempat teduh, atau di sumber-sumber air. Nabi Saw. bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian kencing di air yang menggenang kemudian dia mandi darinya,” [H.R. Muslim] [28]. Nabi Saw. juga melarang buang air kecil di air yang tergenang.

 

Departemen Kesehatan dan Dinas Kebersihan di kota bertanggung jawab mengatur masalah ini dengan membangun toilet-toilet umum di wilayah perkotaan, dan mendirikan tempat peristirahatan di jalan raya antar daerah dan wilayah sehingga para pelancong tidak kesulitan buang air besar dan kecil.

 

Kita melihat bahwa hadis-hadis Nabi Saw. di atas dengan sangat jelas mengatur kebersihan dengan memberikan peringatan keras bagi siapa pun untuk tidak membuang kotoran/sampah di sembarang tempat sehingga merugikan orang lain. Di sini Islam telah menetapkan dasar-dasar kemaslahatan sebelum peradaban saat ini menyadarinya.”

 

 

2 – Melakukan Cara Terbaik untuk Membuang Air Bekas dan Limbah Pabrik

 
Banyak negara maju, dan beberapa negara berkembang, menerapkan teknologi daur ulang dan penggunaan sampah dengan segala jenisnya, seperti kaca, kertas, dan plastik. Selain limbah-limbah ini, semuanya dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur di dalam tanah. Contoh kecil yang bisa disebutkan adalah dampak buruk yang ditimbulkan oleh kantong plastik yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari saat berbelanja terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Hal ini harusnya mendorong Kementerian Lingkungan Hidup untuk membunyikan alarm bahaya dan segera membentuk sebuah komite khusus guna meneliti kemungkinan memproduksi secara massal tas biodegradable atau tas ritel.

 

Langkah-langkah ini dan langkah-langkah lain semuanya terfokus pada upaya melestarikan lingkungan dan mengurangi produksi limbah.

 

Begitu pula dengan air limbah yang didaur ulang dan diolah untuk digunakan kembali, khususnya dalam bidang penyiraman tanaman kosmetik.

 

Proses ini sangat efektif dan penting bagi lingkungan hidup, serta mendatangkan banyak manfaat. Kalau proses-proses ini tidak diintegrasikan ke dalam pembangunan ekonomi, tentu akan sangat merugikan lingkungan dengan membuang limbah dan membuang air yang tidak layak ke laut dan sungai atau menguburnya di daratan. Akibatnya, itu akan merusak tanaman dan organisme laut, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia sendiri karena ia akan mengkonsumsi hasil tanaman dan makhluk laut!

 

 

3 – Melindungi Sumber Daya Hewani dari Penipisan dan Kepunahan

 
Selain peduli pada tumbuhan, Islam juga peduli pada hewan. Berburu binatang, baik yang liar maupun yang hidup di air, diperbolehkan dan baik, tetapi Islam mengharamkan pembunuhan hewan jika tidak ada manfaatnya, atau hanya untuk pemborosan (kesia-siaan) yang mengancam keberadaan hewan sebagai salah satu makhluk Tuhan. Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: “Tidak seorang pun yang membunuh Usfur (sejenis burung pipit) atau yang lebih kecil tanpa hak kecuali Allah akan menanyakannya di hari kiamat. Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa haknya?’ Beliau menjawab, ‘Haknya adalah menyembelihnya lalu memakannya dan tidak dipotong kepalanya lalu dibuang,” [H.R. al-Hakim].

 

Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: “Barang siapa yang membunuh seekor burung hanya sekedar beramain-main/senda gurau, burung itu akan berteriak mengadu kepada Allah, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya Si fulan membunuh saya hanya sekedar bermain-main saja, dan tidak membunuhku untuk dimanfaatkan.”

 

Nabi Saw. juga bersabda: “Andaikata anjing itu bukan sebagai satu bangsa dari bangsa-bangsa yang ada, akan aku perintahkan untuk membunuh semua anjing. Bunuhlah anjing yang hitam legam.”

 

Kita tentu bertanya-tanya: Apakah hadis ini benar-benar menunjukkan gagasan untuk melestarikan beberapa spesies hewan dari kepunahan?

 

Hal ini mungkin ada benarnya jika kita melihat penjelasan dari Imam al-Khaththabi yang mengatakan: “Artinya beliau tidak menyukai pemusnahan suatu bangsa, dan pemusnahan satu generasi dari makhluk Allah hingga musnah seluruhnya tanpa sisa, karena tidak ada ciptaan Allah Saw. yang tidak mengandung hikmah dan maslahat.”

 

Dari Abu Hurairah: “Ada semut yang menggigit seorang nabi dari nabi-nabi terdahulu lalu nabi itu memerintahkan agar membakar sarang semut-semut itu. Maka kemudian Allah mewahyukan kepadanya, firman-Nya: ‘Hanya karena gigitan sesekor semut maka kamu telah membakar suatu kaum yang bertasbih,” [H.R. al-Bukhari].

 

Kita mempunyai kisah tentang seseorang yang masuk surga karena ia memberi air kepada seekor anjing yang terengah-engah karena kehausan, juga kisah tentang seseorang yang dimasukkan ke neraka karena ia mengurung seekor kucing dan tidak memberinya makan atau membiarkannya memakan hama di bumi.

 

Nabi Saw. bersabda: “Apabila kalian bepergian ke tempat yang subur, berikanlah unta itu bagiannya dari bumi. Apabila kalian bepergian ke tempat yang gersang, maka percepatlah perjalanannya, dan segerakanlah (sebelum habis) sumsumnya. Apabila kalian bermalam maka jauhilah jalanan, karena itu adalah lalu lintas binatang-binatang tunggangan yang lain dan binatang-binatang melata di waktu malam,” [H.R. Muslim].

 

Inilah akhlak terhadap makhluk hidup yang ada di lingkungan hidup kita, perilaku yang dengannya kita berupaya melestarikan dan menjaga lingkungan tersebut. Maukah kita mengikuti perilaku ini, dan menanamkan pada generasi kita dan generasi mendatang kesadaran lingkungan akan pentingnya budidaya tanaman, perlindungan hewan dan pelestariannya dari kepunahan?

 

 

4 – Keamanan Lingkungan

 

Istilah ini muncul setelah Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada tahun 1992 M, “Ini merupakan istilah baru yang isinya banyak kontroversi, mencakup lingkungan hidup dan keamanan, serta kekerasan dan perang sebagai penyebab kerusakan lingkungan.” Karena tidak dapat disangkal dampak negatif dan jangka panjang dari kolonialisme, pendudukan, dan perang saudara terhadap pertanian dan generasi manusia. Selain membunuh orang, hal tersebut juga menghancurkan lahan pertanian yang berubah menjadi benteng pertahanan tentara dan mengeksploitasi lingkungan menjadi senjata pemusnah yang menyeluruh, selain pergerakan kendaraan-kendaraan dan alat-alat militer di lahan-lahan pertanian dan penggalian parit.

 

Semua kita tahu apa-apa yang ditinggalkan oleh perang-perang dalam bentuk ranjau dan bahan peledak yang ditanam di tanah yang menghancurkannya dan mengubah komposisi kimianya. Belum lagi apa yang terjadi pada hewan dan organisme hidup yang tidak aman dari peluru dan meriam, dan apa yang mereka derita ketika sumur minyak tumpah dan terbakar, seperti yang terjadi pada Perang Teluk pertama dan kedua.

 

Segala hal yang menyertai peperangan mempunyai dampak terhadap lingkungan secara umum, berupa pencemaran air dan tanah, pencemaran udara yang dipenuhi dengan bau pembunuhan dan pembusukan, penyakit-penyakit yang disebarkannya yang membunuh manusia, dan memburuknya kesehatan masyarakat. Meskipun Perang Dingin telah berakhir, di gurun Nevada Amerika terdapat unsur kimia “iodine-131″, sisa dari ledakan nuklir. Unsur ini menyebabkan kasus kanker tiroid di kalangan orang Amerika, yang jumlahnya berkisar antara 11.300 hingga 212.000 kasus.!!

 

 

5 – Menetapkan Undang-undang dan Perundang-undangan Lingkungan hidup yang Memberikan Efek Jera

 

Pemerintah mempunyai peran besar dan efektif dalam membuat undang-undang dan peraturan yang melindungi hak atas lingkungan hidup dari ketidakadilan manusia. “Aktivitas manusia mengubah lingkungan secara negatif, dan dengan cara yang berbeda dengan yang terjadi di era-era lain, dengan upaya besar dan berlebihan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, menghabiskan energi dengan cara yang tidak teratur dan membahayakan kehidupan, industrialisasi, dan elaborasi pertumbuhan ekonomi. Semua ini terkait dengan kerusakan lingkungan hidup negara.”

 

Peran pemerintah harus ditunjukkan secara kuat dalam mencegah tindakan pengurasan dan sabotase sumber daya alam, serta eksploitasi destruktifnya. Pencegahan dan sanksi adalah kunci untuk mengintimidasi masyarakat. Tanpa adanya hukum pidana, penindasan manusia terhadap lingkungannya akan terus berlanjut.[]

———————
Referensi

 

1. Muhammad ibn Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Amman: Dar al-Nafa’is, 1999

2. Yusuf al-Qaradhawi, al-Sunnah Mashdar li al-Ma’rifah wa al-Hadharah, Kairo: Dar al-Syuruq, 2002

3. Yusuf al-Qaradhawi, Kayfa Nata’mal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, Ma’alim wa Dhawabith, t.t.

4. Wahbah al-Zuhaili, alMilkiyyah wa Tawabi’uha, Damaskus: Universitas Damaskus, 1988

5. Muhammad Abu Zahrah, alTakaful al-Ijtima’iy fi al-Islam, Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.

6. Fathi Dardar, alBi’ah fi Muwajahah al-Talawwuts, Aljaza’ir: Dar al-Amal, 2003

7. Abdul Qadir Halimi, “Talawwuts al-Bi’ah“, Majalah al-Ashalah, Aljazair: Wizarah al-Ta’lim al-Ashli wa al-Syu’un al-Diniyah, 1975

8. Majalah al-Arabi, “al-Insan wa al-Bi’ah“, Vol. 500, Juli 2000

9. Abdul Hamid ibn Badis, Majalis al-Tadzkir min Hadits al-Basyir al-Nadzir, Aljazair: Mathbu’at Wizarah al-Syu’un al-Diniyyah, 1983

10. Koran al-Syuruq al-Yawmi, Vol. 1549, Kamis 1 Desember, 2005

11. Ahmad al-Khamlisyi, Wijhah Nazhr, Ribath: Dar al-Ma’rifah, 1998

12. Bakr ibn Abdillah Abu Zaid, Harasah al-Fadhilah, Ribath: Dar al-Ashimah, 2000

13. Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, al-Islam wa al-Mar’ah, Aqidah wa Manhaj, Aljazair: al-Thariq li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1990

14. Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr al-Risalah, Kuwait: Dar al-Qalam

15. Yusuf al-Qaradhawi, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayah al-Islamiyyah, Amman: Dar al-Furqan, 1417 H

16. Khalijah Muhammad Shalih, Dawr al-Mar’ah al-Muslimah fi Muwajahah Tahaddiyat al-Awlamah, Malaysia: Multaqa al-Ulama al-Alami, 11 Juli 2003

17. Mahmud Muhammad al-Jauhari, Madza Qaddama al-Islam li al-Mar’ah, Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr, 1997

 

Kesadaran, Peran Sosial, dan Kepedulian terhadap Lingkungan (2/3)

Unsur Pelestarian Lingkungan

 

Unsur-unsur pelestarian meliputi landasan-landasan perlindungan dari aspek keberadaannya di satu sisi. Hal ini mencakup segala upaya guna menjamin keberlangsungan unsur-unsur lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya.

 

Di sisi lain, landasan perlindungan dari ketiadaan yang mencakup pertahanan dan kepedulian untuk menjaga lingkungan hidup dan unsur-unsurnya dari gangguan negatif manusia, serta melindunginya dari segala jenis limbah, perusakan, dan bentuk-bentuk kerusakan lainnya.

 

 

Unsur-unsur Pelestarian Lingkungan dari Aspek Keberadaannya

 

Pertama, Dorongan untuk Bercocok Tanam

 

Terdapat banyak ketentuan dalam hukum Islam yang legalitasnya menunjukkan minat yang sangat besar terhadap pertanian dan dorongan terhadapnya. Sebab di dalamnya mengandung manfaat dan kemaslahatan bagi manusia sendiri, seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan bercocok tanam, pengairan, dan menghidupkan tanah-tanah yang mati. Semua ini menunjukkan sejauh mana minat Islam dalam memakmurkan bumi dengan menggunakan metode pertanian dan menghidupkan tanah-tanah yang mati. Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yang memiliki lahan hendaklah dia tanami atau dia berikan kepada saudaranya untuk digarap,” [H.R. al-Bukhari]. Hal inilah yang membuat para sahabat tidak segan-segan sedikitpun untuk bertani dan memberikan dorongan untuk melakukannya. Imarah ibn Khuzaimah ibn Tsabit berkata: “Aku mendengar Umar ibn al-Khaththab berkata kepada ayahku: ‘Apa yang menghalangimu menanami tanahmu?’ Ayahku berkata kepadanya: ‘Aku sudah tua, aku esok aku akan mati.’ Umar berkata kepadanya: ‘Aku menganjurkanmu untuk menanaminya.’ Dan aku melihat Umar ibn al-Khaththab menanaminya dengan tangannya sendiri bersama ayahku.”

 

Hukum menghidupkan kembali tanah-tanah mati layak untuk dipelajari dan diteliti karena pentingnya hal tersebut, serta mengetahui perannya dalam memperluas kawasan pertanian hijau. Ketika Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengolah tanah yang bukan milik siapa pun maka ia yang lebih berhak atasnya.” Hadits ini menunjukkan bahwa syariat menginginkan supaya lahan-lahan dikelola dengan baik karena kebutuhan masyarakat akan sumber daya pertanian dan rekonstruksi alam semesta, yang akan dapat membawa dampak kesejahteraan ekonomi bagi mereka dan memberikan kekayaan publik yang besar.

 

Dengan cara ini, Islam menganjurkan dan menyerukan untuk bertani dan bercocok tanam, memberikan motivasi kepada para pembajak dan petani, serta menjadikan siapa pun yang menghidupkan tanah yang tidak menghasilkan tanaman menjadi miliknya.

 

Dalam seruan untuk menghidupkan kembali tanah-tanah mati terdapat isyarat “bahwa Islam menyerukan untuk memakmurkan bumi dan memperbaiki kerusakannya. Dan jika manusia mengkikuti prinsip Islam untuk menghidupkan kembali tanah-tanah mati dan melaksanakan sabda Nabi Saw.., ‘Barangsiapa yang menghidupkan kembali tanah mati, itu adalah miliknya,’ maka pertanian dan pembangunan akan lebih melimpah, sehingga kita tidak akan lagi  menemukan begitu banyak hutan-hutan yang membutuhkan tangan manusia untuk melakukan perbaikan, dan tidak akan lagi mendapati gurun-gurun yang tidak ada pembangunannya.”

 

Umat manusia, dengan keinginan mereka yang tidak bijaksana dalam berbagai aktivitas kehidupan, mengubah sebagian besar lahan pertanian hijau menjadi gurun pasir, menyalahkan kekeringan, mengabaikan kegagalan melindungi tanah mereka, atau menyalahkan kondisi kemiskinan yang menyedihkan di tempat mereka tinggal.

 

Tidak dapat disangkal bahwa salah satu penyebab penggurunan adalah terjadinya kekeringan di wilayah tersebut, dan andil manusia dalam hal ini tidak dapat dibantah. “Peran manusia secara praktis terlihat jelas dalam praktik-praktik yang berkontribusi terhadap peningkatan laju penggurunan, seperti pembukaan hutan-hutan alam, kebakaran hutan, dan kesalahan pengelolaan irigasi dan drainase air, yang menyebabkan erosi, dan dengan demikian terjadi penggurunan.”

 

 

Kedua, Merawat Hutan dan Padang Rumput

 

Salah satu dampak negatif dari hilangnya dan berkurangnya luas hutan dan padang rumput adalah pasir gurun akan melahap daratan. Selain itu, udara dan atmosfer bumi menjadi saksi terjadinya emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Arti istilah ini adalah suhu naik dan memburuk akibat terkurungnya dan kurangnya penetrasi sinar matahari ke permukaan bumi, akibat penumpukan gas antara permukaan bumi dan udara. Di antara akibatnya adalah penggurunan yang berdampak terutama pada para petani yang menyiapkan lahan pertanian dengan menebang atau membakar pohon, dan juga berdampak pada para petani yang ingin membuka lahan pertanian tetap, namun masalahnya berlipat ganda ribuan kali lipat dengan dibangunnya pertanian-pertanian skala kecil dan seringnya penebangan pohon secara komersial, yang menyebabkan percepatan kenaikan suhu udara di seluruh dunia.”

 

Kita ambil contoh lain dampak negatif hilangnya dan berkurangnya luas hutan dan padang rumput di dunia: antara 4.000 dan 6.000 spesies hewan hilang sama sekali setiap hari, menciptakan semacam ketidakseimbangan lingkungan di wilayah tersebut, dan seperlima populasi dunia akan kekurangan air yang diperlukan untuk mengairi lahan dan bercocok tanam.

 

Dari sini kemudian muncul desakan untuk tidak menghabiskan pohon-pohon di hutan dengan cara mengubahnya menjadi kayu, dan lebih memperhatikan padang dan area rerumputan, serta bekerja untuk memperbaiki padang rumput alami dengan menanam jenis-jenis tanaman pakan ternak. “Percobaan telah berhasil dilakukan di Tunisia dan Mesir dalam mengolah daerah lahan salin dengan irigasi dari air laut untuk menghasilkan jenis-jenis pakan ternak. Di negara-negara lain juga telah berhasil dilakukan percobaan pemanfaatan sisa tanaman setelah diolah dengan TPA menjadi pakan ternak yang baik.”

 
Larangan menebang pohon disebutkan dalam sebuah hadis Rasulullah Saw.: “Barangsiapa menebang pohon bidara maka Allah akan membenamkan kepalanya dalam api neraka.” Yang dimaksud dengan “bidara” adalah pohon Sidr yang terkenal, yang tumbuh di gurun-gurun pasir, tahan haus, tahan panas, dan orang mendapat manfaat dari naungan penuh dan makan buahnya, jika mereka melintasi gurun tersebut sebagai pelancong, atau untuk mencari padang rumput, dan ancaman “neraka” bagi siapapun yang menebang pohon tersebut menunjukkan adanya penekanan terhadap kelestarian komponen lingkungan alam karena terjaganya keseimbangan antar makhluk hidup.

 

Eksperimen penelitian telah membuktikan bahwa pohon bidara sangat tahan lama, tahan kekeringan, mampu menahan panas dan iklim kontinental yang kering.

 

 

Ketiga, Seruan untuk Penghijauan

 

Empat belas abad yang lalu, sebelum dunia menetapkan Hari Hutan Internasional pada tanggal 21 Maret setiap tahunnya, Islam, dalam banyak teks, menyerukan dilakukannya penanaman pohon dan penanaman secara berkelanjutan. Nabi Saw. berkata: “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.”

 

Mari kita perhatikan hadis ini di mana Nabi Saw. menyerukan untuk menanam ketika hari kiamat terjadi, manfaat apa yang akan diperoleh si penanam ketika ia berada di ambang hari kiamat?

 

Mengenai hal ini, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi mengatakan: “Menurut pendapat saya, ini adalah penghormatan atas kerja keras membangun dunia itu sendiri, dan jika tidak ada manfaat di baliknya bagi yang menanam, atau bagi orang lain setelahnya, maka tidak ada harapan bagi siapa pun untuk memperoleh manfaat dari penanaman yang ditanam ketika hari kiamat telah tiba. Setelah itu, tidak ada dorongan untuk bercocok tanam dan berproduksi selama masih ada jiwa yang bimbang dalam hidup. Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, kemudian untuk bekerja dan memakmurkan bumi, maka hendaknya ia tetap menjadi penyembah dan pekerja sampai dunia menghembuskan nafas terakhirnya.”

 

Nabi Saw. juga bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian pohon/tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan menjadi sedekah baginya,” [H.R. al-Bukhari].

 

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat,” [H.R. Muslim].

 

Di antara manfaat penanaman dan penghijauan adalah peningkatan gas oksigen di udara dan pengurangan jumlah karbon, sehingga memulihkan keseimbangan lingkungan dan panas di planet bumi, yang berdampak positif pada kesehatan manusia. Ambil contoh, polusi yang mempengaruhi manusia akibat transportasi, dan apa yang dapat dilakukan oleh pepohonan di sekitar jalan dan kawasan pemukiman untuk mengurangi dampak polusi dan panas ekstrem, serta menyejukkan udara.

 

Dan yang tak kalah pentingnya, para peneliti telah menemukan manfaat dan fakta lain tentang pohon yang diceritakan oleh para petani kepada kita, dengan mengatakan: “Pohon adalah perisai mereka terhadap aktivitas angin, sehingga melindungi mereka tanaman, agar tidak tercabut atau tertimbun oleh angin badai, dan akar-akarnya menembus jauh ke dalam tanah sejauh beberapa meter, berfungsi untuk menstabilkan tanah agar tidak tersapu oleh angin yang merambat di atasnya.

 

Dan yang tak kalah penting, para peneliti telah menemukan manfaat dan fakta lain tentang pohon yang diceritakan oleh para petani, dengan mengatakan: “Pohon adalah perisai terhadap aktivitas angin, ia menghalau angin, sehingga melindungi tanaman, agar tidak tercabut atau tertimbun oleh angin badai, dan akar-akarnya yang menancap di dalam tanah beberapa meter berfungsi untuk menstabilkan tanah, agar tidak tersapu angin yang merambat di atas mereka.”

Kesadaran, Peran Sosial, dan Kepedulian terhadap Lingkungan (1/3)

Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi, sebagaimana tercantum di dalam firman-Nya, “[Ingatlah] ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi,” [Q.S. al-Baqarah: 30]. Dia menundukkan bumi beserta seluruh isinya untuk kepentingan manusia, “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya,” [Q.S. Hud: 61].

 

Untuk mewujudkan tujuan kekhalifahan umat manusia di muka bumi ini, diperlukan kerja sama dan integrasi antar seluruh umat manusia di dunia, sebagaimana firman-Nya, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa,” [Q.S. al-Hujurat: 13]. Salah satu aspek dari kerja sama ini adalah melestarikan kekayaan dan hal-hal baik yang melimpah di bumi dan bermanfaat bagi semua orang; seperti melindungi hewan dan tumbuhan, melestarikan air, rerumputan, sumber daya bawah tanah, dan hal-hal lainnya yang terdapat di permukaan bumi.

 

Hal ini terlihat dari perkataan Ibn Asyur ketika berbicara tentang tujuan umum syariat: “Tujuan umum dari tasyri‘ (pensyariatan) di antaranya adalah melestarikan sistem umat dan mempertahankan kebaikannya melalui kebaikan penguasanya, yaitu jenis manusia. Kebaikan jenis manusia meliputi kebaikan akal-pikiran, kebaikan pekerjaan, serta kebaikan harta benda duniawi yang ia hidup di dalamnya.”

 

Kenyataannya, persoalan “kekhalifahan” merupakan persoalan yang patut kita perhatikan karena akan menentukan peran dan kewajiban manusia terhadap lingkungannya. “Kekhalifahan” berarti bahwa manusia adalah penjaga dan pemelihara lingkungan, bukan pemiliknya. Ia bertanggung jawab atas pengelolaan, pengembangan, pembangunan, dan ia merupakan wali atas lingkungan tersebut.

 

Kewajiban “kekhalifahan” tentu saja mengharuskan manusia mengikuti apa yang diperintahkan oleh Sang Pencipta dan Sang Pemilik lingkungan ini, dan Sang Pemberi wewenang kepada manusia untuk menjaganya.

 

Kemudian, fungsi “kekhalifahan” mengharuskan manusia bertindak sebagai wali yang jujur sesuai dengan amanah yang diterimanya dari Tuhan. Bumi adalah tanah Tuhan, dan hamba-hambanya adalah hamba Tuhan. Ini menunjukkan tidak ada kepemilikan mutlak di dalam Islam, sehingga tidak seorang pun mempunyai hak untuk menyia-nyiakan apa yang dimilikinya sesuka hatinya. Kepemilikan dalam Islam dibatasi oleh pengendalian dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Tuhan, termasuk pemanfaatan dan pemeliharaannya dengan baik, serta menjaganya dari segala kerusakan atau vandalisme.

 

Dalam melaksanakan tugas “kekhilafahan” tidak dituntut bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri saja. Sebaliknya, ia harus memperluas jangkauan kepentingannya hingga mencakup seluruh lingkungannya dan apa-apa yang berada di wilayah kekuasaannya, dengan tidak menyebabkan kerusakan dan kehancuran terhadap makhluk hidup, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik,” [Q.S. al-A’raf: 56], “Apabila berpaling [dari engkau atau berkuasa], ia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan,” [Q.S. al-Baqarah: 205].

 

Menafsirkan ayat-ayat ini, Ibn Asyur mengatakan bahwa Allah Swt. “memberi tahu kita bahwa kerusakan yang diperingatkan itu adalah kerusakan hal-hal yang ada di dunia ini, dan bahwa Dia yang telah menciptakan di dalamnya hukum kelangsungan hidup tidak berpikir melakukannya dengan sia-sia.”

 

Allah telah berulang kali menyatakan di dalam al-Qur’an bahwa dilarang berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah menciptakannya dengan sangat baik dan mempersiapkannya untuk kemaslahatan umat manusia. Allah menyatakan tidak menyukai kerusakan, tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan, termasuk merusak lingkungan, mencemarinya, melanggarnya, serta melakukan tindakan menyimpang dari tujuan diciptakannya dunia ini. Semua ini adalah pengingkaran (kufur) terhadap nikmat, yang akan mendatangkan bencana dan pelakunya diperingatkan dengan azab sangat pedih yang akan menimpanya sama dengan azab yang menimpa kaum Ad dan Tsamud, dan kaum-kaum setelah mereka. “Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi,” [Q.S. al-Fajr: 11 – 14].

 

Kerusakan komponen-komponen lingkungan berbeda-beda antara satu unsur dengan unsur lainnya; ada yang terkena kerusakan dan kehancuran, ada yang terkena pencemaran, ada yang terkena pemborosan dan hilangnya manfaat. Umumnya berkisar pada sifat kerusakan dan perusakan di muka bumi yang dilarang oleh Tuhan.

 

Jika lingkungan telah memberikan kemudahan bagi manusia, ditundukkan untuknya atas kehendak dari Yang Mahakuasa, maka pada saat yang sama, ia adalah salah satu makhluk Tuhan. Sehingga, karenanya, manusia–yang juga merupakan salah satu makhluk Tuhan–tidak boleh merusak dan menyakitinya, atau mencegahnya menjalankan fungsinya sesuai dengan tujuan penciptaannya di alam semesta ini. Prinsip umum dalam hukum Islam adalah: “la dharara wa la dhirar” (tidak membayakan diri dan orang lain)”[4]. Artinya, jika manusia merugikan dan menggangu hak-hak lingkungan, maka mau tidak mau kerugian itu akan kembali menimpa dirinya sendiri.

Idul Fitri: Hari Besar Persaudaraan

Idul Fitri adalah kesempatan yang baik untuk mencairkan es persaingan, menekankan perlunya persaudaraan, rekonsiliasi, toleransi, dan saling memaafkan.

Betapapun besarnya perbedaan di antara kita, kita dituntut untuk melupakan perbedaan di hari yang fitri (suci), dengan meningkatkan iman dan takwa setelah menghabiskan waktu bulan suci Ramadhan, dan mengabdikan komitmen terhadap nilai-nilai luhur Islam serta menyebarkan cinta kasih dan perdamaian di kalangan umat.

Idul Fitri adalah kesempatan untuk menyucikan jiwa, berjabat tangan, memaafkan, dan menerima orang lain dengan cinta dan kasih sayang untuk mencapai masyarakat yang penuh kasih dan kohesif, seperti diibaratkan oleh Rasulullah Saw. sebagai satu tubuh, yang menekankan bahwa memaafkan dan bersabar adalah jalan menuju surga, sesuai dengan firman Allah Swt.,

 

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ، الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan,” [Q.S. Ali Imran: 134].

 

Toleransi dan memaafkan adalah dasar dari kehidupan yang bahagia dan indah, bebas dari kesulitan dan kesusahan. Ketika seseorang bertoleransi terhadap orang lain, ia pasti akan merasa bahagia dan akan menjalani seluruh hidupnya dengan bahagia karena toleransi membangun jembatan cinta, persaudaraan, kasih sayang, dan ketenangan, menjalin hubungan antar manusia yang intim, memenangkan cinta sesama, dan mendobrak penghalang yang ditempatkan oleh kesombongan. Artinya, Idul Fitri mempunyai pesan luhur untuk mensucikan hati dari perasaan negatif kebencian dan dendam, menggantikannya dengan perasaan positif kemanusiaan.

 

Moral yang Tinggi
Idul Fitri adalah kesempatan untuk berakhlak mulia dan rukun. Salah satu tindakan terpenting dalam kesempatan ini adalah menjaga silaturahmi dengan sanak saudara, meningkatkan perasaan positif di antara keluarga, orang terkasih, teman, tetangga, dan kolega di tempat kerja. Semua ini merupakan faktor penting bagi keberhasilan dan keunggulan dalam kehidupan sosial dan profesional. Rasulullah Saw. mengingatkan agar tidak memutus tali silaturrahim,

 

لا يدخل الجنة قاطع رحم

Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturrahim.”

 

Tidak ada cara yang dapat meningkatkan keterhubungan dan kesatuan umat Muslim kecuali dengan mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw. tersebut. Beliau memerintahkan untuk berbuat kebajikan dan menjalin koneksi serta relasi, menyebarkan perdamaian dan memberi makan, memperbaiki etika dan moral yang akan mempererat tali silaturahmi dan melanggengkan keakraban, serta meningkatkan kasih sayang dan rasa cinta antar sesama. Dan ini merupakan kesempatan berharga bagi setiap umat Muslim untuk membuka lembaran baru dalam bidang hubungan sosial.

Idul Fitri adalah ajang kesucian dan keterbukaan jiwa, serta kemuliaan emosi, oleh karena itu hendaknya seorang muslim memanfaatkan kesempatan ini untuk bergaul dengan orang lain dengan menunjukkan sikap memaafkan dan meminta maaf.

 

Hak Kemasyarakatan
Salah satu ritual dan syariat terbesar Islam adalah menjaga persaudaraan, persatuan, dan kekerabatan. Semua ini Allah sebut sebagai hak.

 

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan,” [Q.S. al-Isra`: 26].

 

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu,” [Q.S. al-Nisa`: 36].

 

Di dalam ayat-ayat ini dijelaskan bahwa salah satu pilar agama adalah pemberian hak dan hak kemasyarakatan, yang menandakan bahwa Islam adalah agama kemasyarakatan, kemanusiaan, serta merupakan agama yang penuh kebajikan dan rahmat kepada alam semesta.

Ayat-ayat ini menyuratkan perintah untuk senantiasa melakukan kebaikan kepada sesama manusia (al-ihsan li al-nas), misalnya: kebaikan kepada fakir miskin (al-ihsan li al-fuqara` wa al-masakin), dan komunikasi sosial dan kemasyarakatan (al-tawashul al-ijtima’iy wa al-mujtama’iy). Allah Swt. berfirman,

 

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ، فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ، وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin,” [Q.S. al-Ma’un: 1 – 3].

 

Di sini Allah langsung menyebutkan masalah kemanusiaan dan masalah kemasyarakatan, dan juga sebagian dari ketentuan-ketentuan Islam: “وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ” (Dan enggan [menolong dengan] barang berguna),” [Q.S. al-Ma’un: 7]. Yang disebut “الْمَاعُونَ” (pertolongan) adalah memberi kebaikan, berkerja sama, dan mengeluarkan harta untuk membantu sesama. Ini semua merupakan urusan kemasyarakatan yang wajib, yang sejak awal telah diatur dalam Islam.

Idul Fitri merupakan kesempatan untuk berbahagia, saling berkunjung, saling bertukar ucapan selamat, dan saling berjabat tangan sesama umat Muslim. Abu Hurairah ra. meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Nabi Saw. bersabda,

 

إن المسلم إذا صافح أخاه تحاتت خطاياهما كما يتحات ورق الشجر

Tatkala seorang muslim berjabat tangan dengan saudaranya nicaya dosa-dosa keduanya akan berguguran. Seperti halnya bergugurnya daun pepohonan.”

 

Nabi Saw. mengatur semua itu untuk jalinan komunikasi masyarakat, meningkatkan rasa persaudaraan, dengan mengungkapkan kegembiraan dan kebahagiaan, serta mengubur kesedihan. Dengan demikian, Idul Fitri adalah kesempatan yang harus dimanfaatkan sepenuhnya untuk bertoleransi terhadap diri sendiri dan orang lain.[]

Hari Raya Penuh Warna

Hari Raya Idul Fitri yang penuh kegembiraan dan kasih sayang mempertemukan umat Muslim di seluruh dunia, baik mereka yang tinggal di negara mayoritas Muslim atau tidak, di kampung halaman atau di luar negeri. Idul Fitri menjadi kesempatan untuk mengambil nafas dari beratnya beban kehidupan dan hari-hari, berkumpul bersama orang-orang terkasih, dan mengenang mereka yang terlebih dahulu telah menghadap-Nya. Idul Fitri merepresentasikan kenangan yang tak terlupakan bagi anak-anak, seiring mereka bertumbuh menjadi ibu dan ayah yang berusaha menciptakan kenangan baru bagi anak-anaknya agar keceriaan berkeluarga tetap terjalin tanpa terputus.

Umat ​​Muslim di seluruh dunia memiliki beberapa ritual dan tradisi hari raya, seperti berkumpul dalam jumlah besar untuk melaksanakan shalat Idul Fitri, membersihkan rumah, mengenakan pakaian baru, memberikan permen atau uang kepada anak-anak, dan menyantap makanan bersama keluarga. Namun setiap negara mempunyai ritualnya masing-masing, yang menjadikan Idul Fitri memiliki warna tersendiri dan cita rasa khas yang tidak ada bandingannya di negara lain, sehingga Idul Fitri dipenuhi warna-warni dengan keberagaman umat dan suku.

 

Hari Raya dengan Cita Rasa Sejarah
Manifestasi perayaan hari raya dan tradisi yang terkait dengannya bukanlah hal baru dalam sejarah Islam. Pada masa Bani Abbasiyah, misalnya, hari raya tidak hanya terbatas pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha saja, melainkan mencakup musim-musim lain seperti Nowruz dan hari raya Persia kuno lainnya.

Wujud hari raya semakin meluas khususnya pada masa Kekhalifahan Fathimiyah, dan mencakup hari-hari lain seperti Maulid Nabi dan bulan Ramadhan, karena banyak tradisinya yang masih hidup hingga sekarang berasal dari zaman itu.

Di era Abbasiyah dan Fathimiyah, pembagian manisan adalah hal yang umum, dan dikenal sebagai “Fitrah” yang mengacu pada Idul Fitri. Meskipun masyarakat Mamluk menyajikan hidangan dengan manisan dan dinar di tengahnya, hidangan tersebut dikenal sebagai “Jamkiyah”, dan disajikan oleh sultan kepada para pangeran dan tentara senior. Kebiasaan ini masih dipertahankan oleh banyak keluarga di mana para orangtua sangat antusias untuk memberikan uang, mainan, dan permen kepada anak-anak mereka. Di beberapa negara, ini disebut “Idiyah”, dan di beberapa negara lain disebut “al-Khurjiyah”, diambil dari kata “kharj” yang merupakan tas untuk menyimpan uang.

 

Satu Hari Libur, Banyak Warna
Dengan beragamnya lidah dan bahasa serta beragamnya adat istiadat dari suatu negara ke negara lain, maka cara merayakan hari raya pun berbeda-beda, begitu pula masakannya pun berbeda-beda, karena eratnya keterkaitan antara perayaan sosial, keagamaan, dan makanan tidak bisa diabaikan begitu saja, terutama pada hari raya seperti Idul Fitri yang datang setelah sekian lama berpuasa dari makanan dan kenikmatan.

Di banyak negara, perayaan Idul Fitri dikaitkan dengan persembahan manisan, bahkan di Turki disebut “Seker Bayram” yang berarti “Hari Raya Gula”. Masyarakat Turki sangat menghormati orang lanjut usia ketika mereka menyapa dan mengucapkan selamat Idul Fitri dengan mencium tangan kanan orang tua dan menempelkannya di dahi. Anak-anak berpindah dari satu pintu ke pintu lain di lingkungan mereka, mengucapkan selamat Idul Fitri kepada tetangga mereka, dan menerima permen dan potongan coklat.

Di Kerajaan Arab Saudi, memakan kurma dengan kopi khas Arab dianggap sebagai ritual Idul Fitri, selain manisan seperti “maamoul”, “harissa”, dan lainnya.

Sedangkan di Yaman, “bint al-sahn” adalah manisan paling terkenal yang diasosiasikan dengan hari raya dan acara-acara pada umumnya, yaitu kue bundar yang terbuat dari wafer dari adonan tepung, air, mentega dan telur dengan sedikit gula dan dimaniskan dengan madu.

Di Tunisia, masing-masing negara bagian mempunyai hidangan khas. Hidangan yang paling terkenal adalah hidangan “charmoula”, yaitu pasta yang terbuat dari kismis dan bawang bombay berbumbu yang dimasak dengan minyak zaitun dan dimakan dengan ikan asin, selain makanan penutup seperti “mahkukah”, “rakhimiyah”, dan “rafisah”.

Meskipun orang Maroko menyantap hidangan seperti “ka’b al-ghazal”, “briouat”, dan “maissalat”, mereka lebih suka mengenakan pakaian tradisional seperti “jilbab torbus” dan “jabadur” dengan “fasian balgha”.

Sedangkan hari raya di Mesir tidak akan terasa manis tanpa kue, hidangan “petit four” dan “ghariba”, serta hidangan ikan serta ikan asin dan asap.

Di India dan Pakistan hidangan mie bihun manis yang disebut “sheer khurma” sangat populer, sedangkan di Rusia “pangsit tradisional” menjadi hidangan utama.

 

Cinta dan Welas Asih
“Mudik” atau “pulang kampung” merupakan fenomena di Indonesia pada saat Idul Fitri yang dikenal dengan “lebaran”, di mana Indonesia menjadi saksi pergerakan internal masyarakat terbesar seiring dengan kembalinya banyak orang ke keluarganya di desa asal mereka untuk menghabiskan Idul Fitri bersama, dan mereka bersemangat untuk mengenakan pakaian baru yang disebut “baju baru”.

Ritual terkenal lainnya di Yogyakarta, Indonesia, adalah acara yang disebut “Grebeg Syawal”, di mana Sultan mempersembahkan hadiah-hadiah yang disusun dalam bentuk piramida dan warga berlomba untuk mendapatkan bagiannya, dalam sebuah tradisi yang diyakini membawa berkah. Meriam kayu berukuran besar juga ditembakkan di tepian Sungai Kapuas di Pontianak untuk merayakan hari raya.

Makanan Idul Fitri yang populer di Indonesia antara lain adalah hidangan yang disebut “ketupat”, yaitu nasi yang dibungkus daun kelapa dan dimasak dengan santan, serta hidangan daging pedas yang disebut “rendang”, dan hidangan penutup seperti kue “nastar” yang terbuat dari adonan nanas, tepung, gula, dan kue keju yang disebut “castangel”.

Cita rasa Idul Fitri di Indonesia belum lengkap tanpa kue “lapis legit” yang merupakan salah satu makanan penutup paling terkenal yang dibuat dari banyak lapisan dan membutuhkan keahlian tinggi.

Anak-anak diberikan amplop warna-warni berisi uang sebagai hadiah dari kerabat, dan sebagian besar masyarakat Indonesia mengenakan pakaian tradisional pada Hari Raya Idul Fitri. Dan seperti banyak umat Muslim di seluruh dunia, beberapa dari mereka juga antusias mengunjungi makam orang tercinta yang telah tiada di momen kegembiraan Idul Fitri.

Cinta dan kasih sayang tidak hanya terbatas pada sanak saudara dan keluarga saja. Di Senegal, misalnya, para tetangga dengan senang hati menyantap potongan makanan di rumah seorang di antara mereka, kemudian mereka pindah ke rumah berikutnya, mengajak pemilik rumah untuk makan lebih banyak, demikian seterusnya hingga semua orang saling mencicipi makanannya.

Minoritas Muslim di negara-negara seperti Inggris, Australia, Amerika Serikat, dan banyak negara Eropa merayakan Idul Fitri dengan menghadiri shalat Id di masjid-masjid dan pusat-pusat Islam setempat. Mereka biasanya berkumpul dengan teman-teman, dan ekspatriat di antara mereka berkumpul dengan teman-temannya. Mereka menyiapkan makanan yang mengingatkan akan kampung halaman, dan menghabiskan hari raya Idul Fitri dengan cara tradisional.

 

Permainan dan Semangat Liburan
Bermain dan bersenang-senang adalah sesuatu yang tidak pernah hilang dari semangat Idul Fitri. Di saat banyak keluarga Muslim di seluruh dunia ingin mengunjungi taman hiburan, sejumlah negara memiliki keunikan dengan permainan dan tradisi khusus. Di Afganistan, misalnya, anak-anak hingga orang dewasa menyukai permainan memecahkan telur, yaitu mewarnai dan menggunakan telur rebus dengan tujuan memecahkan telur lawan dan kembali dengan jumlah telur terbanyak.

Di banyak negara, sebagian besar keluarga menginginkan anak-anaknya mengunjungi taman hiburan dan kebun binatang, yang biasanya ramai dikunjungi saat musim liburan. Beberapa juga memilih memanfaatkan liburan untuk berwisata ke pantai.

Di Malaysia, rumah-rumah dihiasi dengan lampu minyak tradisional yang dikenal sebagai “pelita”, dan hidangan tradisional seperti panekuk nasi juga disajikan. Tradisi Malaysia yang paling terkenal saat Idul Fitri adalah membuka pintu rumah bagi semua orang, tanpa memandang agama atau golongan. Jadi semua orang bisa menikmati makanan dan kebersamaan.

Di Singapura, umat Muslim merayakan Idul Fitri, atau disebut “Hari Raya Aidilfitri”, dan perayaannya terutama dirayakan di “Geylang Serai”, yang dihiasi dengan lampu dan warna-warni yang menakjubkan. Masyarakat juga menikmati makanan tradisional yang ditawarkan oleh pedagang seperti permen teh, bubble tea, dan banyak lagi.

Di banyak negara Teluk, serta di India dan Pakistan, perempuan sangat antusias menghiasi telapak tangan mereka dengan henna, yang merupakan ritual kuno dan diwariskan. Perempuan biasa berkumpul di rumah keluarga untuk ritual dekorasi berkelompok, dan ada juga yang pergi ke salon untuk melakukannya.[]