Belum lama ini, Harian Kompas (28/6-2025) mengangkat topik brain rot dengan ulasan mendalam (baca di sini). Sebanyak 17 pakar lintas disiplin dikumpulkan untuk membahas brain rot dalam beragam sudut pandang. Istilah tersebut menggambarkan keadaan penurunan fungsi kognitif akibat konsumsi konten digital singkat yang cepat dan dangkal secara berlebihan. Paparan konten tersebut memicu sekresi dopamin atau zat rasa senang pada otak yang bermuara pada adiksi.
Hal ini dapat dilihat dari waktu yang tersita berjam-jam untuk menggulir layar ponsel pintar. Awalnya berencana hanya melihat media sosial lima atau sepuluh menit untuk melepas jenuh, tetapi justru berakhir sehari penuh di depan layar. Aktivitas yang terus-menerus ini lantas melahirkan otak yang tumpul untuk berpikir kritis dan analitis.
Menyoal Konten Receh
Meski demikian, apakah semua ini salah konten receh yang berseliweran di media sosial? Tulisan Anwar Kurniawan beberapa waktu lalu di Harian Kompas (18/07/2025) menarik untuk dicermati (baca di sini). Mengambil tajuk “Membela Konten Receh”, ia menegaskan: “Jangan-jangan brain rot hanyalah jelmaan baru untuk kecemasan lama. Ia laksana ketakutan elite budaya pada cara anak muda menikmati dunia dan merepresentasikan realitas. Sejarah mencatat hal serupa. Dulu, komik juga disebut perusak moral. Musik rock dianggap liar. Film horor dituduh membodohi. Bahkan kajian agama di internet sempat dianggap banal.”
Memang konten receh tak selamanya merusak. Bahkan konten receh itu bisa jadi ekspresi masyarakat untuk mengkritik fenomena sosial dan politik yang sudah kebablasan. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan video pendek di Tiktok dan Instagram untuk mengkritik kebijakan pemerintah dengan nada sarkasme.
Di sinilah perlu melihat “konten receh” tidak dengan kaca mata dualitas benar salah. Apa yang selama ini dianggap remeh temeh nyatanya mempunyai kompleksitas. Bagi kebanyakan orang, mengonsumsi konten receh adalah cara instan dan gratis untuk meraih kesenangan di tengah tuntutan kehidupan. Sebaliknya, sebagian kecil orang mempunyai keuntungan untuk membaca buku berlama-lama di perpustakaan atau menikmati pemandangan alam di pelosok negeri.
Dengan kata lain, konten receh itu adalah hal yang sangat aksesibel bagi masyarakat. Sayangnya, sebagaimana diungkapkan berbagai penelitian, berlebihan mengonsumsi informasi receh dapat menurunkan daya serap otak. Banyak cerita dari kawan, ketika terlalu lama terpapar konten di media sosial yang menghibur justru menghasilkan stres baru di dunia nyata. Mereka jadi malas bertemu dengan orang dan terus sibuk dengan scrolling media sosial.
Dampak Brain Rot Bagi Anak
Nah, yang lebih mengkhawatirkan ketika brain rot ini menyerang anak-anak. Pemikiran mereka harusnya lebih dikembangkan lagi, tetapi justru tenggelam dalam buaian semu konten receh. Hal ini dapat dilihat dan dirasakan oleh para orang tua, guru dan dosen yang berinteraksi dengan anak muda. Memang belum ada penelitian kuantitatifnya, tetapi dari pengamatan penulis selama mengajar, banyak mahasiswa yang mengeluh dan cepat jenuh dengan artikel yang hanya beberapa halaman saja.
Daya baca manusia modern jauh menurun karena sering dimanjakan dengan visual di dunia digital. Meski demikian, salah satu hal penting dari teknologi, sebagaimana kata Harari adalah mekanisme pengoreksi diri. Mekanisme inilah yang membuat teknologi terus berkembang pesat. Maka konten receh itu sebenarnya bisa diatasi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Alih-alih melawan atau justru menghapus media sosial, yang perlu dilakukan adalah penyesuaian diri, beradaptasi seraya mempertahankan nilai-nilai moral manusia yang diyakini.
Kalau mau menggunakan analogi, telur atau ayam dulu, sama seperti konten receh atau pembuatnya dulu. Konten receh itu bisa hadir di media sosial juga karena pembuat kontennya sudah terpapar dengan narasi populis yang singkat dan menjenuhkan. Dengan kata lain, konten receh adalah respons dari kualitas sumber daya manusia Indonesia hari ini ditambah dengan permainan algoritma media sosial. Sehingga untuk melawan brain rot sebagai dampak dari maraknya konten receh, yang perlu dibenahi adalah manusianya. Teknologi tak dapat disalahkan karena ia ibarat pisau yang bergantung pada si empunya. Justru yang perlu diberi pemahaman adalah sang pemilik pisau, bagaimana cara menggunakan pisau dengan tepat.
Terlebih bagi generasi muda, dunia mereka adalah dunia digital dengan kecanggihan teknologi. Karenanya melarang mereka untuk hidup berdampingan dengan teknologi juga tidak tepat. Sebaliknya ada beberapa poin yang dapat dilakukan bagi siapa saja yang mau meminimalisir brain rot bagi manusia.
Membudayakan Membaca Buku
Upaya pertama yang perlu dilakukan adalah membudayakan membaca buku. Banyak penelitian yang menyebutkan membaca dapat meningkatkan kecerdasan otak dan memperlambat atau mengurangi risiko terjangkit penyakit demensia dan alzheimer. Sedangkan bagi anak, membaca buku dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan literasi terutama dengan terserapnya berbagai kosakata baru yang diperolehnya dari membaca buku.
Proses memahami setiap kata yang dibaca menjadi usaha yang menstimulus otak untuk terus bekerja. Makin sering otak diajak untuk berpikir, potensi terjangkit brain rot pun kian kecil. Nah, agar anak mau membaca buku, teladan pertama yang dilihatnya adalah dari orang tua. Karenanya lingkungan berperan penting menciptakan budaya literasi. Akan sangat mudah menanamkan kebiasaan membaca pada anak yang orang tuanya sudah lahap membaca buku.
Namun, bukan berarti orang tua yang tidak terbiasa membaca, secara otomatis melahirkan anak yang juga malas membaca. Orang tua bisa mengondisikan lingkungan yang ramah literasi. Misal dengan mengoleksi buku bacaan atau jika itu dirasa berat, membawa anak setiap pekan ke perpustakaan juga bisa menumbuhkan minat baca. Dengan mencintai buku, anak akan tumbuh dengan literasi yang bermutu. Juga terhindar dari kecanduan gawai setiap waktu.
Menekankan Penghargaan pada Proses
Selain membaca, anak juga perlu ditanamkan nilai menghargai proses. Ini juga hal penting yang sering kali dilupakan di era digital yang serba instan. Kecepatan meraih sesuatu yang diinginkan juga memperparah rusaknya otak (brain rot). Orang akan dengan mudah marah ketika hal yang diinginkan tidak segera didapatkan. Ketika sedang asyik berselancar di media sosial, lalu jaringan nirkabel bermasalah, anak akan mudah mengeluh dan gusar.
Meski kecepatan juga penting, tetapi keakuratan dan ketepatan juga genting. Tidak semua yang cepat berakhir tepat. Di sinilah perlunya memberikan pemahaman kepada anak bahwa alih-alih menuntut cepat, menghargai proses begitu nikmat. Menanamkan arti penting sebuah proses dapat dilakukan dalam segala lini kehidupan.
Contohnya anak tidak langsung dituruti keinginannya untuk mendapatkan gawai yang diinginkan, tetapi ada proses yang perlu dia lewati: membaca buku, belajar dengan giat agar mendapat prestasi di kelas, atau usaha lain yang membuatnya bekerja dengan optimal. Ini metode reward and punishment dengan penekanan pada prosesnya, bukan tujuannya.
Mengoptimalkan Teknologi sebagai Second Brain
Setelah anak terbiasa membaca dan menghargai proses, barulah mereka juga dikenalkan bahwa kehadiran teknologi dapat membantu kehidupan manusia. Meski demikian, teknologi tidak akan dapat menggantikan interaksi manusia seluruhnya. Jika dioptimalkan, teknologi bisa menjadi otak kedua (second brain) yang membantu, bukan merusak otak hingga membuat buntu.
Dalam buku “Building a Second Brain”, Tiago Forte membagikan langkah praktis bagaimana menggunakan teknologi sebagai otak kedua. Dari istilahnya saja dapat kita cermati, otak kedua bukan pertama. Otak yang utama tetaplah kecerdasan bawaan yang dimiliki manusia. Barulah otak kedua yang dilakukan oleh akal imitasi (artificial intelligence) dapat difungsikan dengan maksimal. Pola pikir ini melihat bahwa teknologi dapat menjadi otak kedua manusia. Sebab bagaimana pun canggihnya otak manusia, ia terbatas. Ada hal-hal yang tak mampu diingat seluruhnya oleh manusia.
Manusia dapat mengingat narasi umum, tetapi akan kesulitan menghafalkan narasi spesifik seperti kode sandi berbagai fitur yang dimiliki. Manusia dapat menjadwalkan berbagai kegiatan, tetapi kadang ada saja yang berbenturan karena terlupakan. Nah, hal tersebut dapat dilimpahkan pada otak kedua manusia yaitu teknologi. Aplikasi yang paling sederhana misalnya adalah Notes yang dapat membantu mencatat segala aktivitas manusia. Mengapa tidak mencatat di kertas? Sebab kertas bisa hilang, rusak dan terbakar. Jika sudah demikian, tak ada memori yang tersisa. Dengan bantuan teknologi, informasi yang dicatat bisa tersimpan dengan rapi tanpa takut hilang atau rusak lagi.
Dalam konteks kehidupan anak, second brain dapat digunakan dengan mengatur waktu aktivitasnya melalui alarm. Kapan dia bangun tidur, mandi, sekolah, dan sebagainya. Tentu orang tua tetap jadi pengingat utama sang anak, tetapi kehadiran orang tua dibantu dengan nada alarm yang juga mengingatkan buah hati. Begitu pula dalam mengakses konten di media sosial. Anak diberikan waktu, screen time, untuk mengakses informasi di internet. Tetapi ketika waktunya sudah habis, aplikasi yang ada di gadget secara otomatis tak dapat digunakan.
Orang Tua Pionir Pendidikan
Memang yang menjadi PR pada poin ini adalah pemahaman orang tua yang komprehensif terkait teknologi. Sebelum menggunakan teknologi sebagai second brain pada anak, orang tua atau pun guru sudah harus familiar dengan berbagai fitur yang ada. Sebagaimana kata Imam Ali: “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, bukan zamanmu”. Mafhumnya, untuk bisa mendidik anak sesuai dengan zamannya, orang tua harus dengan rendah hati belajar lagi, bagaimana zaman ini berputar.
Ketika orang tua dan pendidik mau membuka diri untuk belajar hal-hal baru, di situlah kearifan akan muncul. Bukan semata melarang apalagi menegasikan teknologi sepenuhnya sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa generasi old yang memang tidak dibesarkan dengan teknologi. Tetapi membiarkan sepenuhnya penggunaan teknologi mempunyai catatan besar. Karenanya pilihan bersikap pada teknologi sekarang berada pada tangan manusia: apakah mau menciptakan brain rot atau second brain?