Aku masih kecil, bahkan tidak pernah ingat memori kelam tumbangnya Orde Baru 1998. Bukan hanya karena saat itu masih balita, tapi karena aku lahir di pelosok Kalimantan yang sepi, tak terjamah “pembangunan”.
Sayup-sayup, ingatanku mulai terbentuk ketika pemilu pertama presiden tahun 2004. Ada kegembiraan, setelah sekian lama negara ini dikuasai rezim dan dipaksa untuk menguning semua. Seiring berjalannya waktu, rezim Orba ternyata tak pernah tumbang. Bahkan, saat ini, tokoh utama langgengnya pemerintahan tersebut akan diusulkan menjadi pahlawan.
Dari sini kita dapat bertanya, siapa sebenarnya yang dapat disebut pahlawan? Untuk menjawab itu, Bung Karno sudah mengatakan, “JAS MERAH”, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kita bisa belajar dari sejarah.
Karenanya, meskipun generasi Alpa, Z, bahkan milenial akhir seperti saya yang tidak punya banyak kenangan rezim Orba, kita butuh bersuara. Setidaknya dengan dua alasan. Pertama, alasan historis. Kita belajar sejarah dari mereka yang menjadi korban kebengisan rezim otoriter. Kedua, alasan pragmatis. Bahwa sejarah itu bisa berulang. Seorang tiran itu selalu ada di setiap zaman.
Maka dengan bersuara lantang menolak Soeharto menjadi pahlawan, sebenarnya adalah gerakan untuk menatap masa depan dengan secercah harapan. Dengan dua alasan ini, generasi muda tidak boleh apatis melihat kondisi negeri saat ini.
Soeharto memang tidak sepenuhnya bersalah selama memimpin. Ada sumbangsihnya juga dalam memerintah. Terutama di awal kepemimpinannya. Bagi sebagian orang, tumbangnya Orde Lama dan dibasminya PKI adalah harapan baru. Muncullah Soeharto yang membawa angin perubahan. Banyak orang yang memandang ia sebagai titisan Sabdo Palon, sebuah lakon dalam dongeng Majapahit. Ia adalah sosok lama yang dirindukan dan menumpas kezaliman.
Sebenarnya sejak awal kepemimpinannya dengan menumpas PKI pun sudah mempunyai catatan kelam. Tragedi 1965 amat memilukan. Cak Nur menyebutnya dengan ungkapan yang lebih halus, “prosesnya itu agak berlebihan”. Dalam perjalanannya memimpin, Soeharto mengatur strategi utama, ada dua obsesinya: pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik. Dan benar, di masanya, pertumbuhan ekonomi meningkat dengan angka rata-rata 6-7% per tahun. Data ini disebutkan oleh Zainal Arifin Mochtar dan Muhidin M. Dahlan dalam buku “Kronik Otoritarianisme Indonesia: Dinamika 80 Tahun Ketatanegaraan Indonesia”.
Tak heran, sebagian orang mengidolakan rezim Soeharto karena pertumbuhan ekonomi tersebut ditambah dengan “kestabilan” politik. Dari luar, rezim Orba tampak seperti surga yang menenangkan rakyat. Rakyat dininabobokan dengan jargon: “Pembangunan Lima Tahun” (Pelita).
Namun, di tengah gegap gempita program pemerintah dari ‘Bapak Pembangunan’ ini, Orba mempunyai catatan kelam.
Pertama, Pancasilaisme. Belajar dari pendahulunya, Soeharto tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Jika Soekarno memahami semangat Pancasila dengan ruh sosialis sehingga lahirlah istilah Nasionalis, Agamis dan Komunis (Nasakom), maka Soeharto menutup pintu ideologi luar. Baik komunis maupun islamis, semua terlarang. Satu-satunya ideologi yang diterima adalah Pancasila. Penafsirannya pun tidak bisa diotak-atik. Orang dulu mengenal istilah butir-butir pengamalan Pancasila yang dihafal dan ditatar dalam kegiatan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau dikenal juga Eka Prasetya Panca Karsa.
Dengan gerakan tersebut, seluruh masyarakat Indonesia, terutama pegawai pemerintahan wajib berideologi Pancasila. Ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah pada awalnya menolak. Namun, akhirnya menerima setelah terjadi negosiasi dengan pemerintah. Puncaknya, pemerintah pun menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. “Pancasila tidak pernah sakti. Justru itu ia berarti”, demikian kata Goenawan Mohamad, salah seorang tokoh yang ikut menurunkan rezim Orba.
Mengapa pancasilaisme ini bermasalah? Sebab Pancasila hampir-hampir dianggap keramat. Dengan budaya Jawa yang masih melekat, Pancasila pun dipahami dengan kekuatan sakti mandraguna. Seolah semua masalah selesai dengan P4. Pancasila juga menjadi bahasa eksklusif yang dimiliki penguasa. Ada keseragaman. Bagi mereka yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila, akan “diamankan”. Istilah ini pun khas Orba. Mereka yang “diamankan” sejatinya justru tidak aman.
Pancasilaisme hari ini mirip dengan gerakan pemerintah seperti Moderasi Beragama. Secara substansi, baik Pancasila maupun moderasi sebenarnya punya wawasan yang benar. Tetapi dengan mengeksklusifkan keduanya sebagai bagian integral dari pemerintah dengan tafsirannya sendiri, menjadi senjata ampuh untuk menjatuhkan lawan politik. Mereka yang mengkritik pemerintah akan dituduh berencana membuat makar, melawan pemerintah yang sah, dan sebagainya.
Puncaknya, Pancasilaisme di era Soeharto dilakukan dengan cara represif dan kekerasan. Jika kritik dilawan dengan kritik, kata dibalas dengan kata, tulisan dibalas dengan tulisan, maka itu tak menjadi soal. Tetapi dalam realitasnya kala itu, tulisan justru dibalas dengan tembakan. Ada istilah Penembak Misterius (Petrus) yang membunuh orang-orang ‘bermasalah’ kala itu tanpa melalui jalur pengadilan. Bagi generasi Z dan A yang sering menonton siniar kriminal Nadia Omara, ia sering mengangkat kisah kriminal pembunuhan misterius di masa Orba.
Represif terhadap sipil ini berkaitan dengan dosa kedua Orba, yaitu militerisme. Tak dimungkiri, Soeharto pun adalah seorang jenderal. Ia besar dalam pendidikan militer. Pun dalam bernegara, peran militer juga dibutuhkan. Tak ada yang menolak eksistensinya. Yang menjadi catatan penting, perlu pembagian kerja militer dan sipil. Inilah yang tidak terjadi di era Soeharto memimpin.
Ada istilah dwi-fungsi, artinya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, gabungan militer tentara dan kepolisian), dapat memainkan peran ganda sebagai militer dan politisi. ABRI memiliki peran angkatan bersenjata untuk memastikan pertahanan dan keamanan negara. Pada saat yang sama, ABRI juga bertindak sebagai entitas politik yang berfungsi mengontrol rakyat dan pemerintahan.
Sederhananya, ABRI mengurus seluruh masalah di negeri ini, mulai dari maling ayam di desa hingga negara asing yang mau masuk ke wilayah Indonesia. Militer juga menjadi satu bagian yang masuk dalam kursi DPR yang keterwakilannya dipilih langsung oleh presiden.
Dari spirit militerisme ini, dapat dilihat bagaimana Soeharto mengamankan kekuasaannya selama 32 tahun. Kalaulah selama ia memimpin tidak ada konflik besar-besaran, semua aman terkendali, itu bukan karena kepemimpinannya sukses, tetapi ada ketakutan bagi mereka yang mau bersuara. Damai yang dirasakan saat itu adalah damai pasif, sebab semua diatur dan dipaksa untuk tak bertikai. Tidak boleh ada suara pedas pada pemimpin. Semua rumah ibadah pun diawasi penyelenggaraannya.
Potret Orba kala itu mengingatkanku pada Arc Dressrosa di kisah One Piece. Dressrosa adalah satu negara yang terlihat subur dan makmur. Rakyatnya kelihatan bahagia. Namun, ternyata daerah itu dipimpin oleh tirani dan manipulasi yang disembunyikan di balik fasad pulau yang terlihat gembira. Dengan gambaran harga pangan murah dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, itu sudah cukup membuat rakyat menjadi diam, bungkam.
Dressrosa menggambarkan negara yang dibuat seragam. Semua rutinitasnya sama, makanannya sama, dan ketaatannya pada pemimpin pun sama. Ini juga yang terjadi kala itu. Seolah seragam padahal hakikatnya Indonesia ini beragam. Dari Sabang sampai Merauke, semua hendak disetarakan dengan Jawa sebagai titik sentrumnya. Jawaisme adalah kritik Orba yang ketiga. Sebenarnya presiden dari Jawa tak ada soal. Yang menjadi permasalahan ketika menggunakan cara hidup Jawa untuk mengatur Indonesia yang bhinneka. Padahal budaya Jawa belum tentu sesuai dengan tradisi hidup di Papua.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya politik makanan. Kita tahu, swasembada pangan terjadi di era Soeharto. Namun, di balik swasembada itu, ada budaya lokal masyarakat Papua, Sulawesi, Kalimantan yang diberangus. Mereka yang terbiasa memakan sagu dipaksa untuk makan nasi juga. Padahal kontur tanahnya belum tentu cocok untuk ditanami padi.
Belum lagi dari aspek pendidikan. Bahkan hingga kini, kita masih mengingat kalimat yang diajarkan di sekolah dasar, “Ini Ibu Budi”. Mengapa harus Budi? Padahal di Papua lebih banyak nama Yohanes dan di Aceh nama Ahmad. Lagi-lagi, Budi itu adalah simbol Jawa. Dari ujung Barat sampai Timur, pola pendidikannya diajarkan Jawa-sentris. Hingga kini, pengaruh Jawa masih terlihat dengan jelas. Jawa adalah kunci, bagi sebagian orang. Hanya satu presiden yang berasal dari luar Jawa, yaitu B.J. Habibie. Belum lagi dari aspek pembangunan, yang disentuh hanyalah Jawa.
Sekali lagi, tulisan ini tidak sedang menyerang orang Jawa. Budaya Jawa juga mempunyai kearifan yang elok. Namun, yang dipertanyakan adalah ketika Jawa menjadi ideologi untuk memimpin negara yang beragam ini. Sudah banyak yang membahas ini, misal karya John James MacDougall dalam “Indonesia: Economic Growth and Political Order”. Cak Nur pun sebagai tokoh bangsa yang dekat dengan Soeharto juga menyampaikan pandangannya, bahwa Soeharto memimpin negeri ini dengan sangat njawani. Salah satu karakter utama dari budaya Jawa, yang juga dapat ditemukan di beberapa budaya lainnya adalah maskulinitas yang kuat. Istilah wanita bagi perempuan juga adalah hasil dari budaya Jawa, wani ditata.
Problem maskulinisme hingga ketimpangan gender dapat dilihat dari rezim Orba. Karenanya, semangat reformasi mengamanatkan keterlibatan perempuan minimal 30% di parlemen. Hal ini berangkat dari minimnya partisipasi perempuan dalam pemerintahan.
Bagi beberapa kalangan yang membela, mungkin akan menjawab, di era Soehartolah Dharma Wanita didirikan. Dharma Wanita adalah organisasi perempuan yang berisi istri-istri pegawai negeri sipil dan BUMN. Sejak awal berdiri, Dharma Wanita dibuat untuk mendampingi suami bekerja dan berpolitik. Sebagai anak dari ibu yang aktif di Dharma Wanita dulu tahun 90-an, saya melihat ada celah krusial. Pertama, dari segi nama, “wanita”, falsafah bahasanya sudah tidak setara. Istri pejabat ini harus berani mengikuti apa kata suami. Mereka tidak boleh membantah. Kedua, dari aspek tata kelola, Dharma Wanita hanya pelengkap bagi suami. Agar istri pejabat ada kegiatan ketika sang suami sedang kunjungan ke suatu daerah, dibuatlah Dharma Wanita.
Justru semangat Dharma Wanita sangat misoginis. Sebab melihat bahwa pekerjaan wanita berbeda dengan pekerjaan pria, sehingga mereka perlu dipisahkan. Padahal pekerjaan tak mengenal identitas gender. Pekerjaan melihat kapasitas. Inilah yang absen dalam pemerintahan Orba. Perempuan tak diperhitungkan suaranya. Bahkan banyak yang menjadi korban kekerasan.
Ketika program Keluarga Berencana digulirkan, perempuan di desa banyak yang diancam dengan kekuatan militer untuk menggunakan alat kontrasepsi. Salah satu korban perempuan yang namanya melegenda dan perjuangannya terus dilanjutkan adalah Marsinah. Sebagai buruh perempuan yang mendapatkan pengalaman diskriminatif, ia bersuara lantang. Namun sayangnya ia harus tumbang dalam berjuang.
Marsinah hanya satu di antara banyak perempuan yang menjadi korban, dari tragedi 1965 hingga 1998. Semua berkaitan dengan kekuatan represi militer yang menekan kehidupan sipil. Siapa dalang dari itu semua? Silakan jawab di hati masing-masing. Naasnya, kini Marsinah dan Soeharto sama-sama menjadi pahlawan.
Tahun 1998 adalah puncak dari kegeraman dan kemarahan seluruh elemen masyarakat. Mereka turun ke jalanan menuntut presiden yang sudah lama berkuasa nan korup agar segera mangkat dari jabatan. Itulah yang kini kita sebut reformasi. Ada angin segar perubahan sebagaimana dulu di awal kala Soeharto menggantikan Soekarno.
Sayangnya, negeri ini bahkan belum merasakan reformasi sejati. Perlahan, semangat Orde Baru itu hidup kembali. Mereka yang berkuasa adalah anak-bapak, mertua-menantu, suami-istri. Hukum bisa diubah demi memuluskan koleganya ke singgasana.
Di tengah persimpangan jalan itu, negeri ini akan mengangkat sosok dengan catatan kelam di atas sebagai pahlawan. Bisa jadi, bukan salah sang tokoh, tapi kitalah yang tak mampu melihat kebenaran atau sudah tenang dengan kepalsuan.
Kalaulah, 32 tahun itu waktu yang diidamkan, hingga ada tagline “penak jamanku to?”, apakah kita mau hidup (seolah) damai padahal takut tiba-tiba menghilang. Orba tak pernah senyap, ia hanya berkamuflase, berganti topeng, dan kita rakyat Indonesia dengan senang gembira menyebutnya sebagai Pahlawan.
Selamat Hari Pahlawan bagi para pencari keadilan.

