Site icon Rumah KitaB

Demonstrasi Pati: Luka Mendalam di Bulan Kemerdekaan

Agustus selalu identik dengan semangat kemerdekaan. Setiap sudut kota dihiasi bendera merah putih, lagu-lagu nasional berkumandang, dan masyarakat disibukkan dengan perayaan. Namun, di balik euforia itu, sebagian warga mengalami realitas yang jauh dari kata merdeka.

Pada 13 Agustus 2025, ribuan warga Pati, Jawa Tengah, turun ke jalan menuntut pembatalan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Demonstrasi ini menjadi sorotan nasional dan viral di media sosial, tetapi di balik itu, kelompok marginal merasakan luka yang lebih mendalam daripada sekadar kerusuhan jalanan.

Data dari Polda Jawa Tengah mencatat 34 orang mengalami luka-luka selama aksi, meski isu adanya korban tewas segera dibantah. Angka ini mungkin terlihat sebagai catatan statistik, tetapi bagi kelompok perempuan, penyandang disabilitas, dan warga miskin, pengalaman menghadapi ketidakadilan jauh lebih kompleks. Mereka bukan hanya menghadapi risiko fisik di jalanan, tetapi juga realitas sosial yang membatasi akses terhadap hak dasar, kesempatan ekonomi, dan perlindungan hukum.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah 2024, sekitar 15 persen perempuan di wilayah tersebut mengalami kesulitan akses pendidikan tinggi karena keterbatasan ekonomi. Sementara itu, penyandang disabilitas menghadapi tantangan ganda: keterbatasan fisik dan minimnya perhatian kebijakan publik terhadap kebutuhan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan penyandang disabilitas di Indonesia sering mengalami diskriminasi ganda, baik secara sosial maupun politik, sehingga akses mereka terhadap partisipasi demokrasi terbatas (Ruslin, Alamsyah, & Wulandari, 2024).

Demonstrasi di Pati, meskipun sah secara hukum, memperlihatkan paradoks kemerdekaan ini. Mereka yang memiliki akses transportasi, informasi, dan waktu lebih luang mampu hadir dan menyuarakan tuntutannya, sedangkan kelompok marginal seringkali tersisih.

Selain itu, demo ini menyoroti kesenjangan dalam representasi dan partisipasi sosial. Perempuan dan penyandang disabilitas, yang seharusnya menjadi bagian integral dari proses demokrasi, sering tidak terlihat dalam pengambilan keputusan. Aspirasi mereka jarang dipertimbangkan dalam kebijakan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan formal belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam kemerdekaan substantif, di mana setiap warga negara dapat merasakan haknya secara setara (Rahakbauw & Salakory, 2017).

Kebijakan publik yang tidak inklusif terhadap kelompok marginal mencerminkan ketimpangan struktural yang lebih luas. Dalam konteks masyarakat adat, buku Difabel (Perempuan) dalam Masyarakat Adat menekankan bahwa budaya dan tradisi sering memperburuk eksklusi sosial terhadap perempuan penyandang disabilitas (Sasmitha & Zubaedah, 2017).

Mereka menghadapi hambatan ganda: diskriminasi berdasarkan gender dan keterbatasan fisik, yang membatasi kemampuan mereka untuk berpartisipasi penuh dalam proses sosial maupun politik. Dalam konteks demonstrasi, hal ini membuat kelompok marginal sulit menyuarakan hak-haknya, meski aspirasi mereka sama sahnya dengan warga lainnya.

Lebih jauh, demonstrasi Pati juga menjadi cermin bagaimana media dan opini publik membentuk persepsi tentang legitimasi aksi. Media sosial memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi, namun sering kali narasi yang dominan menekankan kerusuhan, massa, atau konflik dengan aparat, sementara pengalaman kelompok marginal nyaris hilang.

Ketidakmerataan representasi ini menambah luka psikologis, karena aspirasi dan hak mereka tidak diakui secara serius oleh publik maupun pembuat kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak hanya soal hak formal, tetapi juga soal pengakuan dan representasi yang adil dalam ruang publik.

Konteks ini membuka ruang refleksi yang lebih luas menjelang Hari Kemerdekaan. Merdeka bukan sekadar hak formal yang tercatat dalam undang-undang. Merdeka berarti setiap warga negara dapat menikmati hak dasar secara setara, akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan perlindungan hukum. Demonstrasi publik, kebijakan pemerintah, dan peran media sosial harus menjadi sarana untuk memperkuat keadilan dan inklusi, bukan justru memperdalam ketimpangan. Jika hak-hak kelompok marginal tetap diabaikan, perayaan kemerdekaan hanya menjadi simbol kosong tanpa makna substansial bagi mereka yang selama ini terpinggirkan.

Fenomena di Pati menunjukkan bahwa luka mendalam di bulan kemerdekaan bukan sekadar luka fisik akibat demonstrasi. Lebih dari itu, ini adalah luka sosial, politik, dan psikologis bagi mereka yang selama ini tidak memiliki akses setara dalam kehidupan bernegara.

Kemerdekaan nasional harus diterjemahkan ke dalam pengalaman nyata yang inklusif, di mana suara marginal didengar, hak-hak mereka dihormati, dan kesetaraan benar-benar dijalankan. Hanya dengan demikian, kemerdekaan tidak lagi menjadi simbol semu, melainkan pengalaman yang dirasakan oleh seluruh warga, tanpa terkecuali.

Selain itu, perlunya reformasi kebijakan publik yang inklusif menjadi semakin jelas. Setiap keputusan pemerintah, mulai dari pajak hingga alokasi fasilitas publik, harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kelompok marginal. Perempuan penyandang disabilitas, misalnya, sering kali menghadapi hambatan akses fisik dan sosial yang membuat mereka sulit ikut serta dalam proses sosial maupun politik. Buku Sasmitha & Zubaedah (2017) menggarisbawahi bahwa kelompok ini membutuhkan perlindungan tambahan agar kesetaraan substantif dapat tercapai, bukan sekadar formalitas hukum.

Lebih jauh lagi, pendidikan publik tentang inklusi sosial dan kesetaraan gender menjadi penting untuk membangun budaya demokrasi yang benar-benar merata. Ketimpangan akses pendidikan dan informasi memperkuat siklus marginalisasi. Jika kelompok marginal tidak memiliki ruang untuk didengar, demokrasi itu sendiri menjadi cacat. Demonstrasi Pati, meski berhasil menarik perhatian media, tetap menyisakan pertanyaan besar: seberapa jauh suara kelompok yang paling rentan didengar dan diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan?

Akhirnya, luka mendalam di bulan kemerdekaan harus dipahami sebagai refleksi nyata dari ketimpangan sosial yang masih terjadi. Demonstrasi bukan sekadar aksi jalanan, tetapi panggilan bagi pemerintah dan masyarakat untuk menegakkan keadilan sosial, inklusi, dan kesetaraan. Kemerdekaan sejati baru akan tercapai ketika semua warga, terutama yang selama ini marginal, benar-benar merasakan haknya, tanpa terkecuali. Dengan demikian, perayaan kemerdekaan bukan hanya simbol nasional, tetapi juga cerminan keadilan yang nyata di tengah masyarakat.

 

Referensi

BPS Jawa Tengah. (2024). Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Tahun 2024 Provinsi Jawa Tengah. https://jateng.bps.go.id

Ruslin, I. T., Alamsyah, A., & Wulandari, N. (2024). Sosialisasi politik pada perempuan disabilitas: Suatu perspektif collaborative governance. Vox Populi: Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 7(2), 109–127. https://tes-ojs.uin-alauddin.ac.id/index.php/voxpopuli/article/download/52502/21146

Rahakbauw, N., & Salakory, D. M. (2017). Perlindungan sosial bagi perempuan disabilitas: Studi di Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maluku. Aristo: Jurnal Sosial dan Humaniora, 6(1), 145–163. https://www.researchgate.net/publication/322017224

Sasmitha, T., & Zubaedah, A. (2017). Difabel (Perempuan) dalam Masyarakat Adat. Lembaga SAPDA.

Exit mobile version