Site icon Rumah KitaB

Seminar dan Peluncuran Monografi-Film Dokumenter Kawin Anak “Fenomena Kerja Kuasa Tersamar dan Yatim Piatu Sosial”

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

KAMIS, 21 April 2016, Rumah KitaB menyelenggarakan Seminar dan Peluncuran Monografi-Fim Dokumenter Kawin Anak “Fenomena Kerja Kuasa Tersama dan Yatim Piatu Sosial” di Hotel Bidakara, Ruang Bima, Lt. 2. Acara ini juga untuk merenungkan kembali perjuangan R.A. Kartini; emansipasi pendidikan perempuan ternyata terhambat oleh praktik perkawinan anak perempuan di usia anak-anak.

Acara diisi dengan talkshow sumbangan penelitian dalam menutup kesenjangan informasi dan produksi pengetahuan untuk advokasi kawin anak oleh Dr. Mia Siscawati, Direkstur Pusat Kajian gender UI. Narasumber lain adalah Ibu Nihayah Wafiroh M.A., anggota Komisi IX DPR RI, Bapak Wahyu Widiana, Senior Advisor AIPJ, dan Ibu Nyai Dewi Kholifah, Pengasuh Pondok Pesantren Putri Aqidah Usymuni Sumenep, yang mempraktikan gagasan inovatif mempertahankan santri yang dikawinkan untuk tetap sekolah di pesantren sementara di sekolah umum masih jadi persoalan. Catatan penutup disampaikan oleh Prof. Dr. Machasin, MA., Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, yang mewakili Menteri Agama RI, Drs. H. Lukman Saifuddin yang berhalangan hadir. Acara ini dipandu oleh Ibu Debra yang bertindak sebagai MC.

Empat belas buku yang diluncurkan merupakan hasil penelitian selama satu tahun dalam upaya pemenuhan informasi tentang hambatan dalam pemenuhan hak-hak reproduksi perempuan. Di Indonesia 1 dari 5 perempuan telah hamil di usia 17 tahun yang berarti kawin di ambang usia 16 tahun. Dengan populasinya yang besar, Indonesia masuk dalam 10 besar praktik perkawinan anak di dunia. Empat belas buku tersebut beserta film dokumenter “Memecah Kawin Bocah” diluncurkan oleh Ibu Dra. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M. Hum., Ketua Yayasan Puan Amal Hayati.

Direktur Rumah KitaB, Ibu Lies Marcoes dalam sambutannya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh peserta yang berkenan menghadiri acara tersebut. Ia mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan Rumah KitaB berusaha mengisi celah yang luput diperhatian dalam penelitian tentang kawin anak yaitu penggunaan argumentasi keagamaan untuk pembenaran perkawinan anak. Dalil agama bukan hanya dipakai kelembagaan agama tetapi juga kelembagaan negara seperti MK saat menolak Judicial Review pasal 7 UU Perkawinan tentang batas usia kawin.

Apresiasi datang dari Ibu Mia Siscawati yang berkenan menyampaikan pandangannya terkait penelitian yang dilakukan Rumah KitaB. Menurutnya, hasil penelitian ini sangat luar biasa, bukan capaian yang kecil, dan akan menjadi rujukan sangat penting bagi para peneliti di lembaga-lembaga lain. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggabungkan antara pendekatan antropologis dan pendekatan feminis. Pendekatan antropologis memungkinan tim peneliti Rumah KitaB menggali persepsi, cara pandang, dan memahami secara mendalam makna perkawinan anak dari anak-anak perempuan yang menjadi korban, atau anak-anak perempuan yang memilih memasuki perkawinan anak atas kehendak mereka sendiri, atau sudut pandang para orangtua, para sesepuh kampung, para tokoh agama, dan seterusnya. Sementara pendekatan feminis memungkinkan tim peneliti untuk memberi perhatian terhadap situasi yang dihadapi anak-anak perempuan yang menjadi korban perkawinan anak atau pelaku perkawinan anak. Pendekatan feminis tidak hanya menjadikan anak perempuan sebagai narasumber utamanya, tetapi juga erat kainnya dengan pemberdayaan kaum perempuan dan kaum marjinal. Yang paling penting, pendekatan feminis menempatkan anak-anak perempuan korban perkawinan anak atau pelaku perkawinan anak sebagai subyek penelitian dan bukan obyek penelitian. Hal ini tentu saja membuat mereka tampil, membuat mereka ada. Bukan hanya ada di angka, tetapi menjadikan mereka benar-benar fisible.

Dengan menggabungkan antara pendekatan antropologis dan feminis, selain menjadikan menempatkan anak-anak perempuan korban perkawinan anak atau pelaku perkawinan sebagai subyek penelitian, tim peneliti Rumah KitaB menurutnya juga berhasil menggambarkan kompleksitas perkawinan anak. Artinya, perkawinan anak tidak hanya dilihat dari satu sebab, misalnya karena tradisi saja, atau karena ekonomi saja, tetapi dilihat dari banyak sebab, sehingga penyelesaiannya pun tidak bisa sederhana atau setengah-setengah. Itulah kekuatan dari penelitian ini.

Pada sesi diskusi, Ibu Nihayatul Wafirah, anggota Komisi IX DPR RI, menyatakan bahwa seluruh elemen di negeri ini punya PR yang sama terkait perkawinan anak. Ia menyebut kasus di Bondowoso, yang menurut data terakhir Februari 2016 angka perkawinan anak mencapai 44%. Ia bercerita tentang pengalamannya mengunjungi salah satu rumah sakit di Bondowoso. Di sana ia banyak menemukan bayi yang lahir tidak sempurna. Menurut para dokter yang bertugas, rata-rata penyebabnya adalah karena para ibu yang melahirkannya belum genap 20 tahun. Jadi, perkawinan anak bukan hanya merampas hak hidup anak-anak perempuan yang menjadi korban perkawinan anak, tetapi juga merampas hak hidup para bayi yang dilahirkan. Maka untuk mengurangi angka perkawinan anak, kajian ulang terhadap UU Perkawinan 1974 sangat perlu dilakukan. Dan hasil penelitian Rumah KitaB kiranya bisa menjadi rujukan penting dalam merumuskan UU baru tentang perkawinan.

Ibu Nyai Hj. Dewi Khalifah, Pengasuh Pondok Pesantren Aqidah Usymuni Sumenep, dalam paparannya menyatakan bahwa fenomena perkawinan anak di Sumenep sebenarnya lebih karena tekanan hidup, terutama tekanan ekonomi. Para orangtua yang anak-anaknya menempuh pendidikan di pesantren punya keinginan kuat agar mereka sekolah sampai lulus atau bahkan sampai kuliah. Namun karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, sebagian mereka memilih untuk menikahkan anaknya. Ketika orangtua ditanya, jawabannya pasti sama, “Saya sebenarnya ingin sekali anak saya itu sekolah sampai selesai, tetapi kendalanya hanya satu, karena tidak ada biaya.” Atas dasar inilah kemudian Nyai Eva berinisiatif memberikan beasiswa kepada para santri yang berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi.

Pondok Pesantren Aqidah Usymuni, tuturnya, sudah beberapa kali menerima anak perempuan yang kabur dari rumah karena hendak dinikahkan atau bahkan sudah dinikahkan oleh orangtuanya. “Mereka tidak mau dinikahkan, kemudian mereka lari ke sini, dan kami mendengar pengaduan mereka. Ketika orangtuanya datang ke sini, kami beri pengertian agar anaknya disekolahkan di sini dulu sampai selesai SLTA. Kami tanggung semua biaya hidup selama di sini. Karena orangtuanya memang tidak mampu membiayai.”

Di samping itu, Pondok Pesantren Aqidah Usymuni juga memberikan beasiswa kepada istri yang mau melanjutkan studi di STITA (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Aqidah Usymuni). Menurut Nyai Eva, hal ini ditujukan agar para istri juga ikut kuliah. Sebab di Sumenep, kalau ada satu beasiswa, pasti yang didahulukan untuk mendapatkannya adalah si suami karena dianggap sebagai penopang keluarga. Sementara di STITA, untuk menambah jumlah sarjana perempuan di Kabupaten Sumenep, beasiswa diberikan kepada para istri.

Bapak Wahyu Widiana, Senior Edvisor AIPJ, menyatakan keprihatinannya melihat tingginya angka praktik perkawinan anak di Indonesia. Menurutnya, di antara penyebab perkawinan anak, sebagaimana terlihat di dalam hasil penelitian Rumah KitaB, adalah menyempitnya ruang hidup, ekonomi, sosial, juga menyempitnya ruang imajinasi, kebebasan, dan pemahamaan keagamaan. Oleh karena itu, mengatasinya pun tidak bisa dari satu sisi saja, tetapi dari banyak sisi; ekonomi, pendidikan, perundang-undangan, dan seterusnya. Dari semua penyebab itu, yang paling menonjol adalah pemahaman tak utuh terhadap agama. Misalnya, seorang anak perempuan, yang penting sudah mengalami menstruasi pertama (usia 9 – 11 tahun), maka boleh untuk dinikahkan. Karenanya, ketika pemerintah mengeluarkan UU Perkawinan 1974 yang menetapkan batas usia pernikahan untuk perempuan 16 tahun, menuai protes besar-besaran. Sebagian besar masyarakat kala itu memandang bahwa UU Perkawinan 1974 bertentangan dengan ajaran agama. Pemerintah dengan dukungan para ulama berhasil menyakinan masyarakat bahwa UU Perkawinan 1974 tidak bertentangan dengan ajaran agama, karena kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk kepentingan masyarakat sendiri. Sekarang tuntutan untuk mengubah UU tersebut muncul kembali setelah melihat perkembangan zaman. Nah, pemerintah, sebagai pemegang otoritas tertinggi di negera ini, harus didorong untuk melakukan terobosan baru dengan melibatkan para ulama dan seluruh elemen di masyarakat sebagaimana di tahun 1974 itu.

Prof. Dr. Machasin, MA., yang mewakili Menteri Agama RI, mengucapkan selamat atas peluncuran empat buku hasil penelitian dan satu film dokumenter tentang perkawinan anak. Menurutnya, empat belas buku beserta satu film dokumenter hasil penelitian Rumah KitaB merupakan capaian luar biasa yang menghubungkan antara kajian pandangan keagamaan dan kajian sosial yang relevan dan penting serta dibutuhkan masyarakat Indonesia dewasa ini. Buku “Panduan tentang Penggunaan Argumentasi Keagamaan untuk Menolak Perkawinan Usia Anak-anak”, misalnya, merupakan sumbangan pemikiran yang penting dan relevan di tengah maraknya praktik perkawinan anak, sebagaimana dibuktikan dalam studi-studi Rumah KitaB ini. Panduan seperti itu sangat bermanfaat untuk membantu advokasi penghentikan praktik perkawinan anak ketika alasan yang kerap digunakan untuk membenarkan praktik itu adalah argumentasi keagamaan. Demikian juga buku “Fikih Kawin Anak: Membaca Ulang Teks Keagamaan Perkawinan Usia Anak-anak” yang diterbitkan Rumah KitaB, perlu menjadi referensi bagi para penghulu di seluruh Indonesia agar wawasan mereka bertambah.[]

Exit mobile version