Site icon Rumah KitaB

Perempuan dalam Wacana Filsafat Klasik: Ibn Rusyd (2/2)

Pandangan Ibn Rusyd tentang Perempuan

Jika Aristoteles telah menetapkan sistem intelektual bahwa perempuan menempati posisi inferior yang setara dengan budak dan fungsi mereka terbatas hanya pada reproduksi dan melayani laki-laki, maka Ibn Rusyd membangun persepsi rasional dan kritis yang membentuk sebuah revolusi melawan persepsi hierarkis dari Aristoteles dan para pemikir Abad Pertengahan.

Ibn Rusyd memandang bahwa perempuan dan laki-laki tidak berbeda dalam tujuan kemanusiaan dan dalam hal afiliasi mereka dengan umat manusia, mengingat aksesi perempuan ke kursi kepemimpinan dan kekuasaan adalah hal yang wajar. Dalam hal ini, Ibn Rusyd bekerja untuk menghancurkan perbedaan alami antara laki-laki dan perempuan yang digagas Aristoteles yang memandang perempuan sebagai makhluk inferior di bawah laki-laki. Ibn Rusyd dengan tegas mengatakan bahwa perempuan setara dengan laki-laki dalam kompetensi intelektual dan praksis.

Gagasan Ibn Rusyd dalam konteks ini adalah yang pertama di zamannya. Ia adalah filsuf pertama yang mempunyai gagasan kesetaraan posisi antara laki-laki dan perempuan, melampaui pandangan filsuf Yunani bahkan filsuf Muslim yang melihat perempuan sebagai alat untuk reproduksi dan melayani laki-laki, serta para ahli fikih yang menganggap perempuan lebih rendah derajatnya dibanding laki-laki. Abu Hamid al-Ghazali, misalnya, yang mengkritik bahkan mengkafirkan para filsuf Muslim (al-Farabi dan Ibn Sina) karena dianggap mengikuti filsafat Aristoteles, ternyata pandangannya tentang perempuan tidak lain adalah kelanjutan dari pemikiran Aristoteles.

Menurut al-Ghazali, perempuan tidak lain hanyalah alat untuk melahirkan anak dan pelayan bagi laki-laki, dan bahwa tempat alami bagi perempuan adalah rumah. Ia mengatakan ini di dalam bukunya yang terkenal, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, “Tanpa berpanjang-panjang, pendapat umum terkait adab perempuan: selalu berada di rumah rumah, duduk di dalam rumah, tidak memanjat-manjat, tidak berbicara kepada para tetangga, tidak masuk ke rumah tetangga mereka kecuali keadaan memaksa, menyenangkan suami bila dipandang, menjaga kehormatan suami bila ditinggal pergi, tidak meninggalkan rumah dan apabila keluar hendaknya tidak mencari tempat yang sepi, menjaga diri dalam memenuhi kebutuhan tetapi menghindari orang-orang yang mengenalnya demi kebaikan diri sendiri, mengurus rumah, menunaikan shalat dan puasa, mengoreksi diri sendiri, memikirkan agamanya, selalu diam, menundukkan pandangan matanya, merasa diawasi Tuhan, banyak dzikir kepada Allah, taat kepada suami, menganjurkan suami mencari rizki yang halal dan tidak menuntutnya berpenghasilan melibihi batas pencapaiannya, menampakkan sikap malu dan meminimalisasi kata-kata yang tak sopan, sabar dan selalu bersyukur, menjadi contoh dalam diri sendiri, menerima keadaan dan kekuatan diri sendiri, jika seorang teman suami minta diizinkan masuk rumah, sementara sang suami tidak ada, sebaiknya tidak usah dihiraukan dan jangan membiasakan berbicara dengannya, demi menghindari rasa cemburu diri sendiri dan suami.”[9]

Di dalam buku al-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulûk, al-Ghazali berkata, “Perempuan adalah tawanan laki-laki, dan laki-laki harus mengatur perempuan karena mereka kurang akal. Karena mereka kurang akal, maka siapapun tidak diperbolehkan mempertimbangkan pendapat mereka dan memperhatikan perkataan mereka.”[10] Beginilah cara al-Ghazali, seperti Aristoteles, mengungkapkan kekurangan dan kerendahan perempuan di depan laki-laki, sebab laki-laki dipandang sebagai “makhluk sempurna” yang punya kemampuan untuk mengambil keputusan dan memikul tanggungjawab.

Ibn Rusyd membahas masalah perempuan dalam ringkasan buku “The Republic of Plato”. Ia berkata, “Perempuan berbeda dari laki-laki dalam hal tingkatan, bukan sifat bawaannya. Perempuan mempunyai kemampuan untuk melakukan segala hal yang dilakukan laki-laki dalam hal perang, filsafat, dan sebagainya, tetapi pada tingkatan yang berbeda dari laki-laki. Kadang-kadang perempuan mengajari laki-laki, seperti dalam musik, meskipun kesempurnaan industri ini dibuat oleh laki-laki dan dinyanyikan oleh perempuan. Contoh, beberapa negara di Afrika memperlihatkan kesiapan besar para perempuan untuk berperang. Bukan tidak mungkin perempuan bisa menggapai kekuasaan di [negara] Republik. Selain itu, terlihat bahwa anjing betina menjaga kawanannya sebagaimana anjing jantan menjaganya.”[11]

Uraian ringkas di atas memperlihatkan kepada kita bahwa Ibn Rusyd memandang perempuan sebagai manusia seutuhnya, yang berarti bahwa perempuan setara dan terlibat bersama laki-laki dalam melalukan kerja-kerja kemanusiaan. Perempuan tidak memiliki kekurangan dalam aspek apapun, meskipun mungkin dalam beberapa pekerjaan mereka tidak cukup mampu dibanding laki-laki, namun dalam beberapa pekerjaan lain mereka lebih mampu dibanding laki-laki. Walaupun mereka mengalami kelemahan fisik akibat menstruasi atau melahirkan, namun itu hanya bersifat sementara dan tidak permanen. Sehingga tidak ada yang boleh menghalangi perempuan melakukan kerja-kerja kemanusian bersama laki-laki.

Gagasan inferioritas perempuan yang lazim di masyarakat Andalusia dan masyarakat Yunani merupakan produk dari norma-norma sosial yang memandang perempuan dengan pandangan yang rendah, pandangan yang dianggap Ibn Rusyd cacat dan tidak sesuai dengan kemanusiaan perempuan. Ibn Rusyd berpendapat bahwa jika laki-laki dibedakan oleh kemampuannya melakukan kerja-kerja berat, maka perempuan dibedakan oleh ketangkasan, keterampilan dan kecerdasan. Ia mencontohkan, “Melodi akan mencapai kesempurnaannya jika diciptakan oleh laki-laki dan dimainkan oleh perempuan.”[12] Dalam hal ini Ibn Rusyd mengandaikan integrasi fungsi dan peran antara perempuan dan laki-laki, bukan diferensiasi dan superioritas.

Dan kalau kita beralih ke masalah filsafat dan kepemimpinan yang dimonopoli oleh laki-laki di Yunani dan Romawi, kita menemukan Ibn Rusyd berkata, “Hal seperti ini dapat dikuasai oleh sebagian perempuan dengan kecerdasan dan persiapan yang baik, sehingga bukan tidak mungkin di antara mereka ada yang menjadi filsuf dan penguasa.”[13] Perkataan ini menunjukkan bahwa filsafat dan kepemimpinan yang bisa dikuasai oleh laki-laki juga bisa dikuasai oleh perempuan, sehingga perempuan mampu mengambil kendali kekuasaan dan menggeluti pemikiran filsafat, dan pandangan sebaliknya sesungguhnya adalah bersumber dari kebodohan.

Sebagaimana ditegaskan Ibn Rusyd, kompetensi perempuan tidak kalah dari laki-laki, bahkan dalam peperangan. Hal ini ia contohkan dengan kemampuan perempuan di negara-negara Afrika untuk berperang; dulu mereka berpartisipasi dalam perang, bahkan di antara mereka ada menjadi komandan perang. Ibn Rusyd mengatakan, “Adapun keterlibatan mereka (perempuan) dalam perang dan sejenisnya, itu jelas bagi orang-orang yang tinggal di hutan belantara dan pelabuhan.”[14]

Jika Aristoteles mengkaitkan kemunduran dan kejatuhan Sparta dengan situasi perempuan yang boleh meninggalkan rumahnya dan menikmati kebebasannya, maka Ibn Rusyd, berbeda dengan Aristoteles, menganggap bahwa keterbelakangan dan kemunduran Andalusia disebabkan oleh terganggunya peran perempuan dalam kehidupan publik. Perempuan disingkirkan dari dunia luar dan dari partisipasi dalam mengatur urusan umum. Inilah di antara penyebab utama kemiskinan dan kemunduran masyarakat Andalusia. Ibn Rusyd berbicara tentang situasi perempuan di Andalusia, “Kemampuan perempuan di kota ini telah hilang. Karena mereka hanya dijadikan [alat] untuk melahirkan keturunan dan untuk [melayani] suami mereka, juga untuk bereproduksi, menyusui dan mengasuh, sehingga ini menghentikan kerja-kerja mereka. Dan karena para perempuan di kota ini tidak dipersiapkan dengan cara kebajikan manusia, kebanyakan mereka tidak berbeda dengan rerumputan. Dan karena mereka menjadi beban berat bagi laki-laki, mereka telah menjadi salah satu penyebab kemiskinan kota ini.”[15]

Demikian pandangan progresif Ibn Rusyd mengenai perempuan. Ia memperjuangkannya dengan menyerukan kesetaraannya dengan laki-laki, menyerukan partisipasinya bersama laki-laki dalam seluruh kerja kemanusiaan, serta mendukung kemungkinan dan haknya untuk mengambil alih peran kepemimpinan seperti halnya laki-laki. Perempuan, seperti dikatakan Ibn Rusyd, tidak diciptakan hanya untuk melahirkan dan mengurus anak saja, karena itu dapat merusak kemampuannya dan membekukan energinya sehingga membuatnya menganggur. Akibatnya, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat yang tidak percaya pada kemampuannya.

Dalam konteks ini, kita melihat bahwa pandangan progresif Ibn Rusyd ini, yang sesungguhnya merupakan sebentuk perlawanan terhadap pemikiran Aristoteles dan para ahli fikih mengenai perempuan, tidak populer di kalangan pemikir Barat modern, karena dua alasan utama: pertama, terkait dengan stereotip yang melekat pada Ibn Rusyd, hanya sebagai komentator dan peniru Aristoteles; kedua, terkait dengan tendensi sentral Barat, yang menganggap bahwa Barat adalah sumber sains dan filsafat, sedangkan yang lain hanyalah pengikut dan peniru.

 

Kesimpulan

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Ibn Rusyd, dengan pandangannya yang progresif mengenai perempuan, menciptakan suatu keterputusan epistemologis dengan gurunya, Aristoteles, yang membangun suatu sistem pemikiran untuk melanggengkan inferioritas perempuan dan menganggapnya sebagai makhluk tak sempurna yang dihasilkan oleh alam sebagai akibat penyimpangannya dari jalur alamiahnya. Dan ini merupakan indikasi dari orientasi khusus filsafat Ibn Rusyd yang menepis anggapan sebagian orang bahwa ia hanyalah seorang komentator dan pengikut Aristoteles.

Selain itu, Ibn Rusyd juga menciptakan keterputusan dengan pandangan para ahli fikih dan warisan budaya yang mendominasi pada masanya, yaitu pandangan yang menganggap perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah derajatnya dari laki-laki, dan bahwa fungsinya terbatas hanya pada reproduksi dan melayani laki-laki.

Keterputusan yang ditimbulkan oleh Ibn Rusyd terlihat pada perhatiannya terhadap kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan, baik dalam berpikir maupun bertindak, serta pengakuannya bahwa perempuan adalah manusia seutuhnya yang mampu untuk menjalankan pemerintahan dan menekuni filsafat serta terlibat bersama laki-laki dalam mengelola urusan-urusan publik.

Pandangan Ibn Rusyd ini juga bisa dianggap sebagai bagian dari sistem filfasatnya yang rasional dan kritis, yang mempengaruhi pandangan orang-orang Eropa tentang perempuan di zaman modern. Seperti diketahui, pada abad pertengahan perempuan dipandang sebagai “laki-laki tak sempurna” atau “anak kecil”, namun setelah pemikiran rasional Ibn Rusyd mulai menyebar di Eropa, pandangan terhadap perempuan berubah. Semua tuntutan hak perempuan di dunia saat ini sesungguhnya adalah tuntutan Ibn Rusyd pada abad ke-12 M. Di sinilah letak kekinian pemikiran Ibn Rusyd yang patut diabadikan oleh lembaga-lembaga HAM yang membela perempuan, dan dijadikan simbol dan acuan teoretis para pembela perempuan.[]

 

Referensi

 

Catatan Kaki:

[1] Imam Abdul Fattah Imam, Aristhû wa al-Mar`ah, Kairo: Muassasah Al-Ahram, Cet. 1, 1996, hal. 33

[2] Ibid., hal. 54

[3] Ibid., hal. 58

[4] Ibid., hal. 62

[5] Basmah Kayyal, Tathawwur al-Mar`ah ‘Abr al-Târîkh, Beirut: Ezzedine Foundation, 1981, hal. 33

[6] Ibid., hal. 33-34

[7] Imam Abdul Fattah Imam, Aristhû wa al-Mar`ah, Kairo: Muassasah Al-Ahram, Cet. 1, 1996, hal. 81

[8] Ibid., hal. 87

[9] Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, Beirut: Dar Ibn Hazm, Cet. 1, 2005, hal. 500

[10] Abu Hamid al-Ghazali, al-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulûk, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. 1, 1988, hal. 130

[11] Ernest Renan, Ibn Rusyd wa al-Rusydîyyah (terj. Adil Al-Zuaitir), Beirut: Dar al-Tanwir, Cet. 1, 2013, hal. 132

[12] Ibn Rusyd, Talkhîsh al-Siyâsah li Aflâthûn (terj. Hasan Muhammad al-Ubaidi dan Fatimah Kazhim al-Dzahabi), Beirut: Dar al-Thali’ah, Cet. 1, 1998, hal. 124

[13] Ibid., hal. 125

[14] Ibid., hal.124

[15] Muhammad Abid al-Jabiri, Ibn Rusyd; Sîrah wa Fikr, Beirut: Markar Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, Cet. 1, 1998, hal. 251

 

Exit mobile version