MASALAH perempuan merupakan salah satu isu paling menonjol dalam pemikiran filsafat sejak filsafat Yunani hingga saat ini. Di sini akan disajikan dua pandangan filsafat yang berbeda. Pertama, pandangan filsafat Yunani yang direpresentasikan oleh filsuf Aristoteles, yang disebut guru pertama. Kedua, pandangan filsafat Abad Pertengahan yang direpresentasikan oleh filsuf Abu al-Walid Ibn Rusyd. Terlepas dua filsuf ini termasuk dalam apa yang disebut filsafat klasik, keduanya menyampaikan dua pandangan yang saling bertentangan hingga ke titik keterputusan.
Aristoteles menempatkan perempuan pada posisi di antara laki-laki merdeka dan budak. Dalam sistem filsafat yang dibangunnya perempuan menempati posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Ia menganggap perempuan sebagai makhluk tak sempurna yang diciptakan alam sebagai akibat dari penyimpangannya dari jalur alamiahnya. Untuk menguatkan tesis ini, ia membangun sistem konseptual yang terintegrasi seperti hierarki dan fungsi kosmologis, dan pandangannya ini mencerminkan realitas sosial dan budaya Yunani di masanya.
Sebaliknya, Ibn Rusyd membangun sebuah tesis yang memuliakan perempuan. Ia mendudukkan perempuan dan laki-laki dengan mengakui kesetaraan penuh di antara keduanya, menegaskan kemampuan perempuan untuk memasuki dunia filsafat dan kepemimpinan dengan mengatakan bahwa perempuan bisa menjadi seorang filsuf dan penguasa.
Kendati Ibn Rusyd hidup dalam konteks epistemologis yang didominasi pemikiran Aristotelian, di mana filsafat Aristoteles menjadi paradigma yang beroperasi pada setiap orang, dalam konteks masyarakat patriarki, di samping dominasi otoritas para ahli fikih yang menganggap perempuan sebatas alat untuk reproduksi dan melayani laki-laki—meskipun Ibn Rusyd dikelilingi oleh batasan-batasan ini—ia mampu membangun konsepsi filosofis rasional mencerahkan yang dapat dianggap sebagai yang pertama dalam sejarah filsafat. Tidak hanya membela perempuan, melainkan juga menyamakannya dengan laki-laki dalam kesetaraan penuh.
Hal itu menunjukkan tingkat keberanian yang tinggi dari Ibn Rusyd, yang dilakukan dengan dua cara: pertama, keluar dari dominasi sistem pemikiran Aristoteles. Kedua, kritik terhadap budaya yang dilindungi sakralitas. Di sini kita tidak sepakat dengan pandangan bahwa Ibn Rusyd hanya sebagai komentator dan peniru Aristoteles. Pandangan ini sama sekali tidak mencerminkan kenyataan mengenai Ibn Rusyd, dan persoalan perempuan hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh yang menunjukkan inkoherensi pendapat bahwa Ibn Rusyd hanya mengikuti Aristoteles.
Pandangan Aristoteles tentang Perempuan
Pandangan Aristoteles tentang perempuan adalah bagian dari sistem pemikirannya yang didasarkan pada seperangkat alat dan mekanisme teoretis yang berfungsi sebagai pilarnya. Alat teoretis pertama adalah hierarki kosmologis, yang menyatakan bahwa ada hierarki di alam semesta dalam kaitannya dengan komponen-komponennya. Hierarki ini tidak terbatas pada komponen-komponen alam semesta, tetapi bahkan tercermin dalam seluruh makhluk, mulai dari benda mati, tumbuhan, hewan, hingga manusia. Atas dasar hierarki ini, Aristoteles menentukan kedudukan perempuan dalam tangga wujud dibandingkan dengan laki-laki.
Adapun mekanisme teoretis kedua yang menjadi dasar Aristoteles membangun sistem filsafatnya adalah dalam fungsi. Dengan konsep ini, Aristoteles memandang bahwa setiap makhluk di alam semesta memiliki fungsi tertentu yang menunjukkan esensinya, dan setiap makhluk tidak melakukan apa pun kecuali sesuai dengan fungsi yang diberikan kepadanya oleh alam. Aristoteles mengatakan, “Segala sesuatu mendapatkan definisinya dari fungsinya dan kemampuannya menjalankan fungsi itu. Oleh karena itu, kecuali benda-benda itu mampu menjalankan fungsinya, kita tidak boleh mengatakan benda-benda itu masih sama bahkan jika benda-benda itu masih memiliki nama yang sama…”[1] Berdasarkan hal ini, Aristoteles mendefinisikan fungsi sosial perempuan dibandingkan dengan fungsi laki-laki.
Melalui mekanisme teoretis tersebut, Aristoteles mencoba merumuskan teori integral yang menentukan posisi perempuan secara biologis dan politik.
Secara biologis
Seperti hierarki kosmologis, ada juga hierarki biologis, di mana Aristoteles menganggap perempuan, berdasarkan wujud biologisnya, lebih rendah baik dari sisi kemampuan dan sifatnya daripada laki-laki, atau bisa dikatakan, sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Aristoteles, bahwa perempuan secara alami derajatnya lebih rendah daripada laki-laki. Titik berangkatnya adalah bahwa alam tidak melakukan sesuatu yang tak berguna dan sia-sia. Setiap makhluk diciptakan dan ditentukan posisinya pada tangga wujud dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain. Menurut logika ini, alam menentukan fungsi perempuan untuk reproduksi demi kelangsungan spesies dan untuk melayani laki-laki sebagaimana budak melayani tuannya, sehingga wajar jika perempuan diperintah oleh laki-laki; karena perempuan adalah makhluk yang tidak sempurna.
Dalam proses reproduksi, perempuan menjadi makhluk pasif dan negatif, sedangkan laki-laki adalah makhluk aktif dan produktif, karena ia memainkan peran menentukan dalam proses reproduksi, dan ia memberikan citra yang akan dimiliki oleh janin, yaitu ruh dan kehidupan. Sedangkan perempuan hanya menyediakan bahan mentah untuk membentuk janin, “Laki-laki adalah yang memberi bentuk atau ruh pada darah haid yang lebih seperti benda mati, dan dari sini laki-laki adalah yang menjalankan fungsi penyebab aktif, sedangkan perempuan tidak memberikan apa-apa selain sitoplasma atau materi.”[2]
Aristoteles juga menegaskan bahwa tujuan reproduksi adalah untuk melahirkan anak yang menyerupai ayahnya dan bukan ibunya, dan setiap penyimpangan dari aturan ini adalah penyimpangan dari tujuan alam. Aristoteles berkata, “Anak yang tidak mirip dengan kedua orangtuanya, dalam arti tertentu, adalah monster, sebab alam, dengan suatu cara tertentu, telah menyimpang dari model atau contoh…faktanya, penyimpangan pertama adalah bahwa keturunan yang datang adalah perempuan, bukan laki-laki.”[3] Jadi, bisa dikatakan bahwa penyimpangan terhadap alam adalah anak yang lahir perempuan, bukan laki-laki.
Selain itu, Aristoteles juga menjelaskan inferioritas perempuan berdasar prinsipnya yang mengatakan bahwa kadar panas yang ada pada organisme menentukan derajatnya dalam tangga wujud. Jika kadar panas pada suatu makhluk itu tinggi, ia menempati peringkat yang lebih tinggi daripada makhluk yang memiliki kadar panas lebih rendah. Oleh karena itu, kelemahan dan inferioritas perempuan disebabkan oleh fakta bahwa kadar panas yang ada dalam dirinya lebih lemah dibandingkan dengan kadar panas yang ada pada laki-laki. Aristoteles mengungkapkan ini dengan mengatakan, “Makhluk yang diberikan Alam dengan lebih sedikit kadar panas adalah makhluk yang paling lemah … dan kami telah memutuskan sebelumnya bahwa ini adalah karakteristik perempuan.”[4].
Dapat juga dikatakan bahwa pandangan Aristoteles ini, yang mereduksi perempuan ke tingkat hewan, tidak lain adalah cerminan dari budaya masyarakat Yunani yang di dalamnya perempuan menjadi komoditas yang dapat diperjual-belikan di pasar bersama dengan budak, dengan pengecualian Sparta, di mana perempuan menikmati beberapa hak dan semacam kebebasan, alasannya karena: “Situasi militer kota, di mana laki-laki kerap terlibat dalam perang, yang membuka jalan bagi perempuan untuk keluar dari isolasi mereka di rumah untuk membeli kebutuhan mereka selama suami mereka tidak ada, sehingga kami menganggap mereka lebih baik daripada perempuan yang tinggal di Athena dan negeri-negeri Yunani lainnya.”[5]
Kebebasan relatif perempuan Spartan ini membuat Aristoteles khawatir; karena itu adalah kondisi yang menentang alam, “dan kebebasan parsial yang dinikmati perempuan Sparta ini membuat Aristoteles menyalahkan laki-laki Sparta dan menuduh mereka bersikap lunak terhadap perempuan di kota mereka … dan ia mengaitkan kejatuhan dan kemunduran Sparta dengan kebebasan dan keberlebih-lebihan dalam [memberikan] hak [kepada perempuan].”[6]
Secara politik
Aristoteles memproyeksikan sistem metafisiknya pada praktik politik, dan dapat dikatakan bahwa pandangan politiknya hanyalah cerminan dari realitas politik dan sosial di Yunani. Itu sebabnya kita mendapati Aristoteles mengecualikan perempuan dari bidang politik; karena misinya terbatas hanya pada reproduksi dan melayani laki-laki. Mengikuti pendekatan hierarkis Aristoteles, yang mengatakan bahwa benda mati ada untuk melayani tumbuhan, tumbuhan ada untuk melayani hewan, dan hewan ada untuk melayani manusia, maka perempuan ada untuk melayani laki-laki. Aristoteles memandang hierarki ini bersifat alami dan bukan produk budaya dan sosial, jadi ketidaksetaraan adalah prinsip dasar yang tidak boleh dilawan.
Karena kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, ia tidak layak menjadi pemimpin dan penguasa, sebab itu akan merusak hukum alam. Sebaliknya, adil bagi laki-laki untuk memimpin dan memerintah perempuan. Aristoteles berkata, “Karena jenis kelamin laki-laki lebih cocok untuk kepemimpinan daripada jenis kelamin perempuan, sehingga dominasi laki-laki atas perempuan adalah hal yang wajar.”[7]
Aristoteles juga mengaitkan ketidakmampuan perempuan untuk memimpin/memerintah dengan fakta bahwa bagian rasional dalam diri perempuan tidak dapat mengontrol bagian irasional seperti yang terjadi pada laki-laki. Oleh karena itu, penguasaan laki-laki atas perempuan adalah kebutuhan alami seperti halnya bagian irasional yang tunduk pada bagian rasional dalam diri laki-laki. Aristoteles mengatakan, “Jiwa terdiri dari dua aspek atau dua elemen: elemen rasional dan elemen irasional. Maka secara alami, dan dapat disimpulkan, bahwa elemen rasional dapat mengendalikan dan menguasai aspek irasional di dalam jiwa. Demikian kami menemukan bahwa adil bagi laki-laki untuk menguasai perempuan. Memang benar perempuan memiliki kemampuan pertimbangan rasional, tetapi itu tidak efektif, dan karena itu perempuan mudah dikendalikan oleh unsur irasional.”[8]
Bersambung…