Rumah KitaB

Rindu Gus Dur

GUS DUR adalah teks yang belum selesai. Sebagai sebuah teks, Gus Dur tak pernah tuntas dipahami, ditafsiri, digali, dan direkonstruksi kembali maknanya.

Al-Imam al-Allamah al-Ghazali dalam “Fayshal al-Tafriqah” dan “Qânûn al-Ta’wîl” menyebut bahwa teks memiliki banyak lapisan makna yang bersifat hirarkies. Seperti lapisan bawang, ketika membuka lapisan pertama, kita akan menemukan lapisan kedua, lapisan ketiga, dan seterusnya. Semakin dalam kita gali, semakin banyak dan semakin kaya makna itu.

Begitu juga ketika membaca Gus Dur, kita akan menemukan banyak makna dengan berbagai macam gradasi dan dimensinya. Terkadang makna-makna itu tak muncul sendiri, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri.

Gus Dur sudah meninggal, tapi tulisan dan tindakannya tetap hidup dan mengilhami jutaan pengikutnya, pengagum, simpatisan, dan murid-muridnya. Gus Dur juga dicerca, dihina, bahkan disalahpahami oleh orang-orang yang selama ini memusuhinya. (Gus Dur, menurut pengakuannya sendiri, tak punya musuh)

Saya berkenalan dengan Gus Dur lewat tulisan-tulisannya ketika saya masih di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. “Tuhan Tak Perlu Dibela” adalah buku pertama yang saya baca.

Terus terang, meski saya baca berulang kali, saya tak memahami maksudnya. Buku itu tetap gelap. Bagi seorang santri yang masih duduk di tingkat Ibtidaiyah, buku Gus Dur tergolong bacaan berat. Bahasanya tak begitu akrab. Apalagi “kitab putih” tak begitu populer dan tak banyak dibaca santri. Bahkan, waktu itu pondok melarang santrinya mengonsumsi bacaan selain “kitab kuning”

Saya membelinya karena tertarik judulnya: “Tuhan Tak Perlu Dibela”. Judulnya menantang ajaran dan doktrin yang selama ini diajarkan di pondok pesantren: Tuhan harus diagungkan, Tuhan harus ditinggikan, bahkan Tuhan harus diperjuangkan dan diperebutkan sekalipun dengan jalan peperangan: Jihad.

Gus Dur, dalam tulisannya itu, seolah membalik semuanya, meruntuhkan ajaran yang sudah sedemikian mapan dan established. Kesimpulan seperti itu muncul kalau kita hanya melihat dan membaca judulnya, tanpa memahami isi dan maksudnya (level makna pada tingkat berikutnya).

Seringkali orang menilai dan memahami Gus Dur dari “judulnya”: penggalan pernyataan-pernyataan yang tidak utuh. Selain mengganti “assalamu’alaikum” dengan “selamat pagi/sore/malam”, umat Muslim Indonesia pernah dihebohkan statemen Gus Dur “al-Qur`an kitab suci porno”.

Tentu saja, secara spontanitas, pernyataan tersebut mendapat reaksi sebagian umat Muslim. Gus Dur dituduh menghina Islam dan umat Muslim, menodai sakralitas al-Qur`an sebagai Kalamullah. Gara-gara pernyataan itu, Rizieq Shihab, pemimpin FPI, sampai menghina Gus Dur “buta mata buta hati” (disiarkan di tv secara live).

Sayangnya, kebanyakan tidak menyusuri terlebih dahulu asal-usul pernyataan tersebut. Meskipun Gus Dur sendiri pernah mengklarifikasi pernyataannya itu, media massa sudah kadung menggoreng pernyataan tersebut sebagai isu publik. Porno itu, kata Gus Dur, tak bisa didefinisikan secara baku. Konsep porno ada di kepala kita masing-masing. Bisa jadi, tegas Gus Dur, ayat tertentu di dalam al-Qur`an, semisal QS. al-Baqarah: 233, dipahami porno kalau tidak ada yang beres di otak kita.

Setelah Gus Dur, tampaknya belum ada pemimpin agama yang berani “pasang badan” dan tidak takut melawan arus kecenderungan cara berpikir umat (awam). Gus Dur membawa obor kebenaran di tengah-tengah kegelapan, tanpa sedikit pun takut dicaci, dimaki, dibenci, bahkan dimusuhi oleh mereka yang suka kegelapan. Mungkin inilah yang disebut-sebut QS. Yunus: 62, “Inna awliyâ` Allâhi la khawfun alayhim walâ hum yahzanûn,” (sesungguhnya wali-wali [kekasih] Allah tak pernah merasa takut dan bersedih)

Di saat fasisme-otoritarianisme Orde Baru menancapkan pengaruh dan kekuasaannya begitu kuat, Gus Dur melawan dengan menciptakan kekuatan civil society dan menghidupkan demokrasi.

Sebagai seorang kiyai sekaligus pemikir Islam, Gus Dur tak harus repot-repot mencari dalil, alasan, perbandingan, atau pun pembenaran dari agama, apakah “civil society” dan “demokrasi” tak bertentangan dengan Islam? Apakah perlu dicari asal-usulnya di awal generasi Islam ketika Nabi Saw. membentuk komunitas muslim? Gus Dur juga tak pernah bertanya atau menanyakan, makhluk jenis apakah “civil society” dan “demokrasi” itu? Ia berasal dari mana? Dan, adakah keduannya di dalam al-Qur`an, al-Hadis, atau lembaran-lembaran kitab kuning?

Gus Dur tak perlu dalil karena Gus Dur sendiri adalah dalil. Ketika Gus Dur membela Ahmadiyah, komunitas Tionghoa, atau bahkan Inul Daratista, Gus Dur hanya mengatakan bahwa hak-hak mereka dilindungi Undang-Undang. Gus Dur tak perlu berbusa-busa meminjam pluralisme agamanya Ibn Arabi atau Jalaluddin Rumi.

Bagi Gus Dur, inti dan tujuan agama hanyalah satu: kemanusiaan. Beragama adalah meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan. Juga mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Konsekuensinya, jika ada ajaran agama yang seolah bertentangan dan atau merendahkan nilai-nilai kemanusiaan, maka ajaran agama tersebut harus ditafsiri dan dimaknai ulang dan disesuaikan dengan tujuan, maksud, dan kebutuhan manusia.

Tuhan tidak butuh manusia dan agama bukan untuk Tuhan. Jika Tuhan berkehendak, Ia pasti akan menciptakan satu umat, satu agama, satu ras, satu etnis, satu bangsa dan satu negara. (QS. al-Nahl 93)

Dalam situasi karut marut seperti ini, kita tentu tidak mungkin berharap Gus Dur lahir kembali. Dalam kurun waktu tertentu setiap umat ada “Nabinya” sendiri. Mungkin, saat ini, bangsa kita sedang mengalami masa fathrah—sebuah situasi di mana orang kehilangan pegangan, panutan, tuntunan, bimbingan dan keteladanan seorang pemimpin. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.