Pos

Kadmi, Tulang Punggung Organisasi PATBM Kelurahan Kalibaru

NAMANYA Kadmi, kader dampingan Puskesmas Kelurahan Kalibaru yang paling aktif dan paling senior. Pengabdiannya sebagai kader telah berlangsung lebih dari 25 tahun.

Kadmi juga aktif sebagai koordinator Kader Jumantik Kelurahan Kalibaru, sekaligus pengurus RW. 06 Kelurahan Kalibaru. Ia menjadi tulang punggung berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan di Kelurahan Kalibaru seperti kader Paliatif (pendampingan pasyarakat penyandang penyakit kronis seperti kanker), kader Bimbingan Terpadu (Bindu), kader Pencegahan dan Pendampingan Korban HIV, pengasuh kader Posyandu remaja, kader Pik, kader PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana) dengan koordinasi langsung ke Kecamatan Cilincing, kader Poktan 4.

Lamanya pengabdian Kadmi dalam komunitas masyarakat sama dengan usia domisilinya di Kalibaru. Ia merupakan warga Karawang. Ia dibawa pergi merantau oleh ayahnya saat ia masih berusia 13 tahun. Ia kemudian menetap di Kelurahan Kalibaru sejak tahun 1990. Saat itu, ayahnya bekerja sebagai nahkoda kapal “Perahu Kolor” di dermaga Kalibaru, tepatnya di wilayah pantai RW.006 Kelurahan Kalibaru.

Pengalaman pahitnya sebagai anak korban kekerasan akibat “broken home” telah membangkitkan semangat Kadmi dalam pengabdian sebagai penggerak masyarakat untuk perlindungan kesehatan remaja dimulai dengan menjadi kader Posyandu remaja saat ia berusia remaja. Sampai saat ini ia masih terus mengkader anak-anak pengurus Posyandu remaja, di samping keterlibatannya dalam berbagai kader perlindungan anak di bidang kesehatan semisal kader HIV, kader PIK, Kader PLKB, dsb. Kerjasamanya dengan Rumah KitaB sejak tahun 2018 membuatnya semakin memahami konsep utuh perlindungan anak disertai pemahaman terkait pentingnya pencegahan perkawinan usia anak.

Kadmi menilai, pendampingan Rumah KitaB sangat penting dalam membangun cara pandang diri dan komunitas terkait pentingnya perlindungan anak dan pentingnya memperkuat kerjasama lintas komunitas untuk membangun Kelurahan Layak Anak.

Pendampingan Rumah KitaB telah membuat diri dan komunitasnya mengenali berbagai bentuk kekerasan seperti perkawinan anak dan trafficking yang melibatkan korban anak-anak perempuan, perbudakan modern yang melibatkan anak-anak di dalam kerja-kerja prostitusi dan kerja paksa.

Sebelum pendampingan Rumah KitaB, masih banyak tokoh masyarakat dan tokoh agama yang bersetuju dan mendukung praktik perkawinan anak. Namun pendampingan Rumah KitaB yang melibatkan tokoh lintas komunitas di masyarakat dan komunitas keagamaan, menjadi jalan bagi banyak orang untuk memahami pentingnya perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak baik dalam perspektif keagamaan maupun perspektif hak anak.

Salah satu pengalaman Kadmi yang paling berkesan dalam program perlindungan anak adalah saat Rumah KitaB melakukan pendampingan di RW. 006 dalam kegiatan “Deklarasi RW. 006 Kelurahan Kalibaru Menuju Kelurahan Layak Anak” pada bulan April 2019. Terdapat banyak tokoh lintas komunitas termasuk tokoh remaja dan para stakeholders di tingkat Kelurahan Kalibaru maupun di tingkat Kecamatan Cilincing hingga tingkat Kota Jakarta Utara, semua hadir dan berpartisipasi.

Pendampingan Rumah KitaB juga berkontribusi dalam pemahamannya terkait hak anak, hak perempuan, pentingnya kebijakan publik (kewilayahan) yang berpihak pada kepentingan anak.

Menurut Kadmi, hal yang paling menonjol dari pendekatan Rumah KitaB dalam program Berdaya II adalah pelibatan berbagai komunitas di masyarakat termasuk komunitas remaja dalam organisasi PATBM Kelurahan Kalibaru, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh PATBM di wilayah Jakarta Utara.

Dengan melibatkan diri di dalam kepengurusan PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) Kelurahan Kalibaru, Kadmi berharap pengalaman pahitnya sebagai anak yang ditelantarkan dan menjadi korban perkawinan anak tidak terjadi pada anak-anak di generasi selanjutnya di Kelurahan Kalibaru. Ia bekerja keras bersama PATBM Kalibaru mencegah berbagai praktik perkawinan usia anak. Kadmi ikhlas menjadi tulang punggung bagi banyak penanganan anak-anak korban kekerasan fisik (KDRT) dan korban kekerasan seksual, dan menjadi perempuan tangguh dalam berjuang menghentikan trafficking yang melibatkan korban anak-anak.

Kadmi telah terlibat dalam penanganan banyak kasus kekerasan seksual yang di antaranya melibatkan anak disabilitas. Beberapa pelaku kekerasan seksual telah ditangkap oleh PPA Polres Jakarta Utara, dan satu pelaku lainnya masih buron.

Kadmi bersyukur, Ahmad Hilmi dari Rumah KitaB selalu menghubungkan dirinya dan komunitas PATBMnya dengan lembaga-lembaga layanan seperti P2TP2A Jakarta Utara, Sudin PPAPP Jakarta Utara, LBH APIK Jakarta, dan PPA Polres Jakarta Utara. Hal itu membantu meringankan tugasnya dalam penanganan anak korban kekerasan yang seringkali dihadapi.

Tantangan terbesar yang dihadapi Kadmi dalam penanganan anak-anak korban kekerasan yaitu bahwa para pelaku kekerasan adalah orangtua atau keluarga dekat korban, sehingga secara psikologis dan sosiologis proses pendampingan korban seringkali berjalan sangat lambat dan membutuhkan waktu. Karena itu kerjasama lintas komunitas dalam kepengurusan PATBM Kelurahan Kalibaru merupakan tindakan yang sangat penting dan menentukan dalam proses penanganan awal korban kekerasan. Kerjasama lintas komunitas itu mampu meredam potensi bulliying yang dihadapi anak-anak korban kekerasan. Kerjasama lintas komunitas diharapkan semakin memperluas edukasi kepada setiap lapisan masyarakat termasuk remaja untuk pencegahan kekerasan terhadap anak-anak dan remaja.

Bagi Kadmi, tantangan dan hambatan selalu datang, terlebih infrastruktur yang memfasilitasi ruang anak dan remaja dan masyarakat bermain masih belum tersedia di Kalibaru. Ia berharap Pemerintah kota Jakarta Utara, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Kementerian PUPR RI dapat mempercepat realisasi pembangunan Taman Maju Bersama dan sarana olahraga di Kelurahan Kalibaru. Proposal sudah diajukan masyarakat sejak tahun 2019 dan sudah diterima Pemkot Jakarta Utara dan Kementerian PUPR RI sebagai pemilik lahan yang berlokasi di Kelurahan Kalibaru.

Tantangan lain yang lebih serius adalah masih adanya tokoh agama yang memfasilitasi perkawinan siri anak-anak, meskipun mereka berasal dari kelurahan lain di Kecamatan Cilincing. Tentu kerjasama dengan para tokoh agama dan ormas keagamaan di level Kecamatan Cilincing akan semakin diperkuat lagi tentunya dengan bantuan Ahmad Hilmi Rumah KitaB yang terbiasa berhadapan dengan mereka.[AH]

Baca Ulang Trafficking

GATRA, Desember 2017. Baru-baru ini, sebuah buku hasil penelitian tentang  ketersediaan  layanan  hukum  untuk perlindungan trafficking di Sulawesi Selatan diluncurkan. Studi ini saya lakukan bersama dengan  Rury  Syailendrawati  dan  Nurhady Sirimorok. Intinya adalah adanya ketidaksepadanan antara besaran persoalan trafficking dan layanan yang tersedia. Karena itu, dibutuhkan  sikap politik yang terbarukan, mengingat  adanya perubahan  bentuk pola  dan tujuan trafficking.

Selama ini, trafficking dimaknai semata-mata sebagai perdagangan  orang untuk  tujuan  ekonomi.  Biasanya,  korban dijadikan sebagai buruh berbayar rendah, pekerja seks, atau sebagai tambang uang bagi yayasan-yayasan yang berharap menarik simpatik dari belas kasih kepada anak­-anak terlantar. Dalam pemaknaan itu, praktik perdagangan orang dilakukan dengan mengomoditaskan manusia.

Perkembangan global memperlihatkan motif lain yang lebih rumit, yang terdeteksi dari penelitian ini namun membutuhkan pendalaman yang sangat serius. Pola-pola rekrutmen tak beda dengan praktik trafficking: memanfaatkan mata rantai tersamar. Satu lubang rantai dengan lubang rantai lainnya seakan tak terhubung.

Akan tetapi, pada kenyataanya,  jaringan  itu membentuk mata rantai yang menghubungkan rekrutmen, pemindahan, penjualan, dan penggunaan seluruh proses itu untuk kejahatan. Bedanya, dalam  perkembangan  global ini, tata kerja kejahatan perdagangan orang ini memiliki tujuan ideologis, menjadi bagian dari gerakan terror bermotif ideologi keagamaan dengan konsep yang lebih religius: hijrah.

Dalam trafficking gaya baru itu, motif untuk mendapatkan uang tetap menjadi tujuan si korban terutama bagi mereka dengan latar belakang kemiskinan akut. Namun dalam mata rantainya, unsur ekonomi dalam bentuk penjualan manusia sebagai komoditas tampaknya tidak benar-benar  terjadi. Keuntungan  sosial-politik dan pengakuan dalam hierarki jaringan  menjadi motif yang lebih besar bagi tiap-tiap mata rantai dalam jaringan itu.

Dalam trafficking gaya baru itu, para korban, terutama anak muda, dibujuk dan dikelabuhi dengan diberi janji yang sama sekali tak sesuai antara yang dijanjikan dan kenyataan. Janji mendirikan sebuah negara yang menyejahterakan dengan berbasis keyakinan, misalnya. Apalagi untuk janji berjumpa bidadari kelak.

Pendek kata, telah terjadi perubahan pola, bentuk dan tujuan serupa yang dalam tata kerjanya menunjukkan pola kerja kejahatan trafficking. Perubahan itu jelas membutuhkan pendekatan baru dalam mengatasinya. Selama ini, bahkan untuk trafficking konvensional negara mengandalkan pada sebuah kelembagaan, yang dari segi apapun, tak memiliki kekuatan yang memadai untuk mengatasinya, seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, serta jaringan Gugus Tugas yang tak jelas siapa harus mengerjakan apa. Melimpahkan pekerjaan besar dalam menangani mafia trafficking, serta pola-pola rekrutmen yang makin rumit seperti itu seharusnya tak bisa hanya mengandalkan kelembagaan yang begitu terbatas jangkauan kerjanya.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia adalah negeri seribu pintu untuk masuk dan keluar. Sekeras apapun pengamanan perbatasan dilakukan, lalu lalang orang dari dan keluar dari negeri ini tak gampang dilacak dan diawasi. Lagi pula, merantau adalah laku hidup hampir setiap anak bangsa di negeri ini. Coba saja perhatikan, ragam kata yang menunjuk pada aktivitas itu.

Dalam budaya Bugis, dikenal kata massompe atau passompe yang arti harfiahnya orang yang berlayar, alias pergi dari kampung halaman untuk merantau. Dalam bahasa Sunda ada istilah pancakaki, mencari kerabat ketika pergi merantau. Lebih jelas lagi dalam adat Melayu, atau dalam tradisi Minang, merantau adalah darah kehidupan. Sebuah pantun mengingatkan pada laku hidup merantau: jika anak pergi ke Lepau, yu beli belanak beli, ikan panjang beli dahulu (Jika anak pergi merantau, ibu cari, sanak pun cari, induk semang cari dahulu).

Pada tradisi merantau, terdapat satu rangkaian sistem yang menghidupkan  kebiasaan merantau: induk semang. Rangkaian sistem itu terkait dengan sistem budaya feodal yang melanggengkan terjadinya trafficking. Sang induk semang di rantau umumnya memberikan perlindungan dengan imbal balik kepatuhan dan kesetiaan si perantau yang menginduk kepadanya. Dalam film The Godfather, tergambarkan bagaimana para perantau Italia membangun sistem kekerabatan di perantauan yang mendudukan seseorang menjadi kepala suku dan yang lain menjadi rangkaian pendukungnya dengan imbalan perlindungan dan kehidupan seluruh keluarganya di rantau.

Penelitian ini memperlihatkan perubahan watak pada sistem proteksi para induk semang itu. Para induk semang itu kini tak lebih menjadi makelar para pencari tenaga kerja. Mereka tak lagi sanggup menjadi pelindung melainkan menjadi salah satu mata rantai trafficking.

Perubahan ini semula tak disadari oleh para perantau, mereka menganggap orang yang akan membawanya dari desa merupakan  pelindungnya di rantau kelak. Nyatanya, mereka dimangsa induk semangnya sendiri. Sang induk semang itulah yang menjerumuskan seorang korban ke dalam sistem perdagangan manusia.

Sementara itu, terkait jaringan trafficking global bermuatan ideologis, persoalan menjadi lebih rumit, karena motif merantau sama sekali berbeda. Jika yang konvensinal semata-mata untuk mencari kehidupan di dunia, perantau kedua memiliki motif yang seluruh mata rantainya memiliki keyakinan dan ideologi yang sama, berhijrah untuk mencari kehidupan akhirat yang indah.

Atas perubah pola, bentuk, dan motif trafficking itu, dibutuhkan strategi yang terbarukan dan terbuka pada perubahan-perubahan itu. Tanpa upaya itu, penanganan trafficking akan tertinggal ribuan langkah lagi dan lagi.

Lies Marcoes, dimuat di Gatra Edisi 14-20 Desember 2017

 

Optimalkan Pencegahan dan Penindakan

MAKASSAR, KOMPAS — Peran negara dalam aspek pencegahan dan penindakan dalam kasus perdagangan orang perlu lebih dioptimalkan. Bentuk kejahatan yang makin meluas dan kompleks sehingga memerlukan strategi pencegahan dan penindakan yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Hal itu dikemukakan peneliti senior Yayasan Rumah Kita Bersama, Lies Marcoes, di sela-sela diskusi bertema ”Mencari Solusi Penanganan Human Trafficking Berbasis Hukum di Sulawesi Selatan” yang digelar di Makassar, Senin (11/9). Diskusi digelar Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

Diskusi merupakan tindak lanjut penelitian berjudul “Peta Masalah dan Ketersediaan Layanan untuk Penanganan Trafficking di Sulsel” yang disusun Lies bersama Ruri Syailendrawati dan Nurhady Sirimorok. Penelitian juga diselenggarakan AIPJ2.

Lies mengatakan, saat ini pola kejahatan perdagangan orang sudah berubah dengan jenis yang tidak hanya bermotifkan ekonomi, seperti untuk kebutuhan pekerja pabrik atau pekerja industri seks, tetapi juga mencakup trafficking yang terkait kebutuhan ideologi fundamentalisme. “Misalnya, perekrutan untuk organisasi NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah),” ujarnya.

Bahkan, dari penelitian yang dilakukannya di Sulsel, ada aspek sistem kebudayaan yang juga telah berubah. ”Dulu dalam tradisi merantau masyarakat Sulsel, kebudayaan memberi kondisi yang kondusif untuk terjadinya orang berpindah dari kampungnya karena ada sistem jaring pengaman, yakni patron yang memberikan perlindungan. Sekarang jaring pengamannya berubah karena patron saat ini ada yang malah jadi pelaku trafficking itu sendiri,” katanya.

Terkait pencegahan, Lies mengatakan, perlu dilakukan kampanye untuk menyosialisasikan praktik dan penanganan trafficking kepada kelompok-kelompok rentan. ”Peran negara harus dioptimalkan. Tidak bisa hanya meminta penyelesaian dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak atau Dinas Pemberdayaan Perempuan,” kata Lies.

Konsul Jenderal Australia di Makassar Richard Mathews dalam keterangan tertulisnya berharap, temuan ini mendorong dialog antarpemangku kepentingan, lembaga peradilan, institusi hukum, dan berbagai elemen masyarakat. ”Sulawesi Selatan adalah pusat pembelajaran yang penting dalam penanganan trafficking,” ujarnya.[]

Sumber: https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170912/282050507225950