Pos

Laporan Seminar Internasional Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Rumah KitaB, 21 Oktober 2020

 

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, masyarakat Muslim Indonesia dikenal memiliki cara pandang keagamaan moderat (wasathiyyah). Dua aspek yang menonjol dan hampir tak dimiliki oleh negara berpenduduk Muslim lain adalah terbukanya akses bagi perempuan ke ruang publik untuk sektor apapun, dan terjadinya konvergensi alamiah antara feminis sekuler dengan feminis Islam –yang bersama-sama mengatasi persoalan kemanusiaan perempuan. Selain, tentu saja, dipengaruhi dua Ormas keagamaan raksasa di negeri ini, yaitu NU dan Muhammadiyah.

 

Namun, seiring perubahan, baik di tingkat lokal, regional maupun internasional, moderatisme Islam yang menjadi ciri umum masyarakat Indonesia mendapat tantangan serta banyak mengalami pergeseran. Hal ini ditandai semakin menyempitnya ruang gerak perempuan  akibat fundamentalisme agama, yaitu sebuah paham yang memperlakukan teks keagamaan secara tekstual sebagai kebenaran mutlak.

 

Inilah salah satu yang melatarbelakangi penelitian Rumah KitaB tentang dampak fundamentalisme agama terhadap perempuan. Desember 2019 sampai Juni 2020 Rumah KitaB melakukan penelitian di lima wilayah di Indonesia, yaitu Depok, Jakarta, Bogor, Bandung dan Solo Raya. Menurut Lies Marcoes, selaku direktur eksekutif sekaligus koordinator penelitian ini, Rumah KitaB merekrut dan melatih 14 peneliti muda yang  didampingi 4 supervisor untuk melakukan penelitian sekaligus kaderisasi peneliti feminis.

 

Hasil penelitian itu kemarin (21/10) diluncurkan melalui Webinar dengan tajuk “Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan”. Webinar hasil kerjasama Rumah KitaB dengan Sydney Southeast Asian Centre The University of Sydney (SSEAC) ini mengundang sejumlah pembicara dan panelis: Lies Marcoes, M.A. (Direktur Rumah KitaB), Nur Hayati Aida (Peneliti Rumah KitaB), Prof. Dr. Musdah Mulia (Indonesian Conference on Religion and Peace [ICRP]), Prof. Dr. Michele Ford (sydney Southeast Asian Centre, The University of Sydney, Australia), Nurhady Sirimorok, M.A. (peneliti senior Rumah KitaB), Dr. Noor Huda Ismail (Nanyang Technological University, Singapura), Ihsan Ali Fauzi, M.A. (PUSAD Paramadina), R. Ahmad Nurwakhid, S.E, M.M. (Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme [BNPT]). Acara dibuka oleh Ulil Abshar Abdalla (board Rumah KitaB) dan Walter Doetsch (Director Office of Democratic Resilience dan Governance, USAID Indonesia. Acara ini dihadiri sekitar 234 peserta, termasuk di antaranya datang dari Malaysia, New Zealand, Australia, dan Belanda. Peserta yang hadir beragam mulai dari akademisi, peneliti, aktivis CSO, pengurus organisasi kemasyarakatan, wartawan, hingga dari unsur pemerintahan

 

Dalam sambutannya, Doetsch mengucapkan terima kasih kepada Rumah KitaB yang telah melakukan penelitian penting ini. Menurutnya, hal ini sejalan dengan perhatian dan kerja organisasinya dalam mendorong kepemimpinan perempuan dan anak perempuan. Penelitian ini juga sangat berguna dan ikut memberikan kontribusi signifikan dalam CVE dan demokratisasi.

 

Dalam presentasinya, Lies Marcoes menyebut bahwa penelitian ini berhasil menemukan dan meredefinisi konsep kekerasan ekstrem. Selama ini kekerasan lebih banyak dipahami secara maskulin sebagai kekerasan fisik yang menyebabkan kematian fisik. Dengan menelaah everyday oppression melalui hegemoni ajaran tentang fitrah dan fitnah perempuan mengalami kematian jiwa, pikiran, kemandirian dan kebebasan. Kekerasan ini bersifat non-fisik akibat cara pandang tentang perempuan sebagai fitnah dan fitrah. Inilah kekerasan ekstrem yang dialami banyak perempuan yang hanya dapat dilihat jika digunakan alat analisis yang tepat yaitu analisis gender.

 

Cara efektif yang mereka lakukan untuk menyebarkan gagasannya adalah  mendelegitimasi ajaran-ajaran Islam wasathiyyah –yang tadinya bersifat cair dan memberi ruang kepada perempuan. Melalui konsep hijrah, ruang gerak perempuan dipersempit dan selalu dalam pengawasan laki-laki (hegemoni patriarki). “Fenomena ini tak hanya terjadi di perkotaan, tapi sudah merambah ke pedesaan.  Ajaran ini semakin menemukan momentumnya setelah berkawan dan berkawin dengan kapitalisme,” ujar Lies. Dalam maksud itu ajaran fundamentalisme diterjemahkan oleh pasar dan melahirkan “ merek” barang dan jasa yang dicap syar’i dan tidak syar’i.

 

Mempertajam pemaparan Lies Marcoes, Aida menjelaskan bahwa melalui riset feminis-etnografi ini struktur-struktur relasi sosial dan gender yang timpang, yang menjadi ancaman bagi keamanan insani perempuan bisa terlihat dengan jelas. Ancaman itu terjadi sepanjang hari terhadap perempuan, dan hampir-hampir sulit untuk dikenali sebagai sebuah kekerasan. Sebab, peran dan relasi gender dikonstruksikan oleh pandangan keagamaan yang punya daya paksa dalam membentuk kepatuhan. Hasil temuan penelitian ini mengerucut pada ajaran tentang perempuan sebagai fitnah. Karena itu, untuk menjaga stabilitas moral, maka fitrah perempuan harus tunduk secara permanen kepada lelaki sebagai upaya mengatasi masalah sosial yang ditimbulkan oleh fitnah perempuan.

 

Melalui dua ajaran tersebut menghasilkan rumusan tentang konsep gender transendental, yaitu sebuah ide tentang keadilan yang akan diraih perempuan ketika negara Islam atau minimal syarat Islam telah diterapkan, atau kelak di akhirat.

 

Tiga temuan ini menjadi antitesis atas konsep keadilan gender yang selama ini dikembangkan sebagai metode dan strategi untuk meraih kesetaraan gender. Tiga temuan itu menjelaskan tentang narasi dan logika kekerasan berbasis gender terhadap perempuan akibat hegemoni paham fundamentalisme melalui proses penundukkan yang berlangsung terus menerus dan setiap hari. Ajaran fundamentalisme juga mendelegitimasi tradisi dan ajaran Islam wasathiyyah yang selama ini menghargai keberagaman.

 

Selain itu, kata Prof. Michele Ford, ketidakbolehan perempuan bekerja akibat konsep fitnah dan fitrah, menyebabkan ketergantungan perempuan. Bagi mereka yang mapan secara ekonomi, mungkin hal ini tak begitu bermasalah. Namun, bagi mereka yang secara ekonomi kurang mapan, tentu akan menambah beban ganda bagi perempuan. Namun, Michele juga merekomendasikan semestinya penelitian ini lebih jeli dalam melihat bahwa di lapangan pandangan serupa itu tak melulu ditemukan dalam kelompok Salafi Fundamentalis, tetapi di dalam pandangan tradisional pun juga muncul.  Sebagaimana yang ia amati dalam kelompok atau lingkungan buruh yang menjadi pusat amatannya. Karenanya, ia mengusulkan harus melihatnya sebagai sebuah kontinum dari yang moderat sampai yang fundamentalis.

 

Karena itu, menurut Musdah Mulia, penting sekali merebut kembali ruang publik untuk menarasikan bahwa agama sudah seharusnya tegas menyuarakan indahnya cinta, kasih sayang, komitmen persaudaraan, solidaritas, emansipasi, kesetaraan, dan keadilan. Agama harus mampu mengentaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan,dan keterbelakangan. Singkatnya, agama harus mampu mentransformasikan manusia menjadi lebih manusiawi.

 

Di samping mengapresiasi hasil penelitian ini, para panelis juga memberikan masukan dan beberapa catatan. Salah satunya dari Ihsan Fauzi. Menurutnya, penting juga dijelaskan karakteristik masing-masing wilayah penelitian: Mengapa wilayah itu dipilih dan unsur-unsur apa saja yang dilihat. Juga dipertajam bentuk-bentuk resiliensinya.

 

Nurhady Sirimorok mencatat sejumlah rekomendasi sebagai penajaman yang diusulkan Ibu Musdah tentang pentingnya melanjutkan penelitian dan produksi pengetahuan. Sebagai pegiat dalam gerakan sipil, Nurhady menyarankan untuk melakukan penelitian terlibat agar perempuan sendiri dapat mencatat dan menganalisis problem yang mereka alami ketika berhadapan dengan hegemoni fundamentalisme dalam kehidupan sehari-hari mereka.

 

Sementara Noor Huda Ismail menekankan perlunya penggunaan media populer yang kreatif untuk mensosialisasikan ancaman keamanan insani agar tak elitis dan hanya menjadi isu kalangan elit saja.

 

Sejumlah penanggap mengapresiasi tinggi atas penelitian dan merekomendasikan agar kajian ini disosialisasikan dengan cara populer dan dilakukan studi lanjutan untuk mendokumentasikan perempuan yang berhasil melakukan resiliensi. [] JM

ic

 

 

 

 

 

Upaya Kalis Mardiasih & Mengapa Online Shaming atas Perempuan Begitu Marak di Sekitar Kita

Beberapa waktu lalu, Kalis Mardiasih, seorang penulis Muslimah yang Diperdebatkan mengadukan masalah Body Shaming atau tindakan mempermalukan tubuh seseorang yang dialaminya. Dia menceritakan dengan sangat detail lewat akun media sosial miliknya, di mana penghinaan terhadap tubuhnya tersebut dialaminya secara daring kala melakukan diskusi di akun Instagram miliknya. Body Shaming di ranah digital memang sering mengarah pada perempuan, sebagai objek subordinasi atau penindasan.

Menjadikan tubuh sebagai sasaran penghinaan terhadap seseorang seringkali digunakan sebagai bagian dari strategi adhominem, di mana sebuah sesat pikir yakni ketika kita menyerang orang yang berargumen dan bukan argumennya. Apa yang dialami Kalis sebenarnya termasuk apa yang disebut Online Shaming, adalah tindakan mempermalukan orang lain di internet yang biasanya dilakukan dengan menghina, menguntit sampai mengancam individu lain.

Apa yang terjadi pada Kalis sebenarnya juga masih sering terjadi pada perempuan lainnya. Tak jauh berbeda antara di daring atau luring, tindakan mempermalukan orang lain terutama perempuan juga seringkali memakai dalil atau nilai agama. Mungkin kita termasuk pernah melakukannya, tapi perilaku seperti itu tidak jarang disandarkan pada niat baik dari pelakunya.

Biasanya dalih “mengingatkan” terkait aurat di kalangan masyarakat muslim tak jarang menyentuh persoalan tubuh seseorang, lebih-lebih perempuan. Baru kemarin saya kembali melihat di linimasa salah seorang teman yang mengunggah meme yang bernada keras pada tubuh perempuan. Adalah sebuah perbuatan dosa yang terus mengalir kepada seorang perempuan yang memajang fotonya, karena bisa terus menerus dinikmati laki-laki yang bukan keluarga atau suaminya, begitu kurang lebih isi postingan teman saya.

Menyerang perempuan dengan anggapan sebagai ladang dosa sebenarnya sudah sering kita lihat berkeliaran di jagat maya dan media sosial, dengan model dan takaran yang berbeda saja. Tubuh perempuan dalam Islam memang sudah lama menjadi persoalan yang selalu hangat diperbincangkan. Haideh Moghissi malah menyebutkan tubuh perempuan dalam masyarakat Islam diidentikan dengan daya tarik dan kesenangan.

“Ia dieksploitasi demi keuntungan dan sebagai simbol kehormatan kelompok,” tulis Moghissi.

Tubuh perempuan dimanfaatkan dan aktivitas-aktivitasnya dibatasi dengan kehadiran undang-undang, ditertibkan agar tidak melanggar, dipangkas haknya dan seringkali disertai dengan sanksi hukum dan juga kultural. Bahkan bisa dibilang obsesi terhadap kesucian seksual dalam kebudayaan Islam menjadi justifikasi pengekangan terhadap perempuan oleh keluarga, masyarakat dan negara.

Dengan kehadiran media sosial, pengekangan secara kultural terhadap tubuh perempuan turut bertransformasi menjadi tidak lagi menyentuh fisik, lebih banyak berkisar di ranah kultural. Tubuh manusia hanya eksis di dalam khalayak, begitu tulis Seno Gumira. Dalam arti lain, tubuh secara konkret dibentuk oleh ragam intervensi luar adalah fakta yang dihadapi oleh manusia modern.

Tentu familiar di linimasa media sosial kita berseliweran status atau caption berdiksi “Kok beragama Islam tak pakai jilbab?” yang kebanyakannya diarahkan pada tokoh publik atau sosok terkenal. Dari kalimat bernada sinis tersebut kita bisa melihat bagaimana sebuah pernyataan diunggah di media sosial, memiliki intervensi kultural (baca: agama) sekaligus menjadi penanda kesalehan sang penunggah di mana keberislaman seseorang diukur dengan sesuatu yang material, yakni pakaian.

Pengunaan dalil agama, baik secara nyata atau sembunyi-sembunyi, dalam pernyataan sinis di atas, dimaksudkan untuk menekan perempuan muslim untuk lebih mengekspresikan pengabdiannya pada Islam. Elizabeth Bucar menggunakan istilah “Pious” untuk menggambarkan seseorang yang saleh, atau bentuk ekspresif seorang muslim dari pengabdian religius yang mendalam.

Dia menyebutkan busana muslim lebih dihubungkan dengan moralitas karena itu adalah praktik disiplin yang membantu membentuk karakter wanita dan berfungsi untuk membangun norma-norma pakaian publik. Walau kita ketahui bersama bahwa kesalehan di masyarakat muslim terus-menerus didefinisikan ulang, termasuk diskursus tentang apa yang harus dikenakan perempuan Muslim, serta melalui pilihan sehari-hari mereka tentang apa yang sebenarnya mereka kenakan.

Namun, kita melihat sendiri sekarang kesalehan perempuan dinilai tidak hanya dalam hal penyerahan pribadi kepada Islam atau kepatuhan seksual, tetapi juga dalam hal tampilan publik yang seleranya bagus. Pakaiannya yang dianggap melanggar norma umum akan dianggap kurang menjalankan ajaran agama atau dianggap keluar dari agama Islam.

Problemnya adalah diskursus tubuh perempuan di era pascamodern seperti sekarang ini, terutama di Indonesia, lebih banyak dikuasai oleh kalangan kelas menengah yang seringkali menjadikan model keberislaman mereka sebagai identitas Islam yang dominan. Keadaan ini yang kemudian menggeser Islam yang hadir di masyarakat tidak lagi berpusat pada dinamika ritual atau spiritualitas, namun lebih berkutat pada persoalan simbol seperti busana atau pakaian.

Dalam kebudayaan tertentu jika seseorang yang berpindah dari satu identitas ke identitas yang lain, maka pertama kali berubah adalah penampilan. Jadi, apabila ada model pakaiannya masih dianggap kurang oleh kalangan tersebut maka akan mendapatkan teguran seperti “padahal muslim, kok pakaiannya begitu”.

Jika kita kembalikan ke Bucar maka pakaian dianggap salah satu simbol ketaatan dan pengabdian religius, sehingga melanggar persoalan busana maka akan dianggap melanggar norma agama.

Jika melihat kondisi di atas, kita sadar bahwa tubuh perempuan memiliki dimensi intervensi yang lebih rumit lagi dibanding sebelumnya. Ukuran moral semakin berlapis-lapis membuat perempuan membuat pekerjaan rumah menghadirkan perempuan muslim dalam kesetaraan juga semakin rumit dan sulit. Selain itu, di antara efek lain yang bisa kita rasakan adalah online shaming terhadap perempuan, seperti terkait jilbab atau penutup kepala lainnya, malah bisa semakin mudah kita temui di linimasa.

Arkian, lingkaran setan eksploitasi perempuan juga semakin sulit dihentikan. Dan, usaha-usaha sederhana yang dilakukan Kalis dan aktivis lainnya untuk membuka ke publik terkait online shaming ini layak untuk apresiasi dan ikuti langkahnya. Begitu.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin

 

 

*Analisis ini kerja sama Islami.co & Rumah KitaB*

Sumber: https://islami.co/upaya-kalis-mardiasih-mengapa-online-shaming-atas-perempuan-begitu-marak-di-sekitar-kita/

Tinjuan Psikologis, Kenapa Perempuan Terjerumus Ekstremisme?

Banyak perempuan tidak sadar ia ikut terjebak atau turut serta ekstremisme

Nurdiani Latifah

 

Keterlibatan Perempuan dalam faham ekstremisme adalah fakta yang terjadi belakangan ini. Puncaknya ketika perempuan menjadi pengantin dengan melibatkan anak sebuah dalam teror bom di Surabaya pada 2018. Keterlibatan perempuan pada kasus terorisme tercatat sejak lama. Masih ingat dengan Bahrun Naim, dalang dari serangan Jakarta 2016. Beberapa bulan yang lalu kepolisian sempat memperoleh percakapan dan instruksi Bahrun Naim lewat aplikasi telegram, Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari.

Di sisi lain, Indonesia telah didera gejala populisme kanan : religiusitas kerakyatan yang memiliki semangat untuk kembali ke akar, juga hubungan Tuhan-insan tanpa perantara. Faham radikalisme ini, bertolak dari hal tersebut. Di mana dengan karakterisme tak lagi menggubris para alite keagamaan. Pemikiran itu dibawa oleh Bahrun Naim yang menjadi mantan anggota HTI. Dengan digaetnya dua orang perempuan, isu kesetaraan gender telah masuk dalam kelompok radikalis atau ekstremis keagamaan. Bahrun Naim menjadi memerdaya perempuan pertama di Indonesia. Di mana dokrinasi tentang Islamic State sebagai cara untuk memerdayai perempuan. Cerita semacam tersebut perlu dikupas lebih jauh dari dari kacamata gender.

Sebelum membahas lebih jauh, kita perlu pemahaman gender yang perlu dibangun pertama adalah gender bukan jenis kelamin, dua hal tersebut harus dibedakan pandangannya. Gender dan jenis kelamin ini masuk ke arah kontruksi soal yang memiliki sifat antara feminim dan maskulin.

Dalam budaya Indonesia khususnya dalam penelitian lintas budaya masyarakat Indonesia pada dasarnya lebih menganut budaya feminim. Dengan kata lainnya, masyatakat Indonesia lebih menganut keharmonisan, kekeluargaan. Sementara itu, ketidaksetaraan gender berkaitan dengan ketimpangan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang tercermin dari dominasi kekuasan yang dimiliki oleh laki-laki. Di mana masyarakat cenderung bersifat patriarki karena masyarakat di dominasi oleh laki-laki sehingga cara pikir masyarakat diwarnai oleh cara pikir laki-laki.

Terdapat anggapan umum tentang prilaku laki-laki dan perempuan dengan contoh laki-laki assertif sedangkan perempuan baik hati, Namun, ternyata tidak semua seperti itu. Terdapat hal-hal yang dilakukukan oleh perempuan, namun dilakukan juga oleh laki-laki. Begitupun sebaliknya. Pengetahuan perempuan dibangun oleh pengalaman hidup sehari-hari. Termasuk dalam hal fisik, sosial, kebutuhan dan diri sendiri.

Terkait dengan kebutuhan perempuan, hal ini didasari kebutuhan perempuan menjadi perhatian masyarakat. Kehidupan perempuan dalam konteks sosial merupakan tumpeng tindih atau keterpaduan antara apa yang menjadi pribadi dan bagaimana masyarakat melihat dirinya. Hal ini berdasarkan dengan norma sosial dan relasi gender yang ada di masyarakat. Perempuan dapat masuk ke dalam segara kontek kehidupan, di antaranya teknologi, ekonomi, kesehatan, kesejahteraan, politik dan hukum.

Pada ranah perempuan, adanya keterikatan antara ibu dan anak perempuan mengakibatkan adanya pengindentikan perempuan sebagai ibu. Padahal tidak setiap perempuan menjadi ibu. Sementara dalam budaya Indonesia, terdapat 3 pengertian perempuan menjadi seorang ibu. Di antaranya, status biologis, status sosial dan makna simbolik dari perkataan ibu. Pada kasus lainnya, seperti pada anak laki-laki meskipun dengan ibunya, namun karena struktur tubuhnya berbeda, maka diharapkan anak laki-laki memiliki kedekatan dan keterikatan dengan ayahnya. Namun, ketidakhadiran figur ayah, menjadikan anak laki-laki diharuskan membentuk dan mengembangkan identitasnya sendiri.

Ibu memiliki kuasa yang besar (social power), hal itu menjadikan perempuan mempunyai nilai symbol yang sangat besar berada di alam bawah sadar. Implikasinya dari seorang perempuan yang menjadi ibu, adanya love and hate relationship dengan anak perempuannya. Hal ini didasari dengan ambisi seorang ibu kepada anak perempuannya. Sedangkan pada relasi sosial/kerja, perempuan memiliki kekuatan yang terletak pada daya pengaruh kuasa yang dapat mempengaruhi suasana kerja

Faktor-faktor yang biasa mempengaruhi perempuan saat mengambil keputusan di antaranya resiko yang melekat, perbedaan cara pandang dan solidaritas sesama perempuan. Sebab, perempuan lebih komunal. Contoh lainnya pada bidang politik adalah perempuan memiliki kemampuan dalam mempengaruhi keputusan politik.

Hal sederhananya terlihat ketika seorang suami meminta masukan dari seorang istri dalam mengambil sebuah keputusan. Sedangkan di dalam keluarga, pemikiran seorang selalu berkaitan bagaimana cara mempertahankan hidup. Hal ini juga dapat mempengaruhi seorang ibu dapat mengikutsertaan anaknya dalam mengakhiri hidup.

Konsep kehidupan bukan hanya yang sedang terjadi saat ini, namun menurut kelompok agamis lebih mengarah pada kehidupan di akhirat. Maka kematian bukan dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan dan enyelesaikan masalah terorisme haruslah memperlajari tentang psiko-teologi. Karena, teologi yang ada di kontruksi terus menerus. Ada 2 ide yakni narasi keketasan dan psiko-terorisme.

Perempuan memiliki kemungkinan yang besar untuk menjadi pelaku terorisme, namun karena kurangnya izin dari suami menjadikan jumlah pelaku teror perempuan tidak sebanyak pelaku laki-laki.  Pada hubungan relasi sosial/kerja, perempuan memiliki kekuatan yang terletak pada daya pengaruh kuasa yang dapat mempengaruhi suasana kerja.

*Analisis ini hasil kerja sama Islami.co & Rumah KitaB*

 

Sumber: https://islami.co/tinjuan-psikologis-kenapa-perempuan-terjerumus-ekstremisme/

Bagaimana Lika-liku KDRT di Masa Pendemi?

Tulisan ini berisi riset tentang KDRT selama wabah covid-19 terjadi

Ashilly Achidsti

Kondisi sebuah wabah bisa diibaratkan seperti situasi konflik. Orang memiliki kekacauan dan ketidakstabilan. Semua itu membuat perempuan rentan terhadap kekerasan, bahkan di tempat yang seharusnya paling aman sekalipun, rumah.

Pandemi Covid19 yang membuat tatanan perekonomian dan sosial berubah, nyatanya berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Kelompok masyarakat yang rentan dalam situasi ini salah satunya adalah perempuan. Angka Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di berbagai belahan dunia meningkat, mayoritas dilakukan suami kepada istri. Akar masalah KDRT sebenarnya adalah timpangnya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh tertanamnya norma maskulinitas. Kondisi itu diperparah dengan pembatasan aktivitas ke luar rumah yang membuat beban psikologis bertambah. Di berbagai negara, langkah responsif sudah dilakukan untuk menanggapi naiknya angka KDRT di tengah pandemi. Namun, bagaimana kesiapan pemerintah Indonesia merespon naiknya angka KDRT di masa pandemi?

Norma Maskulinitas dalam Masyarakat

Dalam tatanan masyarakat saat ini, tanggungan ekonomi biasanya bertumpu pada suami yang dianggap sebagai kepala keluarga. Meskipun fakta sebenarnya banyak pula perempuan yang menjadi kepala keluarga dan tumpuan ekonomi, namun apabila suami masih hidup dan istri bekerja, maka masyarakat menganggap sang istri hanya pencari nafkah tambahan saja. Semua ini sebenarnya dipengaruhi oleh norma maskulinitas yang sudah tertanam lama di dalam masyarakat.

Norma maskulinitas menghegemoni anggapan masyarakat dengan menempatkan laki-laki sebagai entitas yang memprioritaskan pekerjaan, mengejar status (sosial dan ekonomi), menjadi pemenang, bertindak agresif, mendominasi perempuan, berani menentukan dan mengambil resiko.[1] Dari anggapan itu, biasanya maskulinitas seorang laki-laki diukur dari beberapa hal, seperti seberapa besar jiwa kompetisi untuk menjadi pemenang, tingkat playboy dalam hubungan, sifat kekerasan yang identik dengan tingkat kejantanan laki-laki, tingkat kepercayaan diri, tingkat keberanian mengambil resiko, emosi yang meledak, dan tingkat kekuatan.[2] Dari kriteria itu, tidak heran apabila laki-laki ditempatkan oleh masyarakat sebagai pihak yang lebih tinggi dan mendominasi perempuan, termasuk dalam ranah rumah tangga.

Tuntutan masyarakat terkait norma maskulinitas di atas sebenarnya juga membebani laki-laki. Penelitian yang berjudul Age, Gender, and Suicide: A Cross-National Analysis[3] pada tahun 1993 karya Chris Girard menyatakan bahwa angka bunuh diri laki-laki paling tinggi disebabkan karena ketidakmampuan memenuhi peran-peran sosial yang secara tradisional dibebankan pada laki-laki seperti peran kepala keluarga.

Terbebaninya laki-laki atas ketidakmampuan memenuhi ekspektasi masyarakat dalam norma maskulinitas juga terjadi di masa pandemi ini. Di saat banyak pekerja dirumahkan sementara, PHK, atau bahkan kehilangan ladang usahanya membuat laki-laki yang dianggap penanggungjawab perekonomian keluarga berada dalam tekanan. Ketidakmampuan beradaptasi dalam keterbatasan ekonomi yang dihadapkan pada keharusan memenuhi sandang, papan, pangan keluarga membuat laki-laki merasa dominasinya berkurang atau bahkan timbul rasa gagal menjadi laki-laki apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan. Laki-laki yang terinternalisasi norma maskulinitas dan merasa tertekan dengan peran gendernya akan berusaha mempertahankan posisi kekuasaan dan dominasi terhadap perempuan ke arah yang cenderung ekstrem, seperti kekerasan.[4] Dihubungkan dengan anggapan kekerasan adalah indikasi kejantanan, membuat kesan di mata masyarakat jika laki-laki yang bertindak dengan kekerasan adalah hal lumrah.

Beban Psikologis dan Pembatasan Kegiatan

Relasi timpang gender dalam norma maskulinitas diperparah dengan aturan pembatasan kegiatan di luar rumah, bahkan beberapa negara menerapkan sistem lockdown. Keterbatasan ruang pribadi akan terasa karena 24 jam penuh pasangan suami istri akan selalu bersama. Apabila rumah yang menjadi tempat tinggal terdiri dari beberapa ruang yang membuat anggotanya bisa memenuhi kebutuhan ekspresi dan aktualisasi diri, maka lockdown tidak menjadi masalah. Namun, bagi keluarga dengan luas kediaman terbatas sehingga mengharuskan keduanya bersama dan menyebabkan tidak ada ruang bagi kebutuhan dirinya, maka tekanan psikologis dapat meningkat dan memicu kekerasan yang dilakukan suami kepada istri.

Meningkatnya Angka Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Terjadi pada Perempuan

Peningkatan KDRT selama pandemi terjadi di berbagai negara.[5] Di Prancis, terdapat peningkatan 30% KDRT selama pemberlakuan lockdown sejak 17 Maret 2020 silam. Argentina terdapat peningkatan 25% sejak lockdown diberlakukan mulai 20 Maret 2020. Di Kabupaten Jianli, China kantor polisi menerima 162 laporan KDRT pada bulan Februari 2020. Di Selandia Baru, 7 hari setelah lockdown diberlakukan terdapat lonjakan 20% KDRT. Kenaikan kasus KDRT dan permintaan tempat penampungan darurat juga terjadi di Kanada, Jerman, Spanyol, Inggris, serta Amerika.

Fenomena KDRT yang meningkat terjadi pula di Indonesia. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per 20 Februari hingga 17 Mei 2020 menerima 319 laporan kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah tersebut 62,93% nya adalah korban KDRT dengan bentuk kekerasan seksual, fisik, atau psikis. Peningkatan KDRT ini dapat terlihat pula di berbagai kota di Indonesia. Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta selama tanggal 16 Maret 2020 hingga 19 April 2020 menerima 97 aduan kekerasan terhadap perempuan selama wabah Covid19. Dari 97 laporan, 33 kasus merupakan aduan KDRT yang menjadi jumlah kasus terbanyak. Di Yogyakarta, lembaga Rifka Annisa pada bulan April mencatat ada kenaikan kasus yang melebihi bulan sebelumnya, 53 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi Yogyakarta selama Covid19.

Angka peningkatan KDRT ini membuat miris, perempuan mendapatkan kekerasan di tempat yang idealnya menjadi lokasi teraman baginya. Dalam kondisi Covid19 yang membatasi aktivitas ke luar rumah menambah ancaman bagi perempuan korban KDRT karena harus “terkunci” dalam satu rumah dengan pelaku kekerasan.

Respon Pemerintah Berbagai Negara dalam Menanggapi Covid19

Melihat laporan United Nation Human Rights, terdapat beberapa langkah yang ditempuh berbagai negara untuk merespon KDRT selama Covid19.[6] Langkah tersebut dapat dijadikan percontohan bagi negara lain untuk membuat kebijakan yang responsif dan melindungi perempuan.

  1. Menyatakan bahwa layanan terkait KDRT adalah hal yang penting di masa pandemi. Di beberapa negara, ketika perhatian dan fokus teralih kepada penanganan kesehatan dan mengesampingkan layanan KDRT, Spanyol dan Portugal justru mengumumkan bahwa perlindungan dan bantuan kepada korban KDRT merupakan layanan penting yang tetap harus beroperasi selama lockdown. Di New York, Amerika Serikat, tempat penampungan korban KDRT juga dikategorikan sebagai layanan penting
  2. Menyediakan rumah aman tambahan untuk menghindari terkurungnya korban KDRT dengan pelaku kekerasan. Apabila rumah menjadi tempat yang tidak aman bagi korban KDRT, maka korban akan sementara dipindahkan untuk berlindung di dalam suatu bangunan yang biasa disebut rumah aman. Lokasi rumah aman dirahasiakan untuk menghindari adanya teror atau hal yang tidak diinginkan oleh korban. Italia mengalihfungsikan bangunan yang ada menjadi rumah aman baru yang dapat diakses Sedangkan di Prancis, pemerintah membiayai hingga 20.000 hari di hotel untuk melindungi perempuan korban KDRT yang melarikan diri dari pasangannya. Di Portugal, dua rumah aman darurat dibuka dengan kapasitas untuk 100 orang.
  3. Implementasi sistem aduan yang mudah diakses, proaktif dan melindungi korban selama pandemi. Tidak hanya akses aduan online, di Kepulauan Canary, Spanyol dan di Prancis, korban kekerasan dalam rumah tangga dapat pergi ke apotek dan menyebut kata “Mask19” sebagai kata sandi untuk mencari penyelamatan dari kekerasan yang terjadi di rumah tangga. Layanan aduan sengaja ditempatkan di apotek supaya tidak menggugah kecurigaan apabila korban akan ke luar rumah di masa pandemi. Ketika korban menyatakan kata sandi Mask19 ke petugas farmasi, maka itu adalah tanda perempuan tersebut sebagai korban KDRT. Demikian pula, di Argentina, pemerintah meluncurkan kampanye yang memungkinkan perempuan korban KDRT untuk mengakses layanan farmasi dan menyatakan kata kunci “a red surgical mask” untuk mencari pertolongan. Cara-cara tersebut adalah langkah agar korban tetap dapat mengadu dan bercerita secara langsung tentang kekerasan yang mereka hadapi.

Pemerintah Indonesia dalam Merespon KDRT selama Covid19

Melihat 3 langkah berbagai negara untuk merespon naiknya angka KDRT, sayangnya Indonesia belum dapat mengikuti dengan baik. Fokus pemerintah Indonesia saat ini teralih ke permasalahan kesehatan saja dan seakan meninggalkan respon terhadap permasalahan ketimpangan gender akibat Covid19, termasuk KDRT. Dari 3 langkah di atas, kita dapat melihat keseriusan pemerintah menangani layanan KDRT selama pandemi dilihat dari komitmen, akses Rumah Aman, dan implementasi sistem aduan.

  1. Implementasi Sistem Aduan KDRT hanya Online

Saat ini, aduan layanan KDRT pemerintah hanya tersedia pada saluran online.  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menyediakan hotline 119 untuk konsultasi psikologi korban KDRT. Selain hotline, KPPA juga menyediakan website aduan dengan form terkait data diri korban, pelaku, jenis kekerasan, foto atau data pendukung sebagai bukti KDRT. Sayangnya, layanan konsultasi online tidak bisa menangkap secara penuh emosi dan luka psikologis yang dialami korban KDRT jika dibanding dengan tatap muka.

Meskipun sarana online kurang maksimal, namun perlu diapresiasi adanya gebrakan baru mulai terlihat di ranah media sosial terutama untuk menjaring korban KDRT dari angkatan milenial. Ketika pengguna twitter mengetik kata “KDRT” dalam layanan pencarian, maka yang keluar adalah rujukan menghubungi LBH APIK atau Komnas Perempuan. Tindak lanjutnya, Komnas Perempuan akan mengalihkan kepada Unit Pengaduan Rujukan (UPR). Sedangkan LBH APIK (sebagai lembaga independen di luar pemerintah), memberi kabar gembira dengan rencana layanan aduan dan pendampingan korban KDRT secara tatap muka yang rencananya akan dibuka tanggal 2 Juni 2020 mendatang. Dari beberapa lembaga tersebut, baru LBH APIK yang meskipun lembaga di luar pemerintah, namun berani untuk membuka layanan aduan langsung selama Covid19.

Jika dikaitkan, apabila pihak kepolisian sebagai layanan keamanan dasar bagi masyarakat tetap dibuka saat pandemi, layanan aduan dan konsultasi KDRT pun layaknya tetap dibuka secara tatap muka. Karena, aduan KDRT adalah layanan dasar bagi jaminan keamanan, terkhusus bagi perempuan yang merupakan entitas rawan di masa pandemi.

 

  1. Akses Rumah Aman Terhambat

Apabila korban KDRT yang sudah mengadu perlu ada tindaklanjut, seharusnya bermuara pada Rumah Aman. Sayangnya, akses Rumah Aman di Indonesia selama masa Covid19 terbatas.[7] Korban KDRT apabila akan mengakses rumah aman harus menyertakan surat bebas Covid19 yang prosedur mendapatkannya berbelit, memakan waktu, dan berbayar mandiri. Tentu Surat bebas Covid 19 bisa didapat apabila telah melakukan rapid test atau polymerase chain reaction (PCR). Namun biaya rapid test setiap daerah berbeda, berkisar antara 200 ribu-500 ribu, sedangkan PCR seharga 1 juta-2,5 juta rupiah. Padahal, mayoritas korban KDRT yang didampingi oleh LBH APIK adalah perempuan dari kalangan menengah ke bawah.[8] Tentu biaya mandiri surat bebas Covid akan memberatkan korban KDRT. Jangan sampai karena keterbatasan ekonomi untuk mengakses surat bebas Covid membuat perempuan korban KDRT lebih memilih kembali ke rumahnya meskipun dengan konsekuensi terancam setiap waktu oleh pelaku.

Jika dilihat dari keterbatasan rumah aman dan layanan aduan yang hanya terbatas online, terlihat apabila komitmen pemerintah Indonesia menyediakan layanan KDRT terbilang rendah. Apabila pemerintah fokus terhadap kalangan rentan di masa Covid19, khususnya perempuan, maka akses rumah aman seharusnya dipermudah, biaya seluruhnya ditanggung pemerintah, dan layanan aduan dibuka secara tatap muka dengan menjalankan prosedur aman.

Angka KDRT di Indonesia selama pandemi terus naik, lantas kapan pemerintah mau meningkatkan komitmennya untuk melindungi perempuan? Jangan sampai pemerintah hanya fokus ke satu hal dalam penanganan Covid, tapi melalaikan perlindungan kepada perempuan. Karena perlindungan kepada perempuan, terutama korban KDRT adalah skala prioritas. Bukankan tujuan berdirinya negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia?

 

*Penulis adalah Kagama S2 Manajemen dan Kebijakan Publik sekaligus pemerhati isu gender dan kebijakan

[1] J. R Mahalik, Locke, B. D., Ludlow, L. H., Diemer, M. A., Scott, R. P., Gottfried, M., & Freitas, G. (2003). Development of the Conformity to Masculine Norms Inventory. Psychology of Men and Masculinity, 4, 3–25.

[2] Aylin Kaya, 2018, The Role of Masculine Norms and Gender Role Conflflict on Prospective WellBeing Among Men, American Psychological Association,

[3] Chris Girard, 1993, Age, Gender, and Suicide: A Cross-National Analysis, American Sociological Review Vol. 58, No. 4 (Aug., 1993), pp. 553-574.

[4] R. M. Smith, Parrott, D. J., Swartout, K. M., & Tharp, A. T. (2015). Deconstructing hegemonic masculinity: The roles of antifemininity, subordination to women, and sexual dominance in men’s perpetration of sexual aggression. Psychology of Men and Masculinity, 16, 160 –169.

[5] UN Women, 2020, Covid-10 and Ending Violence Againts Women and Girls.

 

[6] United Nation Human Rights, 2020, Covid-19 and Women’S Human Rights: Guidance

[7] https://www.antaranews.com/berita/1506168/kecepatan-penanganan-kdrt-terkendala-saat-covid-19

[8] https://www.tempo.co/dw/2347/di-masa-pandemi-corona-perempuan-indonesia-lebih-rentan-alami-kdrt

 

*Analisis ini hasil kerjasama islami.co & RumahKitaB*

Sumber: https://islami.co/bagaimana-lika-liku-kdrt-di-masa-pendemi/

Saba Mahmood dan Sumbangan Besarnya dalam Kajian Islam Tentang Perempuan

Oleh Wa Ode Zainab ZT

Melalui The Politics of Piety, Pemikir bernama Sabaa Mahmoud memberi kesegaran dalam diskursus perempuan di dunia

Judul Buku     : The Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject

Penulis            : Saba Mahmood

Penerbit.         : Princeton University Press

Cetakan           : 2005

Tebal               : xvii+233 halaman

ISBN               : 978-0-691-08695-8 dan 0-691-08695-8

Buku The Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject merupakan salah satu referensi utama dalam diskursus feminisme dan gerakan perempuan di dunia [komunitas] Islam. Perempuan kelahiran Pakistan ini memberikan kontribusi teoritis untuk memikirkan kembali relasi antara etika dan politik, agama dan sekularisme, serta kebebasan dan ketundukan. Kita bisa mengatakan bahwa karya ini merupakan sebuah terobosan analisis terhadap budaya politik Islam.

Dalam Politics of Piety, Mahmood menawarkan etnografi gerakan perempuan akar rumput yang berkembang pesat pada masjid-masjid di Kairo, Mesir. Gerakan ini merupakan bagian dari kebangkitan dan reformasi politik Islam di Mesir. Tidak seperti kegiatan Islamis terorganisir lainnya yang berusaha untuk mengubah negara, gerakan perempuan di Mesir ini merupakan gerakan reformasi moral.

Dengan melintasi batas-batas disiplin ilmu humaniora dan ilmu sosial, karya Mahmood ini telah membentuk penyelidikan teoritis dan etnografis tentang agama dan kebebasan, serta warisan kolonialisme, kapitalisme, liberalisme, dan sekularisme dalam konflik kontemporer di Timur Tengah. Politics of Piety layak menjadi bacaan primer bagi siapa pun yang tertarik pada isu-isu gender dan gerakan perempuan di dalam komunitas Muslim.

Buku ini terdiri dari lima bab dan epilog. Bab pertama ialah: The Subject of Freedom (Subjek Kebebasan); Bab Kedua ialah: Topography of the Piety Movement (Topografi Gerakan Kesalehan); Bab Ketiga ialah: Pedagogies of Persuasion (Pedagogi Persuasi); Bab Keempat ialah: Positive Ethics and Ritual Conventions (Etika Positif dan Konvensi Ritual); dan Bab Kelima ialah: Agency, Gender, and Embodiment (Agensi, Gender, dan Perwujudan).

 

Saba Mahmood (w. 2018) ialah profesor antropologi di University of California, Berkeley. Dia menulis beberapa karya lainnya yang concern terhadap isu-isu gender, politik, agama, dan hubungan Muslim dan non-Muslim. Dalam beberapa karyanya, Mahmood melakukan penelitian antropologi agama dan teori politik pada masyarakat Muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan.

Antropolog yang menerima gelar PhD dari Universitas Stanford ini menerima berbagai penghargaan dan beasiswa dari berbagai negara. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti Arab, Persia, Turki, Perancis, Portugis, Spanyol, dan lainnya. Salah satu karyanya, Politics of Piety menerima Penghargaan Victordia Schuck 2005. Adapun buah pemikiran Mahmood lainnya antara lain: Religious Difference in a Secular Age: A Minority Report; Is Critique Secular? Blasphemy, Injury, and Free Speech.

Kritik terhadap Sarjana Barat

Secara teoritis, buku ini memeriksa wacana Aristotelian tentang etika yang mempengaruhi tradisi Islam dan pemikiran kontinental. Selain itu, menganalisa teori antropologis yang melibatkan teori tentang praktik dan fenomena budaya. Dengan cara ini, Mahmood menginterogasi hubungan antara praktik tubuh dan bentuk tubuh, di satu sisi, di lain sisi terkait dengan imajinasi etis dan politis. Sementara itu, pada saat yang sama, dia mempertanyakan pemisahan domain etika dan politik.

Pada magnum opusnya tersebut, Mahmood mengakui transformasi dirinya sendiri dalam konteks penelitian dan pengalaman. Terutama interaksinya dengan para tokoh gerakan masjid perempuan tersebut, serta sebagian besar perempuan yang berpartisipasi dalam gerakan ini dari berbagai latar belakang pendidikan, status sosial, dan ekonomi.

Selain itu, Mahmood menginterogasi alat investigasi sarjana Barat saat menjadikan perempuan di dunia Islam sebagai objek kajian. Dalam buku ini, Mahmood melawan anggapan tentang pandangan liberal untuk terbebas dari subordinasi. Teori Mahmood memungkinkan adanya pemisahan realisasi otomatis dari kehendak otonom dan agensi dari infrastruktur diskursif dan politik progresif.

Dalam konteks ini, dia berupaya memperkenalkan perbedaan wacana hak asasi manusia di Barat dan pertimbangan perempuan Muslim sendiri tentang martabat mereka sebagai manusia. Sehingga, buku ini meyakinkan para pembaca Barat [yang merupakan audiens dari Mahmood] bahwa setiap wacana yang didasarkan pada ide-ide epistemologis dan filosofis Barat, serta term-term yang digunakan [misalnya agensi, kebebasan, dan fundamentalisme Islam] dalam meneliti perempuan Muslim atau gerakan perempuan di dunia Islam harus ditelaah kembali.

Dia pun mengkritisi pandangan Barat yang menganalisa gerakan perempuan di dunia Islam tanpa menghasilkan pemahaman yang komprehensif dan objektif. Mahmood sebagai seorang sarjana, dalam penelitiannya berusaha memahami latar belakang dan motivasi mereka yang terlibat dalam gerakan semacam itu. Pemikiran kontroversialnya ini mendobrak penelitian ilmiah terkait dengan perempuan Muslim yang selama ini dilakukan oleh sarjana Barat.

Refleksi dan Proyeksi

Buku ini membahas tiga pertanyaan utama, sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Mahmood (hal.198). Pertama, bagaimana gerakan reformasi moral membantu kita memikirkan kembali pandangan liberal politik normatif? Kedua, bagaimana kepatuhan perempuan terhadap norma-norma patriarkal pada inti dari gerakan-gerakan seperti itu mempropagandakan asumsi-asumsi utama dalam teori feminis tentang kebebasan, hak pilihan, otoritas, dan subjek manusia? Ketiga, Bagaimana suatu pertimbangan perdebatan tentang penjelmaan ritual keagamaan di antara kaum Islamis dan kritik sekulernya membantu kita memahami hubungan konseptual antara bentuk tubuh dan imajinasi politik?

Tampaknya proyek Mahmood dapat berjalan seiring dengan paradigma negosiasi, yang sama sekali tidak terbatas pada konfirmasi atau subversi norma. Dengan demikian, dia menawarkan katalog dari relasi antara subjek dan norma. Menurut katalog tersebut, norma sebenarnya tak hanya bisa diafirmasi dan dinegasi, tetapi juga dicita-citakan.Terkait dengan norma yang berlaku pada masyarakat, dia berpandangan bahwa norma mempengaruhi tindakan individu maupun kelompok.

Paradigma yang diperkenalkan oleh Mahmood juga mengkritisi kerangka teori kekuasaan sebagai negosiasi, yakni melipatgandakan pondasi pembacaan demoralisasi proses subjektivitas yang diselenggarakan oleh kerangka neo-liberal. Dalam hal ini, Mahmood secara eksplisit membahas pemikiran Foucault, memperkenalkan refleksinya tentang etika. Dia juga memberikan pembacaan yang tegas dan afirmatif, yang berefek pada diri, terutama terhadap perilaku.

Menurutnya, kesalahan yang acap kali kita lakukan dalam menganalisis kerumitan gerakan ini apabila melakukan penelitian melalui lensa perlawanan. Sehingga, pembacaan seperti itu tak mampu melihat dimensi kekuatan dari gerakan ini dan transformasi yang telah ditimbulkannya dalam bidang sosial dan politik. Salah satu dampak nyata gerakan ini di Mesir, secara de facto, menyebabkan hambatan besar bagi proses sekularisasi. (Hal.174)

Dalam karyanya terkandung kompleksitas Islam, perempuan Muslim, gerakan perempuan, dan gagasan identitas. Sebagaimana dikemukakan pada Bab 1, Mahmood mengakui efek signifikan gerakan perempuan tersebut terhadap otoritas berbagai norma, intitusi, dan struktur dominan. Lebih jauh, Mahmood berpendapat tentang pentingnya mengelola hubungan antara politik dan etika yang selama ini kerap dipisahkan dalam kajian [penelitian] politik di Barat.

Sebagaimana termaktub dalam epilognya, Mahmood mengungkapkan tantangan yang telah dijalaninya, “Tidak ada studi tentang politik Islam yang ditulis oleh akademi Barat yang dapat menghindari kritik kontemporer tentang perilaku etis dan politik Islam, serta asumsi sekuler-liberal yang menghidupkan kritik ini.”

Inilah langkah ilmiah yang patut diapresiasi, yang mana penelitian dilakukan tanpa dominasi peneliti dalam meneliti suatu objek kajian. Dan, tentu saja menjadi salah satu sumbangan cukup besar bagi diskursus pemikiran kontemporer terkait relasi Islam-Perempuan dalam khazanah pengetahuan Islam yang terus berkembang.[]

 

*Analisis ini hasil kerjasama islami.co & Rumah KitaB* 

Sumber: https://islami.co/saba-mahmood-dan-sumbangan-besarnya-dalam-kajian-islam-tentang-perempuan/

Bagaimana Proses Penyingkiran ‘manusia’ Berbasis Gender Terjadi di Sekitar Kita?

Konstruksi gender-seksualitas terjadi dan kita tidak sadar

Oleh Ust. Ahmad Z. El-Hamdi

Sebarapa sering seksualitas menjadi diskursus yang dibicarakan secara terbuka tabu dibebani dengan tabu dan ketakutan? Membicang seksualitas rasanya memiliki beban ketakutan yang sebanding dengan mendiskusikan ateisme. Jika ateisme jelas-jelas menempatkan dirinya sebagai antitesis dari teisme yang merupakan pondasi utama dan satu-satunya atas seluruh keyakinan keagamaan, seksualitas telah lama dinarasikan sebagai kekuatan jahat yang membangkang atas tatanan ketuhanan, dari mana kesengsaraan manusia di dunia bermula. Seluruh kejahatan dan kesengsaraan manusia di dunia dikonstruksi sebagai pembangkangan seksualitas manusia terhadap tatanan kebenaran (logos) Tuhan. Kecuali beberapa tafsir kelompok feminis-progresif, kisah Adam-Hawa secara konstan dibaca dalam bingkai ini.

Dari tafsir seksis atas kisah Adam-Hawa ini juga lahir pengabsahan atas seluruh kesakitan perempuan terkait dengan siklus seks biologisnya. Haid, kesakitan karena melahirkan, hingga kesengsaraan perempuan dalam menyusui bayinya diyakini sebagai bentuk hukum atas perempuan yang dianggap sebagai biang keladi pemberintakan seksualitas manusia terhadap Tuhan. Laki-laki turut serta menanggung kesengsaraan hidup di dunia karena terperangkap dalam perdaya perempuan. Sejak awal, perempuan telah diletakkan sebagai pihak penanggung dosa-dosa manusia.

Kisah Adam-Hawa ini juga akhirnya menjadi sumber utama bagaimana seksualitas dikonstruksi. Di balik pemberontakannya terhadap tuhan, kisah Adam-Hawa menjadi blue print normatif bagi pendekatan esensialis atas seksualitas manusia. Dorongan seks yang dianggap normal adalah heteroseksual yang bertujuan untuk prokreasi. Setiap penyimpangan dari pola ini dianggap sebagai patologi. Seksualitas manusia yang nrmal hanya dan hanya jika terjadi antara laki-laki dan perempuan. Di samping itu, seksualitas manusia semata-mata untuk tujuan menghasilkan keturunan (pro-kreasi). Setiap aktivitas seksual yang dilakukan untuk tujuan kesenangan (rekreasi) dianggap sebagai abnoramitas yang melawan kodrat.[1]

Dari sinilah penyingkiran terhadap berbagai orintasi seksual non-hetero bermula. Non-heteroseksual didefinisikan sebagai menyimpang (deviant), tidak alami (unnatural), buruk dan bukan laki-laki atau perempuan sesungguhnya. Apa yang disebut dengan seks alamiah-kodrati adalah hubungan seksual antar-lain jenis.

 

Seksualitas

 

Seks dan seksualitas adalah bagian penting dari kehidupan nyaris semua orang. Ia menjadi sumber penting kesenangan, motivasi sebuah tindakan, dan perekat sebuah hubungan, terutama ketika ia dikaitkan dengan kehidupan psikologis dan emosional seseorang. Sekalipun demikian, seks dan sekuslaitas juga kerap menjadi sumber kecemasan, kecanggungan, rasa malu, kesakitan, bahkan konflik interpesonal.[2]

Sekusialitas merujuk pada kecenderungan, preferensi, kebiasaan dan minat seseorang terkait dengan aktivitas seksual, biasanya—sekalipun tidak harus—dalam konteks interpersonal. Seksualitas juga sering terkait dengan orientasi seksual seseorang. Konsep seksualitas merujuk pada interrelasi antara orientasi seksual (kepada siapa/apa seseorang tertarik secara seksual), perilaku seksual (jenis-jenis aktivitas seksual yang dilakukan seseorang), dan identitas seksual (bagaimana seseorang memilih menggambarkan dirinya). Karena itu, seksualitas tidak semata-mata kategoris bilogis, namun merembes, memengaruhi, dan tidak terpisahkan dari gender, identitas agama, kelas, etnis, dan lainnya.[3]

Pendekatan esensialis atas seksualitas mengabaikan kekuatan sosial dan sejarah yang membentuk seksualitas dan tidak mengakui keragaman identitas dan dorongan seksual. Ide bahwa ada satu esensi seks yang benar (a true essence of sex), sebuah pola yang tersembunyi yang ditakdirkan oleh alam itu sendiri banyak dipertanyakan. Pandangan esensialis dianggap bersifat simplistis karena mereduksi pola hubungan dan identitas seksual yang kompleks ke semata-mata faktor biologis.[4] Seluruh elemen seksualitas memiliki sumbernya di tubuh dan pikiran, tapi kapasitas tubuh itu hanya mendapatkan maknanya dalam konteks relasi sosial tertentu.[5]

Michel Foucault menyatakan bahwa tidak ada kebenaran tunggal tentang seks dan bahwa berbagai diskursus—hukum, agama, kedokteran dan psikiatri—telah memproduksi pandangan tertentu tentang tubuh dan kesenangannya, seperangkat sensasi, kesenangan, perasaan dan perilaku tubuh yang kita sebut dengan hasrat seksual. Inilah wacana-wacana yang membentuk nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan seksual kita serta makna yang kita berikan pada tubuh. Seks bukanlah semata-mata entitas biologis yang dikuasai oleh hukum alam, tapi satu ide spesifik dalam budaya dan periode sejarah tertentu. Seks dan bagaimana kita memahaminya dikreasi melalui definisi dan kategori-kategori.

Oleh karena itu,  dia menegaskan bahwa seksualitas adalah efek wacana. Seksualitas sebaiknya tidak dipandang sebagai sesuatu yang terberi secara alamiah yang dikendalikan oleh kekuatan, atau sebagai wilayah buram yang diungkap oleh pengetahuan secara bertahap. Seks adalah nama yang terbentuk secara historis, bukan realitas alamiah yang susah dipahami, melainkan sebuah jaringan besar di mana stimulasi tubuh, intensifikasi kenikmatan, desakan wacana, formasi pengetahuan tertentu, penguatan kontrol dan resistensi saling berkaitan satu sama lain.[6]

Jadi, seksualitas itu terkonstruksi. Kategori-kategori seksual yang kita terima, peta berbagai horison yang mungkin dan yang dianggap sebagai natural, kokoh dan  pasti sesungguhnya adalah label-label yang bersifat historis dan sosial. Kita tidak bisa mereduksi kompleksitas realitas seksualitas ke dalam satu esensi tunggal.

 

Waria: Kisah Penyingkiran Berbasis Gender dan Seksualitas

Waria bisa dikatakan sebagai titik pertemuan antara “pelanggaran” konstruksi mainstream atas gender dan seksualitas. Dilihat dari performanya, menjadi waria berarti melanggar konstruksi gender mainstream di mana orang yang memiliki seks biologi jantan (male) seharus maskulin, tapi waria adalah manusia jantan (male) yang feminin. Sebagai manusia jantan (male), mestinya dia memiliki ketertarikan seksual kepada manusia betina (female), tapi karena dia merasa seorang perempuan, maka dia memiliki ketertarikan kepada manusia jantan (male).

“Pelanggaran” ini membuat waria menjadi manusia yang unchategorical. Dari sinilah kisah penyingkiran waria dimulai. Kisah waria adalah kisah manusia pinggiran dengan sekian alur hidup yang menyedihkan karena diskriminasi yang berlapis. Kisah waria lari dari keluarganya juga adalah kisah yang sangat akrab bagi telinga kita. Waria dianggap sebagai aib keluarga. Oleh karena itu, maka orang tua dan lingkungan keluarga berusaha sekuat tenaga untuk menyeret anaknya untuk tetap berlaku seperti laki-laki. Seperti laki-laki di sini berarti maskulin, perkasa, tidak boleh gemulai dan kemayu. Jika seorang anak gagal memenuhi tuntutan patron gender seperti ini, maka yang seringkali terjadi adalah kekerasan terhadap anak. Jika lingkungan keluarga yang selama ini menjadi ruang nyaman seorang anak ketika mendapati dirinya terancam telah berubah menjadi ancaman itu sendiri, maka pilihan yang tersedia adalah lari.

Penyingkiran juga terjadi di sekolah. Kalau ada siswa yang bertingkah kemayu, maka dia akan menjadi objek ejekan di lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah tidak pernah menjadi ruang nyaman bagi para waria. Tidak mengherankan jika sangat sedikit jumlah waria yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Kalau ada waria yang berhasil menyelesaikan sekolahnya  sampai perguruan tinggi, maka hampir dipastikan si waria tersebut dipaksa untuk tetap tampil sebagai laki-laki, di mana setiap kemayu­-nya muncul, dia harus bersiap menerima ejekan dan hinaan.

Waria tersingkir dari dunia pekerjaan adalah tema tua yang sejak awal menjadi paket dari cerita perjalanan waria itu sendiri. Ketika waria melamar pekerjaan, syarat yang ditetapkan adalah tidak boleh gemulai, kalau tetap kemayu maka ancamannya adalah pemecatan.[7]

Apa yang terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan pekerjaan ini sesungguhnya adalah cermin dari norma gender masyarakat secara umum. Norma gender masyarakat kita tidak memungkinkan ada ruang bagi komunitas yang bernama waria. Masyarakat kita hanya memberi tempat bagi dua jenis identitas gender, laki-laki dan perempuan. Hanya identitas laki-laki dan perempuanlah yang diakui dalam tata hubungan sosial. Laki-laki berarti maskulin, sedang perempuan berarti feminin.

Keterasingan waria dari masyarakat umum bisa dijelaskan melalui pola perilaku gender yang ditentukan oleh sebuah budaya. Wacana dominan dalam kebanyakan budaya, termasuk Indonesia, hanya mengakui dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin ini mengacu pada keadaan fisik alat reproduksi. Klasifikasi ini kemudian diikuti oleh perilaku gender yang diharapkan atas orang yang berjenis kelamin laki-laki dan orang yang berjenis kelamin perempuan. Perilaku khas gender tertentu (gender specific behaviour) dan peran gender (gender roles) ditentukan atas klasifikasi seks tersebut.

Sebuah budaya yang dengan ketat menetapkan hanya ada dua jenis kelamin bisa dibayangkan juga hanya akan menetapkan dua perilaku dan peran gender. Maskulin ditetapkan sebagai perilaku gender yang harus dimiliki bagi laki-laki, sedang bagi perempuan, ia harus bersifat dan bersikap feminin. Konformitas gender adalah keadaan ideal di mana seseorang mengikuti kaidah perilaku gender yang digariskan oleh budayanya. Nonkonformitas gender adalah keadaan di mana seseorang tidak mengikuti, baik secara sadar atau tidak, kaidah itu.

Waria merupakan nonkonformitas gender karena ia melanggar klasifikasi peran gender yang sudah digariskan. Dia adalah laki-laki secara biologis, namun penampilan fisiknya menantang terang-terangan atas norma-norma gender. Waria sedang menentang definisi tentang pria dan wanita. Mereka menggoyahkan tata peradaban yang telah dibangun di atas definisi ketat tentang laki-laki dengan kelelakiannya dan perempuan dengan keperempuanannya. Karena sikapnya yang menentang inilah maka selalu ada ruang yang memisahkan mereka dengan masyarakat umum.

Keadaan waria yang terbuang seperti ini menggiring mereka pada situasi tak ada pilihan. Terbuang dari keluarga, tidak diterima di lingkungan sekolah dan kerja, tersingkir dari masyarakat, adalah fakta keberadaan hidup seorang waria. Dalam situasi ini, semua yang dilakukan oleh waria bisa dikatakan hanya sekedar untuk bertahan hidup. Beruntung jika seorang waria mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai. Namun, kebanyakan mereka tidak memiliki pekerjaan yang layak untuk tetap bertahan hidup. Bisa dikatakan tidak ada pilihan pekerjaan yang tersedia bagi komunitas ini. Tidak mengherankan jika hampir di berbagai kota, kita melihat para waria menjadi pengamen jalanan di siang hari dan menjadi pekerja seks di malam hari. Hampir di setiap kota memiliki tempat yang bisa dianggap sebagai lokus kehidupan komunitas waria: salon-salon kecantikan, pemondokan kumuh, dan tempat pelacuran.[8]

Struktur sosial-budaya-politik-agama telah sempurna menggiring komunitas waria ini ke dalam situasi hidup yang mencekam. Keluarga, masyarakat dan negara secara bersama-sama menciptakan situasi yang tidak memungkinkan mereka untuk memiliki akses pekerjaan seperti orang lain. Ketika mereka pada akhirnya berada dalam situasi hidup yang memilukan ini, mereka semakin dipojokkan dengan stigma yang berlapis. Jika stigma awal hanya mengarah pada status kewariaan mereka, maka sekarang mereka mendapatkan penghujatan atas kepelacurannya dan kegelandangannya.[9]

Kesempurnaan penyingkiran ini semakin menemukan momentumnya ketika agama yang selama ini dipuja sebagai tempat berlindung bagi mereka yang teraniaya dan tersingkirkan tidak memberikan apa-apa, tapi justru menjadi bagian dari agen yang turut meminggirkan, menista dan mendiskriminasi mereka. Agama yang ke mana-mana mendaku dirinya sebagai pemberi kasih tampak di mata waria sebagai teror yang tanpa henti. Teror itu bisa betul-betul berwujud dalam bentuk serangan fisik orang-orang yang mengaku sebagai pencinta dan pembela agama,[10] maupun teror psikologis akibat ajaran agama yang terus-menerus diindoktrinasi kepada semua orang tentang kedosaan waria. Indoktrinasi bahwa waria adalah dosa menjadi teror spikologis yang menghantui ke mana pun waria pergi. Bahkan ketika seorang waria hendak beribadah berdasarkan perintah agamanya pun dia harus melampaui perang batin yang luar biasa, karena hatinya selalu diberondong pertanyaan apakah ibadahnya diterima oleh Tuhan ataukah tidak hanya karena dia adalah waria.[]

[1] J. Weeks, Sexuality (London: Tavistock, 1986), 13.

[2] Roger Willoughby, “Key Concept: Sexuality,” dalam Dave Trotman, dkk (eds.), Education Studies: The Key Concepts (New York: Routledge, 2018), 88-9.

[3] Ibid., 87.

[4] Weeks, Sexuality, 15.

[5] Ibid.

[6] M. Foucault, The History of Sexuality (Middlesex: Penguin, 1988), 105-156.

[7] Ariyanto & Rido Triawan, Hak Kerja Waria: Tanggung Jawab Negara (Jakarta: Arus Pelangi & Friedrich Ebert Stiftung, 2007).

[8] Endah Sulistyowati, “Waria: Eksistensi dalam Pasungan,” dalam Srinthil, 5 (Oktober 2003).

[9] Dalam banyak hal, negara ini menyamakan antara pengamen dengan gelandangan. Tidak heran ketika ada operasi terhadap gelandangan, banyak para pengamen yang terangkut serta.

[10] Banyak ditemui komunitas waria atau kegiatan waria diserang oleh orang-orang yang mengaku membela agama dengan alasan waria adalah manusia pendosa.

*Analisis ini kerjasama Islami.co & Rumah KitaB*

Sumber: https://islami.co/bagaimana-proses-penyingkiran-manusia-berbasis-gender-terjadi-di-sekitar-kita/

rumah kitab

Merebut Tafsir: Lansia

Oleh Lies Marcoes

Hari ini dunia memperingati hari Lansia. Hari yang diperuntukkan sebagai penghormatan kepada dedikasi dan sumbangan mereka kepada dunia, dan sebaliknya dunia memberi atensi dan afeksinya kepada Lansia.

Paradigma Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah berimplikasi besar kepada pengabaian Lansia disamping kepada anak–anak dan remaja. Dalam paradigma itu pihak yang dianggap paling utama dan penting adalah mereka yang ada di usia produktif. Untunglah dunia segera sadar, usia poduktif sudah seharusnya diletakkan sebagai satu rangkaian kontinum dari masa kanak-kanak hingga Lansia. Perhatian diberikan kepada kelompok orang muda dan anak-anak mengingat mereka adalah “aset” masa depan. Siapapun paham perlakuan kita kepada orang muda saat ini akan menentukan nasib suatu bangsa di masa yang akan datang. Demikian kira-kira kredo yang dikumandangkan oleh lembaga-lembaga dunia pemerahati orang muda dan anak-anak.

Namun bagaimana dengan nasib orang tua? Harus diakui sisa-sisa paradigma pembangunan yang berorientasi kepada produktivitas berpengaruh kepada cara pandang dan perlakukan kolektif kepada Lansia. Secara statistik mereka pernah dimasukkan ke dalam kelompok tidak produktif. Itu nilai yang sama yang diberikan kepada perempuan ibu rumah tangga. Sampai kemudian ditemukan sebuah metodologi yang dapat mengkonversi sumbangan perempuan yang bekerja mengelola rumah tangga dan Lansia dengan nilai ekonomi. Namun begitu penghargaan sosial kepada Lansia masih harus diperjuangkan.

Jika kita tengok dari statistik (Data Susenas dan Sakernas, 2019), persentase Lansia dalam kurun dua dekade ini naik dua kali lipat. Saat ini jumlah mereka mencapai 9,6% (25 juta) bahkan di lima wilayah terpadat di Jawa dan Bali angka itu di atas 11- 14 %. Kenaikan itu merupakan indikasi positif terkait kesehatan, gizi dan kehidupan sosial mereka.

Naiknya jumlah Lansia beriringan dengan meningkatnya jumlah Rumah Tangga Lansia. Persentase Rumah Tangga Lansia tahun 2019 sekitar 28%, yang 70% di antaranya dikepalai Lansia dengan jumlah Rumah tangga yang dikepalai Lansia perempuan berjumlah tiga kali lipat dari Lansia lelaki (14%: 5%).

Bagaimana kita memahami situasi ini secara kelas dan gender? Dalam setiap kebudayaan lelaki dan perempuan didefinisikan peran, status dan harapannya untuk bertingkah laku secara berbeda. Lelaki Lansia yang ditinggal pasangannya terlebih dahulu, cenderung dibenarkan untuk mencari pendamping pengganti. Sebaliknya, perempuan yang ditinggal suaminya terlebih dahulu memilih atau dikondisikan untuk tetap melajang.

Situasi ini berbeda manakala keduanya merupakan penduduk miskin. Lansia lelaki miskin tak bekerja akan menjadi beban keluarga dan lingkungannya. Pola asuh kepada lelaki di masa muda atau ketika berumah tangga tak memampukannya menjadi “helper” dalam keluarga yang ditumpanginya. Ini berbeda dengan Lansia perempuan yang tenaganya masih dapat diandalkan seperti ikut mengasuh cucu atau mengurus keluarga yang ditumpanginya.

Namun tidak demikian halnya jika status Lansia itu cukup baik di lihat dari sumber ekonomi atau tempat tinggalnya. Sepanjang Lansia lelaki masih ada rumah biasanya mereka tak diganggu gugat atau didesak untuk menjual rumahnya dan dibagi waris. Sebaliknya pada perempuan Lansia ada kondisi yang membenarkan mereka untuk tinggal bersama anak perempuannya atau menantunya dan menjadi bagian dari keluarga anaknya. Untuk alasan itu rumah tempat tinggalnya dijual baik sebagai tabungannya atau sebagai warisan anak-anaknya. Cara lain adalah salah satu dari anaknya tinggal bersamanya dan memposisikan sang ibu sebagai kepala keluarga. Itulah sebabnya secara statistik jumlah perempuan Lansia sebagai kepala keluarga tiga kali lipat lebih banyak dari lelaki.

Dalam setiap kebudayaan, dan juga agama, penghargaan kepada kelompok umur lansia sebenarnya sangatlah tinggi. Dalam Islam, banyak kisah-kisah dengan nilai luhur tentang betapa pentingnya menempatkan orang tua dalam arti ayah dan ibu, atau orang tua dalam arti senior citizen secara sangat mulia, terutama kepada ibu. Paling sering dikutip adalah metafora tentang letak surga di bawah kaki ibu. Dalam realitas kita masih harus mengujinya. Dalam penelitian saya di sejumlah wilayah di Indonesia, menjadi Lansia perempuan apalagi dalam keadaan miskin dapat menjadi nestapa yang tiada tara. Selamat Hari Lansia.

 

#Lies Marcoes, 29 Mei 2020

Menutupi Aib Orang

Oleh Jamaluddin Mohammad

Seseorang bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Dalam mimpinya itu ia disuruh Rasulullah SAW untuk menemui seseorang di daerah tertentu yang bekerja sebagai penambang. Rasulullah SAW menitipkan salam dan pesan bahwa dia akan menjadi temannya di Surga. Sebelum sempat menemui orang tersebut, ia terbangun.

Ia penasaran dengan orang yang disebutkan Rasulullah SAW. Akhirnya ia mencari sesuai petunjuk mimpi dan berhasil menemukan ciri-ciri orang yang dimaksud Rasulullah SAW dalam mimpinya itu. Sebelum menemuinya, ia mencoba mencari tahu aktivitas sehari-hari orang tersebut. Tak ada yang istimewa. Berdasarkan pengamatannya, ia orang biasa, bukan ahli ibadah juga bukan orang terpandang.

Untuk membuang kepenasarannya itu ia bertanya langsung dan menceritakan prihal mimpinya kepada orang tersebut. Dia mengaku tak saleh-saleh amat. Namun, dia memilki pengalaman terburuk dalam hidupnya yang tak pernah diceritakan kepada orang lain. Dia menikahi seorang perempuan. Pada saat malam pertama, dia shock berat karena perempuan yang baru dinikahinya itu ternyata melahirkan seorang anak. Meskipun hati dan pikirannya remuk redam, dia berusaha tenang dan menyembunyikan kekecewaannya. Untuk menutup rapat-rapat aib dan menjaga marwah istrinya itu ia titipkan anak tersebut kepada keluarga istrinya.

“Barangsiapa menutupi (aib) orang lain, maka Allah SWT akan menutupi (aib) orang tersebut di dunia maupun di akhirat,” kata Rasulullah SAW. Mungkin, peristiwa inilah musabab kenapa penambang itu dicintai dan dijadikan teman Rasulullah SAW di Surga.

Salam,
Jamaluddin Mohammad

Sumber: Jawahir Lu’luah

Sikap Islam terhadap ‘Syariat’ Agama Lain

MOJOK.CO – Sikap memandang agama Islam “mengungguli” agama-agama lain tidak jadi soal jika merupakan “sikap personal”. Masalah yang terjadi tak seperti itu.

 

Dalam penjelasan al-Ghazali mengenai doktrin kenabian, kita baca penjelasan berikut: “Fa-nasakha bi syari‘atihi al-syara’i‘a illa ma qarrarahu minha” (Tuhan me-nasakh/menghapus melalui syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad syariat-syariat agama lain sebelumnya, kecuali yang masih diakui berlaku).

Inilah yang disebut dengan doktrin “super-sesionisme,” penghapusan atau amandemen terhadap ajaran agama lama oleh agama yang datang belakangan.

Akidah ini sekarang mungkin kurang terlalu “relevan,” tetapi asumsi-asumsi yang ada di baliknya tetap perlu kita diskusikan karena masih mempengaruhi cara berpikir sebagian umat. Asumsi itu, antara lain, ialah: bahwa Islam adalah agama yang paling  “unggul” di atas agama manapun, dan kerena itu syariat-nya me-nasakh atau menghapus syariat agama-agama sebelumnya.

Di sini terselip asumsi yang sering disebut sebagai triumfalisme: sikap yang memandang agama sendiri “mengungguli” agama-agama lain. Asumsi ini tidak menjadi soal jika merupakan “sikap personal” yang hanya disimpan sebagai keyakinan bagi diri-sendiri.

Tetapi ini akan jadi soal jika diterjemahkan secara sosial dalam bentuk “sikap” untuk “menang-menangan” terhadap penganut agama-agama lain—kecenderungan yang secara faktual benar-benar terjadi dalam beberapa kasus riil.

Di zaman ketika politik identitas menjadi trend di seluruh dunia, pandangan teologis yang cenderung triumfalistik yang kita jumpai dalam banyak agama (terutama agama-agama semitik), harus dipahami ulang. Jika tidak, pandangan semacam ini bisa bermasalah.

Tugas kita sebagai Muslim, antara lian, adalah ikut mendorong munculnya peradaban baru yang melintasi sekat-sekat agama, peradaban yang menjunjung persaudaraan kemanusiaan dan dialog lintas-kepercayaan. Teologi yang triumfalistik kurang mendukung usaha ke arah ini.

Ada dua hal yang ingin saya soroti terkait dengan doktrin penghapusan syariat ini. Pertama, Apa persisnya syariat agama sebelum Islam di sini? Agama apakah yang dimaksudkan di sana? Yang kedua: bagaimana memahami doktrin ini secara proporsional agar tidak berujung pada sikap triumfalistik?

 

Mengenai isu yang pertama: tampaknya yang dimaksud syariat agama “sebelum” Islam adalah syariat agama Yahudi, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa agama-agama lain juga termasuk di dalamnya. Kenapa Yahudi? Sebab, di antara seluruh agama yang muncul sebelum Islam dan secara historis ada kaitan dengannya, hanyalah agama Yahudi yang memiliki tradisi hukum syariat yang sangat kuat sebagaimana dalam Islam.

Agama Kristen jelas mengikuti “jalan yang berbeda,” terutama “Pauline Christianity,” yaitu agama Kristen sebagaimana “ditafsir” oleh Paulus. Sebagaimana kita tahu, Kristen secara tegas membedakan diri dengan Yahudi dengan tidak mengikuti lagi apa yang disebut sebagai “Hukum Musa”. Kehadiran “Perjanjan Baru” diangap telah menggantikan (supercede) “Perjanjian Lama.” Kita bisa mengatakan bahwa Kristen adalah kelanjutan dari tradisi keyahudian minus syariat.

Tradisi pembahasan hukum yang “ndakik-dakik” sebagaimana kita kenal dalam fikih Islam, misalnya, juga dikenal, dalam bentuk yang kurang lebih persis sama, dalam tradisi Yahudi – apa yang disebut dengan tradisi rabbinik (Catatan: Yang berminat, bisa membaca studi-studi yang dilakukan oleh Prof. Jacob Neusner yang banyak mengkaji perbandingan antara “fikih” Islam dan “fikih Yahudi”). Karena itu, dari segi tradisi hukum, Islam lebih dekat kepada Yahudi ketimbang Kristen.

Bagi saya, tidak ada yang aneh, bahkan wajar, dalam doktrin penghapusan syariat agama pra-Islam ini. Pengertian doktrin ini menjadi jelas jika kita pahami dalam kerangka berikut: Tentu saja syariat yang diikuti oleh orang-orang Yahudi dengan sendirinya tidak berlaku bagi umat Islam.

Hal serupa sudah dilakukan oleh Kristen sebelumnya dengan cara yang jauh lebih radikal dengan, seperti saya sebutkan sebelumnya, penghapusan Hukum Taurat setelah kedatangan Perjanjian Baru. Hukum-hukum Taurat yang berkaitan dengan hari Sabbath dan kosher (hukum halal-haram dalam makanan), misalnya, dianggap tak berlaku lagi.

 

Yang menarik, syariat Islam tidak menghapus seluruh Hukum Taurat. Beberapa hal di sana masih dipertahankan. Al-Ghazali sendiri menjelaskan dalam kutipan yang sudah saya sebut di awal tulisan ini: “illa ma qarrarahu minha” – kecuali syariat-syariat dari agama sebelum Islam yang masih dianggap berlaku. Contoh Hukum Taurat yang masih dipertahankan dalam Islam adalah: sunat bagi laki-laki, tidak memakan daging babi, bangkai, dan darah.

Dengan mengatakan ini, bukan berarti Hukum Taurat sebagai “tradisi keagamaan yang hidup” dihapuskan seluruhnya oleh kedatangan Islam. Tentu itu tidak mungkin. Hukum Taurat jelas masih berlaku bagi orang-orang Yahudi hingga sekarang. Kanjeng Nabi juga tidak pernah menghalangi orang-orang Yahudi untuk terus mempertahankan Hukum Taurat dalam kehidupan sehari-hari. Islam menghormati doktrin dan syariat agama lain.

Yang perlu kita garis bawahi juga dalam akidah kenabian dalam Islam ialah kepercayaan bahwa kenabian Muhammad adalah kelanjutan dari nabi-nabi sebelumnya. Dari segi pokok ajaran (yaitu tauhid), Islam tidak membawa hal baru, melainkan meneruskan saja apa yang sudah dibawa oleh nabi-nabi sebelum Islam.

Meski ada beberapa elemen dalam syariat sebelum Islam yang dihapus, tetapi ada juga elemen-elemen lain yang tetap dipertahankan. Islam bukanlah agama yang mengajarkan untuk memutus total tradisi-tradisi yang ada, asal masih sesuai dengan spirit ajaran Islam.

Bukankah filosofi ini telah dipraktekkan oleh Wali Sanga di tanah Nusantara?


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/sikap-islam-terhadap-syariat-agama-lain/

rumah kitab

Merebut Tafsir: Feminis dan Likuran

Oleh Lies Marcoes

Sejak malam lalu puasa tahun ini telah memasuki hari ke dua puluh. Dalam tradisi Jawa dan Sunda hitungan di atas dua puluh, yaitu dua puluh satu disebut selikur (Jawa ) atau salikur ( Sunda). Hari-hari di atas tanggal 20 disebut “likuran”. Ajaibnya kata likuran meskipun mengandung makna umum yaitu di atas bilangan 20, dalam bulan Puasa kata itu mengandung makna yang secara antropologis sangat menarik.

Likuran secara umum dimaknai sebagai malam yang dijanjikan sebagai malam penuh berkah dan ampunan. Mengacu kepada sebuah hadits, pada tanggal-tanggal ganjil sepanjang Likuran itu ( malam ke 21,23,25,27,29) Malaikat turun untuk mengirimkan rahmat bagi manusia pilihan yang mendapatkan malam Lailatul Qadar. Malam Lailatul Qadar adalah malam yang dalam metafornya disebut sebagai malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Dalam Al Qur’an kisah itu terdapat dalam Surat Al-Qadr ayat 3 yang artinya kira-kira “ Malam kemuliaan yang lebih baik dari 1000 bulan “ ( khairun min afli sahr).

Di kampungku di malam-malam Likuran itu intensitas ibadah akan semakin tinggi. Puluhan tahun lalu, saya melihat kebiasaan sebagian lelaki memilih tinggal dan i’tikaf di mesjid. Mereka menginap di sana sejak selesai tarawih hingga salat subuh kemudian pulang untuk mengganti tidurnya. Bapakku akan bangun setelah terdengar adzan shalat dzuhur.

Likuran ibarat ajang perlombaan ibadah untuk mendapatkan Lailatul Qodar. Seperti dalam logika Weberian, orang tak pernah tahu siapa yang akan terpilih mendapatkan malam kemuliaan itu. Hal yang bisa dilakukan adalah memperbanyak intensitas dan keikhlasan dalam beribadah itu.

Namun bagi perempuan Likuran bisa bermakna beda. Beban akan segera bertambah. Di malam likuran biasanya mesjid-mesjid tempat tarawih mendapatkan jenis-jenis makanan lebih banyak. Jika malam likuran tiba, ibuku harus kerja berlipat ganda. Ibuku adalah pemilik toko semacam “toserba” yang cukup besar di kampungku. Di 10 hari menjelang lebaran, toko kami luar biasa ramainya terutama untuk penjualan tepung,mentega, gula pasir, gula Jawa, susu, minyak kelapa, tembakau, kemenyan, pa(h)pir, rokok, mancam-macam kacang dan kedelai, kerupuk mentah serta lauk pauk harian. Selepas toko tutup menjelang asyar, Ibu akan sibuk menyiapkan ta’jil yang akan di bawa ke mesjid. Biasanya ibu memasak bubur kelapa, atau nasi uduk lengkap dengan lauknya atau nasi tumpeng/ ingkung. Selepas taraweh, ibuku akan terkapar lelap dan tak seperti ayahku yang melanjutkan i’tiqaf di mushala rumah atau memperbanyak lek-lekan membaca Al-qur’an.

Ketika itu, jemari saya bisa menghitung berapa banyak amalan Bapak saya. Diam-diam saya sungguh berharap malaikat Jibril akan berbelok dari mushala ke kamar Ibuku meskipun Ibuku tidak i’tiqaf. Saya pun mengakalinya dengan membuka separuh pintu kamarnya agar malaikat melihat ibuku tertidur kelelahan. Kebetulan kamar ibu/bapakku tak jauh dari ruang terbuka di tengah rumah tempat biasanya menjemur padi. Kamar itu berseberangan secara diagonal dengan mushala. Dalam bayangan masa keciku, malaikat itu seperti cahaya bulan, jadi jika separuh pintu kamar ibuku di buka cahaya malaikat akan masuk ke kamarnya. Saya ingin melihat raut ibuku bercahaya. Konon orang yang mendapatkan malam lailautl qadar di malam likuran, cahaya mukanya akan bersinar. Tapi bersinarkah? Entahlah.

Bagaimanapun bagi perempuan seperti Ibu likuran terlalu mewah untuk ibadah. Pekerjaan kesehariannya tak akan menyempatkannya menyambut Likuran sebagaimana Bapakku. Sebab baginya likuran artinya sebuah kesibukan tambahan yang menegangkan: menambah jumlah suplay belanjaan, menyiapkan uang untuk bayaran para guru sekolah yang diasuh Bapakku, menyiapkan baju lebaran untuk anak-anak, membuat macam-macam panganan untuk suguhan Lebaran, memanggil Aki Rimun untuk mengecat rumah, menghitung-hitung zakat dan sedekah, menambah belanjaan untuk kas bon para guru. Oh alangkah banyaknya daftar pekerjaannya.
Bagaimana Lailatul qadar akan diperolehnya?

Andai saja waktu itu saya telah mengenal feminisme, saya tak perlu bertanya- tanya akankah ibuku dan kaum perempuan yang bangun lebih awal tidur paling akhir di sepanjang bulan Puasa dan Likuran mendapatkan Lailatul Qadarnya? Tanpa kubukakan pintu kamarnya pun, feminsime mengajarkan saya, malaikat niscaya menghampiri para perempuan-perempuan yang telah mengartikan ibadahnya dengan bekerja keras untuk keluarganya.

Lies Marcoes, 14 Mei 2020.