Pos

Perempuan dan Politik: Narasi Sejarah, Fikih, dan Lanskap Politik Umat

Perempuan dalam Politik

Perempuan dan politik seakan tak pernah habis diperbincangkan. Setiap perhelatan politik, termasuk Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) kali ini, perempuan terus menjadi topik pembicaraan, bahkan hingga menjadi variabel penentu kemenangan. Pemilihan Gubernur Surabaya, misalnya, diikuti oleh tiga perempuan. Menariknya, narasi Islam turut berkelindan dalam pembahasan ini.

Di tengah gegap gempita kampanye, kita masih menjumpai “serangan” terhadap calon-calon perempuan, mulai dari dalil agama hingga tudingan inkompetensi dalam memimpin daerah. Di sisi lain, sebagian calon perempuan melawan dengan menggunakan otoritas agama guna mengubah persepsi negatif atas kepemimpinan perempuan yang terlanjur terbangun dan bertahan hingga hari ini.

Padahal, di tengah kemajuan teknologi internet, kepemimpinan perempuan semakin luas diperbincangkan, dari siniar di YouTube hingga unggahan di Instagram. Buku-buku pun turut membahasnya. Oleh sebab itu, sebenarnya kita tidak lagi perlu mempermasalahkan isu ini.

Literasi Terkait Perempuan dan Politik

Baru-baru ini, Rumah KitaB (Yayasan Rumah Kita Bersama) menerbitkan buku berjudul Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan. Literasi terkait perempuan dan politik pun turut bertambah. Data-data sejarah yang disuguhkan dalam buku ini tidak sekadar asumsi atau tafsiran belaka. Keterlibatan perempuan dalam berbagai fase sejarah umat Islam dihadirkan dengan jelas.

Buku ini ditulis oleh Jamaluddin Mohammad, Roland Gunawan, Achmat Hilmi, dan Nur Hayati Aida. Mereka menyajikan kajian mendalam terkait perempuan dan politik yang diulas dari sisi sejarah, hukum Islam, dan persoalan sosial yang terkait. Yuk, kita ulas sekilas buku ini.

Sejarah Perempuan dalam Islam

Secara isi, buku ini terasa padat, namun ditulis dengan bahasa yang renyah sehingga pembaca tidak akan merasa bosan. Buku ini menghadirkan banyak kisah yang terjadi sepanjang sejarah umat Islam, khususnya terkait perempuan, ruang publik, dan politik. Menariknya, kita akan menemukan banyak fakta sejarah yang selama ini mungkin jarang kita temui.

Kehadiran perempuan di ruang publik secara aktif telah dijumpai dalam beragam peran. Mungkin selama ini kita hanya mengenal nama-nama perempuan agung seperti Khadijah al-Kubra dan Fathimah binti Nabi yang aktif dalam banyak urusan umat Islam. Namun, buku ini juga memperkenalkan kita pada nama-nama perempuan muslim lainnya, seperti Al-Syifa’ binti Abdillah al-Qurasyiyah, Fathimah binti Ali bin Abdullah ibn Abbas, dan Ummu Ja’far ibn Yahya al-Barmaki, yang memiliki peran besar dalam sejarah Islam.

Buku setebal lebih dari 140 halaman ini mengulas perempuan dari sisi normativitas hingga sosio-politik di sepanjang sejarah umat Islam. Ulasan fikih yang sering kali njelimet dan kompleks terkait perempuan, ditulis dalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami.

Analisis Gender dan Fikih

Ulasan fikih dalam buku ini mengingatkan saya pada buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih. Dalam buku tersebut, Fakih mengusulkan tiga agenda strategis dalam penafsiran agama yang perlu ditinjau dan dikaji ulang, yaitu subordinasi perempuan, persoalan waris dan saksi perempuan, serta hak produksi dan reproduksi perempuan.

Fakih mengusulkan penggunaan analisis gender dalam melihat produk hukum Islam yang kurang ramah terhadap perempuan. Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan ini mengangkat tema yang mirip, membahas dinamika sosial yang terjadi dalam umat Islam, terutama di Indonesia. Mohammad dan timnya mengulas dengan sangat elok tentang perkembangan gerakan perempuan, khususnya di Indonesia.

Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia

Sejarah gerakan perempuan di Indonesia telah mengakar lama, dengan cita-cita partisipasi dan representasi perempuan dalam politik Indonesia yang terus berkembang hingga hari ini. Sejarah pengetahuan umat Islam juga terjalin erat dengan perkembangan feminisme di Indonesia.

Islam dan feminisme berkembang bersama dalam menghadapi persoalan perempuan yang semakin kompleks. Buku ini mengulas bagaimana feminisme muslim mencoba menjadikan agama tidak hanya sebagai sumber nilai dan norma, tetapi juga sebagai alat transformasi sosial. Di titik ini, semangat yang telah dibangun oleh Fakih berkelindan dengan isi buku ini.

Kompleksitas Keterwakilan Perempuan di Politik

Pada bagian akhir buku ini, kita dihadapkan pada kompleksitas kehadiran dan keterwakilan perempuan di ranah politik, yang masih problematik dan penuh tantangan. Politisi kita masih belum memiliki komitmen yang kuat dalam memperjuangkan posisi perempuan di ruang-ruang politik. Perlindungan hak-hak perempuan pun masih sangat lemah, bahkan bisa dikatakan rentan.

Banyak regulasi dan produk hukum yang melindungi perempuan masih sulit dilahirkan oleh pemangku kebijakan. Kalaupun ada, penerapannya seringkali problematik. Perempuan semakin sulit mendapatkan hak dan perlindungan yang seharusnya mereka terima.

Perempuan Sebagai Individu dan Bagian dari Sosial

Bagian paling menarik dari buku ini, menurut saya, adalah ulasan mengenai perempuan yang mengalami penindasan dari dua sisi sekaligus, yakni sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Perempuan diulas sebagai tubuh individual dan tubuh politik. Problematika representasi perempuan di ruang publik selalu terkait dengan dua aspek ini.

Sejarah, hukum Islam, dinamika sosial, dan politik terus membatasi perempuan, baik sebagai individu maupun secara sosial. Perempuan terus didefinisikan oleh pihak luar, baik tubuh individual maupun tubuh politiknya. Oleh karena itu, buku ini bisa dikatakan progresif dalam menggambarkan posisi dan representasi perempuan di ruang publik, menggunakan legitimasi fakta sejarah, ulasan hukum yang berpihak, hingga perlawanan atas dinamika sosial yang timpang dan menindas.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin. 

Komentar Sinis Perempuan Aktif di Publik & Kenapa Islam Membenci Itu

Oleh Sarjoko S

Masih Banyak Komentar Sinis di Ruang Publik

Posisi perempuan di ruang publik kita yang sangat maskulin masih sering mendapat komentar sinis. Terutama ketika menyangkut perjuangan kesadaran gender, sebagian orang beranggapan bahwa perempuan hanya memperjuangkan hal-hal yang menguntungkan dirinya. Contohnya, ada yang mempertanyakan, “Apakah perempuan mau sekadar mengangkat galon?” Pertanyaan seperti ini kerap muncul ketika mendiskusikan persoalan kesetaraan gender.

Memang ada sebagian perempuan yang menganggap bahwa peran tertentu hanya milik laki-laki. Misalnya, di sebuah acara pengajian, divisi perlengkapan sering dianggap sebagai tugas laki-laki, sementara perempuan selalu ditempatkan di divisi yang dianggap feminin, seperti penerima tamu atau konsumsi.

Tantangan Internal dan Eksternal dalam Perjuangan Kesetaraan Gender

Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan perempuan menghadapi tantangan internal dan eksternal yang sama kuatnya. Di Barat, fenomena perlawanan terhadap kesetaraan gender juga pernah terjadi. Fenomena yang disebut backlash ini didasari oleh anggapan bahwa laki-laki dan perempuan sudah setara, hanya saja memiliki peran sosial yang berbeda.

Di Indonesia, perlawanan terhadap gerakan feminisme ditandai oleh kemunculan gerakan seperti “Indonesia Tanpa Feminis.” Gerakan ini digerakkan oleh perempuan yang merasa struktur sosial lama—yang coba diubah oleh feminis—sudah sangat baik dalam menjaga keseimbangan sosial. Dominasi laki-laki dianggap sebagai kodrat ilahiyah yang tak perlu diubah lagi. Ini menjadi tantangan besar bagi gerakan kesetaraan gender di Indonesia.

Sejarah Panjang Ketimpangan Gender

Jika kita telusuri lebih jauh, gerakan kesetaraan gender masih tergolong baru dalam sejarah manusia. Di literatur feminis, gerakan memperjuangkan ruang bagi perempuan baru muncul pada 1800-an. Sebelum itu, perempuan hidup dalam era yang kelam, meskipun ada beberapa tokoh perempuan yang menjadi simbol kedigdayaan suatu negeri.

Contohnya, di Inggris, salah satu negara monarki tertua di dunia, sejak berdiri pada tahun 774, baru memiliki pemimpin perempuan pada 1141, yaitu Ratu Matilda. Namun, ia hanya bertahan beberapa bulan karena politik gereja yang mendukung laki-laki.

Monarki dan Maskulinitas dalam Sejarah Islam

Bagaimana dengan Islam? Sejarah Islam tidak jauh berbeda. Islam menyebar melalui jalur monarki, yang umumnya menempatkan laki-laki sebagai pewaris takhta. Penulis tidak pernah menemukan pemimpin perempuan di dinasti besar Islam.

Karena maskulinitas sistem monarki, tidak mengherankan jika teks-teks keagamaan juga diproduksi secara maskulin. Sultan sering kali berperan besar dalam mempengaruhi teks agama, sehingga ulama yang tidak sejalan dengan kehendak sultan akan dihukum. Kombinasi sejarah dan struktur sosial ini membentuk imajinasi kita tentang dunia yang sangat maskulin, di mana posisi penting seperti hakim, ulama, dan menteri kebanyakan dipegang oleh laki-laki.

Kekaguman yang Menyiratkan Ketidakbiasaan

Kita sering kali terkesima ketika menemukan perempuan yang memegang posisi penting. Komentar seperti, “Tuh, perempuan bisa jadi menteri,” atau “Meski perempuan, dia bisa jadi ketua,” menyiratkan bahwa pencapaian perempuan masih dianggap sesuatu yang luar biasa.

Penulis menyadari hal ini ketika mengunjungi Aceh pada akhir 2018. Di sana, banyak perempuan berperan penting dalam sejarah, seperti Tjuk Nyak Dhien, Keumalahayati, dan Sultanah Safiatuddin. Salah satu tokoh yang sangat penulis kagumi adalah Laksamana Malahayati, yang memimpin pasukan laut bernama Inong Balee. Pasukan ini terdiri dari para janda yang kehilangan suaminya dalam pertempuran.

Penulis terkagum-kagum dengan pencapaian Malahayati, yang bahkan pernah mengalahkan pasukan Belanda pimpinan Cornelis de Houtman. Namun, penulis merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Mengapa keberhasilan perempuan seperti Malahayati begitu dikagumi, sedangkan pencapaian tokoh laki-laki dianggap biasa saja? Jawabannya adalah karena perempuan selama ini hidup dalam belenggu. Ketika ada perempuan yang berhasil lepas dari belenggu itu, maka dianggap sebuah keajaiban.

Peran Perempuan dalam Ruang Domestik

Sayangnya, kebebasan perempuan justru semakin dipersempit, baik oleh kelompok laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Banyak orang terus berusaha memperkuat anggapan bahwa perempuan adalah makhluk domestik, sehingga peran mereka terbatas pada urusan dalam rumah tangga. Penulis masih bisa menerima ini jika diterapkan secara sadar dan tidak dipaksakan.

Contohnya, di pesantren, banyak Bu Nyai yang memegang peran domestik. Peran ini sebenarnya sangat vital, karena biasanya para kiai tidak memiliki pekerjaan tetap. Bu Nyai yang mengelola usaha untuk menghidupi keluarga.

Namun, domestifikasi menjadi masalah ketika dianggap bahwa perempuan tidak bisa berperan di ruang sosial karena identitas perempuannya. Apalagi jika didukung pemahaman bahwa perempuan adalah makhluk yang lebih rendah dari laki-laki. Bagi penulis, pembagian peran ini harus diserahkan pada kesadaran individu.

Kesetaraan Gender sebagai Perjuangan Substantif

Perjuangan kesetaraan gender secara substantif bertujuan untuk mendobrak pola pikir yang timpang, yang didukung oleh doktrin dan teks-teks subordinatif. Ketimpangan ini menciptakan belenggu yang menindas perempuan. Perjuangan kesetaraan gender berupaya menghancurkan belenggu tersebut. Wallahua’lam.

Analisis kerjasama Islami.co & Rumah KitaB

Sumber: https://islami.co/komentar-sinis-perempuan-di-luar-publik-kenapa-islam-membenci-itu/