Logika Hukum Menuju Keharaman Kawin Anak
Merujuk pada regulasi UU Perlindungan Anak 35/2014 menyebutkan pengertian anak, merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada di dalam kandungan. Mengapa definisi tersebut yang kita pakai? UU perlindungan anak merupakan hasil dari ratifikasi hak-hak anak yang telah diatur dalam Convention on The Rights of The Child (CRC).
CRC merupakan dokumen perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh 196 negara, termasuk Indonesia, pada 20 November 1989. Dengan begitu, CRC menjadi dokumen perjanjian yang paling banyak ditandatangani di tingkat global dibanding dokumen perjanjian global lainnya. Hal demikian telah memperlihatkan betapa pentingnya hak-hak anak diakui secara global, dan menjadi dokumen rujukan hak asasi manusia yang paling rinci terkait hak-hak anak. CRC kemudian menjadi rujukan hukum bagi regulasi hak-hak anak di 196 negara di dunia. Dengan kehadiran CRC, masyarakat global di era kontemporer telah memiliki pengertian anak yang kontekstual dengan masa kini.
Rujukan konkret dari ratifikasi CRC di Indonesia terdapat dalam UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dan UU Nomor 35 Tahun 2014. Berdasarkan definisi anak pada UU tersebut, muncul istilah perkawinan anak menggantikan istilah perkawinan dini untuk menyebutkan praktik perkawinan yang dialami seseorang berusia di bawah 18 tahun.
Fakta Perkawinan Anak
Sebelum tahun 2019, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam mengakui dan mencatat dokumen perkawinan anak, terutama sejak UU Perkawinan 1/1974 disahkan dan menetapkan batas minimum anak perempuan boleh menikah adalah 16 tahun. Sejak saat itu perkawinan anak dipandang sah secara hukum oleh negara. Perkawinan Anak yang tercatat diperkirakan tidak lebih rendah dibanding praktik perkawinan anak yang tidak tercatat (perkawinan siri). Perkawinan anak yang tidak tercatat pada periode ini lebih didominasi oleh mereka yang berusia di bawah 16 tahun.
Kemudian atas desakan koalisi masyarakat sipil, terhitung selama 20 tahun pasca reformasi, menjadi momentum menguatnya organisasi sipil di Indonesia. Selama periode ini kritik terhadap praktik perkawinan anak semakin banyak disuarakan, hingga regulasi perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berhasil mengalami revisi ke dalam UU Nomor 16 Tahun 2019, dengan menaikkan batas minimum usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Pada saat UU 16/2019 itu disahkan, angka perkawinan anak di Indonesia sangat memprihatinkan, Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di ASEAN, dan tertinggi ketujuh di dunia. Pada tahun 2023, sebanyak 1,2 juta anak Indonesia telah mengalami perkawinan anak, dengan 54.000 di antaranya melalui pintu dispensasi kawin di Pengadilan Agama, dan sisanya dilakukan melalui perkawinan siri.
Dampak negatif perkawinan anak di antaranya, melanggar hak-hak anak seperti hak hidup, non-diskriminasi, hak bermain, hak berada di bawah pengasuhan orang tua (Seri Monografi, Rumah KItaB, 2016). Anak yang mengalami perkawinan anak seringkali mengalami putus sekolah, mengalami pemaksaan hubungan seksual, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, dan KDRT (Fikih Perwalian, Rumah KitaB, 2019).
Data Unicef telah memperlihatkan, anak yang mengalami praktik perkawinan anak sempat mengalami penurunan, dan melampaui target capaian dari 8,79 menjadi 6,94 persen pada tahun 2023. Namun angka tersebut tampak kurang meyakinkan tatkala perkawinan siri semakin menjadi tren negatif sepanjang tahun 2024-2025.
Hal tersebut dapat disaksikan dengan siaran DW Indonesia baru-baru ini di Instagram (lihat di sini), sebanyak 14 anak perempuan menjadi korban perkawinan siri hanya dalam satu kelurahan di DKI Jakarta, yaitu Kalibaru di Jakarta Utara. Sementara itu, jumlah kelurahan di DKI Jakarta sebanyak 267 kelurahan di 44 Kecamatan, dan situasi kondisi masyarakat Kalibaru memiliki kemiripan seperti di Kelurahan Tanjung Priok, Muara Angke, Muara baru, Koja, Semper Barat, atau Kelurahan Tanah Tinggi yang berlokasi di dekat Istana Merdeka, bahkan dengan situasi kemiskinan yang lebih buruk dari Kalibaru.
Pada akhirnya data kuantitatif nasional perkawinan anak menjadi diragukan, dengan dugaan penurunan angkanya lebih banyak didorong oleh faktor politik dibanding motif peningkatan kualitas sosial masyarakat.
Praktik Perkawinan Siri Versus Logika Hukum Maslahat
Dalam sebuah pertemuan dengan LKK PBNU, Lakpesdam PBNU, Kementerian Agama, dan Jaringan Penyuluh agama pada 8-9 Juli 2025 di Jakarta, Achmat Hilmi selaku narasumber menyampaikan, bahwa di antara faktor terjadinya maraknya perkawinan anak didorong oleh perubahan iklim. Perubahan iklim telah menempatkan ketidakpastian ekonomi, 75000 pengangguran baru dari dunia industri setahun terakhir, belum lagi sebanyak 1 juta sarjana menganggur selama tahun 2024-2025 (CNN Indonesia, 2025), dan 6,8 juta pengangguran dari luar sarjana (BPS, 2025).
Masyarakat yang bekerja di luar korporasi juga terdampak akibat ketidakpastian musim, masyarakat pedesaan mengalami kerugian sebab ratusan sawah tadah hujan di Klaten mengalami gagal panen akibat banjir selama kemarau basah (kompas.Id, 2025), Kemarau basah juga mengakibatkan 500 hektar tanaman tembakau gagal panen (Beritajatim.com, 2025), masyarakat pesisir di Jakarta dan Pantura kehilangan pendapatan sekitar 35 persen akibat sulitnya mencari ikan dan berdampak pada menurunnya pendapatan kelompok pedagang ikan di Kalibaru yang didominasi perempuan (DW Indonesia, 2025).
Perubahan iklim telah mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat secara drastis antara 35-75 persen. Mereka pun akhirnya kesulitan memenuhi biaya pendidikan anak-anak mereka. Pada tahap berikutnya, pandangan keagamaan dan adat istiadat yang berlaku secara diskriminatif telah memutuskan hubungan anak perempuan dengan dunia sekolahnya. Hanya anak laki-laki yang mengalami nasib sedikit lebih baik, dengan tetap berada dibangku sekolah karena dipandang sebagai calon kepala keluarga sehingga para orangtua tetap memperjuangkan pendidikannya.
Dalam situasi tersebut, anak perempuan yang tidak lagi bersekolah itu didorong oleh keluarganya maupun masyarakatnya untuk menikah lebih awal, baik karena dia sudah tidak sekolah lagi atau karena anak perempuan tersebut telah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Sebagian situasi, kawin anak diinisiasi sendiri oleh anak dengan harapan dapat bebas dari beban domestik yang kompleks dibebankan kepada anak perempuan.
Pada sisi lain, pandangan agama memfasilitasi perkawinan siri, yaitu perkawinan yang tidak tercatat, atau dalam istilah UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sebagai perkawinan ilegal (tidak sah) karena praktik tersebut termasuk kategori tindakan berlawanan dengan hukum negara.
Pandangan keagamaan memfasilitasi lahirnya dualisme hukum perkawinan di Indonesia, hukum positif melarang perkawinan tidak tercatat, sementara hukum Islam (dipandang) membolehkan perkawinan yang tidak tercatat. Paket perkawinan siri ini lebih dipilih oleh para orangtua yang dalam argumentasi “mendesak” mereka harus mengawinkan anaknya. Argumentasi “mendesak” itu juga digunakan sebagai logika amar putusan sebagian hakim Pengadilan Agama untuk meloloskan 85 persen permohonan dispensasi usia kawin di Jakarta Utara pada tahun 2023.
Bila merujuk pada fikih klasik, sebagaimana disajikan dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu (Wahbah Zuhaili, 1984), kesembilan mazhab fikih seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zaidiyah, Laits, Zhahiri, dan Ja’fariyah, membolehkan perkawinan yang tidak dicatat negara, mengingat rukun nikah yang lima itu tidak sama sekali meletakkan “pencatatan perkawinan” sebagai rukun, sehingga perkawinan siri dipandang sah oleh masyarakat.
Dalam sejarah, hanya terdapat tiga tokoh ulama fikih yang melarang perkawinan anak, yaitu Abu Bakar Ashom, Utsman Al-Batti, dan Ibnu Syubrumah. Meski begitu ketiga ulama tersebut hanya mengharamkan perkawinan anak bagi anak laki-laki dan tidak mengharamkan perkawinan anak bagi anak perempuan. Cara pandang patriarki klasik menjadi pijakan dalam rumusan ketiganya. Menurut ketiganya, secara tradisi dan kebiasaan masyarakat, anak laki-laki akan memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga, sehingga mereka lebih dipersiapkan kedewasaan usia dan kemampuan ekonominya.
Sebagian besar ulama yang membolehkan kawin anak berdasarkan argumentasi fikih klasik ini. Mereka kurang bisa melihat secara kritis produk-produk fikih klasik; kenapa hukum itu dirumuskan? bagaimana dinamika para ulama dan masyarakatnya saat itu? lalu dalam situasi seperti apa tradisi pemikiran hukum saat itu dan pendekatan pemikiran hukum yang paling familiar digunakan pada zamannya? Jasser Auda (2008) menyebutnya dengan fenomena taqdisul fiqaha, yaitu sebuah kondisi tatkala fikih mengalami transendentalisme, melepaskannya dari sebuah diskursus (pengetahuan), dan membuatnya tidak lagi membumi.
Satu hal rumusan ijtihad dalam hukum Islam itu, setiap fatwa hukum tidak bisa copas begitu saja, ketika situasi, kondisi, dan konteks masyarakat telah mengalami perubahan. Namun logika kekuatan dalil teks (hujjiyatul adillah) dipandang jauh lebih otoritatif meski harus selaras dengan kemafsadatan. Misalnya adanya hadis yang membolehkan perkawinan anak seperti hadis Aisyah yang populer itu.
عن عائشة رضى الله عنها قالت: «تزوجنى النبى صلى الله عليه وسلم وأنا بنت ست سنين…
Riwayat dari Aisyah ra., Dia berkata; “Nabi Muhammad Saw telah menikahiku saat usiaku enam tahun”. (H.R. Bukhari dan Ibnu Majah)
Para ulama klasik sejak era Imam Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, telah berupaya melakukan desakralisasi terhadap hukum Islam, sebab itu akan berlawanan dengan visi kemanusiaan yang telah diklaim oleh Al-Quran,
وَمَاۤ اَرۡسَلۡنٰكَ اِلَّا رَحۡمَةً لِّـلۡعٰلَمِيۡنَ
“Dan Kami mengutus engkau (Muhammad) hanya untuk menjadi rahmat (menjamin kemaslahatan) bagi semesta”. (Q.S. Al-Anbiya 107).
Namun yang terjadi, proses sakralisasi terhadap hukum Islam, sehingga kawin siri di kalangan anak masih dibolehkan oleh sebagian pandangan tokoh agama. Sikap anti kritik terhadap hukum Islam klasik justru telah menampakkan wajah sakralisasi terhadap hukum Islam. Hal demikian, menurunkan level transendental Al-Quran sebagai sumber argumentasi hukum bukan hukum itu sendiri. Para sarjana hukum Islam-lah yang memiliki kapasitas untuk merumuskan hukum yang bersumber pada dalil Al-Quran dan Hadis, termasuk merekonstruksi keharaman kawin anak.[]










