Pos

Logika Hukum Menuju Keharaman Kawin Anak

Merujuk pada regulasi UU Perlindungan Anak 35/2014 menyebutkan pengertian anak, merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada di dalam kandungan. Mengapa definisi tersebut yang kita pakai? UU perlindungan anak merupakan hasil dari ratifikasi hak-hak anak yang telah diatur dalam Convention on The Rights of The Child (CRC).

CRC merupakan dokumen perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh 196 negara, termasuk Indonesia, pada 20 November 1989. Dengan begitu, CRC menjadi dokumen perjanjian yang paling banyak ditandatangani di tingkat global dibanding dokumen perjanjian global lainnya. Hal demikian telah memperlihatkan betapa pentingnya hak-hak anak diakui secara global, dan menjadi dokumen rujukan hak asasi manusia yang paling rinci terkait hak-hak anak. CRC kemudian menjadi rujukan hukum bagi regulasi hak-hak anak di 196 negara di dunia. Dengan kehadiran CRC, masyarakat global di era kontemporer telah memiliki pengertian anak yang kontekstual dengan masa kini.

Rujukan konkret dari ratifikasi CRC di Indonesia terdapat dalam UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dan UU Nomor 35 Tahun 2014. Berdasarkan definisi anak pada UU tersebut, muncul istilah perkawinan anak menggantikan istilah perkawinan dini untuk menyebutkan praktik perkawinan yang dialami seseorang berusia di bawah 18 tahun.

Fakta Perkawinan Anak

Sebelum tahun 2019, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam mengakui dan mencatat dokumen perkawinan anak, terutama sejak UU Perkawinan 1/1974 disahkan dan menetapkan batas minimum anak perempuan boleh menikah adalah 16 tahun. Sejak saat itu perkawinan anak dipandang sah secara hukum oleh negara. Perkawinan Anak yang tercatat diperkirakan tidak lebih rendah dibanding praktik perkawinan anak yang tidak tercatat (perkawinan siri). Perkawinan anak yang tidak tercatat pada periode ini lebih didominasi oleh mereka yang berusia di bawah 16 tahun.

Kemudian atas desakan koalisi masyarakat sipil, terhitung selama 20 tahun pasca reformasi, menjadi momentum menguatnya organisasi sipil di Indonesia. Selama periode ini kritik terhadap praktik perkawinan anak semakin banyak disuarakan, hingga regulasi perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berhasil mengalami revisi ke dalam UU Nomor 16 Tahun 2019, dengan menaikkan batas minimum usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.

Pada saat UU 16/2019 itu disahkan, angka perkawinan anak di Indonesia sangat memprihatinkan, Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di ASEAN, dan tertinggi ketujuh di dunia. Pada tahun 2023, sebanyak 1,2 juta anak Indonesia telah mengalami perkawinan anak, dengan 54.000 di antaranya melalui pintu dispensasi kawin di Pengadilan Agama, dan sisanya dilakukan melalui perkawinan siri.

Dampak negatif perkawinan anak di antaranya, melanggar hak-hak anak seperti hak hidup, non-diskriminasi, hak bermain, hak berada di bawah pengasuhan orang tua (Seri Monografi, Rumah KItaB, 2016). Anak yang mengalami perkawinan anak seringkali mengalami putus sekolah, mengalami pemaksaan hubungan seksual, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, dan KDRT (Fikih Perwalian, Rumah KitaB, 2019).

Data Unicef telah memperlihatkan, anak yang mengalami praktik perkawinan anak sempat mengalami penurunan, dan melampaui target capaian dari 8,79 menjadi 6,94 persen pada tahun 2023. Namun angka tersebut tampak kurang meyakinkan tatkala perkawinan siri semakin menjadi tren negatif sepanjang tahun 2024-2025.

Hal tersebut dapat disaksikan dengan siaran DW Indonesia baru-baru ini di Instagram (lihat di sini), sebanyak 14 anak perempuan menjadi korban perkawinan siri hanya dalam satu kelurahan di DKI Jakarta, yaitu Kalibaru di Jakarta Utara. Sementara itu, jumlah kelurahan di DKI Jakarta sebanyak 267 kelurahan di 44 Kecamatan, dan situasi kondisi masyarakat Kalibaru memiliki kemiripan seperti di Kelurahan Tanjung Priok, Muara Angke, Muara baru, Koja, Semper Barat, atau Kelurahan Tanah Tinggi yang berlokasi di dekat Istana Merdeka, bahkan dengan situasi kemiskinan yang lebih buruk dari Kalibaru.

Pada akhirnya data kuantitatif nasional perkawinan anak menjadi diragukan, dengan dugaan penurunan angkanya lebih banyak didorong oleh faktor politik dibanding motif peningkatan kualitas sosial masyarakat.

Praktik Perkawinan Siri Versus Logika Hukum Maslahat

Dalam sebuah pertemuan dengan LKK PBNU, Lakpesdam PBNU, Kementerian Agama, dan Jaringan Penyuluh agama pada 8-9 Juli 2025 di Jakarta, Achmat Hilmi selaku narasumber menyampaikan, bahwa di antara faktor terjadinya maraknya perkawinan anak didorong oleh perubahan iklim. Perubahan iklim telah menempatkan ketidakpastian ekonomi, 75000 pengangguran baru dari dunia industri setahun terakhir, belum lagi sebanyak 1 juta sarjana menganggur selama tahun 2024-2025 (CNN Indonesia, 2025), dan 6,8 juta pengangguran dari luar sarjana (BPS, 2025).

Masyarakat yang bekerja di luar korporasi juga terdampak akibat ketidakpastian musim, masyarakat pedesaan mengalami kerugian sebab ratusan sawah tadah hujan di Klaten mengalami gagal panen akibat banjir selama kemarau basah (kompas.Id, 2025),  Kemarau basah juga mengakibatkan 500 hektar tanaman tembakau gagal panen (Beritajatim.com, 2025), masyarakat pesisir di Jakarta dan Pantura kehilangan pendapatan sekitar 35 persen akibat sulitnya mencari ikan dan berdampak pada menurunnya pendapatan kelompok pedagang ikan di Kalibaru yang didominasi perempuan (DW Indonesia, 2025).

Perubahan iklim telah mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat secara drastis antara 35-75 persen. Mereka pun akhirnya kesulitan memenuhi biaya pendidikan anak-anak mereka. Pada tahap berikutnya, pandangan keagamaan dan adat istiadat yang berlaku secara diskriminatif telah memutuskan hubungan anak perempuan dengan dunia sekolahnya. Hanya anak laki-laki yang mengalami nasib sedikit lebih baik, dengan tetap berada dibangku sekolah karena dipandang sebagai calon kepala keluarga sehingga para orangtua tetap memperjuangkan pendidikannya.

Dalam situasi tersebut, anak perempuan yang tidak lagi bersekolah itu didorong oleh keluarganya maupun masyarakatnya untuk menikah lebih awal, baik karena dia sudah tidak sekolah lagi atau karena anak perempuan tersebut telah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Sebagian situasi, kawin anak diinisiasi sendiri oleh anak dengan harapan dapat bebas dari beban domestik yang kompleks dibebankan kepada anak perempuan.

Pada sisi lain, pandangan agama memfasilitasi perkawinan siri, yaitu perkawinan yang tidak tercatat, atau dalam istilah UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sebagai perkawinan ilegal (tidak sah) karena praktik tersebut termasuk kategori tindakan berlawanan dengan hukum negara.

Pandangan keagamaan memfasilitasi lahirnya dualisme hukum perkawinan di Indonesia, hukum positif melarang perkawinan tidak tercatat, sementara hukum Islam (dipandang) membolehkan perkawinan yang tidak tercatat. Paket perkawinan siri ini lebih dipilih oleh para orangtua yang dalam argumentasi “mendesak” mereka harus mengawinkan anaknya.  Argumentasi “mendesak” itu juga digunakan sebagai logika amar putusan sebagian hakim Pengadilan Agama untuk meloloskan 85 persen permohonan dispensasi usia kawin di Jakarta Utara pada tahun 2023.

Bila merujuk pada fikih klasik, sebagaimana disajikan dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu (Wahbah Zuhaili, 1984), kesembilan mazhab fikih seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zaidiyah, Laits, Zhahiri, dan Ja’fariyah, membolehkan perkawinan yang tidak dicatat negara, mengingat rukun nikah yang lima itu tidak sama sekali meletakkan “pencatatan perkawinan” sebagai rukun, sehingga perkawinan siri dipandang sah oleh masyarakat.

Dalam sejarah, hanya terdapat tiga tokoh ulama fikih yang melarang perkawinan anak, yaitu Abu Bakar Ashom, Utsman Al-Batti, dan Ibnu Syubrumah. Meski begitu ketiga ulama tersebut hanya mengharamkan perkawinan anak bagi anak laki-laki dan tidak mengharamkan perkawinan anak bagi anak perempuan. Cara pandang patriarki klasik menjadi pijakan dalam rumusan ketiganya. Menurut ketiganya, secara tradisi dan kebiasaan masyarakat, anak laki-laki akan memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga, sehingga mereka lebih dipersiapkan kedewasaan usia dan kemampuan ekonominya.

Sebagian besar ulama yang membolehkan kawin anak berdasarkan argumentasi fikih klasik ini. Mereka kurang bisa melihat secara kritis produk-produk fikih klasik; kenapa hukum itu dirumuskan? bagaimana dinamika para ulama dan masyarakatnya saat itu? lalu dalam situasi seperti apa tradisi pemikiran hukum saat itu dan pendekatan pemikiran hukum yang paling familiar digunakan pada zamannya? Jasser Auda (2008) menyebutnya dengan fenomena taqdisul fiqaha, yaitu sebuah kondisi tatkala fikih mengalami transendentalisme, melepaskannya dari sebuah diskursus (pengetahuan), dan membuatnya tidak lagi membumi.

Satu hal rumusan ijtihad dalam hukum Islam itu, setiap fatwa hukum tidak bisa copas begitu saja, ketika situasi, kondisi, dan konteks masyarakat telah mengalami perubahan. Namun logika kekuatan dalil teks (hujjiyatul adillah) dipandang jauh lebih otoritatif meski harus selaras dengan kemafsadatan. Misalnya adanya hadis yang membolehkan perkawinan anak seperti hadis Aisyah yang populer itu.

عن عائشة رضى الله عنها قالت: «تزوجنى النبى صلى الله عليه وسلم وأنا بنت ست سنين…

Riwayat dari Aisyah ra., Dia berkata; “Nabi Muhammad Saw telah menikahiku saat usiaku enam tahun”. (H.R. Bukhari dan Ibnu Majah)

Para ulama klasik sejak era Imam Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, telah berupaya melakukan desakralisasi terhadap hukum Islam, sebab itu akan berlawanan dengan visi kemanusiaan yang telah diklaim oleh Al-Quran,

وَمَاۤ اَرۡسَلۡنٰكَ اِلَّا رَحۡمَةً لِّـلۡعٰلَمِيۡنَ

“Dan Kami mengutus engkau (Muhammad) hanya untuk menjadi rahmat (menjamin kemaslahatan) bagi semesta”. (Q.S. Al-Anbiya 107).

Namun yang terjadi, proses sakralisasi terhadap hukum Islam, sehingga kawin siri di kalangan anak masih dibolehkan oleh sebagian pandangan tokoh agama. Sikap anti kritik terhadap hukum Islam klasik justru telah menampakkan wajah sakralisasi terhadap hukum Islam. Hal demikian, menurunkan level transendental Al-Quran sebagai sumber argumentasi hukum bukan hukum itu sendiri. Para sarjana hukum Islam-lah yang memiliki kapasitas untuk merumuskan hukum yang bersumber pada dalil Al-Quran dan Hadis, termasuk merekonstruksi keharaman kawin anak.[]

Perjuangan Wollstonecraft Melawan Pernikahan Anak dan Menuntut Hak Pendidikan Anak Perempuan

Pernikahan dini telah menjadi kenyataan pahit yang dialami oleh jutaan anak perempuan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di balik alasan adat, moralitas, dan kesopanan, praktik ini terus hidup dan merampas masa depan anak-anak yang seharusnya sedang duduk di bangku sekolah.

Angin segar perlahan mendera dengan melihat data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang menunjukkan bahwa angka perkawinan anak menurun menjadi 6,92 persen pada tahun 2023, melampaui target RPJMN sebesar 8,74 persen (Kemen PPPA, 2024). Namun, itu bukan salah satu alasan selesainya problem pernikahan dini yang semakin hari timbul ke permukaan.

Dampak pernikahan dini sangat luas dan mendalam. Anak-anak perempuan yang menikah muda sering kali harus putus sekolah, kehilangan hak atas pendidikan, dan terpaksa menjalani peran sebagai istri dan ibu sebelum mereka matang secara fisik dan psikologis. Secara kesehatan, mereka berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan karena tubuh yang belum berkembang sepenuhnya.

Selain itu, ketidaksiapan mental untuk menjalani kehidupan rumah tangga dapat menyebabkan stres, depresi, dan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Dari sisi ekonomi juga, anak perempuan yang menikah dini cenderung terperangkap dalam lingkaran kemiskinan karena tingkat pendidikan dan keterbatasan akses terhadap pekerjaan yang relevan apalagi dikatakan layak.

Keputusan ini bukan diambil oleh mereka sendiri, melainkan dipaksakan oleh keluarga karena tekanan ekonomi, norma budaya, atau alasan kehormatan keluarga (Ahadyah, 2025). Pernikahan dini, dengan demikian, bukan sekadar persoalan pribadi; ia adalah bentuk kekerasan struktural yang dilembagakan oleh masyarakat dan sistem hukum yang lemah.

Secara hukum, Indonesia memang telah mengalami kemajuan. Pada tahun 2019, Undang-Undang Nomor 16 tentang Perkawinan direvisi, menaikkan batas usia minimal pernikahan bagi perempuan dari 16 menjadi 19 tahun, menyamakan dengan batas usia bagi laki-laki. Namun, celah besar masih terbuka melalui mekanisme dispensasi kawin di pengadilan agama, dapat dilihat bahwa permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama naik hingga 200 persen dalam beberapa waktu terakhir.

Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengungkapkan bahwa terdapat beberapa alasan yang menyebabkan orang tua mengajukan dispensasi tersebut. Pertama, tradisi atau budaya yang masih memandang perempuan yang telah menstruasi dianggap siap menikah. Kedua, sering kali orang tua mengajukan dispensasi untuk menutupi “aib” akibat kehamilan di luar nikah (BBC News Indonesia, 2023).

Melihat kenyataan ini, penting untuk kita untuk mengingat kembali tokoh perempuan yang telah memperjuangkan hak anak perempuan untuk bebas dari belenggu patriarki. Salah satunya adalah Mary Wollstonecraft, filsuf dan penulis Inggris yang menulis karya revolusioner berjudul A Vindication of the Rights of Woman (1792).

Wollstonecraft menyampaikan pemikiran yang sangat ‘radikal’ pada masanya, bahwa perempuan bukanlah makhluk inferior yang diciptakan hanya untuk melayani laki-laki, tetapi manusia rasional yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan menentukan jalan hidupnya.

Mary Wollstonecraft mengkritik budaya pernikahan dini terutama dalam konteks bagaimana perempuan sering menjadi korban ketidakadilan dan ketergantungan akibat pernikahan yang dipaksakan atau tanpa persetujuan penuh, yang membuat mereka terjebak dalam kesengsaraan dan kehilangan kebebasan. Hal ini terlihat dalam narasi tentang seorang gadis yang dijodohkan oleh ayahnya dan kemudian mengalami penderitaan karena kehilangan dukungan dan kebebasan, serta bagaimana pernikahan tanpa persetujuan dapat menimbulkan penderitaan yang besar bagi perempuan (Wollstonecraft, 1792, hlm. 480).

Perjuangan Wollstonecraft dapat menjadi pedoman untuk dibawa kembali ke ranah Indonesia. Di berbagai daerah, praktik pernikahan dini masih dilegitimasi oleh tafsir budaya dan agama nan konservatif. Anak-anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi yang harus segera dinikahkan agar tidak menjadi “aib” atau “beban” keluarga. Akhirnya pendidikan mereka dikesampingkan, impian mereka dikorbankan atas nama tradisi.

Sayangnya, sistem hukum Indonesia belum cukup berpihak kepada anak-anak perempuan. Proses pengajuan dispensasi kawin tidak cukup ketat dan sering kali mengabaikan kepentingan terbaik bagi anak. Anak tidak diberi ruang untuk menyampaikan pendapat. Ini adalah bentuk normalisasi terhadap praktik yang seharusnya sudah ditinggalkan. Hukum memang berubah, tetapi tanpa pengawasan, edukasi masyarakat, dan perubahan sosial yang menyeluruh, praktik pernikahan dini akan terus berulang seperti tidak ada perubahan.

Penegasan dengan menaikkan batas usia pernikahan, negara harus hadir dengan melarang pernikahan di bawah usia 18 tahun, perizinan dispensasi kecuali hanya keadaan luar biasa itu pun secara ketat. Pemerintah juga perlu memperkuat program pendidikan bagi anak perempuan, terutama di daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Stakeholder harus dilibatkan aktif dalam membentuk narasi baru yang mengedepankan kesetaraan gender dan penghormatan terhadap hak anak, khususnya perempuan.

Jauh dari itu, perlu kesadaran cara pandang. Kita harus berhenti melihat anak perempuan sebagai objek yang harus dijaga kehormatannya dengan jalan nikah muda. Seyogyanya, melihat mereka sebagai individu yang punya hak, potensi, dan masa depan yang sama dengan laki-laki dan anak seusianya. Setiap anak perempuan berhak untuk bermimpi, belajar, dan tumbuh tanpa rasa takut bahwa suatu hari nanti hidupnya akan diputuskan oleh orang lain atas nama hukum dan stigma sosial.

Melawan pernikahan dini merupakan aspek dari perjuangan panjang menuju masyarakat adil dan setara. Seperti Mary Wollstonecraft yang berani menulis dan melawan tatanan sosial zamannya yang patriarkal, perempuan pun harus berani mengatakan bahwa pernikahan dini adalah bentuk kekerasan yang tidak bisa lagi ditoleransi. Ini bukan takdir, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan sebagai hak yang justru diberikan oleh Tuhan.

 

Referensi:

Ahadyah, S. (2025, 28 Mei). Kenali Dampak Pernikahan Dini. Radio Republik Indonesia. https://www.rri.co.id/nunukan/lain-lain/1546446/kenali-dampak-pernikahan-dini

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2024, Mei 1). Menteri PPPA: Angka Perkawinan Anak Turun Menjadi 6,92 Persen, Lampaui Target RPJMN. Siaran Pers Nomor: B-116/SETMEN/HM.02.04/05/2024.   https://www.kemenpppa.go.id/page/view/NTE3MA==#

Wollstonecraft, M. (1792). A vindication of the rights of woman (hlm. 480). Feedbooks.

Perkawinan Anak, Agensi Perempuan dan Islam yang Bergerak: Telaah Maqasid Syariah

Di tengah gelombang perubahan sosial yang kian dinamis dan meningkatnya kesadaran akan hak anak, praktik perkawinan anak-khususnya pada anak perempuan-masih saja terus terjadi di berbagai wilayah. Realitas ini bukan sekadar problem hukum, melainkan mencerminkan bagaimana norma sosial, adat, dan tafsir agama berkelindan dalam struktur masyarakat yang patriarchal. Bahkan, dalam beberapa kasus, praktik ini dibenarkan dengan mengutip dalil-dalil agama secara literal, tanpa mempertimbangkan konteks dan prinsip-prinsip moral Islam yang lebih luas.

Maka, pertanyaan mendasarnya adalah: “apakah struktur sosial ini bersifat permanen dan absolut? Ataukah ia dapat-dan seharusnya-direkonstruksi demi keadilan dan kemaslahatan bersama?”

Membaca Ulang Perkawinan Anak dalam Bingkai Maqashid Syariah

Islam sebagai agama rahmat tidak sekadar mengatur aspek ritual belaka, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Salah satu kerangka penting dalam hukum Islam adalah: Maqashid Syari’ahtujuan utama syari’at yang berintikan pada lima hal utama: menjaga agama (hifzh al-din), jiwa (hifzh al-Nafs), akal (hifzh al-‘aql), keturunan (hifzh al-nasl), dan harta (hifzh al-mal).

Perkawinan anak, khususnya pada usia yang belum matang secara biologis maupun psikologis, secara nyata mengancam setidaknya empat dari lima tujuan tersebut. Anak perempuan yang dinikahkan di usia muda berpotensi besar menghadapi tekanan psikologis, kehilangan akses pendidikan, terbatasnya kemandirian ekonomi yang dapat menyebabkan kemiskinan struktural, mengalami kehamilan yang berisiko tinggi, serta terjebak dalam relasi kuasa yang tidak seimbang.

Dalam banyak kasus, mereka tidak memiliki kapasitas untuk dapat memberikan persetujuan yang utuh terhadap pernikahan tersebut, sehingga bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan yang menjadi ruh utama dalam syariat Islam.

Sayangnya, justifikasi keagamaan sering digunakan untuk membenarkan praktik ini. Misalnya, yang paling populer adalah penggunaan hadis tentang pernikahan Nabi dengan Sayyidah ‘Aisyah kerap dijadikan dalil untuk membolehkan pernikahan anak. Namun, pendekatan tesktual yang mengabaikan konteks historis serta dinamika sosial tersebut telah mengaburkan substansi ajaran Islam. Dalam konteks ini, kita perlu menegaskan bahwa maqashid dan maslahah harus menjadi landasan dalam memahami dan menerapkan hukum, bukan semata-mata mengikuti literalitas teks yang tidak kontekstual.

Struktur Sosial, Agensi Perempuan, dan Ruang Transformasi

Praktik perkawinan anak tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial yang dikonstruksikan lewat budaya patriarki dan tafsir agama yang cenderung konservatif. Tradisi dan norma sosial yang menempatkan perempuan sebagai sebuah simbol kehormatan keluarga sering kali melanggengkan praktik ini. Ketika seorang anak perempuan dinikahkan pada usia dini, keputusan tersebut sering kali bukan hasil dari pilihan sadar sang anak, melainkan produk dari tekanan sosial dan kepentingan keluarga atau komunitas.

Namun demikian, dinamika sosial saat ini menunjukkan adanya potensi transformasi. Perempuan Muslim masa kini semakin memiliki akses terhadap pendidikan, informasi, dan ruang-ruang partisipasi publik. Mereka bukan lagi objek pasif dari struktur sosial, melainkan subjek aktif yang mampu mengambil keputusan dan mengubah arah kehidupan. Di sinilah agensi perempuan menjadi kunci. Mereka dapat menjadi agen perubahan yang menantang narasi konservatif dan membangun paradigma baru mengenai usia ideal pernikahan, nilai kehormatan, dan kesetaraan gender.

Munculnya tokoh-tokoh perempuan Muslim yang kritis dan progresif dalam menafsirkan teks-teks keagamaan merupakan bukti bahwa tafsir bukanlah milik eksklusif kelompok tertentu. Tafsir adalah medan kontestasi yang hidup, dan perempuan memiliki hak yang setara untuk menafsirkannya demi memperjuangkan keadilan.

Islam yang Bergerak: Tafsir, Konteks, dan Tanggung Jawab Sosial

Islam bukanlah agama yang jumud (beku), Islam mengenal akan tradisi ijtihad- upaya intelektual dan spiritual untuk menjawab tantangan zaman. Ketika sebuah teks secara literal tidak lagi cukup memadai untuk menyelesaikan persoalan baru, maka jalan ijtihad terbuka lebar. Dalam konteks perkawinan anak, kita tidak cukup hanya berdebat soal batas usia dalam fikih klasik, tetapi harus bergerak lebih jauh: apakah praktik ini masih membawa kemaslahatan..?, apakah ia menjamin kesejahteraan dan kehormatan perempuan..?

Bila jawabannya tidak, maka saatnya kita bergerak untuk mencegah terjadinya perkawinan anak, salah satunya dengan menggunakan pendekatan sad al-dzariah. Salah satu metode penetapan hukum dalam hukum Islam yang secara sederhana dapat kita artikan “menutup jalan menuju setiap keburukan.” Prinsip ini memberikan ruang legitimasi secara syar’i untuk melarang sesuatu yang pada dasarnya adalah mubah, jika berpotensi besar untuk membawa pada kerusakan. Dalam konteks ini, mencegah perkawinan anak menjadi bagian dari tanggung jawab moral dan keagamaan.

Epilog: Membangun Kesadaran Kolektif untuk Menghentikan Perkawinan Anak

Sebagai penutup, penting untuk disadari bahwa menghentikan praktik perkawinan anak menuntut kerja sama yang menyentuh akar persoalan: mulai dari kesadaran individual, tafsir agama, hingga struktur sosial yang masih melanggengkan ketimpangan. Perubahan tidak akan datang hanya melalui regulasi formal belaka, melainkan melalui sebuah transformasi nilai-yakni cara pandang baru terhadap perempuan, anak, dan makna keadilan dalam Islam.

Sudah saatnya masyarakat, khususnya komunitas Muslim, memaknai ulang teks keagamaan dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan humanistik. Ulama, tokoh masyarakat, akademisi, dan orang tua perlu membuka ruang dialog yang sehat, menjadikan prinsip jalbil masalih wa dar’ul mafasid (mendatangkan kebaikan dan mencegah setiap keburukan) serta prinsip kepentingan terbaik bagi anak sebagai poros utama dalam menimbang setiap keputusan yang berdampak pada kehidupan anak. Perlindungan terhadap anak-terutama perempuan-bukan sekadar urusan negara, tetapi merupakan tanggung jawab keagamaan dan moral bersama.

Kita perlu menumbuhkan budaya yang menghargai pilihan anak untuk tumbuh, belajar, dan bermimpi tanpa adanya tekanan struktural.

Agensi perempuan mesti dipupuk sejak dini, bukan dipangkas atas nama kehormatan semu atau stabilitas sosial yang semu. Dalam konteks ini, setiap langkah kecil untuk mendengarkan suara anak, memperluas akses pendidikan, membongkar tafsir yang konservatif, dan membongkar struktur yang melanggengkan ketidakadilan-khususnya bagi perempuan dan anak-adalah bagian dari jihad sosial yang sejati.

Islam yang hidup dan bergerak adalah Islam yang senantiasa berpihak pada keadilan, yang peka terhadap segala penderitaan, dan yang bersedia mengoreksi praktik yang merugikan manusia. Maka, menolak perkawinan anak merupakan wujud keberpihakan terhadap misi luhur Islam: menjaga martabat manusia dan menghadirkan rahmat bagi seluruh alam.

Menerka Tujuan Syariat (2/2)*

Oleh: Buya Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A.

 

KITA harus mengetahui kenapa diperintah dan dilarang melakukan sesuatu. Bagaimana kita melaksanakan perintah atau menjauhi larangan jika kita tidak mengetahui maksud Tuhan? Seorang Muslim yang jumud berpandangan bahwa dalam beragama tidak boleh berpikir. Orang yang sering bertanya dianggap sebagai Bani Israil. Islam dipandang relevan sepanjang zaman (al-Islâm shâlih fî kulli zamân), sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Qutb pada Kongres Ikhwanul Muslimin II di Mesir. Kalimat ini menyebar ke mana-mana yang memunculkan pemahaman bahwa pendapat para ulama klasik mengenai hukum syariat sudah final dan harus diyakini kebenarannya.

Dulu saya pernah menyampaikan tentang ketidakadilan terhadap perempuan dalam hal waris (yang hanya mendapatkan separuh saja) dan dalil-dalilnya kepada Menteri Agama Munawir Sadzali. Kemudian ia menyampaikannya di majalah Mimbar dan diserang habis-habisan. Ini adalah hal yang sangat sensitif dan perlawanannya sangat berat. Itulah kenapa perbudakan, mengawinkan anak kecil, dan memukul istri dibolehkan karena dianggap masih relevan. Apakah mengawinkan anak kecil itu relevan?

Kita tidak berbicara teori, tetapi realitas sehari-hari. Seorang perempuan datang kepada saya dan mengatakan bahwa ia dicerai secara lisan oleh suaminya. Saya mengatakan, cerai lisan telah dicabut oleh negara dan harus diproses di pengadilan—cerai tiga kali secara lisan tidak sah. Namun sebagian tokoh agama lain menyatakan bahwa itu sah. Akhirnya ia bercerai dan ia dengan susah payah membesarkan anak-anaknya sendirian. Di sini ada dualisme hukum; menaati fikih atau UU negara. Tentu yang seharusnya ditaati adalah UU negara.

Saya mengajukan calon bupati perempuan. Para kiyai menentangnya dan menyatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dengan dalil “al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ`”. Di sebagian negara Arab, ayat ini, dengan tafsir yang beredar saat ini, mungkin masih relevan. Tetapi di Indonesia tidak relevan, karena ada banyak perempuan yang menjadi rektor, menteri, pejabat, direktur, pimpinan perusahaan, pengasuh pesantren, dan seterusnya. Jika perempuan tidak boleh memimpin, semua kebijakan pada zaman Megawati akan tidak sah.

Secara linguistik, qiwâmah pada ayat “al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ`” bukan sulthânah (kesultanan/kekuasaan), imârah (keamiran/kepemimpinan), wishâyah, atau haymanah (penguasaan/hegemoni). “Qawwâm” berasal dari kata “qâma-yaqûmu” yang bermakna berdiri. Ism fa’il-nya adalah qâ`im—asalnya qâwim—dan kemudian menjadi qawwâm yang bermakna pendamping, bukan pemimpin. Misalnya Jokowi sedang berada di luar negeri dan tidak bisa menandatangani suatu dokumen keputusan resmi negara. Ma’ruf Amin kemudian menandatanganinya dengan menyantumkan strip Presiden RI ad interim. Itu disebut dengan al-qâ`im bi al-a’mâl (mewakili).

Dalam budaya Arab perempuan berada di bawah perlindungan laki-laki, karenanya perempuan yang ingin menikah harus punya wali. Perempuan tidak bisa menikah jika walinya tidak menyetujui. Artinya, perempuan tidak punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Padahal di hari akhirat nanti laki-laki dan perempuan bertanggungjawab atas dosanya masing-masing. Bagaimana mungkin perempuan yang ingin shalat di masjid saja harus mendapatkan izin dari suaminya? Kita harus memperjuangkan hak-hak perempuan itu.

Kita tidak mengabaikan atau meninggalkan teks. Al-Qur`an tidak perlu direvisi dan biarkan itu sebagai sesuatu yang sudah selesai. Kita menghormati dan membacanya karena itu adalah ibadah. Tetapi, tentu saja, kita perlu melakukan reinterpretasi sesuai dengan kebutuhan zaman. Dan teks-teks agama (baik al-Qur`an maupun hadits) mengenai perbudakan tidak perlu diinterpretasi ulang karena Tuhan pasti tidak suka manusia diperjualbelikan.

Islam tidak sedang melegalisasi praktik perbudakan, perkawinan anak, memukul istri, poligami, menceraikan istri seenaknya, melainkan hanya mengakomodir tradisi dan budaya setempat saja di masanya. Islam tidak sedang melegalisasi praktik perbudakan, perkawinan anak, memukul istri, poligami, menceraikan istri seenaknya, melainkan hanya mengakomodir tradisi dan budaya setempat saja di masanya. Tradisi dan budaya ini oleh Islam justru diupayakan untuk diubah secara bertahap demi terwujudnya kesetaraan laki-laki dan perempuan serta kesetaraan antara sesama manusia di masa-masa mendatang.

Sekarang banyak orang yang mulai merasa ribet dan terbebani dalam beragama. Teman saya yang seorang santri bekerja sebagai supir dan tidak melaksanakan shalat selama 10 tahun karena ia merasa susah—jam kerjanya dari siang sampai tengah malam. Jika demikian, seorang Muslim tidak bisa menjadi supir, pilot, nahkoda, dan masinis. Sejak kapan kita menganggap agama memberatkan hidup kita? Bagaimana mungkin kita menjadi terbebani dalam beragama. Solusinya: ia bisa mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan jamak taqdim sebelum mengambil mobil. Setelah mengantarkan barang ia bisa melaksanakan shalat Isya` dan Maghrib dengan jamak ta’khir.

Ada orang yang hidup di tahun 2022 sedangkan otaknya masih di abad ke-7. Kita diharuskan hidup dengan gaya orang abad ke-7 agar tidak dianggap sebagai pelaku bid’ah seperti cebok dengan batu dan tidak boleh dengan tisu, tidak boleh menonton televisi, tidak boleh pakai sendok saat makan, dan seterusnya. Segala hal yang tidak ada atau tidak dilakukan Nabi maka tidak boleh dilakukan karena dianggap bid’ah. Bahkan ada orang yang tidak mampu berinteraksi dengan teknologi sehingga muncul pertanyaan “bagaimana hukum mengantongi HP yang di dalamnya terdapat rekaman atau aplikasi al-Qur`an saat buang air besar?” Saya tanya balik, “Orang yang hafal al-Qur`an boleh tidak buang air besar?”[]

 

*) Disarikan dari presentasi Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A. dalam Diskusi Pendalaman “Maqashid Syariah Lin Nisa’” yang diselenggaran Rumah KitaB di Pondok Pesantren Ma’had Al-Shighor Al-Islamy Al-Dualy, Gedongan, Cirebon, Sabtu, 17 Desember 2022

Dialog Nasional

Pentingnya Kerja-kerja Kolaboratif untuk Pencegahan Perkawinan Anak

PEMERINTAH dinilai tidak bisa bekerja sendiri dalam upaya percepatan pencegahan perkawinan anak yang saat ini masih marak terjadi di masyarakat, baik perdesaan maupun perkotaan. Diperlukan upaya kolaboratif dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat, dan meningkatkan partisipasi anak dan remaja dalam mendorong implementasi Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA).

Upaya kolaboratif tersebut bisa dilakukan di antaranya melalui sosialisasi, pendidikan kecakapan hidup, kampanye pencegahan perkawinan anak, mendorong terbentuknya kesadaran masyarakat untuk melakukan pengawasan di lingkungan sekitarnya, melakukan penjangkauan kepada rumah tangga rentan yang berpotensi menikahkan anak di usia anak, melakukan pendampingan bagi korban perkawinan anak atau anak yang mengajukan dispensasi kawin, penguatan pemahaman tokoh agama dan tokoh masyarakat yang menjadi panutan terkait pencegahan perkawinan anak dan kepentingan terbaik bagi anak, serta penguatan kelembagaan perlindungan anak di masyarakat terkait pemenuhan hak-hak anak.

Hal itu terungkap dalam acara dialog nasional bertajuk “Dialog Nasional Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Masa Pandemi” yang diselenggarakan Yayasan Rumah Kita Bersama atas dukungan AIPJ2 pada Kamis, 10 Maret 2022. Dalam acara ini hadir I Gusti Ayu Bintang Darmawati (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak RI), Woro Srihastuti Sulistyaningrum, ST., MIDS. (Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas), dan Lia Marpaung (Perwakilan AIPJ2).

Sejumlah aktor penggerak PATBM daerah dihadirkan sebagai narasumber. Mereka adalah: H. Abdul Karim (Ketua RW. 06 Kalibaru/Ketua PATBM Kalibaru, Jakarta Utara), Ade Suryati (Kepala Desa Songgom/Motor Penggerak PATBM Desa Songgom, Kab. Cianjur), Gilang Romadan (Remaja Pengurus PATBM Kel. Kalibaru, Kota Jakarta Utara), Miffetin Kholilah (Orang Muda Pengurus PATBM Kel. Kalibaru, Kota Cirebon), dan Yuniar Kailani (Forum Anak Desa Songgom, Kab. Cianjur).

Selain itu, beberapa tokoh juga dihadirkan sebagai penanggap, yaitu: Abu Marlo (Dialog Positive), Rohika Kurniadi Sari, S.H. M.Si. (Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan – KPPPA), dan Ciput Eka Purwianti, S.Si. MA. (Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan – KPPPA).

Lies Marcoes menyampaikan bahwa Rumah KitaB telah melaksanakan program-program pencegahan perkawinan anak selama delapan tahun terakhir ini. Menurutnya, banyak hal yang sudah dilakukan, namun ada banyak agenda yang masih perlu dilakukan. “Isu kawin anak seperti situasi yang abu-abu. Kita bekerja keras untuk menolaknya, namun masih ada pintu daruratnya seperti dispensasi, anggapan ‘yang penting sah dulu’, dan lainnya,” ungkapnya.

Selanjutnya Lies menjelaskan empat langkah strategis Rumah KitaB dalam pencegahan perkawinan anak. Pertama, riset dan kajian keagamaan. Tidak mungkin berbicara mengenai perkawinan anak kalau tidak berbasis riset. Rumah KitaB memiliki dua jenis riset, yaitu riset sosial dan sosial-keagamaan. Kedua, membisingkan isu. Rumah KitaB bekerjasama dengan berbagai media untuk menyosialisasikan kegiatan-kegiatannya. Ketiga, membangun kesadaran melalui penyusunan modul, kajian, pelatihan, dan pemberdayaan. Keempat, advokasi dua arah (politik hukum-norma agama) di tingkat kabupaten. Rumah KitaB telah melakukan advokasi kepada pemerintah dan juga ormas keagamaan.

Lies sangat berharap masyarakat di komunitas dapat melanjutkan program ini. Sebab keberlanjutan upaya pencegahan perkawinan anak ada di tangan mereka.

Senada dengan yang disampaikan Lies, Lia Marpaung berbicara mengenai pentingnya pelibatan masyarakat secara terpadu melalui gerakan perlindungan anak yang dikelola sendiri oleh masyarakat. Kerja-kerja tokoh masyarakat di level komunitas perlu terus didorong dan direkognisi. Pelibatan remaja dan anak muda sebagai agen perubahan di daerah perlu terus dipastikan ada dan menguat, karena pada prinsipnya apa yang dilakukan itu adalah demi memastikan perlindungan bagi anak-anak dan menciptakan masa depan anak Indonesia yang jauh lebih baik dan terbebas dari praktik perkawinan anak.

“Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak terlengkap, khususnya anak perempuan, karena mereka menjadi rentan kehilangan hak atas pendidikan, kesehatan, mengalami kekerasan dan tereksploitasi, tercabut untuk mendapat kebahagiaan masa anak-anak, dan masuk lebih dalam pada perangkap kemiskinan. Dan untuk itu tidak ada alasan pembenaran apapun untuk melanggengkan budaya dan praktik perkawinan anak. Itu sebabnya kerja kolaborasi lintas pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan perkawinan anak adalah penting dan perlu terus dilakukan. Hal ini akan semakin membuka lebih lebar dan lebih dalam ruang-ruang dialog dan kemitraan dalam upaya pencegahan perkawinan anak di Indonesia,” tambahnya.

Lia menegaskan bahwa kerja-kerja seperti yang dilakukan Rumah KitaB dapat berkontribusi mendukung implementasi 3 dari 5 pilar utama Stranas, yakni Pilar 1: optimalisasi kapasitas anak melalui tindak lanjut regenerasi dan penguatan kapasitas anak. Pilar 2: memastikan terciptanya lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak, dan Pilar 3: terkait aksesibilitas dan perluasan layanan, melalui penguatan dan mendorong adanya lembaga perlindungan anak sebagai lembaga layanan yang efektif dan mudah diakses oleh masyarakat serta mendukung pemerintah daerah mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak.

Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas RI Woro Srihastuti Sulistyaningrum menyampaikan komitmen pemerintah dalam upaya pencegahan perkawinan anak yang tertuang  dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Rencana Kerja Pemerintah 2022, dan Sustainable Development Goals (SDGs). Ia menegaskan, “Sebagaimana tertulis dalam dokumen RPJMN, pemerintah sudah menyiapkan satu strategi untuk menurunkan angka perkawinan anak. Yaitu penguatan koordinasi dan sinergi upaya pencegahan perkawinan anak dengan melibatkan berbagai pihak.”

Menurutnya, ada lima strategi pencegahan perkawinan anak dalam Stranas PPA. Pertama, optimalisasi kapasitas anak penguatan regulasi dan kelembagaan penguatan koordinasi pemangku kepentingan memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan. Kedua, lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak membangun nilai dan norma yang mencegah perkawinan anak. Ketiga, aksesibilitas dan perluasan layanan menjamin anak mendapat layanan dasar komprehensif untuk kesejahteraan anak. Keempat, penguatan regulasi dan kelembagaan penguatan koordinasi pemangku kepentingan memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan menjamin pelaksanaan dan penegakan regulasi terkait pencegahan perkawinan anak serta meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan. Kelima, penguatan koordinasi pemangku kepentingan memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan menjamin pelaksanaan dan penegakan regulasi terkait pencegahan perkawinan anak serta meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan meningkatkan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak.

Sementara itu, Menteri KPPPA, I Gusti Bintang Darmawati, dalam pidato kuncinya menyatakan bahwa perkawinan anak adalah praktik yang dapat mencoreng seluruh hak anak. “Perkawinan anak merupakan salah satu tindak kekerasan terhadap anak dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Resiko perkawinan anak pada perempuan jauh lebih tinggi daripada perkawinan anak pada laki-laki,” sambungnya.

Ibu Menteri meminta perkawinan anak harus menjadi perhatian semua pihak karena dampaknya yang begitu masif. Anak yang menikah memiliki kerentanan dalam mengakses pendidikan (putus sekolah), kesehatan (angka kematian ibu, angka kematian anak, stunting, dan lainnya), ekonomi (pekerja anak, upah rendah, kemiskinan), dan lainnya (KDRT, identitas anak, dan lainnya). Terlebih saat ini Indonesia dan bahkan dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19.

Ia menyebutkan hasil studi United Nations Population Fund (UNFPA) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) yang menunjukkan, resiko anak perempuan untuk dinikahkan semakin tinggi dalam situasi pandemi Covid-19. Bahkan, menurutnya, UNFPA memprediksi akan terjadi sekitar 13 juta perkawinan anak pada rentang waktu 2020-2030, termasuk di Indonesia akibat masa bencana pandemi ini.

KPPPA dan Bappenas RI dengan dukungan dari berbagai lembaga terkait, lanjutnya, telah menerbitkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) di awal 2020 lalu. Gerakan bersama pencegahan perkawinan anak juga telah diluncurkan kembali pada 31 Januari 2020 dengan melibatkan 17 kementerian/lembaga, pemerintah daerah, lembaga masyarakat, dunia usaha, media, dan tokoh agama. Program ini sejalan dengan studi terakhir Rumah KitaB yang mengatakan bahwa upaya penurunan perkawinan anak membutuhkan daya dukung dan partisipasi warga, serta kelompok berkepentingan strategis yang berbekal kemampuan lengkap. Untuk menciptakan sistem perlindungan yang holistik dibutuhkan pelibatan anak-anak, remaja, dan kaum muda sendiri. Berpartisipasi dalam pembangunan merupakan salah satu hak dasar anak. Selain itu, untuk tercapainya pembangunan yang berkelanjutan maka tidak boleh ada satu pihak pun yang ditinggalkan pendapatnya. Melibatkan anak dalam upaya penghapusan perkawinan anak adalah hal yang krusial.[]

Tokoh Agama

Tokoh Agama dan Tantangan Perlindungan Anak di Kalibaru Jakarta Utara

Oleh: T.G.M. Ahmad Hilmi, Lc., MA.

 

RUMAH KitaB atas dukungan AIPJ (Australia Indonesia Partnership for Justice) 2 telah menjalankan program perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak di wilayah Jakarta Utara sejak tahun 2017 hingga 2022. Program ini dibagi dalam dua periode, periode Berdaya I tahun 2017 – 2019, dan periode Berdaya II tahun 2020 – 2022.

Kelurahan Kalibaru termasuk pilot project dari Program Berdaya I dan II. Dipilihnya Kelurahan Kalibaru karena beberapa hal. Pertama, dalam 25 tahun terakhir, Kalibaru dikenal sebagai kelurahan terpadat untuk tingkat kelurahan/desa) di provinsi Jakarta, bahkan Indonesia. Dengan luas hanya 2.467 km2 dan dihuni sebanyak 84.491 jiwa—berdasarkan data tertulis di BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2018—Kalibaru dianggap sebagai “Kelurahan Sempit”. Sekitar 70 persen wilayahnya merupakan wilayah industri bukan pemukiman. Artinya, kurang dari 30 persen wilayahnya digunakan untuk pemukinan dan dipaksa menampung populasi sebanyak itu.

Kedua, praktik perkawinan anak yang tinggi. Data statistik BPS menyebutkan bahwa permohonan dispensasi kawin mengalami kenaikan dalam 5 tahun terakhir di Kalibaru. Sementara berdasarkan hasil asesmen Rumah KitaB tahun 2017, praktik perkawinan siri atau perkawinan yang melibatkan anak-anak menjadi fenomena yang dipandang biasa oleh masyarakat setempat.

Tahun 2020 Rumah KitaB kembali melakukan asesmen di Kalibaru, dan ditemukan bahwa praktik perkawinan anak masih kerap terjadi. Bedanya, terjadinya perkawinan anak di Kalibaru tahun 2017 lebih banyak dilatarbelakangi dorongan orangtua, tradisi bawaan dari kampung halaman sebelumnya, dan mulai banyaknya kasus kehamilan yang tak dikehendaki (KTD).

Sementara tahun 2020 – 2021 praktik perkawinan anak di Kalibaru dilatari kekerasan seksual yang dialami anak perempuan oleh para pelaku yang merupakan keluarga sedarah, tetangga, dan pacar korban. Hal ini kerap terjadi selama pandemi saat diberlakukannya pembelajaran jarak jauh (PJJ), di mana anak tidak lagi memiliki aktivitas pendidikan dan tidak memiliki lingkungan pendidikan yang diperlukan.

Di pihak lain, orangtua tidak memiliki pengetahuan yang adil gender, tidak memiliki kapasitas parenting yang memadai, bahkan kebanyakan mereka tertekan secara psikologis akibat penurunan penghasilan dan melemahnya daya beli terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok yang disebabkan pemutusan hubungan kerja dan hilangnya sebagian kesempatan usaha kecil dan menengah akibat daya beli masyarakat yang juga menurun drastis hingga 60 persen lebih. Sedangkan pihak sekolah menuntut dan memaksa para orang tua untuk menggantikan sebagian besar fungsi dan tugas guru di dalam rumah, sesuatu yang tidak benar-benar mereka kuasai.

Kondisi itu telah menghasilkan ragam kekerasan yang menimpa anak-anak perempuan yang dilakukan oleh sebagian orang tua dan keluarga dekat, yang sebagiannya adalah praktik kekerasan seksual yang mengakibatkan terjadinya pemaksaan perkawinan terhadap anak-anak perempuan demi menyelamatkan aib keluarga.

Dan fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah keterlibatan tokoh-tokoh agama dalam angka praktik perkawinan siri yang melibatkan anak-anak. Tahun 2018, para tokoh agama yang terlibat dalam praktik perkawinan siri adalah mereka yang berdomisili di Kelurahan Kalibaru dan sekitarnya. Adapun tahun 2020, praktik perkawinan siri lebih banyak dilakukan oleh para tokoh agama dari luar Kelurahan Kalibaru. Beberapa kasus perkawinan anak ditemukan di luar Kelurahan Kalibaru, meskipun anak-anak yang dikawinkan merupakan warga Kelurahan Kalibaru.

Program pencegahan perkawinan anak tanpa melibatkan pandangan keagamaan alternatif yang mendukung, hampir mustahil dapat dilakukan dan tidak membawa pengaruh apapun bagi perubahan. Karena itu, Rumah KitaB selalu mensosialisasikan pandangan keagamaan alternatif dengan pendekatan maqâshid al-syarî’ah li al-nisâ` (tujuan universal syariat untuk perempuan), yaitu pandangan keagamaan yang berpihak kepada perempuan dan anak perempuan dengan landasan keadilan gender. Sosialisasi ini dilakukan di berbagai kesempatan, seperti pelatihan para tokoh formal dan tokoh non formal, orangtua, hingga remaja.

Di ketiga komunitas ini, agama dan budaya selalu menjadi latar utama yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak. Dalam hal ini, pendekatan dan komunikasi personal perlu dilakukan terhadap para tokoh agama yang berpengaruh di Kelurahan Kalibaru, misalnya para sesepuh NU Jakarta Utara, sesepuh MUI Kecamatan Cilincing, dan lain sebagainya untuk mendiskusikan pandangan keagamaan alternatif terkait pencegahan perkawinan anak.

Pendekatan serupa itu meniscayakan dukungan dari para tokoh agama. Sebut, misalnya, dari K.H. Fatoni, sesepuh NU Jakarta Utara, yang mulanya tidak mengetahui bahwa perkawinan anak mengandung madharat, namun kini ia sangat aktif mendakwahkan pentingnya pendewasaan usia perkawinan dalam perspektif Islam kepada para jamaahnya di Kalibaru. Selain Kiyai Fatoni, ada juga beberapa tokoh NU di Jakarta Utara yang memberikan dukungan. Demikian juga para sesepuh Muhammadiyah dan MUI Kecamatan Cilincing, seperti Ustadz H. Muhammad Nur, K.H. Nursaya, Ust. M. Sito Anang, M.Kom., yang sebelumnya tidak mengerti kemadharatan perkawinan anak, kini berbalik mendukung pencegahan perkawinan anak.

Para tokoh agama yang aktif dalam struktur DKM di beberapa masjid seperti Ustadz Baginda Hambali Siregar, M.Pd. (DKM masjid Baitul Mukminin, RW. 006 Kelurahan Kalibaru), Ustadz Mohammad Ishaq Al-Hafidz (DKM Masjid Al-Mu’tamar Al-Islamiyyah, RW. 003 Kelurahan Kalibaru), Ustadz Syafi’i (Pesantren al-Qur`an Kebantenan), dan yang lainnya juga mendukung pencegahan perkawinan anak. Bahkan perwakilan dari mereka, Ustadz Baginda Hambali Siregar, menjadi salah satu pengurus PATBM (Perlindungan Anak Terpadu berbasis Masyarakat) Kelurahan Kalibaru. Ustadz Hambali sangat aktif memberikan penyuluhan dan sosialisasi bersama pengurus PATBM Kelurahan Kalibaru terkait perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak.

Masih terjadinya praktik perkawinan siri hingga kini di Kalibaru tentu menjadi tantangan dalam upaya perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak. Karena itu, sosialisasi dengan melibatkan para tokoh agama lokal, baik itu pengurus ormas keagamaan, pengurus majelis taklim dan DKM masjid/mushall, hingga pengurus lembaga-lembaga pendidikan agama di wilayah Kalibaru dan sekitarnya, juga para penyuluh agama Kementerian Agama Jakarta Utara, perlu terus digalakkan agar program perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak dapat dilakukan secara efektif.[AH]

 

Yuniar Kailani

Yuniar Kailani, Kakak bagi Forum Anak Desa Songgom

YUNIAR merupakan anak pertama dari 9 keluarga. Sebagai anak perempuan paling besar, ia merasa memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan contoh untuk dirinya dan adik-adiknya, karena lingkungannya cenderung rawan bila mereka terbawa arus. Itulah sebabnya ia sangat tertarik mengikuti kegiatan pemberdayaan anak, remaja dan kaum muda.

Saat di bangku SMP ia aktif sebagai pengurus organisasi intra sekolah dan menjadi relawan tangguh bencana. Ia menilai orang-orang di lingkungannya memiliki sikap masing-masing, sehingga baik orang tua, saudara maupun antar remaja bisa tergelincir ke hal-hal yang tak diinginkan. Bahkan di keluarganya sendiri perkawinan anak masih terjadi. Ia sedih melihat orang di sekelilingnya yang melakukan perkawinan anak cenderung tertutup kepada temannya tidak mau bergaul.

Menurut Yuniar selama ini tidak ada yang mengajaknya berkegiatan di isu pemberdayaan, dan kini menjadi saat yang tepat untuk mengajak anak, remaja dan kaum muda lainnya agar lebih aktif dan melakukan kegiatan positif. Ia sangat bersyukur bisa bergabung dalam kegiatan yang digagas Rumah KitaB karena bisa menyalurkan keresahan dengan sosialisasi tidak hanya melalui event besar, tetapi juga bersama rekan-rekannya melalui Whatsapp guna membahas dan mendiskusikan pencegahan perkawinan anak ini.

Sebagaimana layaknya di dalam keluarga, di Forum Anak Desa Songgom ia sangat pandai mengajak dan mengarahkan anak, remaja dan kaum muda untuk berkumpul. Perannya sebagai Wakil Ketua Forum Anak Desa Songgom mendorongnya untuk terus aktif mengkampanyekan pencegahan perkawinan anak di media sosial Forum Anak dan PATBM.

Bagi Yuniar kegiatan yang dilakukan Rumah KitaB selama ini telah membuka pintu kebaikan bagi remaja, yang tadinya bergerak sendiri-sendiri sekarang mulai bekerja bersama dan belajar berbagai hal termasuk public speaking. Modul yang diberikan, yang mudah dipahami dan dibaca ulang di waktu-waktu luang, memberikan banyak informasi yang sebelumnya tidak diketahui dan dipahami.

Yuniar berpesan kepada seluruh anak, remaja, dan pemuda khususnya di Desa Songgom, “Gunakan masa muda bukan hanya untuk berpacaran, tetapi untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Jika di antara keluarga ada yang menyuruh melakukan perkawinan anak, maka harus berani melapor ke RT/RW, Forum Anak Desa, PATBM Desa atau lainnya untuk mendapatkan pendampingan.”

Menjadi bagian dari Forum Anak Desa menjadi pembuka pintu untuk mengabdi kepada masyarakat terutama anak, remaja dan kaum muda. Selepas mendapatkan pendampingan dari Rumah KitaB Yuniar berkomitmen untuk terus terlibat aktif di Forum Anak, bahkan meski nanti sudah menjadi alumni. Ia berharap bisa tetap menjadi kakak yang mengayomi adik-adiknya untuk aktif mencegah perkawinan anak.[]

Gilang, Remaja Pelopor Gerakan Medsos Untuk Perlindungan Anak

GILANG Romadan, seorang remaja di Kelurahan Kalibaru, kelahiran 7 November 2003. Saat ini Gilang tercatat sebagai pelajar SMAN 13 Jakarta, Kelas 11 Semester 4. Gilang pernah bersekolah di SDN05 Kalibaru, dan SMP swasta di Dewaruci, yang masih termasuk dalam wilayah Kecamatan Cilincing Jakarta Utara.

Gilang merupakan anggota aktif pengurus PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) Kelurahan Kalibaru. Sebelumnya Gilang aktif di beberapa kegiatan ekstra kurikuler sekolah, namun minat besarnya dalam kegiatan sosial masyarakat, membuatnya aktif di beberapa kegiatan remaja di luar sekolah, seperti IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) Pengurus Cabang Jakarta Utara, Koordinator Posyandu Remaja RW. 006 Kelurahan Kalibaru, Gilang juga aktif di Karang Taruna RW. 006 Kelurahan Kalibaru.

Perkenalan Gilang dengan gerakan remaja perlindungan anak pertama kali saat pelatihan “Penguatan Kapasitas Remaja Pelopor dan Pelapor Perlindungan Anak” pada Oktober 2021 di Masjid Baitul Mukminin Kelurahan Kalibaru. Sebelum itu Gilang tidak pernah tahu kegiatan perlindungan anak, kecuali dari kelompok ITACI (Insani Teater anak Cilincing).

Gilang merupakan kader remaja dampingan Rumah KitaB dalam Program Berdaya II. Upayanya dalam membangun relasi yang baik dan harmonis antara remaja dengan orang dewasa sesama pengurus PATBM Kelurahan Kalibaru berjalan cukup baik. Berbekal komunikasi yang aktif antara remaja dan orang dewasa di PATBM Kelurahan Kalibaru, komunikasi remaja dapat terhubung dan berlangsung secara dua arah. Menurut Gilang, keberhasilan tersebut juga berkat upaya Ahmad Hilmi PO Berdaya Rumah KitaB yang mengkolaborasikan remaja dan orang dewasa dalam kepengurusan PATBM Kalibaru. Ahmad Hilmi berhasil meyakinkan para tokoh dewasa terkait pentingnya relasi tokoh remaja dan tokoh dewasa dalam program perlindungan anak PATBM Kelurahan Kalibaru.

Ketertarikan pada isu perlindungan anak paska pelatihan Rumah KitaB, membuat Gilang merasa optimis masa depan keterlibatan remaja di PATBM Kelurahan Kalibaru akan semakin luas. Bersama kawan-kawan remaja di Kelurahan Kalibaru saat ini ia sedang mengkampanyekan melalui media sosial dan jejaring grup WhatsApp guna memperluas keterhubungan dan keterlibatan remaja dalam program perlindungan anak PATBM Kelurahan Kalibaru.

Keterlibatan remaja dalam kepengurusan PATBM Kelurahan Kalibaru telah berhasil memperluas partisipasi PATBM Kelurahan Kalibaru ke wilayah virtual dan jejaring media sosial, sehingga kampanye perlindungan anak tidak saja diselenggarakan secara offline dengan pelibatan orang tua tetapi juga melibatkan jejaring virtual medos dengan perluasan partisipasi remaja.

Saat ini konten-konten di Instagram patbm.kalibaru semakin aktif meski baru diluncurkan pada 23 Desember 2021. Sebanyak 65 konten sudah diposting terkait kampanye perlindungan anak dan aktivitas PATBM Kelurahan Kalibaru.

Menurut Gilang, program dan rencana kerja PATBM Kalibaru untuk mengedukasi masyarakat sudah semakin maju, namun belum tersedianya infrastruktur untuk bermain anak masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti dikawal bersama-sama mendorong kementrian PUPR RI untuk segera mengimplementasikan rencananya untuk membangun Taman Maju Bersama/RPTRA dan Sarana Olah Raga di salah satu lokasi milik Kementerian PUPR di wilayah Kelurahan Kalibaru.

Selain itu, rencana pelibatan remaja di sekolah-sekolah untuk perlindungan anak juga akan dapat berkontribusi dalam meningkatkan motivasi remaja dalam memperpanjang usia pendidikan. Gilang mengritik sistem dan kurikulum pendidikan di sekolah yang selama ini hanya didesain untuk peningkatan prestasi nilai numerik untuk rapot dan kelulusan UN (Ujian Nasional) sehingga membuat remaja stres dan kurang dihargai karena hanya sebagai objek dari sistem pendidikan.

Sistem pendidikan yang dikritik Gilang tidak berkontribusi dalam peningkatan kualitas remaja sebagai pelajar/peserta didik yang aktif dalam melakukan perubahan sosial, khususnya meningkatkan edukasi dan memberi semangat kepada semua kawan-kawan pelajar untuk memperpanjang pendidikan.

Menurut Gilang sudah saatnya remaja menjadi subjek dari sistem pendidikan, bukan sebagai objek. Remaja harus terlibat aktif dalam perlindungan anak, mengingat banyak sekali potensi kekerasan di lingkungan sekolah, misalnya bulliying dan lainnya. Karena itu, salah satu impian remaja PATBM Kalibaru adalah melibatkan banyak remaja di berbagai sekolah dan remaja yang sudah terlanjur sebagai korban dari sistem pendidikan dan membuat mereka justru keluar dari partisipasi di dunia pendidikan, untuk berpartisipasi aktif dalam perlindungan anak, dengan harapan memotivasi banyak remaja untuk memperpanjang usia pendidikan dan memperluas jangkauan perlindungan anak, khususnya di Kelurahan Kalibaru.

Upaya yang sedang dilakukan Gilang dan kawan-kawan remaja dalam perlindungan anak juga secara positif akan berkontribusi dalam menghadirkan sekolah yang benar-benar layak anak, tidak hanya sebatas plang iklan “Sekolah Layak Anak”.[AH]

Peluncuran Buku Hak Anak dalam Islam

Rumah KitaB didukung Oslo Coalition meluncurkan draft buku “Hak Anak dalam Islam: Ikhtiar dari Hukum Positif, Fikih, Hadis dan Al-Quran”. Acara yang diikuti 74 peserta baik luring maupun daring ini diadakan di Hotel Aston, Bogor, pada 7 Februari 2022. Acara ini dibuka jam 13.00  dengan menghadirkan para pembicara, seperti Lies Marcoesm M.A dan Dr. Lena Larsen sebagai perwakilan Rumah KitaB dan Oslo Coalition, Dr. Faqih Abdul Kodir selaku koordinator peneliti dan penulis buku, serta sejumlah penanggap yaitu Rita Pranawati dari KPAI, Dr. Maria Ulfa Anshor perwakilan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), dan Kiai Ulil Abshar Abdalla M.A sebagai ahli dalam kajian teks  keagamaan klasik.

Acara ini juga menghadirkan para peneliti yang sekaligus kontributor penulis buku ini, yaitu Rifa Tsamrotus Sa’adah, Achmat Hilmi dan Jamaluddin Mohammad, sementara Fadilla Dwianti hadir melalui Zoom bersama sejumlah peserta lain mengingat pembatasan protokol kesehatan karena naiknya angka keterpaparan Covid-19.

Dalam sambutan pembuka acara ini, Direktur Rumah KitaB, Lies Marcoes Natsir memberikan konteks latar belakang dari kegiatan ini. “Sejak dua tahun lalu Oslo mendukung kami melakukan penelitian NDIT (New Directions in Islamic Thoughts) yang pada dasarnya sejalan dengan program yang sedang kami jalankan, yaitu mendorong perlindungan terhadap hak-hak anak,” ujarnya.

Lies juga menegaskan bahwa sudah delapan tahun Rumah KitaB bekerja untuk advokasi  Pencegahan Perkawinan Anak. Namun, kata Lies, sejauh ini isu Perkawinan anak masih terus berada di abu-abu alias kurang tegas. Padahal, berdasarkan riset yang di lakukan Rumah KitaB, sudah jelas dan tegas bahwa perkawinan anak adalah satu bentuk kekerasan dan dalam realitasnya lebih banyak memunculkan mafsadat.

“Karena itu, melalui buku ini, kami ingin membangun argumentasi bagaimana pencegahan perkawinan anak didukung baik dalam hukum positif maupun hukum Islam.  Buku yang kita launching hari ini adalah sebuah ikhtiar untuk mendukung dan menguatkan keinginan tersebut,” kata Lies.

Lies menambahkan bahwa dalam kaitannya dengan Islam orang menyangka ada dispute antara pandangan konservatif dan progresif dalam kaitan dengan perlindungan anak. Namun ketika riset ini dilakukan ternyata ada problem mendasar, yaitu  baik yang konservatif maupun progresif dalam kaitannya dengan perlindungan anak sama-sama dari subyek yang sama yaitu kepentingan orang dewasa, sementara hak-hak anak hanyalah menjadi lampiran. Di lain pihak pendekatan yang ditawarkan kelompok “sekuler” yang mengembangkan hak-hak anak, tak secara terbuka menimbang pandangan-pandang dari kelompok agama yang telah merasa bahwa hak-hak anak telah selesai di bawah daial diskursus keagamaan.

Hal ini diakui oleh Lena Larsen sebagaimana dikatakan dalam sambutannya sebagai direktur Oslo Coalition bahwa terjadi benturan keyakinan dan nilai-nilai yang dianut ketika melihat realitas perkembangan dan kebutuhan manusia modern. Menurutnya “tugas tokoh agama adalah menciptakan harmoni antara nilai-nilai agama  yang dianut dengan semangat perkembangan zaman yang menuntut kesetaraan, keadilan, dan pluralisme”.

Sebagai penulis buku ini,  Faqihuddin Abdul Kodir menawarkan sebuah konstruksi bagaimana menemukan dan menegaskan hal-hal yang bersifat prinsip dalam pemenuhan hak-hak anak, baik yang berasal norma-norma dalam hukum positif maupun norma-norma lain bersifat kultur berbasis hukum Islam. Ia menawarkan pendekatan refleksif kolaboratif dengan mengakui bahwa masing-masing norma memiliki modal untuk mengembangkan perlindungan dan hak-hak yang berpusat kepada anak.

Sebelumnya, kata Faqih, tidak bisa lain kita harus melakukan refleksi dan bersikap terbuka terhadap hal-hal yang selama ini menjadi kendala dan halangan dalam pemenuhan hak-hak anak, baik yang ditemukan dalam hukum positif maupun hukum Islam (fikih, al-Quran dan Hadis). Setelah itu, tahap berikutnya melakukan kolaborasi secara konstruktif seluruh norma-norma yang berlaku baik dalam hukum positif maupun agama dengan mendasarkan pada hal-hal yang prinsip, untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang ada dalam norma manapun, melalui inisiatif yang ada dari norma manapun, bagi ikhtiar komprehensif pemenuhan hak-hak anak.

Ibu Rita Pranawati dari KPAI mengapresiasi upaya yang dilakukan Rumah Kitab dan apa yang dipersoalkan dalam penelitian ini meru[akan juga persoalan yang dihadapi lembaga perlindungan anak ini. Menurutnya perlu ditambahkan pembahasan terkait beberapa topik terbaru yang tidak dibahas baik dalam hukum positif maupun oleh norma budaya dan agama.

Maria Ulfa Anshor selaku penanggap diskusi ini sangat mengapresiasi keseluruhan buku ini. Ia bersepakat bahwa hak-hak anak dalam Islam terlalu terfokus pada level mikro sebagaimana temuan penelitian Rumah KitaB.  Karenanya ia setuju kajiannya perlu diperluas lagi pada level meso dan makro. Sebagaimana disebut dalam teori ekosistem perlindungan anak yang dikemukakan Bronfenbrenner dalam The Ecological of Human Development,  perkembangan hidup/tumbuh-kembang anak terdiri dari mikro, meso dan makro.

Sementara menurut Ulil Abshar Abdalla kita harus bisa menempatkan positioning kita sebagai intelektual muslim ketika berhadapan dengan konvensi yang dibuat PBB. “Posisi kita sebagai intelektual muslim tidak sekadar mengonfirmasi konvensi yang dibuat PBB. Kita juga harus bisa melampaui dan memberikan penafsiran baru terhadap konvensi tersebut. Ketika kita menulis buku ini kita memiliki otonomi intelektual. Dalam hal ini pengalaman-pengalaman di luar negara maju juga memberikan sumbangan,” pungkasnya.

Sementara dari pihak pemerintah Ibu Rohika Kurniadi Sari dari Deputi Tumbuh Kembang Anak mengapresiasi dan menunggu hasil kajian ini untuk mengatasi problem perlindungan anak yang disebabkan oleh tidak memadainya kajian norma hukum dan norma agama atau budaya.

Seluruh peserta terlihat antusias dan setia mengikuti acara ini hingga berakhir pada pukul 15.30 WIB. [JM]

Refleksi Kawin Anak

Oleh Lies Marcoes

Akhir 2021, pemerhati isu perkawinan anak menutup kegiatan dengan webinar ”(Alasan) Islam Melarang kawin Anak”. Upaya pencegahan kawin anak di Indonesia telah berlangsung lebih dari 120 tahun dihitung dari tarikh surat protes Kartini atas perkawinan putri bupati Ciamis yang masih berumur 13 tahun di 1901. Namun, hingga kini kita masih menghadapi hal serupa.

Tulisan ini mengelaborasi upaya pencegahan kawin anak satu dekade terakhir dan tantangannya. Berdasarkan sejumlah data, angka perkawinan anak di Indonesia masih tertinggi kedua di ASEAN; satu dari sembilan anak kawin di bawah umur 18 tahun (GnB 2019), hanya sebagian kecil dari perkawinan itu bertahan, selebihnya cerai di bawah satu tahun dari umur perkawinan.

Data lain, hanya dua dari 10 yang kawin anak bisa balik ke sekolah. Itu pun berkat otoritas tokoh seperti pimpinan pesantren, kepala sekolah atau tokoh lokal karismatik. Meski tak ada regulasi resmi yang menghalangi mereka kembali ke sekolah, tak tersedia langkah afirmatif yang bisa jemput mereka kembali setelah pesta usai.

Fenomena kawin anak memang seperti isu colongan dalam pembangunan. Semula ini bukan tema krusial dibandingkan isu kependudukan seperti KB, kematian ibu dan anak. Tampaknya dunia begitu yakin, ketika pembangunan mengintroduksi tangga perubahan berbasis teknologi, praktik itu niscaya hilang dengan sendirinya.

Perubahan dari masyarakat agraris ke industri diandalkan jadi lantaran untuk hilangkan kebiasaan buruk itu. Hal serupa pernah terjadi misalnya dalam penghapusan perbudakan meski di sejumlah negara harus diperjuangkan berdarah-darah.

Ketika masyarakat masuk ke era transformasi informasi digital abad 21, secara logis seharusnya praktik irasional seperti kawin anak pupus. Anehnya, saat dunia memasuki era industri 5.0 yang mengharuskan keterlibatan “society” sebagai pengendali perkembangan teknologi, masyarakat justru kian kencang mencengkeram tradisi dan agama.

Argumen keagamaan

Praktik kawin anak bukan pengecualian. Dari alasan yang mengemuka, praktik itu begitu erat berkaitan dengan tradisi berbasis ketimpangan gender: demi menjaga martabat keluarga, untuk menutupi malu, hamil tak dikehendaki akibat tak dikuasainya teknologi pengaturan fertilitas, beban tanggung jawab moral yang sepenuhnya di pundak anak perempuan, kemiskinan akut akibat tak terhubungnya antara kemajuan industri dengan kesejahteraan.

Menyadari bahwa kawin anak terkait dengan tradisi dan pandangan keagamaan, membangun argumen keagamaan untuk menolak pandangan itu tentu menjadi penting. Karenanya pertanyaan “Mengapa Islam Menolak Kawin Anak” menurut Dr Nur Rofiah, salah satu pembicara dalam webinar ini menegaskan bahwa karena kawin anak lebih banyak menimbulkan mudarat daripada manfaat, maka harus ditolak.

Logika yang sama tampaknya juga digunakan kelembagaan terkait seperti KUA, peradilan agama bahkan Mahkamah Agung (MA). Pun sejumlah ormas sipil Islam seperti jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang mengeluarkan hasil musyawarah keagamaan yang menegaskan keharusan negara dan elemen masyarakat menghentikannya.

Dalam satu dekade terakhir, tercatat sejumlah ikhtiar serius dari pemerintah dalam mengagendakan langkah-langkah strategis pencegahan kawin anak. Antara lain terbitnya revisi UU Perkawinan No 16/2019 tentang kenaikan batas usia kawin dari 16 ke 19 tahun. Juga terbit Peraturan MA No 5/2019 tentang tata laksana pengaturan dispensasi nikah. Bappenas mencanangkan lima agenda strategi nasional yang secara komprehensif mengupayakan langkah konkret pencegahan perkawinan anak minimal guna memenuhi target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs).

Namun tampaknya titik tekan dalam penanggulangan kawin anak terlalu mengandalkan sektor hukum. Terbitnya regulasi nasional, peraturan gubernur, perda, peraturan bupati hingga peraturan desa jadi agenda prioritas. Padahal perkawinan anak efek domino dari persoalan yang lebih rumit dari sekadar persoalan rendahnya usia kawin.

Perubahan ekonomi seperti kepemilikan dan pemanfaatan lahan untuk industri melahirkan kesenjangan relasi gender di tingkat keluarga yang berujung pada kawin anak bahkan sebelum mereka menuntaskan wajib belajar 12 tahun.

Sebuah policy brief berbasis studi oleh Bank Dunia, Desember 2020 menegaskan, benar Indonesia dalam satu dekade terakhir telah mencapai kesetaraan antara lelaki dan perempuan. Misalnya dilihat dari meningkatnya literasi, angka partisipasi sekolah, dan ketenagakerjaan, dan kebijakan untuk mendorong terwujudnya masyarakat berkeadilan gender.

Namun terkait pendidikan, meski rata-rata nasional telah mengalami peningkatan, berbagai perbedaan signifikan terjadi di tingkat daerah, baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Di banyak daerah anak perempuan mengalami ketertinggalan. Di Probolinggo, misalnya, persentase anak laki-laki yang bersekolah di tingkat dasar 1,5 kali lebih banyak daripada anak perempuan terutama pasca-Covid-19 (Noah Yarrow).

Ditelikung regulasi

Telah cukup bukti berbasis riset yang menunjukkan besarnya mudarat daripada manfaat kawin anak. Namun, sampai sejauh ini upaya untuk mengatasinya berada di titik abu-abu. Ini misalnya terlihat dari masih diterimanya pengecualian berupa izin menikah melalui pemberian dispensasi. Tentu saja, dispensasi hanyalah pintu darurat yang meski tersedia, seharusnya tak perlu digunakan.

Masalahnya, dispensasi nikah justru jadi andalan menyelesaikan kedaruratan untuk setiap penyimpangan dari batas usia kawin. Karenanya penghentian praktik kawin anak di tingkat nasional sampai desa seperti ditelikung sendiri oleh regulasi pintu darurat itu.

Kawin anak butuh solusi lain di luar sektor hukum. Teratasinya problem kemiskinan, tersedianya informasi memadai tentang kesehatan reproduksi, ketegasan dalam menyatakan perkawinan anak adalah bentuk kekerasan, dan tersedianya program untuk menutup celah dari batas umur berhentinya sekolah setelah wajib belajar 12 tahun dengan masa menunggu kawin yang dilegalkan secara hukum di usia 19 tahun.

Ini antara lain bisa diatasi dengan tersedianya lapangan kerja permanen bukan musiman sampai tingkat desa. Kita juga butuh ketegasan sikap dengan cara menggeser sudut pandang abu-abu dalam melihat isu kawin anak yang seolah bisa dibenarkan sepanjang terpenuhi aspek legalitasnya, ke sikap yang lebih tegas bahwa ini bentuk kekekerasan terhadap anak yang dilegalkan.

Lies Marcoes
Peneliti Rumah Kitab

 

Sumber foto: freepik.com