Pos

rumah kitab

Merebut Tafsir: Rohingya dan Cara Orang Aceh Menyambut Tamu

Oleh Lies Marcoes

Minggu ini, pantai Utara Aceh kembali kedatangan tamu, para pengungsi Rohingya. Ketika aparat berupaya mengikuti protokol pengaturan pengungsi plus penanganan covid-19, orang Aceh sudah memasak timpan, makanan berbalut daun pisang terbuat dari tepung ketan, santan dan gula merah, penanda mereka siap menerima tamu.

Tahun 2016-2017 untuk pepentingan penelitian tentang perempuan Rohingya di pengungsian, saya mengamati dari dekat tinggal bersama para pengungsi di tenda-tenda mereka. Dari sana saya memiliki catatan tentang cara orang Aceh menghadapi gelombang pengungsi Rohingya yang masuk lewat perairan mereka.

Orang bisa berandai-andai, apa jadinya jika manusia perahu ini berlabuh di tempat lain. Tapi Aceh punya sejarah panjang perjumpaan mereka dengan tamu-tamu yang muncul di kuala dan pantai mereka. Karenanya tak perlu mengajari bagaimana cara orang Aceh menyambut tamu. Mereka adalah anak bangsa yang punya budaya teladan “peumulia jamee” – memuliakan tamu; sebuah laku hidup yang telah mendarah daging dan menyangkut harga diri serta keyakinan mereka. Secara adat, para nelayan Aceh pantang menolak siapapun yang tersesat di tengah laut. Semenanjung Aceh adalah pintu gerbang Nusantara yang senantiasa terbuka bagi kaum rantau dari seluruh penjuru dunia, bahkan sejak berabad silam sebelum kolonial datang dan memanfaatkan keramahan mereka dengan muslihat.

Belakangan, mereka juga mendapat pelajaran penting bagaimana mengelola bencana tsunami. Menerima takdir melepas sanak saudara dan sahabat yang hilang ditelan gelombang, menjamu para tetamu dari berbagai penjuru dunia, berkawan, atau bertengkar dengan para relawan penanggulangan bencana dan bernegosiasi soal damai dari konflik yang menahun. Bahkan pengalaman pahit mereka di masa konflik niscaya juga tak hanya meninggalkan luka, tetapi juga nilai-nilai tentang berbagi di kala sulit. Maka tak heranlah jika ratusan orang Rohingnya yang mereka pandu dari tengah laut hingga ke pantai, mereka sambut sebagai saudara yang hilang. Meski negara Indonesia tak punya perjanjian dengan negara manupun terkait pengungsi, orang Aceh telah mendahuluinya dengan menerima mereka dan bukan mengusirnya.

Namun pada kenyataannya, para pendatang itu bukanlah tetamu biasa yang dapat diajak singgah, sebagaimana dikisahkan dalam tradisi Peumulia Jamee. Dalam laporan kami, antropolog Dr. Reza Idria menuliskan dengan sangat apik budaya Peumulia Jamee sebagai budaya tinggi orang Aceh yang harus berhadapan dengan aturan-aturan baru antar negara. Tunduk pada aturan internasional dan kesepakatan antar negara, para tetamu itu ditetapkan sebagi pengungsi antar negara atau refugees. Dan atas nama aturan, mereka diperlakukan dengan standar baku layanan bagi pengungsi yang diatur oleh lembaga-lembaga internasional, seperti UNHCR atau oleh NGO internasional urusan pengungsi seperti IOM. Konsekuensinya, mereka tak terhindar dari penyeragaman penanganan.

Di pengungsian, mereka diperlakukan sama rata. Itu jelas penting dan prinsip. Namun, pada kenyataannya, warga pengungsi tak sama dan serupa. Minimal mereka beda jenis kelamin, umur, bahkan keadaan fisik, pendidikan, serta asal-usulnya. Dan dengan adanya pengakuan akan keragaman itu, maka perlakuan berbeda dan khusus akan menggenapkan perlakuan yang sama rata, namun belum tentu sama adil.

Untuk urusan pemisahan ruangan berdasarkan jenis kelamin, itu merupakan langkah pertama yang dianggap paling penting di camp manapun. Bagi Aceh, itu lebih utama. Bukan saja untuk kepentingan para pengungsi, melainkan juga demi menghormati semangat penerapan Syariat Islam di Aceh. Namun, sesuai dengan stereotipenya, semua anak-anak disatukan dengan perempuan meskipun tak sedikit mereka datang sebagai keluarga, pasangan suami istri, dengan anak-anak mereka. Bertangki-tangki penyediaan air diletakkan di kamp pengungsi lelaki di bagian depan), dan akibat pemisahan ruang itu telah membatasi akses dan volume air bagi pengungi perempuan. Mereka hanya bisa mengambilnya di sore dan malam hari dari sisa air yang dipakai para lelaki seharian.

Semua warga diberi makanan yang sama, tak terkecuali anak-anak balita atau orangtua. Makanan seragam dan standar seringkali jadi mubazir ketika tak menimbang kebiasaan dan pantangan. Orang Rohingya pantang minum susu. Mereka juga tak menyukai biskuit dan daging. Mereka lebih suka ikan dan sayuran segar. Mendekati perempuan untuk mengetahui apa yang mereka kehendaki agar tanpa menyalahi prinsip perbaikan gizi yang dapat segera memulihkan kesehatan mereka pastilah sangat berguna daripada memaksakan standar internasional yang belum tentu mereka terima.

Perbedaan tradisi dan keadaan melahirkan berbeda kebutuhan. Namun, tanpa pemahaman bahwa kebutuhan perempuan berbeda dari lelaki, kebutuhan anak-anak berbeda dari orang dewasa, orang dengan disabilitas dan non-diabilitas punya kebutuhan yang tak sama, maka penanganan bantuan bisa meleset dari tujuan. Karenanya, menggunakan pendekatan yang paham atas perbedaan itu (antara lain analisis gender dan analisis budaya) adalah keniscayaan karena bantuan adalah hak semua pengungsi tanpa kecuali.

Catatan lama ini mungkin dapat menjadi pertimbangan dalam memperlakukan para pengungsi, memadukan adat orang Aceh menjamu tamu dan tata cara hukum internasional yang sensitif gender dalam memperlakukan refugees.

LiesMarcoes, 27 Juni 2020

Peluncuran dan Diskusi Buku Berlayar Tanpa Berlabuh: Pengungsi Rohingya di Aceh dan Makassar, Indonesia

Jumat, 3 Juni 2016, bertempat di Wahid Institute, pukul 10.00 sampai 12.00 WIB, Rumah KitaB menggelar acara Soft Lounching dan Diskusi Buku “Berlayar Tanpa Belabuh: Pengungsi Rohingya di Aceh dan Makassar”, yang ditulis oleh Lies Marcoes berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2015, ditemani tiga orang fotografer, yaitu Morenk Beladro, Aan M. Anshar, dan Armin Hari. Pembicara diskusi buku tersebut adalah Lies Marcoes (penulis buku), Maria Hartiningsih (wartawan senior Kompas), Milly Mildawati (Ketua Pusat Kajian Bencana STKS Bandung), Monica Tanuhandaru (Direktur Kemitraan), dan Morenk Beladro (fotografer). Diskusi dimoderatori oleh Dr. Syafiq Hasyim (Direktur Global ICIP) dan dipandu oleh MC Fadilla.

Dalam acara diskusi ini, Lies Marcoes menjelaskan bahwa, buku yang didiskusikan ini diterbitkan dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris atas dukungan Oslo Coalition, Norwegia. Buku tersebut adalah hasil temuan penelitian Lies Marcoes dengan menggunakan pendekatan khas feminis, yang dimulai pada saat menjelang bulan puasa tahun yang lalu, di mana Aceh tiba-tiba kedetangan tamu pengungsi dari Rohingya. Orang Rohingya di laut tidak pernah bisa pulang, tapi negara-negara lain tidak menerima kehadiran mereka. Mereka tidak ada perlindungan dan tanpa identitas.

Lies mengajak tiga fotografer, yaitu Morenk, Aan, dan Armin, karena menurut Lies bahwa foto sangat membantu untuk menjelaskan realitas yang ada di lapangan.

Orang Rohingnya tidak pernah diakui oleh orang Burma. Mereka tidak dianggap dan tidak diakui warganya meskipun mereka sudah ada di Burma sejak abad ke-15 seperti orang Melayu di Malaysia. Secara politik, mereka sulit sekali karena tidak mempunyai identitas kewarganegaraan. Maka mereka kebanyakan menjadi penyelundup dan warga illegal, seperti di Australia dan di Malaysia. Mereka lebih memilih lari ke Australia karena demi pendidikan anaknya.

Masalahnya, negara Indonesia tidak bisa menerima mereka secara legal dan diakui sebagai warga negara yang sah, karena Indonesia tidak mempunyai perjanjian kerjasama dengan Burma sebagai negara asal mereka. Selain itu, ada persoalan yang jarang dibaca oleh para peneliti sekalipun bahwa ini [perpindahan orang Rohingya] adalah soal pindahnya rumah perempuan. Oleh karena itu, perempuan paling rentan mendapatkan beban ganda, rentan terhadap kekerasan seksual, dan menjadikan sikapnya ‘temperamental’ karena tekanan yang dihadapinya berlipat ganda. Contohnya, banyak terjadi perlakukan kasar seorang ibu di pengungsian Rohingya kepada anak perempuannya. Petugas Tapol yang datang untuk melerai dibentak-bentak oleh si ibu. Dan ini soal kekerasan yang menimpa anak perempuan yang hampir tidak terbaca oleh peneliti lain.

Dalam tata ruang di wilayah pengungsian, soal relasi gender seperti tidak dipikirkan dan sangat bias kelas, seperti sumber air. Tangki dipasang di ruang khusus laki-laki, dan tidak mungkin perempuan masuk ke wilayah laki-laki. Sementara di wilayah perempuan, mereka hanya disediakan dua keran sebagai sumber air. Akibatnya mereka harus mengantre sampai malam; untuk mencuci baju, memandikan anak, dll. Ini juga terjadi dalam papan-papan petunjuk; semuanya berbahasa Inggris, seperti “jangan membuang sampah sembarangan.” Kenyataannya, mereka sebagian besar buta huruf.

Di pengungsian, juga tidak ada penerjemah, dan luar biasa sulit sekali mendapatkan informasi aslinya karena kedalam bahasa. Di Aceh, Lies sulit sekali mendapatkan informasi langsung. Karena itu, untuk penelitian di Aceh banyak menggunakan referensi sekunder.

Saat Lies berkunjung ke Aceh, penduduk Rohingya awalnya sebanyak 400 orang, dan sekarang tersisa 80 orang. Dan bisa dipastikan mereka semua telah kabur meninggalkan Indonesia, tetapi tidak tahu apakah mereka sampai ke negara tujuannya.

Sementara Maria Hartiningsih menjelaskan bahwa kelompok minoritas Rohingya mendapatkan kontrol dan tekanan dari pemerintah. Rohingya seperti tidak punya bapak dan ibu. Myanmar menolak sebagai bagian dari mereka sehingga diperlakukan secara tidak baik. Di Malaysia juga tidak baik, meski sama-sama Islam. Dengan Bangladesh juga mereka sering terjadi konflik. Kelompok Rohingnya adalah kelompok yang paling rentan dari kelompok rentan yang ada.

Maria juga menjelaskan nasib perempuan dan kasus kekerasan seksual yang dialami para perempuan pengungsi Rohingya, bahwa dia mendapatkan informasi bahwa di kapal ketika berlayar, perempuan yang pertama kali dikorbankan, demi tidak terjadinya tenggelam. Anak dan perempuan juga banyak terjadi pelecehan seksual dan pemerkosaan. Ancaman pelecehan seksual berlipat ganda; akibat dari kecemasan identitas yang tidak jelas, dan pelampiasannya dengan melakukan kekerasan seksual. Baik di dalam atau di luar kamp pengungsian, perempuan banyak mengalami pemerkosaan. Kekerasan seksual, pemaksaan aborsi, perdagangan manusia, dan pelarangan alat kontrasepsi masih sangat banyak dialami para perempuan pengungsi.

Pembicara berikutnya, yaitu Milly Mildawati menjelaskan tentang pengungsi. Di Indonesia, pengungsi adalah orang yang berpindah tempat; orang yang meninggalkan negaranya dan meminta perlindungan ke negara lain karena ketakutan. Ada istilah baru “penyintas”, yang artinya orang yang selamat dari ancaman di negaranya.

Faktanya kejadian mengenai pengungsi sudah ada sejak zaman dulu dan akan terjadi di masa yang akan datang. Sejatinya ada lembaga yang menangani mereka atas nama kemanusiaan. Masyarakat Indonesia yang mempunyai karakter gotong royong, dan mudah menolong, tidak mungkin menolak mereka. Sejalan dengan itu, Monica Tanuhandaru juga menjelaskan bahwa sikap geografi Indonesia adalah ramah, yang menyebabkan masyarakatnya pun  terbuka terhadap pendatang/pengungsi. []

Catatan untuk Berlayar Tanpa Berlabuh

Tulisan ini ditulis oleh Maria Hartiningsih, Wartawan Senior Kompas, untuk peluncuran buku Berlayar Tanpa Berlabuh: Perempuan dan Pengungsi Rohingya di Makassar dan Aceh, Indonesia.

Pertama-tama saya ucapkan selamat kepada Lies dan kawan-kawan untuk Berlayar tanpa Berlabuh: Perempuan dan Pengungsi Rohingya di Makassar dan Aceh, Indonesia. Sejauh ini, hanya Lies dan kawan-kawan yang meneliti isu pengungsi dengan menggunakan perspektif gender. Buku ini sangat menarik, baik dari sisi layout mau pun isi, dan memberikan gambaran yang lumayan utuh mengenai latar belakang di balik kondisi pengungsi Rohingnya di Indonesia. Sekali lagi, selamat untuk Lies.

Laporan dari berbagai lembaga HAM menunjukkan, kelompok minoritas Muslim Rohingnya dari bagian utara Negara Bagian Rakhine (dulu Arakan) di Myanmar itu terus menerus berada di bawah pemantauan dan kontrol ketat dari negara, melalui kebijakan yang sangat represif termasuk pembatasan dalam kebebasan bergerak, perkawinan dan keluarga berencana, di samping ditolaknya akses kepada kesejahteraan hidup, seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan dasar, yang semuanya berdampak sangat serius pada kehidupan perempuan dan anak dari komunitas Rohingnya.

Kelompok keras dalam percaturan politik Burma menolak warga Rohingnya sebagai bagian dari warga negara Burma, meski pun keberadaan mereka tak bisa dilepaskan dari sejarah Myanmar, khususnya Arakan. Bangladesh juga menolak ras Rohingnya sebagai bagian dari bangsa mereka, sehingga ribuan suku Rohingnya yang menjadi pengungsi di kamp-kamp di Bangladesh tidak diperlakukan dengan baik. Malaysia juga menolak pengungsi Rohingnya, meski pun sama-sama beragama Islam, karena jumlahnya yang sangat besar dan letaknya tak jauh dari Malaysia.

Kasus mereka berbeda dengan banyak kasus pengungsian lain karena di Burma mereka tak diakui sebagai warga negara; salah satu prinsip untuk definisi pengungsi dari Perserikatan Bangsa-bangsa. Selain itu, mereka miskin, tidak berpendidikan dan jumlahnya besar.

Dengan kondisi seperti ini, kelompok ini merupakan salah satu kelompok paling rentan di antara komunitas pengungsi dunia. Posisi mereka adalah outcast, di luar kasta, jauh lebih buruk dibandingkan pariah, kasta terendah dalam sistem kasta. Mereka sulit diterima di negeri mana pun karena tidak punya kewarganegaraan. Di pengungsian, nyawa mereka memang tidak terancam seperti di kampung halaman, tetapi kondisinya juga tidak lebih baik. Tak ada harapan, tak ada masa depan (Kisah Yasin, hal 63). Maka judul buku Berlayar tanpa Berlabuh adalah judul yang telah sangat jelas mengungkapkan kondisi pengungsi Rohingnya.

Buku ini juga mengungkap isu keamanan regional dan internasional terkait pengaruh fundamentalisme, namun kurang dieksplorasi dan kurang sistematis. Melalui narasi, buku ini menunjukkan potensi masuknya radikalisme. Di kelompok perempuan, misalnya, dijumpai sekelompok eksklusif Wahabi (hal 50). Memang tak bisa begitu saja menuduh bahwa kelompok ini termasuk dalam kategori radikal, tetapi gejala eksklusivisme agama, tetap harus diwaspadai.

Kewaspadaan ini bukan sesuatu yang berlebihan kalau membaca fakta di hal 60, bahwa pengungsi di Aceh punya keinginan pergi ke Turki atau Suriah dan Arab Saudi, negara-negara di mana kelompok radikal tumbuh subur. Ide itu tidak muncul pada pengungsi di Makassar. Mereka tetap memilih negara maju, Australia, Kanada, New Zealand, andai harus memilih tanah air yang baru. Pemaparan pada hal 43-45 mengenai hilangnya beberapa pengungsi yang tinggal di Aceh dan pernyataan Menko Polkam Luhut Panjaitan, menunjukkan penanda tertentu yang seharusnya dieksplorasi lebih jauh. Saya juga memiliki pertanyaan tentang kebebasan beragama di tengah situasi yang bergolak.

Ketika mobilitas laki-laki pengungsi sangat dibatasi dan dipenuhi intimidasi, perempuan harus menanggung seluruh dampaknya. Dalam hal ini, seluruh gambaran penindasan sistematik terhadap perempuan yang diungkapkan Bell Hooks dalam From Margin to Center (1984) dan Feminism is for Everybody: Passionate Politics (2000), terlihat jelas. Yaitu, bahwa mereka yang berada di lapis terbawah dalam sistem dehumanisasi sistematik, adalah perempuan dan anak perempuan dari lapis ekonomi terbawah, dengan tingkat pendidikan sangat minimal, dari suku dan agama atau keyakinan minoritas yang dipinggirkan (di Burma), dan sebatang kara (tanpa orangtua dan keluarga lain). Pola dehumanisasi sistematis ini juga terlihat jelas dalam kekerasan yang dilakukan ibu terhadap anak. Sayangnya, bagian ini juga kurang dieskplorasi.

Sebagai pengungsi, sebagai perempuan atau anak tanpa orangtua dan sanak saudara di negara asing yang tidak menghendaki kedatangan mereka, kerentanan mereka semakin pekat. Perempuan dan anak akan lebih dulu dikorbankan dalam kondisi terburuk. “Saya melihat perempuan di sini berbahaya. Saya dengar cerita dari sesama penumpang, kalau tak ada keluarga mereka bisa mengalami kekerasan seksual atau mungkin dibunuh untuk mengurangi penumpang…” (hal 62).

Perempuan menggunakan tubuhnya untuk bertahan hidup dalam kondisi yang sangat buruk. Buku ini mengungkap hal itu, tetapi masih sangat samar (hal 45-48, foto hal 47). Pola kekerasan dan penindasan berbasis relasi-kuasa seperti itu terjadi pada perempuan pengungsi di mana pun, apa pun latar belakangnya.  Dalam sistem dominasi yang mengesahkan berbagai bentuk kekerasan kepada perempuan, tubuh perempuan senantiasa menjadi taruhan dalam pertarungan untuk mempertahankan hidup.

Bahkan, pelampiasan dari ketakutan, frustrasi dan ketiadaan masa depan, seringkali diwujudkan dengan kekerasan, khususnya kekerasan seksual kepada pasangan, apa pun bentuknya, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Jadi, perempuan Rohingnya, seperti halnya perempuan pengungsi lainnya, terancam kekerasan seksual baik di dalam tenda di kamp pengungsian, mau pun di luar tenda kamp pengungsian dan di luar kamp pengungsian, termasuk dalam perjalanan menuju tempat pengungsian.

Isu kekerasan terhadap perempuan, khususnya, kekerasan seksual, sebenarnya merupakan isu penting dalam kasus-kasus perempuan pengungsi, tetapi tidak dieksplorasi. Kemungkinan besar karena kesulitan bahasa dan tidak ditemukan penerjemah yang kompeten.

Menurut UNHCR, perempuan dan anak perempuan merupakan separuh dari pengungsi apa pun di dunia, dari latar belakang apa pun, internally displaced (orang-orang yang dipaksa meninggalkan kampung halamannya karena konflik bersenjata atau sebab lainnya, tetapi masih berada di dalam negerinya) dan stateless population (kelompok pengungsi tanpa kewarganegaraan). Akan tetapi, kebutuhan mereka masih dilihat dari lensa laki-laki dan keberadaan mereka terus dinegasikan.

Sejak Konvensi mengenai Pengungsi diadopsi pada tahun 1951, berbagai upaya telah dilakukan termasuk implementasi hukum dan kebijakan untuk menanggapi situasi tertentu dari perempuan pengungsi.  Namun sampai tahun 2015, perempuan pengungsi masih terus menghadapi kerentanan terhadap kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasinya. Praktik pelanggaran seperti  tindak kekerasan seksual, female genital mutilation, pemaksaan aborsi, sterilisasi, penolakan akses kepada kontrasepsi, perdagangan manusia, kawin paksa, juga norma-norma sosial yang menindas, masih terus mengancam.

Sayangnya, penelitian ini belum mengurai bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi. Metode kualitatif sangat tajam menguraikan situasi ini, tetapi gambaran umum yang lebih terinci, sebaiknya diuraikan dalam gabungan metode kualitatif-kuantitatif berperspektif feminis.

Untuk mengungkap kekerasan seksual tidak mudah, karena sulitnya mengorek persoalan itu dari informan, sehingga dibutuhkan lebih banyak waktu dan upaya, dan terutama, penerjemah andal yang bertugas murni sebagai penerjemah.

Buku ini sudah menguraikan yang dilakukan oleh para relawan. Namun penanganan pengungsi tak cukup dilakukan dengan cara konvensional. Dibutuhkan dukungan yang lebih luas dari berbagai pihak, termasuk komunitas kemanusiaan dan feminis lokal, serta organisasi-organisasi hak asasi perempuan untuk mendukung pemberdayaan perempuan dan anak perempuan. Harus bisa ditemukan prakarsa-prakarsa untuk membangun kapasitas perempuan dan anak-anak pengungsi, agar bisa berbicara atas nama mereka sendiri. Donor, NGO dan lembaga-lembaga PBB harus mendengarkan suara mereka, dan bekerjasama membangun resiliensi dengan mengimplementasikan program-program terintegrasi dan sensitif gender yang mempromosikan akses dan kesempatan yang setara bagi  perempuan, anak-anak perempuan, laki-laki dan anak-anak laki-laki.

Terlepas dari semua kekurangan, buku ini telah memberi sumbangan sangat berarti untuk memaparkan masalah pengungsi dengan perspektif gender. Fenomena pengungsi ini akan semakin jelas, dan akan menjadi persoalan global yang terus kita hadapi. Jadi sebaiknya riset ini dilanjutkan.

Jakarta, 3 Juni 2016

Photo by: Morenk Beladro