Pos

Femisida dalam Pernikahan: Mengapa Perempuan Lebih Banyak Terbunuh di Rumah?

Peringatan pemicu: Tulisan ini memuat deskripsi detail mengenai kekerasan yang mungkin dapat mengganggu sebagian pembaca.

~~~

Malam itu, seorang perempuan berusia 29 tahun ditemukan tak bernyawa di rumahnya. Luka lebam di wajahnya bercerita lebih banyak daripada yang bisa diungkapkan oleh media. Tetangganya pun terkejut, mereka mengira pernikahannya baik-baik saja, “Istrinya orang yang pendiam,” kata salah satu dari mereka. Tapi, diam tak selalu berarti baik. Kadang, diam itu menutupi banyak luka, diam yang menyembunyikan penderitaan, diam yang akhirnya berujung pada maut.

Kasus terbunuhnya perempuan dalam konteks rumah tangga menunjukkan angka yang memprihatinkan. Kasus tersebut adalah realitas yang dihadapi perempuan di seluruh dunia. Menurut penelitian UNODC dan UN Women tahun 2024, 60% dari sekitar 85.000 perempuan yang dibunuh secara sengaja, tewas di tangan pasangan intim atau anggota keluarganya. Di Indonesia, Komnas Perempuan mengonfirmasi bahwa 86,9% pembunuhan terhadap perempuan terjadi di ranah privat. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, justru sering kali merenggut nyawa perempuan.

Mendefinisikan Femisida: Perempuan Dibunuh Karena Mereka Perempuan

Seharusnya, femisida tak bisa hanya dikategorikan sebagai pembunuhan biasa. Kasus ini adalah bentuk ekstrem dari kekerasan berbasis gender, di mana perempuan dibunuh karena mereka adalah perempuan, yang secara socio-cultural dianggap inferior. Naasnya, budaya patriarki menanamkan keyakinan bahwa ketika seorang perempuan menikah, ia otomatis menjadi milik suaminya. Dari sinilah muncul pembenaran atas berbagai bentuk kekerasan rumah tangga, seolah-olah aksi tersebut adalah bentuk suami mendidik istri.

Merujuk pada sejarah munculnya istilah femisida, Diana E. H. Russell, seorang feminis dan sosiolog asal Afrika Selatan, mempopulerkan istilah femisida pada tahun 1976. Ia ingin menunjukkan bahwa pembunuhan perempuan memiliki motif dan pola berbeda dari pembunuhan biasa, bukan sekadar kejahatan tunggal, tapi hasil dari sistem patriarki yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan.

Beberapa negara di dunia sudah lebih maju dalam mengakui femisida sebagai kejahatan yang perlu penanganan khusus. Mereka mengategorikan femisida ke dalam hukum pidana, lengkap dengan definisi dan hukuman yang lebih tegas. Sayangnya, di Indonesia belum sampai ke tahap itu.

Kasus femisida masih diproses dengan pasal-pasal umum tentang pembunuhan atau kekerasan, tanpa melihat bahwa ini adalah kejahatan berbasis gender yang punya pola dan akar masalah berbeda. Mengakui femisida sebagai kategori kejahatan yang spesifik sangat penting untuk mengembangkan langkah-langkah hukum dan kebijakan yang memadai, guna mencegah jenis pembunuhan ini dan meminta pertanggungjawaban para pelaku.

Menangani femisida tidak hanya membutuhkan respons peradilan pidana, tetapi juga perubahan sosial yang lebih luas untuk membongkar norma-norma sosial dan budaya patriarki yang mendasari dan terkadang menopang aksi KDRT.

Ketika Pernikahan Menjadi Neraka Bagi Perempuan

Laila (nama samaran) menikah dengan lelaki yang awalnya penuh cinta. Namun, setelah beberapa tahun pernikahan, cinta itu berubah menjadi pukulan dan ancaman. Setiap kali ia berpikir untuk pergi, terngiang di kepalanya “Sabar, nanti dia berubah. Jangan buat malu keluarga”. Asumsi yang kerap kali tertanam pada perempuan yang terjebak dalam toxic relationship. Cerita Laila, merepresentasikan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan.

Berdasarkan statistik, femisida dalam pernikahan adalah bentuk femisida yang paling umum. Komnas Perempuan mencatat bahwa 42,3% kasus femisida terjadi dalam pernikahan. Para korban sering kali telah lama mengalami kekerasan sebelum akhirnya dibunuh.

Hal ini selaras dengan temuan Internatioal, menurut Dr. Kevin Fullin dari American Medical Association, “Sepertiga dari semua cedera pada perempuan yang masuk ke ruang gawat darurat bukanlah kecelakaan. Sebagian besar adalah hasil dari tindakan kekerasan yang disengaja dan direncanakan. Dan sering kali terjadi berulang kali hingga perempuan tersebut meninggal.”

Mengapa Perempuan Tidak Bisa Keluar dari Toxic Relationship?

Dalam melihat kasus KDRT, kita mungkin mempertanyakan “Kenapa tidak cerai saja?” Seolah-olah meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan adalah hal yang mudah. Pada realitanya, ada begitu banyak alasan yang membuat perempuan terjebak dalam kasus KDRT. Dalam banyak budaya, perempuan diajarkan untuk tunduk kepada suami.

Mereka didoktrin untuk percaya bahwa meninggalkan pernikahan adalah aib. Tidak peduli seberapa menyakitkan atau mengancamnya situasi yang mereka hadapi, perempuan sering kali ditekan untuk tetap bertahan, dengan dalih menjaga kehormatan keluarga atau demi anak-anak mereka.

Ketergantungan finansial juga menjadi salah satu penghalang terbesar. Bagi perempuan yang tidak memiliki sumber penghasilan sendiri, mereka cenderung takut tidak bisa bertahan hidup jika pergi. Ke mana mereka harus meminta pertolongan? Bagaimana mereka akan menghidupi anak-anak mereka? Tanpa akses terhadap sumber daya yang cukup, perempuan akan rentan terjebak dalam situasi abusive ini.

Setiap kali sebuah kasus femisida terjadi, kita berduka, kita marah, tapi apa yang bisa kita perbuat? Mencegah femisida bukan hanya tugas negara, tapi tanggung jawab kita semua. Kita harus mulai dengan mendengarkan dan mempercayai korban. Ketika seseorang bercerita tentang kekerasan yang mereka alami, jangan menghakimi.

Sebaliknya, kita harus memberikan dukungan nyata, baik itu dengan menawarkan tempat perlindungan, membantu mereka mengakses layanan hukum, atau sesederhana menjadi tempat mereka merasa aman untuk bercerita.

Kita juga perlu mendorong kemandirian finansial perempuan, bagi penulis hal ini sangatlah penting, karena perempuan yang memiliki sumber finansial, lebih mungkin untuk meninggalkan hubungan yang abusif. Terlepas dari itu, kebijakan yang melindungi hak perempuan harus diperjuangkan. Selama hukum masih lemah, nyawa perempuan akan terus terancam.

Namun, semua upaya ini tidak akan efektif, jika kita tidak membongkar akar dari permasalahannya: norma patriarkal yang mengakar. Perubahan sosial harus dimulai dari pendidikan di rumah, dari cara kita membesarkan anak-anak kita, dari bagaimana kita menanamkan nilai kesetaraan dalam keluarga, dan dari keberanian kita menolak normalisasi kekerasan terhadap perempuan.

Perubahan ini, bukan hanya tugas para aktivis atau pembuat kebijakan, tetapi tugas setiap individu. Kita tidak bisa terus berduka tanpa bertindak, tidak bisa hanya marah tanpa mencari solusi. Tanyakan pada diri sendiri “Apa yang bisa kita lakukan agar perempuan tidak terjebak dalam situasi kekerasan sejak awal?”

Uun Nurcahyanti dan Jejak Perempuan Difabel Pertama Mengguncang Kampung Inggris Pare

Dia tersenyum. Dia duduk di kursi kayu kecil. Dan tampaknya, dia sedang menunggu orang. Benar saja, dia mengaku menunggu anak-anak yang sedang ingin mendiskusikan sebuah buku.

Minggu sore itu, matahari sudah mau tidur. Azan Ashar telah lewat. Di sebuah amperan café yang diberi nama Sukun itu, dia menceritakan kisah hidupnya dan buku. Memang tak ramai orang. Hanya beberapa. Tapi semua hanyut dalam kisah getirnya.

Tangannya yang sudah mulai tak mampu mengangkat satu kertas pun itu, berusaha membolak-balikkan halaman demi halaman buku. Buku-buku yang pernah ia tulis selalu dibawa ke mana-mana. Ada rasa kegembiraan. Seperti ada rasa ingin mengulang menulis kembali apa saja tentang isi dunia.

Namanya Mrs. Uun Nurcahyanti. Pendiri kursus bahasa Inggris bernama Smart International Language College (ILC) di Pare. Uun adalah perempuan pertama yang mendirikan kampung Inggris Pare pada 12 Juni 2002. Dia seperti mendobrak dunia lama. Bahwa perempuan bahkan sekali pun difabel mampu membuat hal yang sama.

Kampung Inggris Pare, Kediri sering kita kenal sebagai tanah penuh mimpi. Dari gang-gang sempitnya, ada ratusan kursusan bahasa Inggris tumbuh, melahirkan ribuan alumni yang kini tersebar di berbagai penjuru dunia. Dan dari semua kursusan itu, narasi dan nama perempuan tak hadir. Hampir, perkembangan Pare adalah sepenuhnya milik laki-laki.

Sejarah yang Terselip

Beruntunglah, hadir seorang perempuan difabel kelahiran Solo. Dia memberanikan diri untuk mencoba peruntungan mendirikan sebuah kursusan yang sederhana. Tak ada tembok tinggi, keramik, apalagi marmer. Yang ada hanya kemauan dan bertumbuh.

Di masa itu, Uun belum tahu masa depan Pare, apakah Pare akan seramai hari ini. Dia mendirikan Smart ILC hanya bermodalkan nekat dan doa. Kalau bisa ditambah, transmigrasi Uun dari Solo ke Pare tidaklah mudah. Dia menaiki bis bersama temannya saat krisis ’98 lagi puncak-puncaknya. Saat sampai di Kediri, dia hampir saja mau diringkus karena dianggap bagian dari PKI. “Dulu Kediri memang sedang naik-naiknya isu PKI”, sebutnya.

Kehadiran Ms. Uun bukanlah cerita biasa. Meski dia tidak suka bahasa Inggris, tapi demi pesan orang tua dia tetap bertahan. Dia belajar dengan tekun. Dengan keterbatasannya, dia mulai bisa memecahkan rumus demi rumus tenses bahasa Inggris. Hingga akhirnya dia mulai suka dan jatuh hati.

Bukti bahwa dia sudah suka, Uun mantap memilih Pare sebagai tempat proses bertumbuh: mendirikan Smart ILC. Pare, dengan segala geliatnya, telah lama menjadi ruang kompetitif. Saat itu, hanya orang yang memiliki keilmuan mumpuni, otoritas, kapasitas dan kepercayaan publik yang mampu mendirikan sebuah kursusan. Dan perempuan hampir mustahil bisa mendirikannya pada saat itu.

Di tengah ruang yang lebih ramah pada suara laki-laki saat itu, keberanian seorang perempuan mendirikan lembaga kursus adalah sebuah perlawanan terhadap norma sosial dan budaya yang kerap membatasi langkah perempuan.

Artinya, membuka kursusan berarti bukan hanya berbicara tentang kompetensi bahasa dan ilmu, melainkan tentang kepemimpinan, manajemen, mental, dan daya juang. Dan di sanalah, Uun hadir dengan keteguhan seorang perempuan difabel yang menolak untuk dipinggirkan.

Simbol Kesetaraan Gender

Lebih dari sekadar lembaga kursus, langkah Mrs. Uun adalah simbol kesetaraan gender. Ia menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya mampu menjadi pendamping dalam dunia pendidikan, tetapi juga bisa tampil sebagai penggagas, pemimpin, dan inovator.

Secara langsung, sebenarnya Mrs. Uun telah menerapkan kerja-kerja disability feminism atau bisa disebut feminis interseksional (Kimberlé Crenshaw,1989). Dalam setiap kelas yang dia bangun, terselip pesan tersirat: bahwa ruang pendidikan harus terbuka bagi semua, tanpa memandang jenis kelamin, latar belakang sosial, atau kondisi fisik. Lembaga kursus yang ia dirikan bukan hanya tempat belajar grammar dan speaking, tetapi juga ruang pemberdayaan, ruang inklusi kala keterbatasan tidak menjadi penghalang untuk bermimpi.

Kita perlu melihat kehadiran Mrs. Uun dengan perspektif yang lebih luas. Dalam konteks gender, langkahnya sudah mengubah wajah Kampung Inggris Pare. Jika dulunya Pare milik suara laki-laki, kini dari Pare ada suara perempuan bernama Mrs. Uun dan Smart ILC-nya. Mrs. Uun mendobrak stereotip lama bahwa dunia pendidikan nonformal hanyalah arena para lelaki.

Saya melihat, keberanian Mrs. Uun mungkin tidak dimiliki oleh semua orang. Bagi saya dia memecah kebisuan. Dia menghadirkan narasi baru: bahwa perempuan berhak dan mampu menjadi aktor utama dalam perubahan sosial.

“Saya mengira bahasa Inggris hanya bisa didekati dengan cara aktif (speaking). Tapi setelah aku pelajari, ternyata bahasa Inggis bisa juga didekati dengan cara pasif (grammar). Aku milih yang ke dua ini,” tegasnya. Saya melihat kehadiran Mrs Uun adalah perjuangan perempuan melawan keterbatasan di tengah banyak nama perempuan yang hilang dari catatan sejarah pendidikan di Indonesia.

Ada sesuatu yang emosional ketika kita membayangkan perjalanan Mrs. Uun. Dia tidak hanya membangun sebuah kursusan yang kredibilitasnya sangat baik, tapi juga membangun kelompok diskusi buku. Bahkan Mrs. Uun sering menulis di berbagai majalah, koran, dan menerbitkan buku. Buku Sihir Pendidikan (2019) adalah ejawantah dia mengenai berbagai kegelisahannya atas pendidikan dan seputar dinamika Kampung Inggris Pare.

Dalam konteks difabel, kehadiran Mrs Uun juga memberi pesan penting. Pendidikan nonformal seperti kursus bahasa Inggris seharusnya menjadi ruang ramah bagi semua kalangan, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik maupun sosial.

Dengan perspektif keibuan yang penuh empati, Mrs. Uun menjadikan kursusan sebagai ruang inklusif—tempat di mana siapa pun berhak merasa diterima dan diberdayakan. Di tangannya, kursus tidak sekadar kelas bahasa, melainkan wahana untuk menegaskan bahwa setiap manusia, apa pun kondisinya, memiliki hak untuk tumbuh.

Kini, ketika kita menoleh pada sejarah Kampung Inggris Pare, sudah saatnya kita memberi ruang bagi kisah-kisah seperti ini. Sejarah bukan hanya milik mereka yang memiliki modal kapital. Sejarah juga milik mereka yang bekerja dalam senyap, yang tekadnya mengubah wajah kampung kecil Pare menjadi ruang yang lebih setara.

Bagi saya, Mrs. Uun adalah wajah itu. Wajah perempuan yang menolak tunduk pada keterbatasan tubuh, gender dan sosial. Mrs. Uun adalah peramuan dengan segala keterbatasannya, mampu menjadi cahaya yang menerangi lorong-lorong sunyi sejarah.

Ijazah Jokowi dan Potret Pendidikan Kita

Polemik Ijazah Jokowi tak kunjung selesai. Meskipun pihak kepolisian sudah menghentikan kasus ini, namun orang-orang yang tak puas dan selama ini menggugat keaslian Ijazah Jokowi, tetap bersikukuh menolak dan menuntut dilanjutkan.

Ijazah merupakan “penanda” seseorang pernah menempuh pendidikan di institusi pendidikan tertentu, tetapi belum tentu sepenuhnya mewakili kompetensi dan keilmuan dari lembaga tersebut. Di Indonesia untuk menjadi sarjana atau mendapat gelar akademik (embel-embel di depan atau di belakang nama), sebetulnya sangat mudah. Anda tinggal mengikuti sejumlah mata kuliah dalam jumlah tertentu dan menyelesaikan tugas akhir (skripsi, tesis, atau disertasi).

Selama proses menghabiskan mata kuliah itu, Anda cukup mendengarkan dosen menyampaikan materi kuliah dan menyelesaikan tugas-tugasnya. Semakin rajin mendengar ceramah dosen (3D: duduk, dengar dan diam), biasanya Anda akan mendapat nilai bagus.

Untuk menyusun tugas akhir, Anda cukup membeli atau mencari buku-buku di perpustakaan sesuai penelitian dan mengolah data-data dalam buku tersebut dalam satu kesatuan sesuai arahan dosen pembimbing. Jangan takut, selama proses menulis tugas akhir, baik tugas lapangan maupun riset kepustakaan, Anda akan dipandu oleh beberapa dosen pembimbing. Poin yang terpenting Anda punya uang untuk membayar seluruh biaya kuliah. Selesai.

Itulah gambaran singkat bagaimana seseorang bisa meraih gelar kesarjanaan dengan sebuah ijazah kelulusan dari institusi perguruan tinggi. Tentu, ilustrasi ini bukan ingin menyimplifikasi sebuah proses pendidikan. Hanya saja, saya ingin mengatakan bahwa paradigma pendidikan kita masih memandang perguruan tinggi sebagai pabrik yang menghasilkan manusia sarjana sesuai kebutuhan dan keinginan pasar.

Manusia-manusia sarjana ini sudah dikelompok-kelompokkan berdasarkan jurusan yang ada di kampus tersebut. Akhirnya, lembaga pendidikan tidak lagi menciptakan manusia sebagai manusia, melainkan manusia yang secara khusus dipersiapkan menjadi “sekrup” dari mesin besar bernama kapitalisme. Singkatnya, kampus menciptakan tenaga kerja, mempersiapkan buruh-buruh baru yang diharapkan dapat mengisi pabrik-pabrik dan sektor-sektor industri lainnya.

Inilah yang dikritik Paulo Freire, seorang aktivis dan pendidik asal Brasil, dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas”. Menurutnya, kegagalan dunia pendidikan saat ini karena menjadikan murid sebagai objek. Ia mengistilahkan sebagai pendidikan a la bank (banking education). Pendidikan model ini membayangkan murid sebagai sebuah wadah atau celengan yang setiap hari diisi pengetahuan oleh gurunya.

Kegiatan belajar mengajar di kelas bisa disederhanakan sebagai berikut: guru bercerita dan murid mendengarkan. Guru dianggap sebagai satu-satunya pemilik kebenaran. Karena itu, prestasi murid diukur berdasarkan seberapa banyak ia menerima ilmu pengetahuan dari gurunya itu yang direpresentasikan ke dalam angka. Kelemahan dari model pendidikan ini, kata Freire, menjadikan murid pasif, patuh, dan tidak kritis terhadap realitas. Freire tidak tertarik terhadap model ini karena cenderung mempertahankan status quo.

Sebagai gantinya Paulo Freire menawarkan model pendidikan partisipatif. Pendidikan partisipatif lebih mengedepankan dialog dibanding ceramah. Proses pendidikan berjalan dua arah: murid belajar dari guru, guru juga belajar dari murid. Guru dan murid sama-sama dihadapkan pada problem dan realitas kehidupan sehari-hari. Belajar dari pengalaman kongkret, mereka dituntut untuk memahami, menganalisis dan mencarikan jalan keluarnya.

Di dalam ruang kelas murid tak hanya dijejali dengan teori-teori keilmuan, mereka juga harus turun ke lapangan untuk belajar mengubah keadaan. Proses pendidikan kritis mengajari siswa untuk menggabungkan antara refleksi ‘berpikir’ dan aksi ‘bertindak praksis’.

Sebab, kata Freire, refleksi tanpa aksi akan melahirkan verbalisme, sedangkan aksi tanpa refleksi hanya akan melahirkan aktivisme. Hal yang dibutuhkan bukan hanya bagaimana memahami dunia tapi juga mengubahnya. Inilah pentingnya pendidikan. Ijazah hanyalah penanda saja.

Perundungan dan Kekerasan Seksual di Pesantren yang Kita Diamkan

Di balik tembok-tembok tinggi pesantren yang menyimpan suara ayat dan doa, ada pula suara lain yang jarang terdengar, suara luka. Luka akibat perundungan dan kekerasan seksual.

Tahun 2024 memberi kita cermin yang tak bisa dihindari. Berdasarkan laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sepanjang 2024 terjadi 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, melonjak tajam dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari jumlah ini, sekitar 20% terjadi di pesantren, yakni kasus kekerasan yang terjadi di lembaga yang seharusnya menjadi rumah pengasuhan ruhani dan akhlak. Dari keseluruhan kasus tersebut, perundungan menyumbang sekitar 31% (sekitar 178 kasus), dan 42% lainnya adalah kekerasan seksual, menjadikannya kategori paling dominan dalam laporan ini.

Secara geografis, Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi dengan laporan paling lengkap. Hingga Maret 2025, tercatat 85 kasus perundungan di lingkungan pesantren di Jawa Tengah.

Angka ini tidak sekadar statistik. Di balik setiap angka ada wajah anak muda, ada seorang santri yang berangkat mondok dengan semangat belajar dan berubah, namun pulang dengan trauma yang tak mudah disembuhkan.

Lebih mencemaskan lagi adalah gambaran profil korban. Menurut JPPI, kekerasan seksual yang tercatat menimpa 556 korban perempuan dan 17 laki-laki. Sementara untuk kategori perundungan, 470 korban adalah perempuan, dan 103 laki-laki.

Ini menunjukkan bahwa kekerasan di pesantren bukan hanya soal adab yang salah kaprah atau sistem asrama yang longgar, tetapi juga tentang relasi kuasa yang timpang. Antara senior dan junior, antara pengasuh dan santri, antara institusi dan individu.

Mengapa kekerasan bisa tumbuh subur di lingkungan yang diidealkan sebagai pusat moralitas?

Jawabannya rumit, tapi nyata. Banyak pesantren, terutama yang tradisional, memiliki struktur hierarkis yang sangat kaku. Senioritas bukan sekadar urutan tahun, tapi kerap diperlakukan bak kasta.

Dalam struktur ini, kekuasaan informal sering berpindah tangan dari pengasuh ke santri senior, membuka celah bagi lahirnya culture of silence dan culture of obedience. Kekerasan lalu dianggap bagian dari “proses mendewasakan”, atau “uji mental”. Dan tragisnya, korban sering disuruh bersabar karena “itu dulu juga kami alami”.

Sebagian pesantren juga belum memiliki sistem pelaporan kekerasan yang aman dan empatik. Santri yang mengalami pelecehan atau perundungan sering kali takut melapor. Takut dipermalukan. Takut tidak dipercaya. Takut dikeluarkan. Akibatnya, kasus-kasus ini mengendap, lalu membusuk dalam sistem, hingga akhirnya meledak ketika korban sudah tak mampu menanggungnya.

Tentu saja tidak semua pesantren membiarkan kekerasan tumbuh. Beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah mendeklarasikan zona bebas perundungan dan kekerasan seksual. Mereka menyusun modul pendidikan anti-kekerasan, mengadakan pelatihan psikologis bagi pengasuh dan santri senior, serta membentuk mekanisme pelaporan anonim.

PBNU juga telah membentuk Satgas Khusus Penanganan Kekerasan di Pesantren sebagai respons atas data 114 kasus sepanjang 2024. Ini langkah penting, tapi belum cukup.

Perlu lebih dari sekadar respons pasca-kasus. Kita perlu mencegah sebelum luka terjadi. Salah satunya dengan mengubah cara kita memahami “adab” dan “disiplin”. Disiplin tidak boleh lagi diartikan sebagai ketundukan mutlak.

Adab tidak boleh dipahami sebagai peniadaan hak bertanya, hak mengadu, atau hak merasa terluka. Pesantren harus mulai mengajarkan bahwa menghormati guru bukan berarti menutup mata terhadap kesalahan. Bahwa mencintai lembaga tidak berarti membenarkan kekerasan demi “nama baik”.

Penting juga untuk membuka diri terhadap kerja sama dengan pihak luar. Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta psikolog profesional harus dilibatkan dalam sistem pengawasan dan pemulihan.

Teknologi juga bisa menjadi alat bantu penting. Laporan UNICEF bersama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyarankan penggunaan aplikasi pelaporan daring yang anonim, sehingga memungkinkan santri melaporkan kekerasan tanpa harus bertemu langsung dengan otoritas yang mungkin bias atau tidak netral. Aplikasi semacam ini telah diujicobakan di beberapa sekolah dan bisa diadaptasi untuk lingkungan pesantren.

Namun, reformasi yang paling krusial tetap reformasi budaya. Kita harus berhenti meyakini bahwa “semua pesantren baik-baik saja” hanya karena label “agama” melekat padanya. Kita harus berani berkata bahwa pesantren adalah lembaga manusiawi, dan karena itu tidak luput dari kesalahan. Kita harus siap mendengar, bahkan jika cerita yang disampaikan membuat kita marah atau malu. Karena hanya dengan mendengar secara jujur, kita bisa mulai menyembuhkan.

Akhirnya, ini bukan semata tentang menjaga reputasi pesantren. Ini tentang menjaga jiwa-jiwa muda yang dititipkan oleh orang tua, dengan harapan mereka pulang lebih baik dari saat pergi. Jika harapan itu dikhianati oleh kekerasan, maka tidak hanya santri yang terluka tetapi juga makna pesantren itu sendiri.

Pesantren harus menjadi tempat belajar, bukan tempat takut. Ia harus menjadi rumah, bukan ruang trauma. Dan bagi para kiai, ustaz, dan pengasuh, perjuangan ini adalah bagian dari jihad, jihad melawan kekerasan yang bersembunyi di balik dinding yang sunyi.

Era Digital: Amanah Anak di Tengah Layar

Anak-anak hari ini lahir dan tumbuh di tengah layar. Kita hidup di zaman kala HP lebih mudah dijangkau daripada buku cerita. Anak-anak lebih dulu kenal ikon skip ad daripada huruf hijaiyah. Sebagai seorang ibu dari dua anak (usia 7 dan 4 tahun), saya melihat langsung betapa mudahnya anak-anak kita masuk ke pusaran digital.

Kita sebagai orang tua, berada di tengah dilema. Ingin anak melek teknologi tapi juga takut mereka tenggelam di dalamnya. Laporan UNICEF (2021) menegaskan bahwa anak-anak yang terpapar dunia digital tanpa pendampingan memiliki risiko lebih tinggi terhadap kesehatan mental dan perkembangan sosial.

Di sinilah peran kita diuji. Kita tidak sedang menghadapi anak ‘nakal’ atau keras kepala, tapi anak yang sedang tumbuh di zaman yang sangat berbeda dari masa kecil kita dulu. Mereka butuh bimbingan, bukan hanya larangan.

Jujur saja, kadang saya sendiri juga merasa terdistraksi. Ingin main HP saat anak-anak butuh ditemani. Namun saya ingat, Islam mengajarkan bahwa anak adalah amanah, dan tugas orang tua bukan hanya mencukupi kebutuhan fisik mereka, tapi juga menjaga hati, akhlak, dan arah hidupnya (Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam).

Dalam Surat At-Tahrim ayat 6, Allah Swt berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

Ayat ini tidak hanya memerintahkan perlindungan fisik, tapi juga perlindungan nilai, akhlak, dan orientasi hidup anak. Di era digital, maknanya menjadi semakin relevan. Orang tua harus mampu membimbing anak, memilah mana yang baik dan mana yang merusak dari dunia maya.

Dalam pendekatan psikologi Islam dan pengasuhan anak yang kami lakukan sehari-hari, kami belajar bahwa orang tua perlu menjalankan tiga peran penting, berdasarkan literatur pengasuhan “Kompilasi Makna dari Berbagai Sumber Islam Klasik dan Aplikatif dalam Parenting”, sebagai berikut: Pertama, orang tua sebagai teladan (qudwah). Anak meniru apa yang orang tua lakukan, bukan apa yang orang tua katakan. Jika orang tua sibuk dengan layar, maka anak pun akan merasa itu hal yang wajar.

Kedua, orang tua sebagai pendamping (murafiq). Anak-anak butuh ditemani saat mereka mengenal dunia digital. Kita perlu hadir, bukan hanya mengawasi, tapi juga memahami apa yang mereka lihat, mainkan, dan rasakan. Dan ketiga, orang tua sebagai pelindung (haris). Bukan berarti menjauhkan mereka sepenuhnya dari teknologi, tapi memberikan pondasi nilai agar mereka kuat menghadapi godaan dunia maya. Nilai agama, rasa percaya diri, dan hubungan yang hangat di rumah (Panduan KPAI dan KemenPPPA tentang Pengasuhan Era Digital).

Berikut beberapa langkah kecil tetapi berdampak besar yang kami terapkan dalam keluarga:

  1. Zona Bebas Gawai. Kami menciptakan ruang dan waktu tanpa gawai, seperti saat makan bersama dan menjelang tidur.
  2. Pilih Konten Bersama. Anak-anak boleh menonton video, tapi kami pilih dan tonton bersama mereka. Lalu kami ajak diskusi nilai-nilai yang muncul. Atau bermain game yang sudah dimainkan lebih dulu oleh ayahnya untuk memastikan anak-anak bermain sesuai usia dan bebas konten kekerasan dan pornografi atau pornoaksi.
  3. Batasan Waktu Layar. Anak hanya boleh memakai gawai dan laptop maksimal satu jam per hari atau durasi disesuaikan dengan usianya. Durasi satu jam per hari dibagi menjadi empat sesi: sepulang sekolah, setelah mandi sore, setelah isya dan saat di rumah nenek. Hanya di hari tertentu, dan tidak setiap hari.
  4. Aktivitas Offline yang Bermakna. Bermain block brick, gowes, camping, berenang, bermain catur, atau membaca buku bersama menjadi alternatif nyata untuk distraksi digital.

Era digital adalah keniscayaan, tapi fitrah anak tetap harus dijaga. Anak-anak kita butuh lebih dari sekadar sinyal WiFi. Mereka butuh sinyal cinta, batasan, kehadiran nyata orang tua, dan siap belajar. Perangkat mungkin boleh canggih. Namun yang lebih dibutuhkan anak adalah pelukan, obrolan ringan, dan batasan yang hangat. Saya percaya, gadget tidak akan mengambil peran kita sebagai orang tua kecuali jika kita sendiri yang melepaskannya.

Pendidikan Merosot, Salah Siapa?

Kemerosotan pendidikan di bumi pertiwi sudah menjadi sorotan sejak lama. Namun, semakin ke sini semakin tampak keburukannya. Mulai dari siswa yang tidak bisa baca tulis (lihat di sini), tidak paham penjumlahan dan perkalian dasar, budaya joki tugas, sampai pada bullying dan kekerasan lainnya. Setidaknya yang tercatat ada 573 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2024 (lihat di sini). Satgas kekerasan yang dibentuk di sekolah pun banyak yang tidak tahu bagaimana mengatasi permasalahan tersebut. Belum lagi problem kebijakan yang gonta-ganti tiap lima tahunan. Personifikasi menteri seakan ingin menunjukkan bahwasanya negara tidak memiliki arah yang jelas terkait pendidikan anak bangsa.

Tulisan ini tidak ingin menyudutkan ataupun  membela pemerintah, apalagi mencari kambing hitam lainnya. Tulisan pendek ini akan mengajak untuk memikirkan bersama tentang permasalahan pendidikan kita.

Negara memang diamanati untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun tanggung jawab pendidikan ini bukanlah tanggung jawab pemerintah semata. Dalam mewujudkan pendidikan yang baik setidaknya ada tiga kelompok yang harus saling mendukung, saling bahu membahu untuk mewujudkan generasi yang bermartabat. Peran orang tua, masyarakat dan sekolah dalam pendidikan tidak bisa dipilih salah satunya saja. Seperti yang banyak terjadi pada saat ini. Orang tua mengandalkan sekolah, pasrah pada sekolah begitu saja tanpa ingin terlibat dalam proses perkembangan anaknya. Sekolah kualahan dan mendidik asal-asalan saja, yang penting nama baik sekolah tetap terjaga. Selebihnya masyarakat diacuhkan atau kemungkinan terburuknya sudah tidak ingin terlibat lagi dengan anak-anak sekolah.

Kita mengenal ungkapan “Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya”. Ungkapan ini mengajarkan bahwasanya pendidikan dalam keluarga amatlah penting. Untuk itu diperlukan bekal yang cukup untuk mendidik seorang anak. Ketika orang tua menyekolahkan anaknya bukan berarti tugas mendidik orang tua telah selesai. Bukankah orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengetahui kondisi anaknya karena telah memercayakannya pada sebuah lembaga atau institusi pendidikan?  Bagaimana kondisi anaknya di sana, hal-hal apa saja yang menyulitkannya, apakah anaknya sudah bisa berbaur dengan teman-teman yang lain, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan serupa. Dengan menaruh anak di sekolah, boarding school, ataupun pesantren tidak menjadikan orang tua melepaskan anaknya begitu saja.

Sekolah pada mulanya hanyalah kegiatan untuk mengisi waktu luang. Akar kata sekolah berasal dari bahasa Latin, schola yang berarti waktu senggang atau waktu luang.

Dahulu dalam tradisi Yunani, orang-orang mengisi waktu luang dengan mengunjungi suatu tempat yang di situ terdapat orang bijaksana yang dianggap banyak orang bisa menjadi tempat rujukan pertanyaan-pertanyaan. Dari sana orang-orang belajar hal-hal yang dirasa perlu diketahui. Dahulu sekolah tidak diwajibkan, tapi masyarakat memiliki kesadaran untuk mencari tahu suatu hal sehingga memanfaatkan waktu luangnya untuk mempelajari berbagai macam hal. Sekarang sekolah diwajibkan, tapi apakah yang datang ke sekolah adalah orang-orang yang berkesadaran untuk ingin mencari suatu pengetahuan?

Sekolah pada saat ini memiliki citra yang kurang begitu baik. Banyak problem yang belum terselesaikan, bahkan bertambah-tambah problemnya. Guru-guru sekolah mengeluhkan administrasi yang lebih ribet sehingga menguras waktu dan tenaga. Belum lagi honor guru yang kembang-kempis. Akreditasi yang seharusnya menjadi penjaga atau penjamin kualitas pendidikan menjelma jadi ajang cari nama belaka. Sekolah disibukkan bagaimana cara mendapatkan akreditasi unggul dan terkuras tenaganya sehingga tidak ada waktu untuk benar-benar memikirkan problem yang dihadapi anak didiknya. Banyak sekolah yang dipandang tidak ramah anak, praktik bullying yang akibat buruknya menimbulkan rasa trauma, praktik kecurangan, manipulasi, kekerasan seksual dan isu-isu lainnya.

Masyarakat tidak lagi memiliki peranan yang berarti dalam pendidikan. Sekolah menutup diri dari masyarakat. Membangun tembok tinggi-tinggi. Pendidikan hanya dipandang pekerjaan dari lembaga sekolah. Kepedualian masyarakat sebatas memberikan sumbangan semampunya kepada lembaga pendidikan yang membutuhkan. Mindset pendidikan kita menjadi sempit dan terbatas pada pendidikan formal saja. Ada yang hilang di tengah-tengah masyarakat modern saat ini, kepedulian. Kesalahan yang memalukan adalah ketika kita mulai pura-pura tidak melihat, pura-pura tidak mendengar dan mengabaikan kenyataaan. Kita pura-pura tidak melihat anak yang seharian main game, yang penting anak bisa diam di rumah. Kita pura-pura tidak melihat tetangga yang kesulitan menyekolahkan anaknya. Kita tidak peduli dana pendidikan kita apakah dipakai betul untuk pendidikan atau terjadi kebocoran di mana-mana.

Dengan banyaknya problem pendidikan yang sedang kita hadapi, bukan berarti kita patah arang untuk mengidamkan pendidikan yang baik. Masih banyak orang-orang yang sedang berjuang untuk pendidikan bersama. Banyak guru-guru yang terus berkembang dan mengupayakan pendidikan yang baik bagi para muridnya. Tidak seluruhnya kepedulian itu hilang dari masyarakat. Orang tua, masyarakat dan sekolah perlu kembali menemukan jati dirinya dalam mendidik anak-anak zamannya.

Tiga pilar utama pendidikan perlu sama-sama merumuskan ulang peranannya dalam mendidik generasi penerus bangsa. Mungkin bisa dimulai dari peran aktif orang tua yang menjadi partner dalam pendidikan anak. Orang tua bisa mulai bertanya terkait proses belajar di sekolah, kebutuhan anak, tantangan yang dihadapi anak. Orang tua tidak harus pasif dan hanya bereaksi ketika mendapat laporan atau panggilan dari sekolah. Sekolah bisa kembali pada asal mula peranannya sebagai tempat dialektika dari berbagai macam pertanyaan. Sekolah tidak menjadi tempat yang menyeramkan yang penuh kekerasan atau penghakiman. Tidak pula tempat yang menyeragamkan pemikiran, mematikan kreatifitas dengan menanamkan fixed mindset.

Pemerintah atau para menteri pendidikan perlu menurunkan ego untuk berlomba menciptakan kebijakan baru sebagai legacy. Jangan-jangan anggaran pendidikan banyak terkuras untuk proses perumusan kebijakan-kebijakan tersebut. Kebijakan yang pada akhirnya akan diganti sebelum diterapkan. Masyarakat perlu kembali menemukan ruang-ruang untuk terlibat dalam mendidik generasi berikutnya. Fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial dan juga agen pendidikan perlu menemukan format yang relevan. Orang tua, masyarakat dan sekolah perlu menjaga naluri anak untuk terus mencari dan mengeksplorasi hal-hal di sekitarnya. Sekolah dari awalnya adalah kegiatan untuk melakukan proses penemuan, bertemunya keresahan, problem dan pengetahuan-pengetahuan kehidupan.

 

Sumber bacaan refleksi

  1. Ki Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan
  2. Toto Rahardjo, Sekolah Biasa Saja
  3. Asep Sunandar, “Memotret Permasalahan Mendasar Pendidikan Indonesia”, id
  4. Hoirunnisa, “JPPI: 2024, Kekerasan di Lingkungan Pendidikan Melonjak Lebih dari 100 Persen”, id

Kekerasan yang Diwariskan: Refleksi Film “Pengepungan di Bukit Duri”

Pekan ini, film “Pengepungan di Bukit Duri” sudah menembus satu juta penonton. Film karya Joko Anwar ini memang sudah dinanti oleh banyak orang, terutama penikmat film Joko Anwar. Ada yang menarik dari setiap film yang dibuatnya, yaitu menyimpan tanda tanya untuk didiskusikan secara publik. Sebelumnya di Netflix, Joko Anwar juga menghasilkan series “Nightmares and Daydreams” yang sarat dengan kritik sosial.

Karenanya, film terbaru ini pun dinanti kehadirannya dengan semangat kritisisme terhadap kondisi bangsa yang kian carut-marut. Bagi beberapa kalangan, termasuk yang saya saksikan sendiri, film ini terlampau luas mengekspos adegan kekerasan. Memang adegan ini bisa memicu adrenalin penonton. Kita diajak dag dig dug bareng selama dua jam di bioskop. Berasa dikejar ketakutan, kekhawatiran, dan boom terjadilah pertumpahan darah bertubi-tubi. Di satu sisi, film ini berhasil menyihir penonton untuk tidak mengantuk karena ketegangannya. Emosi yang dibangun dengan potret kebencian terhadap etnis Tionghoa juga sangat mendebarkan.

Sayangnya, film ini kurang berhasil mengekspos mengapa kebencian itu bisa terjadi? Bagaimana kekerasan itu bisa terus dilakukan? Juga bagaimana pihak pemerintah menyikapi kekerasan tersebut? Film ini hanya membicarakan sisi personal Edwin yang sedang mencari keponakannya yang hilang di Bukit Duri. Tidak banyak menyoroti sisi chaos negara yang bersimbah darah kebencian.

Meski demikian, film ini tetap menarik didiskusikan. Bukan menyoroti apa yang tersurat dari film ini, melainkan apa yang tersirat. Melalui film ini, sang kreator mengajak penonton untuk kritis melihat apa yang tidak diputar di layar lebar.

Ke Mana Orang Tua Mereka?

Selama pemutaran film, penonton hampir tidak melihat sosok orang tua, baik ibu maupun ayah yang terekspos. Alih-alih melihat sosok orang tua, yang dihadirkan justru cerita bobrok orang tua mereka. Ada yang korupsi, main perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga perceraian. Potret orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak mempunyai elan vital.

Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang orang tua sangat rentan terjerumus dalam lubang kekerasan. Pun anak yang sering menjadi korban pelampiasan keganasan orang tua di rumah pun dapat menjadi pelaku di lingkungan masyarakat. Data dari UNICEF pada tahun 2021, sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah. Hal ini sama seperti 30,83 juta anak usia dini di Indonesia, sekitar 2.999.577 anak kehilangan sosok ayah. Bayangkan jutaan anak yang kehilangan sosok panutan amat rentan menjadi pelaku kekerasan berikutnya. Film ini bisa menjadi alarm bagi orang tua untuk memperhatikan masa depan sang anak.

Mana Peran Pemerintah?

Film ini juga absen memotret kehadiran pemerintah sebagai corong utama penyelesaian konflik berdarah di masyarakat. Latar waktu film ini berasal dari tahun 2009 sebagai konflik awal yang memecah kehancuran. Kemudian berjalan ke masa depan di tahun 2027 dengan mengulang konflik yang sama. Kebencian terhadap ras Tionghoa. Artinya ada jeda waktu 18 tahun kebencian terhadap kelompok lian itu terus dipelihara. Tidak ada penyelesaian dan pemulihan yang dilakukan pemerintah selama waktu tersebut.

Abainya pemerintah terhadap kasus kekerasan akan menjadi bom waktu. Saat ada pemantiknya, bom itu bisa meledak. Hari ini, Indonesia sudah masuk pada tahap reformasi setelah menurunkan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Proses penurunannya pun dengan menyisakan banyak luka dan korban. Kerusuhan tahun 1998, disebut sebagai latar utama film ini.

Namun, apakah kerusuhan 1998 sudah diselesaikan? Apakah negara sudah hadir memulihkan korban? Apakah semua pelakunya sudah diusut tuntas di pengadilan? Aksi Kamisan yang terus berlangsung hingga detik ini menjadi bukti bahwa korban belum mendapatkan haknya. Di sinilah letak krusial yang perlu diperhatikan. Luka yang tidak dipulihkan dan disembuhkan cenderung akan membuat luka baru. Dalam film, kita menyaksikan orang-orang yang membenci etnis Cina terus saja dirawat oleh waktu. Dalam realitanya, ada banyak kebencian: ras, agama, dan gender. Luka dan kebencian terus diwariskan.

Mengapa Peran Perempuan Sedikit?

Iya, sangat terasa maskulinitas film ini. Mulai dari amukan massa yang dominan laki-laki hingga sekolah di Bukit Duri yang mayoritas pria. Tidak banyak sosok perempuan yang diangkat. Bahkan perempuan dan anak cenderung menjadi korban dalam pusaran kekerasan. Ini menyiratkan satu pesan penting, ketidakhadiran perempuan dalam ruang publik rawan dominasi pria yang berujung kekerasan. Dalam aspek yang lebih luas, spirit feminitas perlu bersanding dengan maskulinitas. Keseimbangan adalah kata kunci agar hidup tertata.

Konsep mubadalah yang hari ini banyak disuarakan oleh kelompok feminis Muslim di Indonesia adalah upaya menghapus dominasi pria. Tetapi, menolak dominasi pria bukan dengan cara menciptakan dominasi baru bagi wanita. Melainkan ada kesalingan, pembagian ruang dan tata kelola di masyarakat dan menolak segala bentuk kekerasan.

Idealkah Sekolah di Bukit Duri?

Selain soal dominasi gender, yang perlu disoroti dari film ini adalah konsep pendidikan. Ada banyak cacat pendidikan di Bukit Duri yang menjadi potret buram pendidikan Indonesia hari ini. Pertama soal segregasi pendidikan. Istilah sekolah ‘buangan’ dan ‘unggulan’ menjadi sebab kekerasan di sekolah kian marak terjadi. Mereka yang dianggap bermasalah disatukan dalam satu lingkungan. Konsep semacam ini bukanlah solusi melainkan upaya lari dari akar masalah.

Pendidikan bukan penjara yang menyatukan anak yang ‘bermasalah’. Apalagi sekolah yang berpagar tinggi berkawat duri. Pendidikan yang berbasis ketakutan dan ancaman tidak akan melahirkan kesadaran. Konsep sekolah buangan hanya akan membuat mereka yang terpinggirkan semakin memuncak ekspresi kebenciannya.

Segregasi ini juga bisa dilihat dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Pengumpulan lingkungan berdasarkan etnis suku dan agama tertentu justru kurang sehat untuk menciptakan harmoni. Alih-alih membuka ruang dialog dengan kelompok yang berbeda, hidup dalam lingkungan yang homogen hanya akan melanggengkan kebencian dan stigma.

Selain soal segregasi, tantangan yang nyata dari dunia pendidikan hari ini adalah moral. Siswa tak lagi beretika kepada guru. Dengan mudah membentak bahkan melawan. Pada saat yang sama, guru pun banyak yang tak memberikan keteladanan. Salah satunya motivasi mengajar. Ini bisa dilihat dari tujuan Pak Edwin yang diperankan oleh Morgan untuk mengajar di SMA. Tujuan utamanya adalah mencari keponakannya yang hilang. Tentu tidak sepenuhnya salah. Tetapi motivasi ini akan menentukan bagaimana seorang guru mengajar.

Guru yang hanya menjadikan motif ekonomi untuk mengajar akan berorientasi pada pragmatisme. Ada uang, siswa disayang, tak ada uang, siswa ditendang dari sekolahan. Panggilan menjadi guru adalah nurani untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. ‘Pahlawan tanpa tanda jasa’, demikian ungkapannya.

Mengapa Kekerasan Bisa Terjadi?

Dari film ini, kita belajar bahwa kekerasan itu nyata dan dapat diwariskan. Tetapi mengapa itu bisa terjadi? Film ini memang tidak membahasnya. Film ini justru menampilkan dampak dari kekerasan yang melahirkan kekerasan baru.

Kekerasan bisa terjadi karena berbagai hal. Mulai dari kekosongan sosok orang tua; absennya pemerintah memberikan ruang yang adil; dominasi gender, etnis atau agama tertentu hingga bobroknya dunia pendidikan. Namun, ada satu hal yang pasti bahwa kekerasan itu bukanlah hal baru atau kejadian luar biasa di luar sana yang jauh dari kehidupan kita. Kekerasan adalah realitas keseharian. Boleh jadi karena sudah terlampau sering melihat berita anak membunuh orang tua, guru memperkosa murid, dan kekerasan lainnya; kita menjadi pribadi yang permisif dengan kekerasan.

Kita baru marah dan cemas dengan kebrutalan Jefri dan kawan-kawan di dalam film tersebut. Tetapi kita melihat biasa saja kalau siswa melakukan perundungan, guru memukul hingga babak belur atau hate speech di media sosial. Padahal kebengisan brutal lahir dari kebencian ‘kecil’ yang dinormalisasikan tanpa dipulihkan. Tak akan ada asap kalau tidak ada api dan tidak akan ada api kalau tidak ada bahan bakar. Semua saling berkaitan. Dan bisa jadi, diamnya manusia waras bersuara di ruang publik juga menjadi bahan bakar untuk menyulut api kebencian yang kian besar. Wallahu a’lam.

Sarjana Rudapaksa

Dunia pendidikan hari ini tidak baik-baik saja. Belum selesai kasus Kekerasan Seksual (KS) Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), publik dihebohkan dengan kasus KS dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad). Belum bernapas lega dengan kasus itu, muncul lagi dokter spesialis kandungan di Garut alumni Unpad yang melakukan KS kepada pasiennya. Di isu yang lain, Universitas Indonesia (UI) juga mempertahankan mahasiswa S-3 meski sudah cacat akademik dan moral dalam penulisan disertasinya. Apa poinnya? Jebolan kampus ternama dan gelar mentereng belum jadi jaminan menjadi manusia yang bermoral.

Pendidikan Tersandera Kepentingan

Dalam horizon keilmuan modern hari ini, kita dididik dengan dogma bahwa ilmu itu terpisah dari nilai. Ilmu itu obyektif dan netral. Paradigma semacam ini menyebabkan dekadensi moral besar-besaran. Ditambah lagi, ada paradigma keliru di perguruan tinggi (juga sekolahan), kala mengejar scopusisasi dan akreditasi untuk mendapat gelar World Class University (WCU). Akhirnya, ghirah pendidikan untuk melahirkan manusia pembelajar digadaikan. Pendidikan menjadi ajang untuk mendapatkan pekerjaan semata. Dan pada saat yang sama, orang yang bisa duduk di bangku perkuliahan adalah mereka yang mempunyai uang. Masuklah logika pasar, ada uang Anda dididik, tak ada uang silakan jadi udik.

Diperparah lagi, dunia pendidikan juga disandera oleh kepentingan politik. Mulai dari pemberian doktor Honoris Causa dan Guru Besar Kehormatan bagi para politisi hingga kebijakan pendidikan yang sangat menteri-sentris. Tidak ada aturan jangka panjang (semacam Garis Besar Haluan Negara [GBHN] dulu) yang bisa memandu pemangku kebijakan untuk tidak asal ganti kurikulum. Jadilah pendidikan lima tahunan. Ganti menteri, ganti kebijakan. Contohnya, menteri mengembalikan pembagian program studi IPA, IPS, Bahasa yang di zaman menteri sebelumnya sudah ditiadakan. Sebenarnya yang perlu dibenahi adalah paradigma besar pendidikannya, bukan teknis pengajarannya semata.

Paradigma Pendidikan

Paradigma yang menanamkan kesadaran bahwa belajar itu sepanjang hayat, menjadi pribadi yang rendah hati tetapi tetap punya marwah diri yang kokoh. Pendidikan itu bukan untuk mendapat pekerjaan. Ini paradigma yang sejak awal sudah kurang tepat. Pendidikan itu untuk menumbuhkan kemampuan dan kapasitas. Dengan kapasitas itu, kita bisa mengembangkannya di dunia kerja. Pada akhirnya dengan belajar kita dapat bekerja itu adalah dampak dari kecintaan kita pada ilmu. Bukan menjadikan pekerjaan, apalagi uang sebagai satu-satunya alasan untuk kita belajar hingga ke perguruan tinggi.

Dalam Islam, iman dan ilmu menjadi satu kesatuan kemajuan sebuah peradaban. Cak Nur merefleksikan Surat Al-Mujadalah ayat 11 sebagai berikut:

“Firman Ilahi itu menegaskan bahwa janji keunggulan, superioritas dan supremasi diberikan Allah kepada mereka yang beriman dan berilmu sekaligus. Iman akan mendorong kita untuk berbuat baik guna mendapatkan rida Allah, dan ilmu akan melengkapi kita dengan kemampuan menemukan cara yang paling efektif dan tepat dalam pelaksanaan dorongan untuk berbuat baik itu”.

Ironinya, apa yang terjadi hari ini adalah sarjana intelek yang jauh dari tuntunan iman yang bermoral. Pendidikan yang utuh harus menyentuh iman dan ilmu sekaligus. Jika paradigma pendidikan masih sebatas mengejar finansial, popularitas maupun jabatan struktural, maka ke depan akan banyak bermunculan sarjana rudapaksa, sarjana koruptor, sarjana pembabat alam, dan sebagainya. Potret sarjana tapi merudapaksa yang terlihat hari ini baru yang kelihatan di permukaan. Ibarat bola salju, gumpalannya akan terus membesar seiring waktu.

Tentu kita mengutuk setiap rudapaksa yang terjadi. Sembari mendampingi pemulihan korban yang sudah tersakiti. Pada saat yang sama, ada PR besar yang perlu dibenahi: bahwa ilmu itu perlu mengejawantah menjadi laku.

Pahlawan Literasi dari Negeri Tertinggal

Oleh: Siti Syariah

Sumber: Tirta Buana Media

 

Melihatnya sekilas, ia tampak seperti perempuan biasa yang hidup di kampung pada umumnya. Tubuhnya berisi, tertutup gamis longgar dengan jilbab sedada. Wajahnya sederhana, sepi dari polesan make up. Namun senyum yang selalu mekar sempurna dan tatapan mata yang menyuguhkan kepedulian mendalam, cukup menjawab bahwa ia bukan perempuan biasa-biasa saja.

Perempuan itu bernama Nursyida Syam. Takdir telah memilihnya untuk terlahir di bumi Lombok Utara. Sebuah negeri yang minus dari peradaban. Angka putus sekolah dan buta aksara yang tinggi, budaya pernikahan dini yang merajalela, hingga kemiskinan dan keterbelakangan yang tergambar jelas dari wajah-wajah manusianya.

Tak ada yang menyangka, anak istimewa yang terlahir disleksia ini suatu saat namanya akan membumi di tengah-tengah masyarakat, karena ruhnya benar-benar ia berikan untuk dunia yang ia cintai, dunia literasi.

Warisan Sang Ayah

Nursyida kecil adalah anak yang beruntung. Meski terlahir dengan gangguan membaca, ayahnya yang seorang wartawan berhasil membuatnya jatuh cinta pada dunia membaca. Sang Ayah sering membuat kliping tokoh-tokoh terkenal dari koran-koran yang dibacanya sebagai bahan bacaan bagi Nursyida. Ayahnya yang bersahaja memilih mewariskan kecintaan membaca pada anaknya, karena itu jauh lebih berharga daripada mewariskan harta benda. Teruslah membaca, karena melalui membaca kau akan temukan keajaiban. Begitulah pesan sang ayah yang selalu membekas di benak Nursyida.

Maka Nursyida pun tumbuh menjadi pribadi yang haus membaca, tak peduli pada segala keterbatasan. Bahkan saat duduk di bangku kuliah di Fakultas Sastra Universitas Negeri Yogyakarta, seorang pemilik toko buku terpaksa mengusirnya secara halus. Karena ia datang ke toko buku berkali-kali hanya untuk menumpang membaca, namun tak mampu membeli buku.

Segala keterbatasan itu akhirnya menumbuhsuburkan cita-citanya untuk mendirikan taman baca yang bisa dijangkau oleh masyarakat. Cita-cita mulia itu kemudian menjadi sebuah syarat pranikah yang diajukannya pada Lalu Badrul—laki-laki yang datang meminangnya. Ia meminta agar laki-laki itu bersedia mendukung sepenuhnya cita-cita untuk mendirikan taman baca.

Nursyida dan Lalu Badrul akhirnya menikah bertepatan dengan Hari Buku Internasional, yaitu pada tanggal 23 April di tahun 2004 dengan mahar Al Qur’an dan sebuah buku Fikih Wanita.

Mendirikan Klub Baca Perempuan

Pada tahun 2006, Nursyida mulai meniti cita-cita membangun taman baca di tanah kelahiran suaminya di Lombok Timur bersama empat orang sahabat perempuan yang memiliki ketertarikan yang sama pada dunia membaca. Namun, tak banyak masyarakat yang tertarik dengan ajakan membaca dari seorang ibu rumah tangga biasa seperti dirinya. Akhirnya berbekal 200 buku yang dimiliki, ia memutuskan hijrah ke tanah kelahirannya di Lombok Utara untuk melanjutkan mimpinya membangun taman baca. Suami turut serta mendukung cita-cita mulia sang istri seperti janji pernikahan mereka.

Berawal dari rumah kontrakan sederhana, sepasang suami istri itu membuka usaha penatu yang terintegrasi dengan kegiatan literasi. Nursyida memajang buku-buku bacaan miliknya agar dapat dibaca dan dipinjam setiap pelanggan yang berkunjung. Tak hanya itu, ia juga membuka peluang bagi setiap pelanggan untuk berkontribusi. Karena setiap seribu rupiah dari pembayaran jasa satu kilogram cucian para pelanggan, ia sisihkan untuk mengembangkan kegiatan literasi yang dibangunnya.

Beberapa bulan kemudian, Nursyida mendirikan Klub Baca Perempuan dengan mengajak ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak di sekitar tempat tinggal untuk membaca buku di taman baca sederhana di rumah kontrakannya. Perhatian Nursyida begitu mendalam pada kaum perempuan. Ia meyakini, perempuan adalah kunci peradaban manusia. Karena perempuan adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Maka di tangan perempuanlah termungkinkan di rumah terbangun kebiasaan membaca. Jelaslah, untuk membangun generasi yang cerdas, cerdaskanlah dahulu para perempuannya.

Perjuangan Nursyida tentu bukan tanpa tantangan. Niat baik memang tak selalu diterima baik. Masyarakat masih menganggap membaca adalah kegiatan yang tak ada gunanya. Mereka merasa sudah sangat sibuk dengan urusan mencari nafkah, dan membaca bukanlah kegiatan yang dapat memberi rupiah untuk meringankan kesusahan hidup mereka.

Nursyida tak patah semangat dengan penolakan masyarakat. Ia kemudian memulai dengan memberi pemahaman tentang pentingnya membaca. Karena sejatinya membaca adalah perintah Allah yang tertulis jelas di dalam Al-Quran dan terulang sebanyak 82 kali untuk menunjukkan betapa pentingnya perintah ini. Membaca adalah pintu untuk menjawab berbagai permasalahan hidup yang tumbuh di sekitar. Karena ketika seseorang membaca, tak ada yang dapat membatasinya dengan mimpi-mimpinya, bahkan kemiskinan sekalipun. Maka baginya, menghadirkan dunia membaca di tengah-tengah masyarakatnya yang tertinggal adalah sesuatu yang pasti dan harus ia perjuangkan.

Penampilan Nursyida yang sederhana dan perangainya yang bersahaja membuatnya mudah membaur dengan masyarakat sekitar. Berkat kesabarannya, kampanye gemar membaca pelan-pelan mulai direspon positif oleh masyarakat. Para ibu dan anak-anak mulai tertarik untuk membaca dan memilih sendiri buku-buku yang mereka inginkan.

Nursyida bahagia melihat ibu-ibu dan anak-anak mulai melahap setiap bacaan yang ada. Ia akhirnya tersadar,

masyarakatnya tertinggal bukan karena tak memiliki keinginan membaca, namun karena kurang didekatkan dengan sumber bacaan. Ia bahkan tak percaya dengan hasil penelitian yang menunjukkan masyarakatnya memiliki tingkat literasi yang rendah. Karena nyatanya selama ini buku-buku hanya terkonsentrasi di kota-kota besar dan kurang tersalurkan ke daerah.

Nursyida kemudian memberdayakan ibu-ibu yang mulai cinta membaca ini untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan dari buku-buku yang mereka baca. Mulai dari membuat kue-kue yang resepnya didapat dari buku, hingga membuat kerajinan tangan yang memiliki nilai jual. Akhirnya pelan-pelan, kehidupan mereka pun mulai dipenuhi berbagai kegiatan positif.

Melihat dampak yang ditularkan Klub Baca Perempuan pada lingkungan, membuat gerakan ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Bantuan pun datang bertubi-tubi dalam bentuk ribuan buku dari berbagai sumber, hingga dana untuk mendukung perkembangan gerakan gemar membaca ini. Para relawan pun mulai berdatangan untuk turut serta mengambil peran. Hanya dalam waktu beberapa tahun saja, jumlah relawan di Klub Baca Perempuan telah mencapai lebih dari 150 orang. Mereka semua terinspirasi dan tergetar dengan semangat yang ditularkan Nursyida.

Melihat sambutan positif dari berbagai pihak, Nursyida dan para relawan Klub Baca Perempuan lainnya mulai memperluas gerakan kampanye membaca ke berbagai pelosok dusun di Lombok Utara. Mereka bekerjasama dengan Kepala Dusun membentuk Taman Baca Masyarakat yang terintegrasi dengan kegiatan PAUD, Posyandu, PKK dan kelompok ibu-ibu lainnya.

Berkat kegigihan dan semangat Nursyida dan juga rekan-rekan relawan Klub Baca Perempuan, dalam kurun waktu 10 tahun, telah berdiri 24 Taman Baca Masyarakat yang tersebar di berbagai dusun di Lombok Utara dengan buku yang telah tersalur lebih dari 17.000 eksemplar. Tugas selanjutnya adalah memastikan taman-taman baca tersebut tetap hidup dan menjadi pusat informasi dan kegiatan masyarakat.

Setiap bulan Nursyida dan para relawan berkeliling ke setiap dusun untuk menukar buku, agar masyarakat selalu mendapat buku baru untuk dibaca. Mereka pun tak luput memastikan buku-buku yang dibaca masyarakat sesuai dengan kebutuhan mereka dan memenuhi standar kualitas bacaan yang baik. Mereka menyediakan buku cerita anak bergambar, buku pelajaran, novel, ensiklopedia, hingga buku-buku resep masakan untuk para ibu.

Setiap hari Minggu, Nursyida dan para relawan juga menggelar lapak buku di tempat-tempat umum untuk lebih mendekatkan buku kepada masyarakat. Mereka meminjamkan buku kepada siapa saja yang tertarik untuk membaca, meski seringkali buku yang dipinjam tidak kembali. Namun bagi Nursyida, itu tidak pernah menjadi masalah. Ia justru senang memberi jalan bagi setiap orang untuk membaca tanpa proses administrasi pinjam meminjam buku yang mempersulit dan justru membuat orang-orang enggan membaca buku.

Gerakan Sekolah Literasi

Setelah berhasil membangun geliat literasi di tengah-tengah masyarakat, Nursyida bercita-cita menularkan kebiasaan baik ini melalui sekolah-sekolah formal di Lombok Utara. Karena ia meyakini, selain di rumah, hanya sekolah yang dapat memaksa anak-anak untuk membaca. Merespon niat baik Nursyida, pemerintah daerah memberi kepercayaan kepada Klub Baca Perempuan untuk mendampingi seluruh sekolah di Lombok Utara dalam rangka menuju Gerakan Sekolah Literasi, bahkan memfasilitasi dengan meminjamkan mobil yang dapat digunakan para relawan untuk hadir di sekolah-sekolah.

Mereka mengkampanyekan gerakan literasi melalui kegiatan Orientasi Sekolah, OSIS, IMTAQ atau kegiatan ekstrakurikuler lainnya, serta menyalurkan buku-buku untuk memperkaya bacaan siswa di perpustakaan sekolah.

Memiliki kesempatan hadir di sekolah-sekolah membuat Nursyida tersadar, ternyata literasi masih menjadi barang langka di lingkungan pendidikan sekalipun. Ia miris melihat fakta kebanyakan guru ternyata tidak suka membaca. Lalu bagaimana mereka dapat dipercaya untuk menularkan kebiasaan membaca pada siswa?

Akhirnya Nursyida pun mulai bekerja sama dengan para guru untuk membangun gerakan gemar membaca mulai dari diri sendiri agar layak menjadi contoh bagi para siswa. Ia berharap, meja guru tak hanya berisi daftar hadir dan hasil ujian siswa, namun juga diwarnai dengan kehadiran buku-buku yang bermanfaat untuk membangun kapasitas diri sebagai seorang pendidik yang layak mendapat gelar pahlawan tanpa tanda jasa.

Untuk mewujudkan kecintaannya pada dunia pendidikan, pada tahun 2011 Nursyida mendirikan sekolah alam bagi anak-anak yang ia beri nama Sekolah Alam “Anak Negeri” di kampung halamannya. Sekolah alam ini dibuka bagi anak-anak segala usia yang tidak memiliki kegiatan sepulang sekolah. Ia mengajak anak-anak mendongeng, membaca buku, hingga belajar menulis cerita sederhana. Sebagian relawan bahkan mengadakan kelas menari, kelas perkusi, dan kelas Bahasa Inggris.

Nursyida juga berupaya menjalin kerja sama dengan orang-orang dari berbagai profesi seperti pilot, dokter, peneliti dan seniman untuk mengisi kelas profesi di sekolah alam. Kelas ini bertujuan agar anak-anak memiliki perbendaharaan cita-cita yang luas, sehingga anak-anak berani bermimpi besar untuk menjadi apapun yang mereka inginkan di masa depan.

Semua kelas diberikan gratis, karena Nursyida dan para relawan menganggap semua anak-anak yang datang ke sekolah alam adalah anak-anak mereka sendiri yang wajib mereka berikan perhatian dengan tulus. Mereka bahkan dengan sukarela menyisihkan sebagian dana pribadi untuk membantu pembiayaan operasional sekolah alam. Nursyida berharap, dengan menyibukkan anak-anak dengan berbagai kegiatan positif, bisa menekan angka putus sekolah dan pernikahan dini di lingkungannya.

Literasi Paska Bencana

Bencana gempa bumi yang menyapa Lombok Utara di tahun 2018 berhasil melumpuhkan segala sendi kehidupan masyarakat, tak terkecuali dunia literasi yang telah susah payah terbangun di tengah-tengah masyarakat. Bangunan yang digunakan sebagai taman baca masyarakat semuanya telah rata dengan tanah bersamaan dengan rumah-rumah penduduk.

Tak mudah mengajak masyarakat membaca kembali saat mereka harus berjuang bertahan hidup di antara puing-puing reruntuhan. Mereka lebih membutuhkan makanan, air bersih dan tenda-tenda tempat berlindung.

Melihat fenomena yang menguras air mata ini, Klub Baca Perempuan bertransformasi menjadi gerakan kemanusiaan. Karena sejatinya literasi tidak melulu hanya tentang membaca buku, namun juga tentang bagaimana membaca dan merespon kondisi sosial di sekitar.

Nursyida akhirnya mulai mengumpulkan donasi dari berbagai mitra dan donatur Klub Baca Perempuan dan menyalurkannya kepada masyarakat terdampak gempa. Dalam waktu beberapa bulan saja, nominal bantuan yang tersalurkan mencapai 500 juta rupiah.

Tak hanya itu, Nursyida dan para relawan hadir di tengah-tengah reruntuhan gempa untuk memberikan trauma healing pada anak-anak. Mereka membawa buku-buku dan mengajak anak-anak untuk membaca, mendongeng dan bercerita. Semangat anak-anak untuk membaca harus tetap dihidupkan dalam segala kondisi. Mereka tak boleh dibiarkan larut dalam kesedihan akibat bencana.

Setelah sekolah kembali dibuka, Nursyida dan para relawan semakin gencar mengkampanyekan gerakan gemar membaca. Setidaknya, kegiatan literasi di sekolah harus tetap hidup meski kondisi kehidupan di Lombok Utara sedang berada di titik terberat paska bencana.

Menjelang tahun kedua paska gempa, pandemi pun datang menghantam negeri. Bencana seperti datang bertubi-tubi. Pendidikan tentu saja menjadi salah satu sektor yang paling berdampak karena sekolah diliburkan dalam jangka waktu yang tak dapat dipastikan. Anak-anak terpaksa harus belajar secara daring dari rumah dengan fasilitas yang kurang memadai. Hal itu tentu saja memicu kebosanan bagi anak-anak untuk terus tinggal di rumah. Akibatnya, kasus pernikahan dini di Lombok Utara melonjak drastis dalam kurun waktu beberapa bulan saja.

Nursyida tak punya pilihan selain terus menjalankan kegiatan gerakan gemar membaca ke berbagai pelosok dusun, meski kegiatanya dibatasi oleh protokol kesehatan. Ia tak bisa membiarkan para remaja putus sekolah dan memilih menikah dan melahirkan di usia dini.

Berkat ketekunan Nursyida dan para relawan, akhirnya pelan-pelan, kegiatan literasi pun kembali bermunculan di seluruh penjuru Lombok Utara seiring mulai pulihnya kembali kehidupan paska gempa, disertai situasi pandemi yang mulai terkontrol.

Hasil Akhir yang Indah

Begitu banyak pemerhati literasi yang melirik perjuangan Nursyida dan bersedia mengulurkan tangan untuk bersinergi. Bahkan kegiatan Klub Baca Perempuan kini telah menjadi sorotan bebagai media. Nursyida bahkan sering diundang ke berbagai talkshow dan seminar untuk memberi inspirasi ke seluruh negeri.

Kerja keras Nursyida membangun literasi di daerahnya yang tertinggal mendapat penghargaan yang tidak sedikit. Bahkan hadiah-hadiah yang diterimanya dalam jumlah yang cukup besar kembali ia pergunakan untuk mendukung gerakan Klub Baca Perempuan.

“Allah telah memberi saya begitu banyak kemudahan hidup. Saya tidak boleh rakus dengan menikmatinya sendiri.” tutur Nursyida.

Ketika ditanya harapannya untuk anak negeri di masa depan, Nursyida menjawab dengan mata berlinang.

“Mereka tak harus mengingat apa yang saya lakukan hari ini. Impian saya sederhana saja; anak-anak negeri bertumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, sehat jasmani dan rohani, percaya akan kuasa Tuhan, rendah hati, pengasih, cerdas, santun, dan mencintai negeri ini dengan seluruh jiwa raganya. Kemudian mengimplementasikan cinta itu dengan cara mereka sendiri. Dengan demikian kerja-kerja keras saya terbayarkan.”

Klub Baca Perempuan bisa jadi sebuah lembaga kecil yang dijalankan sekelompok ibu-ibu rumah tangga biasa. Namun Nursyida berharap, lembaga kecil ini dapat memberi dampak pada masalah-masalah sosial di sekitar. Karena mengajak orang lain membaca harus disertai dengan kesediaan memberi solusi untuk masalah apapun yang mereka hadapi. Karena sejatinya literasi erat hubungannya dengan kepekaan sosial dan kemanusiaan.

Radikalisme Berbalut Pendidikan Sudah Menyasar Anak Usia Dini di Indonesia

Radikalisme berbalut pendidikan sudah menyasar anak usia dini di Indonesia, demikian menurut beberapa pengamat dan mereka yang menangani masalah penanggulangan radikalisme.

Oleh karena itu disarankan untuk melepaskan pendekatan model lama guna menangkal hal tersebut.

Bagas (bukan nama sebenarnya) adalah seorang ayah dari satu putri berusia 9 tahun yang tinggal di Yogyakarta. Pada suatu malam, ulah sang putri -Anya (juga bukan nama sebenarnya) -mengagetkannya.

“Malam-malam, Anya tiba-tiba (me)nangis ketakutan.”

“Dia bilang ‘Pah…nanti kalau Palestina diserang Israel, kita juga ikut mati enggak Pah?’,” cerita Bagas kepada ABC Indonesia menirukan pertanyaan polos putrinya.

Berusaha tetap tenang, Bagas lalu menanyai sang putri perihal asal-muasal pertanyaan itu.

Jawaban Anya makin membuat dirinya terkejut.

Pria wiraswastawan ini menuturkan, sang putri mengetahui informasi soal konflik Israel-Palestina dari gurunya di sekolah.

Anya bersekolah di sebuah sekolah dasar Islam yang berjargon sebagai sekolah pencetak Hafizh Qur’an. Di situs resminya, sekolah ini mengklaim telah memiliki 80 cabang di belasan provinsi Indonesia.

Kekagetan Bagas malam itu sebenarnya puncak dari segala pertanyaan yang ada di kepalanya selama ini mengenai sekolah sang putri.

Kepada ABC ia mengatakan dirinya sendiri sudah sejak lama memendam keheranan terhadap sekolah putrinya itu.

Namun ia mengaku tak bisa memindahkan Anya dari sekolah tersebut lantaran urusan pasca perceraian yang membuat Anya berada dalam pengasuhan sang ibu, dan hanya sesekali tinggal bersamanya.

“Di sekolah Anya, enggak ada upacara (bendera). Enggak ada menyanyikan lagu Indonesia Raya.”

“Enggak ada bendera Merah Putih,” ujar Bagas.

Ia lalu menambahkan, sekolah Anya juga tetap masuk pada hari libur nasional yang berkaitan dengan hari perayaan agama lain di luar Islam.

Bagas melanjutkan ceritanya. “Saya pernah berkirim pesan dengan salah satu guru (Anya). Dan dia pakai logo bendera HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sebagai foto profilnya.”

Anti-Pancasila

Di Yogyakarta pula, tepatnya di Universitas Gadjah Mada, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Suhardi Alius, pernah menyampaikan perkembangan radikalisme di Indonesia.

“Radikalisme sudah masuk ke mana-mana. Ada anak PAUD (pendidikan anak usia dini) yang tidak mau diajak orang tua ke mal karena menganggap orang lain itu kafir,” kata Suhardi dalam pidatonya di kampus itu, September tahun lalu.

Radikalisme, sebutnya, bisa diidentifiksi dari perilaku dan sikap yang intoleran, anti-Pancasila, dan anti-NKRI.

Penganut radikalisme biasanya juga menganut aliran takfiri atau mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham dengan kelompok mereka.

Mengenai penyebaran radikalisme di kalangan anak usia dini, Kepala BNPT itu mencontohkan pengakuan dari keluarga pelaku bom bunuh diri di Surabaya, Mei 2018 lalu.

Pendapat tersebut dikemukan Suhardi berdasarkan pengalaman BNPT dalam memeriksa napi mantan teroris, bahkan anggota keluarga teroris yang masih hidup.

“Dari hasil pemetaan psikologis, anak dari mantan keluarga pelaku bom bunuh diri di Surabaya ini memiliki keinginan kuat menjadi mujahid, anti-Pancasila, anti-merah putih, rindu bertemu orang tuanya di alam lain.”

“Ia kangen menonton aksi-aksi kekerasan saat bersama orang tuanya dulu,” papar Suhardi.

BNPT juga membenarkan perihal meluasnya paham radikalisme ke berbagai jenjang pendidikan di Indonesia.

Ditemui ABC dalam sebuah diskusi menyoal ancaman terorisme di Jakarta (30/7/2019), Deputi Kerjasama Internasional BNPT, Andhika Chrisnayudanto, mengatakan lembaganya memang mendeteksi masuknya radikalisme melalui jalur pendidikan, bahkan yang sifatnya non-formal.