Pos

Doktrin Politik Sunni yang ‘Quietist’

MOJOK.CO – Keadaan politik pasca-wafatnya Kanjeng Nabi pada abad-abad pertama Hijriyah meninggalkan trauma yang mendalam bagi ulama Sunni.

 

Meski bukan bagian dari doktrin pokok dalam Islam, ulama Sunni tidak abai pada politik: mereka merumuskan sejumlah doktrin politik berdasarkan pengalaman sejarah yang mereka alami. Pengaruh doktrin ini masih bertahan sampai sekarang, meskipun artikulasinya dalam konteks kehidupan modern bisa mengalami sedikit modifikasi dan variasi.

Secara umum, doktrin politik Sunni bisa dirumuskan dalam istilah sederhana ini: “realisme pragmatis”, bukan “radikal-idealis”. Apa yang saya maksud dengan “realisme pragmatis” adalah sikap yang ditandai, antara lain, dengan kesediaan untuk menerima “status quo” politik, meskipun itu berupa kekuasaan yang otoriter dan lalim.

Memberontak terhadap kekuasaan yang ada (dalam literatur fikih politik disebut: al-sulthan al-mutaghallib, penguasa yang secara de facto menang dan berkuasa), dikecam dengan keras. Tindakan memberontak semacam ini disebut sebagai: al-baghyu, dan pelakunya adalah bughat, para pemberontak.

Sejarah konsolidasi politik kekuasaan pasca-wafatnya Kanjeng Nabi pada abad-abad pertama Hijriyah meninggalkan trauma politik yang mendalam bagi ulama Sunni.

Belajar dari pengalaman sejarah ini, mereka sampai pada kesimpulan yang sudah mantap: sezalim apa pun sebuah kekuasaan, ia lebih baik ketimbang keadaan “vacuum” politik yang menimbulkan “fitnah” atau kekacauan. Ada semacam “unen-unen” (political wisdom) dari para ulama salaf (generasi pertama Islam) bahwa: enam puluh tahun di bawah penguasa yang zalim dan otoriter, lebih baik dari pada satu malam saja tanpa penguasa.

Keadaan yang paling ditakuti oleh ulama Sunni adalah apa yang disebut dengan “fitnah,” yaitu kekacauan politik karena adanya pemberontakan. Konsolidasi kekuasaan di awal-awal sejarah Islam membutuhkan kekuasaan tangan-besi yang berdarah-darah.

Pemberontakan hampir muncul dalam setiap faset sejarah Islam awal, dan setiap kali itu pula puluhan ribu nyawa dikorbankan; darah tumpah sia-sia. Kekuasaan yang brutal bukan monopoli sejarah Islam; ini hampir menjadi ciri khas kekuasaan tradisional di manapun pada masa pra-modern.

Teknik berkuasa dan alat-alat untuk mengontrol kekuasaan belum berkembang dengan canggih pada masa itu. Kekejaman dan kebrutalan dalam menghadapi lawan-lawan politik adalah teknik yang dipakai oleh penguasa tradisional untuk “menanamkan” rasa takut dan teror kepada penduduk agar mereka tidak coba-coba melawan.

Negara modern tidak terlalu membutuhkan kebrutalan dalam skala yang sama yang dipraktekkan penguasa tradisional, karena teknik-teknik kontrol telah berkembang pesat sekarang. Ini, antara lain, difasilitasi oleh perkembangan teknologi komunikasi, surveillance dan penyadapan yang canggih.

Bayangkan keadaan berikut itu: penguasa tradisional mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, sebelum menyadari bahwa pemberontakan terjadi di sebuah kawasan yang jauh sekali dari pusat kerajaannya.

Negara modern hanya membutuhkan waktu sekian detik saja untuk mendeteksi pemberontakan semacam ini. Perbedaan teknik kontrol dalam kekuasaan inilah yang, saya kira, “memaksa” penguasa-penguasa tradisional memakai teknik penyiksaan yang brutal terhadap lawan-lawannya. Hanya dengan begitu mereka bisa menjamin “ketundukan” rakyat.

Situasi politik semacam inilah yang, saya kira, mendorong para ulama Sunni dalam fase awal sejarah Islam merumuskan sikap politik yang cenderung “quietist,” diam, patuh, tunduk pada penguasa, baik penguasa yang adil atau zalim. Sebab alternatif lain adalah: memberontak yang justru menimbulkan “fitnah” dan kekacauan yang lebih berbahaya.

Dalam konteks kekuasaan tradisional, bahkan tanda-tanda oposisi yang sederhana sekalipun (bukan pemberontakan!) akan dihadapi dengan penindasan yang kejam.

Kemaslahatan agama terganggu saat berlangsung fitnah atau kekacauan politik: orang-orang tidak bisa dengan aman menjalankan ibadah, ngaji, mencari nafkah, dll. Keamanan, dan bukan kebebasan, adalah “komoditi politik” yang amat berharga dalam masyarakat tradisional sebagaimana dihadapi oleh ulama Sunni zaman lampau. Ide kebebasan politik masih terlalu jauh dari “imajinasi politik” ulama di masa itu.

Kita tak bisa menyalahkan ulama Sunni pada zaman itu. Rumusan sikap politik realis-pragmatis adalah sikap yang paling masuk akal dalam situasi politik seperti yang saya gambarkan di atas. Ini sama sekali bukan berarti bahwa ulama Sunni tidak melakukan “opisisi politik”. Resistensi terhadap penguasa yang zalim dilakukan oleh banyak ulama pada zaman itu, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang “aman”.

Inilah yang oleh al-Ghazali dalam disebut sebagai “siyasat al-‘ulama’,” politik para ulama dan kiai. Politik ideal untuk para kiai, dalam pandangan al-Ghazali, adalah al-wa‘dzu wa-l-irshad, memberikan masukan kepada penguasa yang zalim melalui “kritik lisan”: memberi nasehat.

Model politik “radikal-idealis,” dengan cara menentang terang-terangan penguasa, bukanlah jalan yang disukai oleh ulama Sunni. Mereka lebih memilih jalan yang lebih membawa maslahat: menerima kekuasaan yang ada, apapun keadaanya, meskipun dengan “nggrundel”. Itu lebih baik daripada kekacauan yang timbul karena tindakan menentang penguasa.

Apakah sikap politik seperti ini masih relevan sekarang? Ini akan tema pembicaraan saya dalam tulisan berikutnya.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/doktrin-politik-sunni-yang-quietist/

Masih Relevankah Doktrin Politik Sunni pada Masa Ini?

MOJOK.CO – Seperti saya jelaskan di tulisan sebelumya, kita tidak bisa menyalahkan ulama Sunni yang merumuskan doktrin yang “mau main aman”.

 

Seperti saya jelaskan dalam bagian sebelumnya, ciri pokok doktrin politik Sunni adalah “realisme-pragmatis” yang ditandai oleh penerimaan yang “legawa” terhadap status quo kekuasaan, walau ia zalim dan otoriter.

Sebab oposisi terhadap kekuasaan yang zalim, meski secara moral-politik sangat absah, bisa menimbulkan akibat yang lebih buruk: fitnah, kekacauan politik.

Seperti saya jelaskan kemarin, kita tidak bisa menyalahkan ulama Sunni yang merumuskan doktrin yang “mau main aman” seperti ini. Kelahiran doktrin ini terkait dengan corak kekuasaan tradisional yang cenderung brutal, tidak menerima oposisi dalam bentuk apapun, dan “ketegaan” raja-raja tradisional dulu untuk menghukum musuh-musuh politik secara kejam (silahkan baca Tarikh al-Tabari mengenai sejarah politik yang brutal di zaman kerajaan-kerajaan Islam awal dulu).

Penguasa tradisional juga tak punya banyak pilihan kecuali menjalankan politik yang kejam seperti ini, karena hanya dengan cara demikianlah mereka bisa memastikan ketaatan rakyat. Praktek “rule by fear” (berkuasa dengan cara menanamkan ketakutan) semacam ini adalah hal yang lazim pada zaman lampau.

Biasanya model kekuasaan semacam ini akan terpaksa ditempuh oleh raja-raja tradisional ketika mereka sudah kehilangan kegitimasi di mata rakyat. Inilah yang terjadi pada era dinasti Umawiyyah pada masa awal Islam. Pada masa inilah doktrin Sunni yang “quietist,” tunduk pada kekuasaan itu mula-mula dirumuskan.

Pertanyaannya: Apakah doktrin ini masih relevan sekarang, ketika konteks politik sudah berubah secara total? Apa yang saya maksud dengan “perubahan konteks” di sini adalah munculnya negara modern yang umumnya menganut sistem politik yang demokratis.

Dalam sistem seperti ini, oposisi dan kritik terhadap penguasa bukan hal yang “tabu”. Tidak ada “political reprisal” atau balas dendam politik yang kejam dari penguasa dalam negara modern yang demokratis terhadap para pengkritiknya seperti di zaman dulu.

 

Saya cenderung menjawab: bahwa doktrin politik Sunni ini secara umum masih relevan hingga sekarang. Dalam pandangan saya, ada beberapa dampak positif dari doktrin Sunni yang quietist itu dalam kehidupan kenegaraan modern. Salah satunya adalah hal berikut ini.

Pada umumnya, ulama Sunni cenderung lebih fleksibel secara politik dan mudah menerima negara modern dalam bentuk negara bangsa, nation state (model negara yang tak pernah dikenal di masa lampau!). Fleksibiltas ini, saya duga, ada kaitannya dengan doktrin politik Sunni yang “realis-pragmatis” itu.

Para ulama NU di Indonesia, sebagai penerus sah ideologi politik Sunni di negeri ini, sebagai contoh kasus yang kongkrit, tidak pernah berjuang untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Mereka tidak setuju dengan Kartosuwirjo yang hendak mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dulu.

Ini juga yang menjelaskan kenapa ulama dan kiai NU dengan tegas menolak ide negara khilafah yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir (HT), karena di mata para mereka, perjuangan semacam ini tak ada bedanya dengan pemberontakan Kartosuwirjo dulu. Bagi mereka, memberontak pemerintah yang sah (al-sulthan al-mutaghallib) adalah tindakan bughat yang tidak bisa disahkan dalam agama—meskipun pemberontakan itu atas nama “memperjuangkan Islam”.

Mereka paham betul betapa banyak pemberontakan dalam sejarah awal Islam dulu juga dilakukan atas nama Islam, seperti dalam kasus kaum Khawarij (kelompok pemberontak yang muncul pada masa khalifah keempat setelah wafatnya Kanjeng Nabi, Ali bin Abi Talib). Memberontak ya tetap memberontak. Titik.

Kelompok Sunni sangat mudah beradaptasi dengam sistem politik manapun, walaupun sistem itu dipandang “sekular” di mata sebagian kalangan Islam lain (biasanya kelompok yang mengikuti doktrin politik “radikal-idealis”).

 

Bagi umat Sunni, lebih baik hidup dalam sistem politik yang tidak atau kurang ideal daripada memberontak yang malah berujung pada “fitnah,” kekacauan politik yang amat berbahaya. Adaptabilitas politik kaum Sunni semacam ini, bagi saya, juga sangat membantu konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Jalan politik “radikal-idealis” seperti yang ditempuh oleh sebagian kelompok-kelompok politik dalam Islam, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, sangat tidak bisa diterima oleh mayoritas ulama Sunni. Bagi mereka, jalan radikal-idealis ini “ndak Sunni banget.” Politik semacam ini selalu menimbulkan reaksi penolakan dari ulama Sunni pada umumnya.

Ini bukan berarti bahwa ulama Sunni menerima dengan penuh “tawakkal” terhadap kekuasaan yang otoriter. Para ulama dan tokoh-tokoh Sunni tidak segan-segan melakukan kritik atas penguasa.

Hanya saja, mereka mengkritik dalam koridor doktrinal seperti yang digariskan oleh al-Ghazali dalam al-Tibr al-Masbuk: yaitu memberikan nasehat, kritik (bisa dalam bentuk kritik keras!) kepada penguasa. Inilah jalan yang oleh al-Ghazali disebut sebagai siyasat al-‘ulama’ (politik para ulama/kiai) yang melanjutkan siyasat al-anbiya’ (politik para nabi).

Jalan inilah yang dulu ditempuh oleh Gus Dur di masa Orde Baru, saat dia melakukan kritik dan oposisi politik terhadap rezim Suharto saat itu. Gus Dur menjalankan “siyasat al-ulama’” ala al-Ghazali: yakni, memberi “nasehat/kritik” kepada penguasa. Tetapi ya hanya sebatas itu. Gus Dur tidak akan mau melangkah lebih jauh: melakukan “macht vorming,” menyusun kekuatan untuk melawan pemerintah. Itu jelas ndak Sunni banget!


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/masih-relevankah-doktrin-politik-sunni-pada-masa-ini/

Apakah Kita Perlu Negara?

MOJOK.CO – Jika dimungkinkan bisa hidup tanpa kekuasaan negara, manusia tentu akan memilihnya, ketimbang hidup di bawah kekuasaan negara.

 

Sejak dahulu, masalah politik selalu menimbulkan diskusi panas; tak jarang melibatkan emosi yang mendalam. Di antara seluruh bidang-bidang kehidupan manusia yang beragam, mungkin politiklah yang paling sarat dengan muatan emosi.

Penyebabnya boleh jadi karena karakter politik yang berhubungan dengan “kehendak untuk mendominasi” pihak lain; mendominasi dalam bentuknya yang sempurna: berkuasa. Dominasi ini biasanya dilembagakan dalam institusi bernama “negara.”

Setiap klaim atas kekuasaan sudah pasti akan menimbulkan resistensi dari pihak lain. Sebab manusia, secara naluriah, ingin hidup lepas dari “dominasi” orang lain. Dalam diri manusia ada dorongan-dorongan alamiah ke arah “anarkisme” dalam pengertiannya yang luas—yaitu, dorongan untuk hidup “bebas” dari dominasi/kekuasaan oleh pihak lain.

Dorongan ini dengan amat baik pernah dikatakan oleh khalifah kedua, Umar bin Khattab, dalam ungkapan yang masyhur: “Mata ista‘badtum al-nasa wa-qad waladathum ummahatuhum ahraran”—sejak kapan kalian memperbudak orang-orang, padahal mereka dilahirkan sebagai orang merdeka.

Merdeka adalah kondisi ideal yang diinginkan oleh semua orang. Andai (sekali lagi: andai!) ada keadaan “ideal” di mana dimungkinkan manusia hidup tanpa kekuasaan negara, dia tentu akan memilihnya, ketimbang hidup di bawah kekuasaan negara.

Keberadaan institusi negara secara otomatis akan berujung pada keadaan tak ideal: ada sekelompok orang yang berkuasa, dan orang-orang lain yang dikuasai. “Tunduk” pada kekuasaan orang lain adalah keadaan yang secara naluriah tidak disukai manusia.

Impian tentang hilangnya institusi negara ini bukan barang baru yang muncul setelah Karl Marx. Ini adalah utopia lama sejak zaman Yunani, dan kita jumpai dalam tradisi-tradisi komunitas lain. Masyarakar Samin di Jawa adalah salah satu contoh komunitas yang tidak “nyaman” dengan institusi negara.

 

Dalam tradisi pemikiran politik Islam klasik, suara-suara “anarkis” sudah muncul sejak abad-abad pertama Hijriyah. Ada dua nama yang bisa disebut: Hisyam al-Fuwathi (w. 833) dan Abu Bakr al-Asham (w. 892), keduanya pemikir Mu’tazilah yang “emoh” alias kurang suka pada lembaga negara, sebagaimana direkam dalam karya besar al-Mawardi (w. 1058), al-Ahkam al-Sulthaniyyah (salah satu karya paling awal mengenai teori politik Islam).

Bagaimana posisi akidah Asy‘ariyyah dalam perkara ini?

Ada semacam konsensus (ijma‘) di kalangan para teolog Sunni, baik Asy‘ariyyah atau bukan, bahwa negara harus ada. Istilah yang dipakai dalam literatur klasik Islam adalah: ‘aqdu-l-imamah, memilih seorang kepala negara. Maksudnya tentu bukan sekadar memilih kepala negara, melainkan mendirikan negara itu sendiri.

Inilah posisi mayoritas ulama Islam. Ini, saya kira, sangat alamiah. Demi kebutuhan praktis hidup sehari-hari, secara naluriah manusia tentu memilih adanya lembaga negara. Tanpa “leviathan” bernama negara, kehidupan mungkin akan kacau balau.

Apakah dengan demikian politik merupakan bagian dari “pokok doktrin” agama? Orang-orang mungkin bisa berbeda pendapat tentang isu ini. Tetapi dalam interpretasi saya: politik bukan bagian dari doktrin pokok Islam.

Dalam pandangan Sunni, institusi negara dipandang amat penting (al-Ghazali menegaskan bahwa agama dan kekuasaan negara adalah dua saudara kembar—tau’aman), dan karena itu mengangkat kepala negara adalah “wajib” secara hukum agama. Meski demikian, ulama Sunni umumnya berpandangan bahwa politik bukanlah bagian dari pokok doktrin agama (al-siyasah laisat min ashl al-din).

Dalam al-Tibr al-Masbuk, al-Ghazali menegaskan: dalam konteks kehidupan kolektif, secara garis besar manusia terbagi atas dua golongan—al-anbiya’, para nabi yang tugas pokoknya adalah menjadi penguasa atas “dunia batin” manusia, dan menjadi penunjuk jalan menuju Allah.

 

Golongan kedua adalah al-muluk, para raja-raja yang tugasnya adalah menjadi penguasa atas “tubuh luar” manusia, dan mencegah supaya mereka tidak saling melukai dan menyerang yang lain.

Dalam Ihya’, al-Ghazali membagi politik kepada dua jenis: siyasat al-anbiya’, yaitu politik para nabi yang berwenang untuk mengurus manusia baik secara lahir (fisik) atau batin (hati). Yang kedua adalah siyasatu-l-muluk wa al-salatin, politik para raja dan sultan yang hanya berwenang mengurus dunia lahiriah manusia, yakni aspek tubuh mereka.

Dengan pemahaman semacam ini, para ulama Sunni dengan amat sadar mengakui adanya dua “ruang politik” yang harus dibedakan, meskipun tidak bisa dipisahkan.

Pertama adalah ruang lahiriah (public sphere) yang berkenaan dengan kemaslahatan umum. Inilah ruang di mana institusi negara beroperasi.

Kedua, ruang batiniah (private sphere) yang menyangkut hati dan jiwa manusia, dan di sinilah para nabi dan ulama berperan besar. “Natuur” atau watak politik para nabi lebih berhubungan dengan dunia batin manusia. Politik duniawi yang terealisasi dalam lembaga negara adalah hal yang sifatnya sekunder dalam siyasat al-anbiya’. Politik duniawi adalah wilayahnya para raja dan sultan!

Inilah yang menjelaskan kenapa mayoritas para ulama di Indonesia, dan juga di dunia Islam yang lain, tidak setuju terhadap ide mendirikan negara Islam secara formal.

Basis pemikiran teologisnya adalah seperti saya jelaskan tadi: yaitu karakter politik para nabi yang lebih berhubungan sengan “siyasat al-arwah” (politik yang mengurus jiwa dan rohani manusia), bukan siyasat al-abdan (politik yang mengurus badan manusia) yang lebih merupakan wilayah para raja.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/apakah-kita-perlu-negara/

Sikap Islam terhadap ‘Syariat’ Agama Lain

MOJOK.CO – Sikap memandang agama Islam “mengungguli” agama-agama lain tidak jadi soal jika merupakan “sikap personal”. Masalah yang terjadi tak seperti itu.

 

Dalam penjelasan al-Ghazali mengenai doktrin kenabian, kita baca penjelasan berikut: “Fa-nasakha bi syari‘atihi al-syara’i‘a illa ma qarrarahu minha” (Tuhan me-nasakh/menghapus melalui syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad syariat-syariat agama lain sebelumnya, kecuali yang masih diakui berlaku).

Inilah yang disebut dengan doktrin “super-sesionisme,” penghapusan atau amandemen terhadap ajaran agama lama oleh agama yang datang belakangan.

Akidah ini sekarang mungkin kurang terlalu “relevan,” tetapi asumsi-asumsi yang ada di baliknya tetap perlu kita diskusikan karena masih mempengaruhi cara berpikir sebagian umat. Asumsi itu, antara lain, ialah: bahwa Islam adalah agama yang paling  “unggul” di atas agama manapun, dan kerena itu syariat-nya me-nasakh atau menghapus syariat agama-agama sebelumnya.

Di sini terselip asumsi yang sering disebut sebagai triumfalisme: sikap yang memandang agama sendiri “mengungguli” agama-agama lain. Asumsi ini tidak menjadi soal jika merupakan “sikap personal” yang hanya disimpan sebagai keyakinan bagi diri-sendiri.

Tetapi ini akan jadi soal jika diterjemahkan secara sosial dalam bentuk “sikap” untuk “menang-menangan” terhadap penganut agama-agama lain—kecenderungan yang secara faktual benar-benar terjadi dalam beberapa kasus riil.

Di zaman ketika politik identitas menjadi trend di seluruh dunia, pandangan teologis yang cenderung triumfalistik yang kita jumpai dalam banyak agama (terutama agama-agama semitik), harus dipahami ulang. Jika tidak, pandangan semacam ini bisa bermasalah.

Tugas kita sebagai Muslim, antara lian, adalah ikut mendorong munculnya peradaban baru yang melintasi sekat-sekat agama, peradaban yang menjunjung persaudaraan kemanusiaan dan dialog lintas-kepercayaan. Teologi yang triumfalistik kurang mendukung usaha ke arah ini.

Ada dua hal yang ingin saya soroti terkait dengan doktrin penghapusan syariat ini. Pertama, Apa persisnya syariat agama sebelum Islam di sini? Agama apakah yang dimaksudkan di sana? Yang kedua: bagaimana memahami doktrin ini secara proporsional agar tidak berujung pada sikap triumfalistik?

 

Mengenai isu yang pertama: tampaknya yang dimaksud syariat agama “sebelum” Islam adalah syariat agama Yahudi, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa agama-agama lain juga termasuk di dalamnya. Kenapa Yahudi? Sebab, di antara seluruh agama yang muncul sebelum Islam dan secara historis ada kaitan dengannya, hanyalah agama Yahudi yang memiliki tradisi hukum syariat yang sangat kuat sebagaimana dalam Islam.

Agama Kristen jelas mengikuti “jalan yang berbeda,” terutama “Pauline Christianity,” yaitu agama Kristen sebagaimana “ditafsir” oleh Paulus. Sebagaimana kita tahu, Kristen secara tegas membedakan diri dengan Yahudi dengan tidak mengikuti lagi apa yang disebut sebagai “Hukum Musa”. Kehadiran “Perjanjan Baru” diangap telah menggantikan (supercede) “Perjanjian Lama.” Kita bisa mengatakan bahwa Kristen adalah kelanjutan dari tradisi keyahudian minus syariat.

Tradisi pembahasan hukum yang “ndakik-dakik” sebagaimana kita kenal dalam fikih Islam, misalnya, juga dikenal, dalam bentuk yang kurang lebih persis sama, dalam tradisi Yahudi – apa yang disebut dengan tradisi rabbinik (Catatan: Yang berminat, bisa membaca studi-studi yang dilakukan oleh Prof. Jacob Neusner yang banyak mengkaji perbandingan antara “fikih” Islam dan “fikih Yahudi”). Karena itu, dari segi tradisi hukum, Islam lebih dekat kepada Yahudi ketimbang Kristen.

Bagi saya, tidak ada yang aneh, bahkan wajar, dalam doktrin penghapusan syariat agama pra-Islam ini. Pengertian doktrin ini menjadi jelas jika kita pahami dalam kerangka berikut: Tentu saja syariat yang diikuti oleh orang-orang Yahudi dengan sendirinya tidak berlaku bagi umat Islam.

Hal serupa sudah dilakukan oleh Kristen sebelumnya dengan cara yang jauh lebih radikal dengan, seperti saya sebutkan sebelumnya, penghapusan Hukum Taurat setelah kedatangan Perjanjian Baru. Hukum-hukum Taurat yang berkaitan dengan hari Sabbath dan kosher (hukum halal-haram dalam makanan), misalnya, dianggap tak berlaku lagi.

 

Yang menarik, syariat Islam tidak menghapus seluruh Hukum Taurat. Beberapa hal di sana masih dipertahankan. Al-Ghazali sendiri menjelaskan dalam kutipan yang sudah saya sebut di awal tulisan ini: “illa ma qarrarahu minha” – kecuali syariat-syariat dari agama sebelum Islam yang masih dianggap berlaku. Contoh Hukum Taurat yang masih dipertahankan dalam Islam adalah: sunat bagi laki-laki, tidak memakan daging babi, bangkai, dan darah.

Dengan mengatakan ini, bukan berarti Hukum Taurat sebagai “tradisi keagamaan yang hidup” dihapuskan seluruhnya oleh kedatangan Islam. Tentu itu tidak mungkin. Hukum Taurat jelas masih berlaku bagi orang-orang Yahudi hingga sekarang. Kanjeng Nabi juga tidak pernah menghalangi orang-orang Yahudi untuk terus mempertahankan Hukum Taurat dalam kehidupan sehari-hari. Islam menghormati doktrin dan syariat agama lain.

Yang perlu kita garis bawahi juga dalam akidah kenabian dalam Islam ialah kepercayaan bahwa kenabian Muhammad adalah kelanjutan dari nabi-nabi sebelumnya. Dari segi pokok ajaran (yaitu tauhid), Islam tidak membawa hal baru, melainkan meneruskan saja apa yang sudah dibawa oleh nabi-nabi sebelum Islam.

Meski ada beberapa elemen dalam syariat sebelum Islam yang dihapus, tetapi ada juga elemen-elemen lain yang tetap dipertahankan. Islam bukanlah agama yang mengajarkan untuk memutus total tradisi-tradisi yang ada, asal masih sesuai dengan spirit ajaran Islam.

Bukankah filosofi ini telah dipraktekkan oleh Wali Sanga di tanah Nusantara?


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/sikap-islam-terhadap-syariat-agama-lain/

Cara Pandang Keagamaan yang “Unitive”

MOJOK.CO – Percekcokan mengenai “mana jalan yang paling benar,” menurut saya, bisa sedikit diminimalisir dengan kesadaran unitive.

 

Uraian saya dalam serial tulisan lalu tentang sifat-sifat Tuhan memang sengaja menggabungkan antara dua hal sekaligus: teologi (cara pandang terhadap Tuhan) dan tasawwuf. Saya sengaja mengawinkan dua aspek ini karena, dalam evaluasi saya (dan saya bisa keliru!), akidah Asy‘ariyyah memiliki fokus yang agak berlebihan pada aspek tanzih (menjauhkan Tuhan dari segala kemungkinan kemiripan dengan manusia).

Padahal, sebagaimana saya jelaskan dalam beberapa seri tulisan yang lalu, “kemiripan” antara Tuhan dan manusia itu tak terhindarkan, karena dalam diri manusia ada unsur-unsur ilahiah yang sangat kuat. Manusia, karena itu, juga digambarkan sebagai “imago Dei,” semacam “titisan” (kalau mau memakai bahasa yang netral: khalifah!) Tuhan di bumi.

Tentu saja, Tuhan adalah Maha Agung yang memiliki sifat mukhalafat li-l-hawadits—berbeda secara total dari makhluk-Nya. Ini tidak kita tolak sama sekali. Tetapi terlalu menekankan aspek tanzih, menyebabkan Tuhan menjadi “jauh” dari manusia, karena kemiripan ditolak sama sekali.

Aspek “perbedaan dengan makhluk” ini sebaiknya agak sedikit dikurangi. Visi Ibn ‘Arabi yang menyodorkan pemahaman yang seimbang antara “tanzih” dan “tasybih” layak dijadikan sebagai basis pemahaman ketauhidan yang baru.

Tasawwuf, menurut saya, bisa menyempurnakan “kelemahan” dalam teologi ini dengan menghadirkan Tuhan sebagai “Tuhan yang sangat dekat” dengan manusia. Dalam tasawwuf, ditanamkan suatu kesadaran rohaniah yang amat kuat tentang dunia sebagai arena tempat seluruh tindakan Tuhan tergelar (the unfolding of divine attributes).

Dunia adalah arena di mana Tuhan menyingkapkan diri kepada manusia—apa yang oleh para sufi disebut sebagai proses tajalli.

Dengan mengawinkan antara teologi dan tasawwuf ini, seorang beriman akan memiliki kesadaran “unitive” (bersifat tunggal—kesadaran bahwa segala hal di alam raya ini merupakan wujud yang satu, walaupun bentuk dan manifestasinya beragam.

 

Dengan kesadaran seperti ini, misalnya, kita akan memandang seluruh perkembangan pengetahuan dan sains sekarang sebagai bagian dari “tajalli”-nya Tuhan. Kita tak memilah-milah secara diskriminatif antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu “umum.” Keduanya adalah ilmu yang sama-sama bersumber dari Tuhan yang memiliki sifat “mengetahui” (al-‘ilmkawnuhu ‘aliman).

Dengan mengawinkan teologi dan tasawwuf kita juga akan melihat semua agama sebagai medium melalui mana Tuhan menyingkapkan kebenaran-Nya kepada manusia. Jalan menuju kepada Tuhan tidaklah satu, melainkan beragam dan banyak.

Percekcokan dalam sejarah karena perbedaan yang tajam mengenai “mana jalan yang paling benar,” menurut saya, bisa sedikit diminimalisir dengan kesadaran semacam ini. Dalam kerangka hidup berbangsa dan bernegara di dalam wadah politik bernama “Indonesia,” kesadaran itu jelas sangat penting; ia akan memperkuat ikatan persaudaraan kemanusiaan dan kebangsaan tanpa melihat perbedaan agama.

Di tengah-tengah meruyaknya politik identitas akhir-akhir ini, di mana perbedaan identitas (terutama identitas agama) rentan dimobilisir, sehingga potensial menimbulkan permusuhan antar-kelompok identitas yang beda, jelas kesadaran unitive itu penting untuk dihayati oleh seorang Muslim, dan pemeluk agama manapun.

Dalam gambar besar kehidupan (the grand scheme of things), kemunculan konflik memang merupakan bagian dari iradah Tuhan. Dan apapun yang keluar dari iradah-Nya, pastilah baik dan adil, sesuai dengan ajaran keadilan Tuhan dalam akidah Asy‘ariyyah.

Tetapi ini adalah pemahaman pada level wujudiyah atau ontologi. Kehidupan sebagai arena besar memang tak mungkin berlangsung tanpa ada unsur-unsur yang berbeda di dalamnya, tanpa adanya konflik yang kadang muncul di antara unsur-unsur yang berbeda.

 

Tetapi pada level moral-etis (bukan ontologi), kita diharapkan oleh agama untuk membangun kehidupan yang damai, saling menghargai, dengan dilandasi persaudaraan yang bertingkat-tingkat, mulai dari persaudaraan pada lingkar terdekat (sesama Muslim), hingga persaudaraan pada lingkar yang terjauh, yaitu persaudaraan kemanusiaan. Islam sendiri sacara asal-usul kata berasal dari al-silm yang berarti perdamaian.

Kesadaran “unitive” bisa mendorong seorang Muslim untuk melihat semua manusia sebagai sesama makhluk yang merupakan “tajalli” atau manifestasi Tuhan. Semua manusia terikat dalam “the fellowship of truth seeking”,persahabatan sebagai sesama pencari kebenaran.

Dengan kesadaran seperti ini, seorang Muslim yang bersungguh-sungguh dengan imannya akan bersedia membuka diri terhadap kebenaran-kebenaran yang datang dari pihak lain yang berbeda. Dalam diri orang lain yang berbeda dengan saya, saya melihat tajalli Tuhan di sana. Kehadiran orang lain itu adalah cara Tuhan untuk mendewasakan diri saya sebagai manusia.

Sudah saatnya umat Islam membangun pandangan ketauhidan dan kesadaran spiritual yang melihat agama bukan sebagai “tembok” yang memisahkan. Umat Islam sudah semestinya menjadi partisipan yang aktif dalam mendorong peradaban manusia menuju kepada peradaban persaudaraan yang melintasi segala sekat.

Agama dan doktrin-doktrin teologis harus “di-rekalibrasi”, distel ulang sehingga tidak lagi menjadi pemecah, melainkan sebagai landasan bagi lahirnya kesadaran yang “unitive” yang menyatukan!


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/cara-pandang-keagamaan-yang-unitive/

Husnuzan pada Tuhan

MOJOK.CO – Kita kadang harus “percaya total” bahwa apa yang terjadi dan kita hadapi adalah untuk sebuah “tujuan besar” yang baik. Husnuzan terhadap itu.

 

Demi kepraktisan kehidupan sehari-hari, kita kerap-kali dipaksa untuk melakukan “penundaan” atas skeptisisme, keragu-raguan, dan kecurigaan pada semua hal. Kehidupan seringkali hanya bisa dijalani secara normal jika kita menerima semacam “realisme pragmatis”: yaitu, menerima apa yang ada agar kehidupan bisa berjalan dengan relatif mulus.

Segala bentuk pertanyaan, untuk sementara, ditaruh di antara dua tanda kutip; ditunda dahulu. Sebab, jika tidak, ritme kehidupan akan terganggu, dan, secara psikologis, kita tak nyaman.

Contoh sederhana adalah sebagai berikut: saat naik pesawat, kita biasanya menaruh “kepercayaan total” kepada sang pilot: bahwa ia akan benar-benar membawa kita ke tujuan.

Inilah yang saya sebut sebagai realisme-pragmatis. Kita bisa saja mengambil sikap skeptis. Kita bisa meragukan bahwa pilot akan benar-benar membawa pesawat ke tujuan yang kita kehendaki. Kita lalu “rempong” menginterogasi pilot untuk memastikan apakah dia benar-benar akan menerbangkan pesawat ke tujuan kita. Jika benar-benar melakukan ini, kemungkinan besar kita akan diamankan oleh petugas!

Betapa tidak praktisnya kehidupan jika setiap hendak melakukan sesuatu, seseorang bersikap curiga dahulu. Ada situasi-situasi yang memang mengharuskan kita untuk mencurigai, bertanya-tanya, skeptis. Tetapi sikap ini tidak bisa kita pakai dalam semua keadaan; hanya bisa kita lakukan dalam keadaan khusus. Agar kehidupan berjalan dengan normal, dia harus “percaya total” bahwa orang lain akan melakukan sesuatu sesuai dengan yang ia harapkan.

 

Harapan ini bisa saja meleset. Pesawat yang kita tumpangi bisa saja membelot, tidak meluncur ke tujuan yang kita kehendaki. Tak ada jaminan bahwa “realisme pragmatis” yang kita pakai itu menjamin kesuksesan, dan sesuatu akan berjalan sesuai dengan harapan kita. Tetapi ini hanya terjadi dalam situasi yang spesial, ketika disrupsi atau gangguan atas kenormalan hidup berlangsung.

Apa kaitan ini semua dengan pembahasan mengenai sifat iradah Tuhan?

Dalam skala kehidupan yang lebih besar, sikap “realisme-pragmatis” ini juga amat relevan. Agar tak risau, kita kadang harus “percaya total” bahwa apa yang terjadi dan kita hadapi adalah untuk sebuah “tujuan besar” yang baik. Segala yang terjadi adalah manifesti iradah Tuhan. Sikap husnuzan ini membantu kita untuk “letting go of things,” melepaskan diri dari ikatan yang berlebihan kepada sesuatu.

Ini bukan berarti kita tak boleh mempertanyakan, bahkan memprotes: kenapa hal-hal tertentu terjadi. Dalam situasi-situasi yang bersifat “liminal,”ß artinya sudah mencapai batas terjauh yang tidak mungkin lagi dipikul bebannya oleh manusia, seseorang akan sangat wajar untuk bertanya, mungkin dengan nada protes: Kenapa Tuhan berbuat demikian?

Inilah momen yang disebut “the dark night of soul”—malam kelam bagi jiwa seseorang. Momen-momen semacam ini biasanya terjadi ketika seseorang berhadapan dengan “momen liminal” yang menguji batas kesabaran. Inilah “momen Ayub,” merujuk kepada kisah Ayub yang menerima cobaan begitu berat.

Ketika terjadi bencana besar yang menimbulkan kesengsaraan massal, pertanyaan ini biasanya menyeruak ke permukaan. Pada momen seperti ini manusia bisa saja merasa bahwa ia seperti “ditinggalkan” oleh Tuhan.

 

Ujian seorang beriman terjadi pada momen-momen seperti ini. Inilah keadaan yang dialami oleh ribuan, bahkan jutaan pengungsi di berbagai belahan dunia yang harus menderita selama bertahun-tahun, menghadapi masa depan yang sama sekali muram; keadaan yang dialami oleh, misalnya, para pengungsi Rohingya, Syria, atau warga Palestina.

Pada momen seperti ini, manusia bisa menempuh dua kemungkinan: ia menyangkal keberadaan Tuhan sama sekali, sebab, jika Tuhan benar-benar ada, tentulah Ia akan segera menolong; atau ia menaruh husnuzan dan kepercayaan total pada “kebaikan iradah” Tuhan. Sebab segala yang terjadi, terjadi karena memenuhi “rencana besar” yang hanya diketahui oleh-Nya.

Pada sikap yang kedua itu, kita menghentikan segala pertanyaan, menerima kenyataan sebagai manifestasi dari iradah besar Tuhan yang kita percaya secara total akan berujung kepada sesuatu yang baik.

Setelah mengambil sikap ini, seseorang bisa “move on”, bergerak ke etape hidup berikutnya dengan perasaan yang mungkin sedikit lebih legawa. Di sini, ia menjalani sikap seorang penumpang pesawat yang menaruh husnuzan penuh pada sang pilot yang akan membawanya ke tujuan akhir.

Inilah sikap orang beriman—orang yang menaruh “total confidence” kepada arus peristiwa, karena ia melihat iradah Tuhan sedang menjelma di sana.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/husnuzan-pada-tuhan/

Sekali Lagi Tentang Kehendak Tuhan

MOJOK.CO – Pada tataran ontologi, manusia harus menyadari bahwa kekuatan jahat adalah bagian dari rencana Tuhan.

Saya masih akan membicarakan sifat iradah atau kehendak Tuhan. Ada suatu pembahasan yang agak musykil dan menjadi diskusi hangat di kalangan para mutakallimun, yakni, hubungan antara Tuhan dan perintah-perintah-Nya (al-amr).

Masalah ini timbul antara lain karena persoalan berikut ini: Jika Tuhan memerintahkan (al-amr) semua manusia untuk berbuat baik, apakah dengan sendirinya Dia juga menghendaki (iradah) semua orang menjadi demikian? Apakah perintah (al-amr) identik dengan kehendak (al-iradah)?

Apakah ontologi (maksudnya: pengetahuan tentang segala hal yang ada, maujud) sama dan identik dengan aksiologi (maksudnya: ajaran moral-etis yang wajib dikerjakan)? Saya kira jawaban atas masalah ini akan membantu kita untuk memahami sedikit “misteri” tentang iradah/kehendak Tuhan.

Ibn Qudamah (w. 1223), seorang ulama dari mazhab Hanbali yang hidup di Damaskus, memberikan jawaban yang menarik dalam karyanya, Raudlat al-Nadzir, sebagai berikut. Perintah (al-amr) dan iradah harus dibedakan, jangan dijumbuhkan; meskipun bisa saja, dalam beberapa kasus, dua hal itu identik.

Contoh yang dikemukakan oleh Ibn Qudamah adalah kisah tentang Iblis yang diperintahkan bersujud kepada Adam (lihat QS 2:34). Saat memerintahkan (al-amr) hal ini, Tuhan sebetulnya tahu (al-‘ilm) bahwa Iblis tidak akan mengikuti perintah itu. Tuhan juga tak menghendaki (iradah) hal itu terjadi, karena ada “skenario besar kehidupan” yang mengharuskan Iblis untuk memainkan fungsi sebagai ikon dari “kekuatan jahat”.

Tuhan memiliki “grand design”, rencana besar mengenai kehidupan manusia. Dalam desain besar ini, Tuhan menghendaki (tetapi tidak memerintahkan!), ada Iblis yang jahat dan ada mansusia yang memiliki potensi untuk menjadi baik; ada “al-khair” (kebaikan), dan “al-syarr” (kejahatan).

 

Dunia manusia diciptakan Tuhan begitu rupa sehingga segala hal hadir secara berpasang-pasangan: laki-perempuan, siang-malam, langit-bumi, baik-jahat, dst. Dua kekuatan yang saling bertolak belakang ini akan selalu hadir dalam setiap faset kehidupan—apa yang oleh para ulama disebut sebagai “sunnat al-tadafu‘”—hukum aksi dan reaksi.

Inilah desain ontologi untuk kehidupan manusia. Tetapi ada desain lain, yaitu aksiologi, berkaitan dengan imperatif atau keharusan untuk melakukan hal-hal baik, dan menghindari yang jahat. Manusia hidup di antara tarikan dua desain ini.

Pada tataran ontologi, manusia haruslah menyadari bahwa kekuatan jahat adalah bagian dari rencana Tuhan. Dalam tataran aksiologi, manusia “diharuskan” untuk berjuang melawan kekuatan-kekuatan jahat ini. Iradah ontologis tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan keberadaan kejahatan pada tataran aksiologis (al-amr).

Dilihat secara ontologis, semua hal adalah baik; tak ada sesuatu yang jahat secara wujudiah. Ya, segala hal adalah baik, karena ia terjadi dan maujud sebagai manifestasi dari iradah dan kehendak Tuhan.

Dalam kerangka sejarah besar manusia, orang-orang jahat memiliki “peran ontologis” (bukan peran moral-etis) yang penting. Tanpa adanya orang-orang jahat, manusia yang baik tidak mengalami ujian untuk membuktikan kebaikannya.

Dalam pandangan Islam, dunia di mana kita hidup ini adalah tempat diselenggarakannya ujian, daru-l-ibtila’. Kekuatan-kekuatan jahat haruslah ada agar ada ujian bagi orang-orang yang memiliki kehendak baik untuk menguji kebaikannya. Seseorang belum benar-benar bisa disebut baik manakala belum mengalami ujian.

 

Sekali lagi: segala hal adalah baik dalam kerangka ontologi. Tetapi masalahnya menjadi beda jika kita bergerak ke ranah yang lain—ranah ajaran moral, akhlak. Secara moral-etis, seorang pencuri jelas jahat, karena ia telah melanggar larangan Tuhan. Tetapi secara ontologis, kehadiran seorang pencuri memiliki fungsi kebaikan: ia memfasilitasi dan mendorong manusia untuk membangun sistem peradilan yang baik, agar kejahatan pencurian bisa diminimalisir.

Secara ontologis, ayat yang bisa menjadi panduan kita adalah berikut ini: rabbana ma khalaqta hadza bathilan (QS 3:191)—wahai Tuhan, Engkau tak menjadikan semua peristiwa dalam hidup ini (termasuk sesuatu yang tampak di permukaan sebagai “jahat” dan “buruk”) sebagai hal yang “bathil”, hal yang tanpa tujuan. Semua peristiwa hadir dalam kehidupan manusia untuk memenuhi iradah dan “fungsi ontologis” tertentu. Karena itu, tak ada sesuatu yang “buruk” dan “jahat” dari kacamata ontologis.

Dengan kacamata ini kita bisa lebih bersikap bijak dan tidak terlalu “kemrungsung” saat melihat hal-hal buruk dan jahat terjadi dalam kehidupan. Mengulang kembali pernyataan al-Ghazali: laisa fi-l-imkan abdau mimma kan—dunia yang ada saat ini adalah bentuk yang terbaik.

Memahami sifat iradah Tuhan dalam perspektif ontologis semacam ini akan membuat kita sedikit lebih “sumeleh”, tetapi bukan berarti menyerah pada keadaan. Sebab, dari kaca-mata “al-amr”, asksiologi, manusia dituntut untuk aktif (bukan pasif) melawan kejahatan!


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/sekali-lagi-tentang-kehendak-tuhan/

Tuhan Menghendaki Penderitaan Bagi Manusia?

MOJOK.CO – Jika Anda punya pertanyaan nakal tentang Tuhan seperti di judul, jangan khawatir, Anda tak sendirian. Itu pertanyaan manusia yang ada sejak ratusan tahun lalu.

 

Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan Yang Berkehendak (Muridun), yang terus-menerus berhubungan dengan makhluk melalui kehendak-Nya, bukan Tuhan kaum Deis yang “istirahat total” dan tidak mau ikut terlibat dalam segala kejadian di alam raya.

Kehendak atau “iradah” adalah salah satu sifat Tuhan yang menjadi diskusi panjang sejak zaman dahulu kala di antara para mutakallimun, teolog Islam.

Dalam Ihya’, al-Ghazali menjelaskan: “Fa-la yajri fi-l-mulki wa-l-malakuti qalilun aw katsirun, … khairun aw syarrun, naf’un aw dlarrun, imanun aw kufrun, … illa bi-qadla’ihi wa qadrihi wa hikmatihi wa masyi’atihi.”

Terjemahan bebasnya: Tak ada sesuatu pun di kerajaan bumi atau langit, baik sedikit atau banyak, baik kebaikan atau kejahatan, manfaat atau madarrat (bahaya), iman atau kekafiran, kecuali melalui ketetapan, kekuasaan, kebijaksanan, dan kehendak-Nya.

Pada bagian berikut, al-Ghazali menambahkan keterangan sebagai berikut: “Wa-la mahraba li-‘abdin ‘an ma‘shiyatihi illa bi-taufiqihi wa-rahmatihi, wa-la quwwata lahu ‘ala tha’atihi illa bi-masyi’atihi wa-iradatihi.”

Tak mungkin seorang hamba terhindar dari maksiat (membangkang kepada Tuhan) kecuali dengan pertolongan dan rahmat Tuhan; juga, tak ada kemampuan baginya untuk taat (kepada Tuhan) kecuali dengan kehendak dan iradah-Nya.

Dengan kata lain, tak ada sesuatu pun yang terjadi di alam raya, atau dalam kehidupan “mikro” manusia, kecuali telah dikehendaki oleh Tuhan—entah kebaikan atau kejahatan.

Sebagaimana sifat qudrah (kekuasaan) Tuhan yang telah saya ulas sebelumnya, sifat iradah ini juga menimbulkan sejumlah pertanyaan musykil. Ada sejumlah “Big Question”, pertanyaan besar yang abadi di sana yang mungkin akan terus diperdebatkan dan tak akan pernah bisa dijawab secara memuaskan.

 

Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain berikut ini: Jika bencana yang terjadi pada manusia yang menimbulkan penderitaan yang besar benar-benar di-iradah-i, dikehendaki oleh Tuhan, sesuaikah ini dengan sifat kasih-sayang-Nya?

Bukankah akidah seperti ini, secara tak langsung, menganggap Tuhan adalah jahat, karena menghendaki penderitaan bagi makhluk-Nya? Kenapa Tuhan tak segera menghentikan penderitaan ribuan pengungsi di Syria saat ini, misalnya?

Kenapa?

Pertanyaan lain yang tak kalah musykil: Jika “taat” dan “maksiat” sudah dikehendaki dan ditetapkan oleh Tuhan, dan manusia tak bisa lain kecuali berbuat sesuai dengan kehendak ilahiah itu, lalu di mana letak tanggung-jawab moral pribadi?

Lalu apa gunanya manusia menaati perintah Tuhan, atau melawan, jika semua sudah ditakdirkan? Di mana letak konsep surga dan neraka—reward and punishment? Jika seseorang menjadi kafir karena kehendak Tuhan yang sudah ada sejak zaman azal (pre-temporality), kenapa ia mesti dihukum di neraka?

Dengan kata lain, sifat iradah Tuhan ini bisa disalah-pahami sebagai hal yang berlawanan dengan ide tentang tanggung-jawab moral manusia (taklif).

Jika Anda memiliki pertanyaan-pertanyaan “nakal” seperti ini, jangan khawatir. Anda tidak sendirian. Ini pertanyaan yang sudah muncul ratusan tahun lalu, dan diperdebatkan oleh para filosof dan ulama sejak lama.

Saya berpendapat, seberapapun usaha dikerahkan untuk menjawab pertanyaan ini, pada akhirnya kita harus jujur: ini bagian dari “misteri agung” yang tak akan tuntas dijawab hingga kapanpun.

 

Ini bukan berarti tak ada penjelasan mengenai hal ini. Sebagian penjelasan telah dikemukakan oleh al-Ghazali sebagaimana sudah saya tulis dalam seri sebelumnya. Ia mengemukakan gagasan tentang “laisa fi-l-imkan abda‘u mimma kan”—bahwa bentuk dunia yang ada saat ini, dengan segala kekurangannya, adalah yang terbaik.

Iradah Tuhan memang bersifat komprehensif, meliputi segala hal, tetapi bukan berarti menafikan sama sekali iradah manusia. Sejumlah ayat dalam Qur’an menegaskan, manusia berkuasa untuk mengehendaki dan melakukan hal-hal yang baik; juga sebaliknya.

Sebuah ayat, misalnya, menegaskan bahwa kondisi manusia tak akan berubah jika ia tak berusaha mengubah apa yang ada pada diri mereka (QS 13:11). Konon, ini ayat yang dulu kerap disitir Bung Karno dalam pidato-pidatonya.

En toch demikian, kehendak manusia bukanlah faktor tunggal. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menyaksikan banyak situasi di mana seseorang “berkendak” untuk melakukan sesuatu, tetapi gagal mengeksekusinya karena ada “situasi eksternal” yang menjadi kendala. Situasi-situasi eksternal semacam ini berada di luar kontrol manusia. Kehendak dia bukanlah satu-satunya faktor determinan.

Bayangkan situasi berikut ini: Seorang perencana kota bisa membuat “city plan” yang sebaik-baiknya, sesuai dengan ilmu yang ia miliki. Dalam pelaksanaan, toh selalu ada “externalities”, faktor-faktor luar yang di luar kontrol dia. Rencana A akhirnya mencong dalam kenyataan menjadi B.

Dalam bahasa agama, kita akan mengatakan: Kehendak Besar Tuhan lah yang akhirnya akan berjalan. Tugas manusia sebatas menyelenggarakan “kehendak kecil”.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/tuhan-menghendaki-penderitaan-bagi-manusia/

Jangan Pertentangkan Agama dan Sains!

MOJOK.CO – Asumsi bahwa secara otomatis tindakan beriman berarti meninggalkan sains, itu keliru. Seolah-olah sains dan agama jadi “musuh bebuyutan”.

 

Saya ingin melanjutkan perbincangan tentang sifat Tuhan yang satu ini: al-‘ilm, pengetahuan. Sebagaimana sudah saya jelaskan, salah satu ciri wujud yang berkualitas tinggi adalah adanya pengetahuan di sana.

Wujud yang tidak disertai dengan ‘ilmu memiliki martabat yang rendah, inferior. Semahal apa pun suatu bebatuan, seperti emas atau berlian, ia, dari segi martabat wujud, jauh berada di bawah manusia. Sebab ia tak memiliki potensi untuk “mengetahui”.

Secara individual, jelas ada manusia yang tak berilmu, the ignoramus, orang yang bodoh dan “ngengkel” dengan kebodohannya. Tetapi kita membicarakan manusia sebagai al-jinsu, spesies. Meski ada orang bodoh, tetapi sebagai spesies manusia memiliki qabiliyyah li-l-‘ilm, potensi untuk menerima ilmu.

Di dalam diri manusia, ada “fakultas” atau kemampuan mental untuk mempelajari hal-hal baru. Derajat kemampuan itu bisa berbeda dari orang ke orang. Potensi inilah yang membuat derajat wujud manusia berada persis di bawah Tuhan.

Ibn ‘Arabi (w. 1240), dalam Fusus al-Hikam, menegaskan bahwa Adam (atau manusia secara keseluruhan) adalah tujuan penciptaan alam raya ini. Pada anak cucu Adam ada suatu keunikan (apa yang ia sebut sebagai “kalimah Adamiyyah”) yang tak ada pada makhluk lain: yaitu kemampuan mengetahui.

Pada manusia, jika kita ikuti teori Ibn ‘Arabi, Tuhan seperti melihat semacam “alter-ego”- Nya. Manusia adalah, dalam bahasa dia, “mir’atun majluwwatun,” cermin yang cemerlang di mana Tuhan akan melihat citra diri-Nya.

 

Dengan kata lain, manusia nyaris semacam “tuhan kecil”, karena di dalamnya telah ditiupkan ruh-Nya, nafkhah ilahiyyah. Noah Yuval Harari, penulis selebriti dunia itu, menyebutnya sebagai “homo deus,” manusia-tuhan (meski dia memakai istilah ini dalam pengertian yang agak beda).

Tetapi ada satu “caveat,” peringatan: meski memiliki sifat-sifat Tuhan, manusia tak dibolehkan untuk gembelengankibriya’, sombong. Sifat ini hanya boleh dimiliki dan diperagakan oleh Tuhan. Wa-lahu-l-kibriya’u fi-l-samawati wa-l-‘ardlibagi Tuhan sajalah kesombongan, baik di langit atau bumi (QS 45:37). Meski godaan untuk sombong amatlah besar pada manusia!

Tentu saja, ilmu yang ada pada manusia bukanlah orisinal, asli muncul dari dirinya sendiri, melainkan bersifat derivatif, berasal dari sumber lain: Tuhan. Dalam pandangan seorang beriman, semua ilmu berasal dari sumber yang sama: Tuhan.

Meski demikian, Tuhan tak memberikan begitu saja secara “gratis” ilmu-ilmu itu kepada manusia. Ada jalan yang harus ia lalui untuk memperolehnya.

Ada dua jalan yang harus ditempuh, sebagaimana dijelaskan oleh ushuliyyun (ulama yang mengkaji filsafat hukum Islam).

Yang pertama adalah jalan daruri, yaitu ilmu-ilmu yang diperoleh secara spontan tanpa harus menalar (istidlal). Yang kedua: jalan iktisabi, yaitu ilmu-ilmu yang harus di-“rebut” dengan usaha-keras melalui proses penalaran.

Sebetulnya ada jalan ketiga seperti dijelaskan al-Ghazali dalam Ihya’, yaitu, jalan ilhami – yakni, ilmu-ilmu yang diperoleh secara langsung melalui “pengilhaman” dari Tuhan. Meskipun jalan ketiga ini boleh saja kita pandang sebagai bagian dari “ilmu-ilmu iktisabi.”

 

Dengan pemahaman seperti ini, para hukama’ (filosof) dan ulama Islam di era klasik tak pernah mempertentangkan antara ilmu-ilmu yang berbasis wahyu dan ilmu-ilmu empiris yang bersumber dari observasi.

Kedua jenis ilmu itu bukanlah dua hal yang “mutually exclusionary,” saling menafikan. Pandangan yang dualistis terhadap ilmu seperti ini sama sekali berlawanan dengan “bundelan” atau akidah tentang Tuhan Yang Maha Tahu.

Akidah tentang sifat Tuhan sebagai Yang Maha Tahu (‘Alimun) mengharuskan kita untuk memandang semua ilmu (sekali lagi: semua ilmu!), secara ontologis, sebagai satu-kesatuan: ilmu yang bersumber dari Tuhan.

Ketika pandemi korona sekarang menerjang seluruh dunia, ada yang berteriak kegirangan: Sains telah mengalahkan agama!

Ini jelas keliru, karena mengasumsikan bahwa secara otomatis tindakan beriman berarti meninggalkan sains. Seolah-olah sains dan agama adalah “musuh bebuyutan”.

Para filsuf Muslim klasik seperti Ibn Rusd (w. 1198) memandang wahyu dan akal sebagai dua hal yang saling berkaitan, sebagaimana ia jelaskan dalam karyanya yang sudah classicsFashl al-Maqal. Antara “syari‘ah” dan “hikmah” (filsafat), kata Ibn Rusyd, terdapat hubungan yang erat, ittishal.

Paradigma Rusydian inilah, bagi saya, yang perlu dipakai oleh Muslim sekarang dalam melihat hubungan antara agama dan sains.

Iman bukan lawan dari pengetahuan. Karena itu, jangan pertentangkan agama dan sains.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/jangan-pertentangkan-agama-dan-sains/

Jangan Meremehkan Manusia!

MOJOK.CO – Sebagian orang berpandangan bahwa manusia adalah “titik-kecil-yang-tak relavan” di tengah-tengah alam raya yang maha luas.

Dalam bagian terdahulu, saya sudah mengulas mengenai “maratib al-wujud,” tingkatan-tingkatan wujud.

Ada wujud yang paling tinggi dan berada di puncak; inilah wujud ketuhanan. Ada wujud yang berada di level terendah, yaitu wujud makhluk non-organik, tak bernyawa; dalam bahasa filsafat Islam disebut: “jamadat”. Inilah wujud bebatuan, besi, dan mineral lain.

Tidak semua wujud disertai dengan adanya pengetahuan (‘ilm) di dalamnya. Wujud binatang mungkin masih disertai dengan pengetahuan, sebab pada tingkat tertentu binatang bisa menyerap pengetahuan. Anjing, gajah, ikan lumba-lumba adalah contoh binatang yang bisa menyerap pengetahuan. Mereka bisa dilatih untuk memeragakan kecakapan tertentu. Tetapi wujud tetumbuhan dan bebatuan jelas tidak disertai dengan pengetahuan.

Wujud yang disertai dengan pengetahuan memiliki kualitas yang lebih tinggi ketimbang wujud yang tak berpengetahuan. Karena itu, kualitas wujud manusia lebih tinggi ketimbang wujud-wujud lain yang ada di bawahnya.

Tetapi, kita tahu, pengetahuan manusia bersifat derivatif, diambil dan bersumber dari Tuhan; bukan pengetahun yang berasal dari dirinya sendiri. Karena itu, wujud Tuhan adalah wujud yang tertinggi, dan pengetahuan-Nya adalah pengetahuan yang mutlak.

Apa yang membedakan pengetahuan Tuhan dan manusia? Ada dua jenis pengetahuan: pengetahuan Tuhan yang bersifat “qadim”, kuna, dalam pengertian tidak bermula pada suatu titik waktu tertentu. Ilmu Tuhan, karena itu, disebut sebagai al-‘ilm al-qadim.

Abu Ishaq al-Shirazi (w. 1083), seorang ulama besar mazhab Syafi’i, dalam al-Luma‘, menggambarkan ilmu Tuhan sebagai berikut: “la-yushafu bi-annahu daruriyyun wa-la mukatasabun” – ilmu Tuhan tidak bisa disebut sebagai “daruri” atau “muktasab.”

 

Ilmu daruri adalah pengetahuan yang datang secara spontan tanpa melalui penalaran (al-nadzar). Pengetahuan yang kita peroleh melalui indera, masuk dalam kategori ini. Kita melihat gedung, misalnya, dan serentak dengan itu timbul pengetahuan dalam pikiran kita: oh, ada gedung di sana.

Ini adalah pengetahuan spontan, tanpa penalaran. Inilah ilmu pra-reflektif. Sementara ilmu muktasab adalah ilmu yang untuk memerolehnya harus dinalar dulu. Semua ilmu yang diajarkan di sekolah masuk dalam kategori ini. Inilah jenis ilmu kedua: al-‘ilm al-hadits — ilmunya manusia.

Ilmu Tuhan tidak terjadi melalui dua jalan ini, baik daruri atau muktasab. Bagaimana ilmu Tuhan muncul dan beroperasi, kita tak akan pernah tahu. Ini bagian dari misteri ketuhanan. Al-Ghazali, dalam Ihya’, menggambarkan ilmu Tuhan sebagai berikut: “wa-annahu ‘alimun la ya‘zubu ‘an ‘ilmihi mitsqalu dzarratin fi-l-’ardli wa-la fi al-samawat.”

Tak ada sebiji dzarrah, atom pun, baik di langit atau bumi, yang luput dari pengetahuan Tuhan. Ilmu Tuhan bersifat menyeluruh—all encompassing.

Tuhan melimpahkan “secuil” ilmu-Nya ini kepada manusia, sebagaimana dikisahkan dalam sebuah ayat dalam al-Baqarah: wa-‘allama Adama-l-asma’ (Tuhan mengajari Adam nama-anama, alias informasi dan pengetahuan). Ilmu inilah yang menyebabkan manusia memiliki martabat wujud yang mengungguli semua makhluk yang lain.

Ada sebagian kalangan yang berpandangan bahwa astronomi modern telah melengserkan manusia dari “singgasana kemuliaannya”—the de-throning of human. Revolusi Kopernikus yang mengenalkan teori heliosentrisme (matahari sebagai pusat orbit, bukan bumi) itu, dianggap telah melucuti manusia dari kedudukan sentralnya sebagai pusat alam raya.

 

Penemuan astronomi modern yang mengenalkan gagasan tentang alam raya yang terus berkembang dan mekar (the expanding universe) membuat sebagian orang berpandangan bahwa manusia adalah “titik-kecil-yang-tak relavan” di tengah-tengah alam raya yang maha luas.

Saya, mohon maaf, tak sepakat dengan pandangan yang men-depresiasi, menurunkan derajat manusia semacam ini. Secara fisik, manusia memang kecil, semacam “debu super-duper-mikro” di tengah hamparan keluasan alam raya yang nyaris tak berhingga. Tetapi, merujuk kembali kepada teori tentang “maratib al-wujud”, derajat wujud manusia jauh lebih tinggi di atas alam raya.

Pengetahuan tentang alam raya sebagaimana dicapai oleh astronomi modern itu, apakah bisa dicapai selain oleh manusia? Tak ada makhluk Tuhan lain (kecuali jika ada alien yang “super-intelligent”!) yang mencapai pengetahuan semacam ini.

Dengan pengetahuannya, manusia yang seperti titik-super-kecil ini memiliki kemampuan rasional yang maha-dahsyat untuk menyingkapkan hukum-hukum yang berlaku di alam raya ini. Manusia yang super-kecil ini adalah “subjek-aktif” yang meneliti dan menelaah, sementara alam raya yang maha luas itu hanyalah “objek penelaahan” manusia.

Kita tak boleh memandang remeh manusia hanya karena kerapuhan tubuhnya. Para sufi menyebut manusia sebagai “jagad cilik”, mikro kosmos, yang menjadi miniatur dari “jagad gede”, semesta yang maha luas itu. Akidah tentang Tuhan Yang Maha Tahu memiliki implikasi penting: Jangan meremehkan manusia dengan kekecilan fisiknya!


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/jangan-meremehkan-manusia/