Pos

Seri 4 Webinar Muslimah Bekerja: Sambutan dan Pembukaan Kampanye “Muslimah Bekerja”

Sambutan dan Pembukaan Kampanye “ Muslimah Bekerja”

Oleh: Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak  

Ibu Bintang Puspayoga

Bulan Maret sangat kental dengan isu perempuan karena setiap 8 Maret perempuan di seluruh dunia merayakan Hari Perempuan Internasional. Perempuan Indonesia merupakan kekuatan, baik bagi diri, keluarga, bangsa, dan negara. Saya mengapresiasi Rumah KitaB yang telah berpartisipasi menyuarakan hak-hak perempuan. Hal-hal seperti ini perlu dilakukan bersama-sama untuk mencapai kesetaraan bagi semua.

Konstitusi dan UUD 1945 menjamin hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Secara khusus, Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 telah menjamin warga tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Artinya, memiliki pekerjaan yang layak adalah hak asasi manusia yang harus dijamin pemenuhannya bagi siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian, kenyataan yang terjadi masih jauh dari ideal. Indeks Pemberdayaan Gender Indonesia 2019 masih menunjukkan angka 75,24. Angka ini merefleksikan belum maksimalnya peran aktif perempuan dalam dunia politik, pengambilan keputusan, dan ekonomi. Lebih spesifik, berdasarkan data BPS 2020, tingkat partisipasi angkatan kerja yang mengindikasikan besarnya persentase penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi juga menunjukkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 53,13 persen, sementara laki-laki 82,4 persen.

Itu sangat disayangkan karena perempuan adalah setengah dari potensi bangsa, termasuk potensi ekonomi. Berdasarkan hasil sensus 2020, perempuan mengisi 49,42 persen dari total populasi Indonesia. Sementara hasil penelitian McKinsey dan hasil diskusi World Economic Forum 2020 menyimpulkan, memaksimalkan potensi dan partisipasi ekonomi perempuan akan berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan suatu negara. Pentingnya peran perempuan bagi seluruh kelompok masyarakat ini membuat kesetaraan gender ditetapkan sebagai tujuan kelima dari tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), yang juga didukung oleh Indonesia.

Agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 juga diarahkan bagi implementasi tujuan pembangunan berkelanjutan dan disusun dengan memastikan partisipasi perempuan. Agenda ini harus diikuti dengan penerapan program dan penganggaran yang inklusif hingga ke desa-desa. Dunia sudah tidak menghendaki praktik-praktik eksklusivisme. Masyarakat masa depan adalah masyarakat yang demokratis, terbuka, bekerja sama, dan setara.

Kami di KPPA mendapatkan arahan dari Presiden RI untuk menjalankan lima isu prioritas dalam lima tahun ke depan. Salah satunya adalah peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan. Kita harus memaksimalkan kekuatan perempuan di bidang ekonomi. Dalam hal itu, kami di KPPA akan memfokuskan pada perempuan kepala keluarga, perempuan pra-sejahtera, dan perempuan penyintas—kekerasan maupun bencana. Pemberdayaan ekonomi merupakan langkah dasar untuk memberdayakan diri individu perempuan. Dengan memiliki pendapatan, perempuan membebaskan diri dari ketergantungan, lebih mampu mengambil keputusan atas kepentingan terbaik perempuan dan anak, serta meminimalisasi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pada akhirnya, itu bisa memperkuat ekonomi dan memastikan kesetaraan dan kemajuan bangsa.

Kurangnya partisipasi perempuan di bidang ekonomi merupakan persoalan yang sangat kompleks dan multisektoral. Budaya patriarki membuat akses perempuan terhadap pendidikan, informasi, dan hasil pembangunan lainnya lebih rendah daripada laki-laki. Itu diperparah dengan paham konservatif yang menggunakan tafsir keagamaan sebagai legitimasi. Paham ini ingin mempertegas perbedaan peran perempuan dan laki-laki, di mana perempuan dianggap baik bila tinggal di rumah dan mengurus keluarga. Dunia luar bukanlah milik perempuan. Pandangan semacam ini semakin mengecilkan potensi perempuan dan arti penting sumbangan ekonominya, bahkan menyiratkan urusan domestik seolah tanggung jawab perempuan secara tunggal. Konstruksi sosial itu begitu mengakar sehingga banyak perempuan pun meng-iya-kannya.

Perempuan harus berdaya secara ekonomi. Ketahanan ekonomi perempuan adalah langkah awal dari kekuatan perempuan untuk melawan segala bentuk perlakuan salah dan kekerasan pada dirinya. Terlebih, banyak kasus kekerasan terjadi pada ranah domestik sehingga perempuan sulit keluar dari jerat kekerasan, tanpa kemandirian ekonomi.

Perlu sinergi dan usaha yang gigih dari berbagai pilar pembangunan untuk mencapai pemberdayaan dan kesetaraan bagi perempuan. Tidak ada satu pihak pun yang bisa bekerja sendiri. Untuk itu, saya sangat mengapresiasi inisiatif Rumah KitaB dalam melakukan studi kualitatif dan kuantitatif Indeks Penerimaan Perempuan Bekerja dan kampanye ‘Muslimah Bekerja.’ Ini akan mendorong meningkatnya peran perempuan sebagai sosok yang tangguh bagi perekonomian bangsa. Dengan membuka peluang dan peran perempuan dalam berbagai bidang pembangunan, kita telah mendorong distribusi sumber daya pembangunan lebih adil dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat.

Perempuan yang berdaya akan terus berinovasi dan berpikir kreatif demi mencapai kemandirian diri. Saya berharap bagi seluruh perempuan untuk tidak berhenti belajar dan terus berjuang. Kita harus yakin bahwa perjuangan kita akan menghasilkan kesetaraan. Karena itu, kita harus bergandengan tangan, menyatukan kekuatan, dan mengesampingkan ego masing-masing untuk membangun sinergi yang kuat demi mencapai tujuan bersama, yaitu dunia yang setara. Kesetaraan akan menihilkan berbagai dampak buruk budaya patriarki seperti kekerasan berbasis gender, perkawinan anak, serta eksploitasi perempuan dan anak.

Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, saya menyatakan kampanye ‘Muslimah Bekerja’ diluncurkan. Semoga upaya-upaya yang dilakukan ini bisa memberi manfaat bagi kemajuan dan masa depan perempuan Indonesia.[]

Seri 1 Webinar Muslimah Bekerja: Melintasi Batas-Batas Keterbatasan

Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja: Melintasi Batas-Batas Keterbatasan

Apakah masih relevan membicaran isu tentang perempuan bekerja di era digital seperti ini?

Pertanyaan pemantik itu dilontarkan oleh Inaya Wahid dalam acara Webinar #ChooseToChallange: Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja yang diselenggarakan Rumah KitaB pada tanggal 24 Maret 2021. Acara ini hadiri oleh Allaster Cox (Charge d’Affaires of the Australian Embassy Jakarta), Sinta Nuriyah Wahid, Bintang Puspayoga (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Lies Marcoes (Direktur Eksekutif Rumah KitaB), Nani Zulminarni (Regional Director of Ashoka Southeast Asia), Rinawati Prihatiningsih (Entrepreneur, IWAPI & Kadin Member Committee), Savic Ali (Founder Islami.co), Zukhrufah DA (Writer, Commcap), dan Mutiara Anissa (Biomedical Scientist, Inisiator Pandemic Talks).

Tentu bukan tanpa alasan mengapa Inaya Wahid—yang berperan sebagai moderator— melontarkan pertanyaan itu. Sebab, sejak dalam rangkaian seremonial webinar, sudah muncul banyak data mengapa harus mendukung perempuan bekerja.

Pembukaan yang disampaikan oleh Kedutaan Australia—yang diwakili oleh Allaster Cox— menyampaikan bahwa peran perempuan dalam dunia ekonomi, apalagi di masa pandemi sangat siginifikan. Bagi Cox, melibatkan perempuan dalam dunia kerja dapat menolong Negara keluar dari krisis ekonomi.

Sayangnya, kata Sinta Nuriyah Wahid, perempuan bekerja menghadapi tantangan serius, salah satunya adalah pandangan dan pemahaman agama yang dangkal—yang menganggap perempuan hanya cocok dan pantas di ruang domestik. Tidak sedikit, kata Sinta Nuriyah Wahid, perempuan yang memilih mundur dari dunia kerja setelah mengikuti pengajian dari kelompok ultrakonservatif.

Hal senada juga disampaikan oleh Menteri PPPA, Bintang Puspoyoga, yang menyesalkan anggapan perempuan baik adalah perempuan yang berada di dalam rumah. Dan menganggap dunia luar (kerja) bukanlah tempat perempuan. Anggapan ini, menurut Bintang Puspoyoga, mengecilkan peran perempuan dalam dunia ekonomi, dan mengukuhkan area domestik sebagai ruang perempuan. Padahal dengan memberikan peluang yang sama dalam dunia kerja kepada perempuan, akan muncul kreativitas dan inisiatif yang tak kalah keren.

Lies Marcoes, Direktur Eksekutif Rumah KitaB, menyebut bahwa Webinar ini muncul tidak dalam ruang kosong. Sebab, dalam studi yang dilakukan Rumah KitaB, narasi agama merumahkan dan melemahkan perempuan bekerja kian masif, sehingga perlu adanya narasi tanding yang lebih ramah terhadap perempuan. Oleh karenanya, Rumah KitaB mengusung kampanye #MuslimahKantoran.

Dari rangkaian sambutan dalam resemonial itu, pertanyaan Inaya Wahid menemukan relevansinya. Sebab, meskipun dalam sejarahnya perempuan bekerja di Indonesia adalah sesuatu yang biasa, tetapi sejarah bukanlah benda statis. Ia merupakan ruang terbuka yang bisa diisi dengan berbagai narasi. Kuat dan lemahnya sejarah perempuan bekerja di masa depan bergantung bagaimana peran dan narasi perempuan didengungkan.

Dengan keadaan seperti ini, Nani Zulminarni dengan mengutip laporan Global Gender Gap pada 2020 menyebut bahwa dibutuhkan setidaknya 257 tahun untuk mencapai kesetaraan partisipasi dan kesempatan ekonomi perempuan dengan laki-laki. Sebab, perempuan usia 25-34 tahun, 25% lebih berpeluang untuk hidup dalam kemiskinan ekstrem, dan Kesenjangan gender partisipasi dalam ketenaga kerjaan.

Savic Ali menyoroti menguatnya narasi tentang tempat terbaik perempuan berada di rumah tidak tidak bisa dilepaskan dari banyak kelompok ultrakonservatif di dunia maya. Menurutnya, meski kelompok ultrakonservatif ini tidak mempromosikan kekerasan, tetapi memiliki pandangan yang lebih puritan tentang perempuan dan secara aktif menyuarakan gagasannya via portal media atau website, medis sosial, dan youtube. Oleh karenya, menurut Savic Ali, perlu secara aktif untuk mengkampanyekan kembali ruang aman di berbagai platform media digital.
Menyambung apa yang telah dipaparkan oleh Savic Ali, Zukhrufah DA mengatakan, setidaknya pernah ada tiga kampanye global yang digagas oleh dan dari perempuan yang terbukti berhasil, dan dilakukan via online, di antaranya adalah #ChallengeAccepted, #WomenSupportingWomen, #HeForShe, #AutoCompleteTruth, dan #WomenShould. Sehingga kampanye #MuslimahBekerja bisa dimaksimalkan melalui platform media.

Sementara itu, Mutiara Anissa, seorang Biomedical Scientist, menyebut bahwa support system menjadi pondasi penting dalam mendukung perempuan bekerja. Potensi perempuan, Mutiara Anissa, tidak kalah dari laki-laki apabila diberi kesempatan. Dengan menunjukkan kepemimpinan perempuan dalam mengatasi dan mengendalikan pandemi, Mutiara Anissa membalikkan asumsi negatif terhadap kemampuan perempuan.

Kegiatan webinar yang dilakukan secara daring ini telah menjaring 259 pendaftar dan diikuti oleh 173 peserta dari beragam latar belakang. NA[]

Seri 11 IWD 2021: Menengok Kembali Perempuan Kampungku Bekerja

Seri 11 IWD 2021 / Rumah KitaB / Muslimah Bekerja

Menengok Kembali Perempuan Kampungku Bekerja

Oleh: Mustika Al Adawiyah  

Menjelang Hari Perempuan Internasional, di Rumah Kitab kami membahas isu yang akan diangkat sebagai tema. Choose to Challenge sebagai tema umum HPI ini kemudian kami  fokuskan membahas tentang “Merayakan Ragam Pekerjaan Perempuan”. Untuk itu semua staf diminta berbagi cerita tentang “pekerjaan” perempuan yang kita amati di lingkungan kita sendiri. Buat saya rasanya aneh, sebab perempuan di kampung saya, perempuan di sekitar saya, memang perempuan yang bekerja. Terlepas dari ada atau tidak ada pendidikan, perempuan di kampung saya adalah pekerja, bahkan dapat dikatakan pekerja keras. Tapi saya baru menyadari betapa ragamnya pekerjaan-pekerjaan kaum perempuan di  kampung asal saya di Garut Selatan.

Saya lahir dari sebuah keluarga Sunda di wilayah Selatan Garut.  Bagi “urang Sunda”, perempuan itu memang harus bekerja!. Ada nyanyian sewaktu kecil yang mengajarkan bahwa bekerja itu memang kewajiban bagi perempuan. “Kawajiban awewe, kudu daek digawe” yang artinya kira-kira “ Kewajiban perempuan harus mau bekerja”. Tidak ada penjelasan dalam lagu itu pekerjaan apa yang dimaksud, namun dalam pemahaman saya, itu menunjuk kepada pekerjaan mengurus rumah tangga yang dianggap sebagai pekerjaan utama/ kewajiban utama  perempuan.

Namun di kampung saya, perempuan itu bekerja untuk mencari nafkah selain mengurus rumah tangganya. Secara geografis wilayah tempat saya tinggal  merupakan perpaduan antara pesisir di mana pendudukan kebanyakan menjadi nelayan atau buruh nelayan, sementara di sebelah utara merupakan wilayah pegunungan dan dataran tinggi, kebanyaakan penduduknya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan.

Wilayah Garut, sebagaimana umumnya wilayah Priangan Timur, di kenal sebagai wilayah yang sangat subur. Mungkin karena dikepung gunung-gunung yang aktif dan beberapa kali dalam sejarahnya pernah meletus, tanah di wilayah Garut dikenal sangat subur. Beberapa buah-buahan seperti Jeruk Garut dan buah arben yang daunnya digunakan untuk ulat sutra pernah menjadi buah primadona sebelum diserbu buah-buahan dari luar.

Meskipun subur di banyak wilayah, seperti di kampung saya itu (Kabupaten Garut Selatan),  kebanyakan penduduknya tergolong menengah ke bawah.  Pekerjaan utama para warganya bertani dan melaut. Hanya sebagian kecil yang  menjadi pegawai, atau merantau ke kota dengan berbagai keahliannya. Di kota  kota besar di Indonesia, lelaki dari Garut dikenal keahliannya sebagai tukang pangkas rambut, Asgar- Asli Garut.

Karakter orang Sunda sering disebut someah, atau ramah. Tapi  karakter dari wilayah Selatan sering dianggap keras, ini terlihat dari cara bicaranya yang tidak sehalus orang Ciajuran  di wilayah  Barat  Jawa Barat yang dianggap lebih halus. Hal yang pasti watak keras itu dapat dilihat dari cara mereka gigih dalam bekerja, lelaki maupun  perempuan.

Sektor pertanian sebagai petani atau buruh tani tampaknya tidak lagi  menjadi pilihan anak muda dari wilayah Garut Selatan. Pekerjaan itu biasanya dilakukan oleh mereka yang telah selesai merantau dan kembali ke kampung halaman. Setelah tamat SMP atau SMA, umumnya perempuan-perempuan dari  kampung saya  merantau ke kota  menjadi “dongsih”.  Saya tidak tahu apa arti sebenarnya, konon itu singkatan dari “kadongdong beresih” buah kedondong yang bersih.  Tapi ada juga yang mengartikan “ngendong bersih”. Hal itu menunjuk kepada pembayaran upah bersih di mana pekerja (biasanya pekerjaan Asisten Rumah Tangga atau buruh) tidak lagi mengeluarkan biaya untuk penginapan/ ngontrak atau makan, karena mereka telah mendapatkan tempat tinggal untuk menginapnya (ngendong) dan untuk biaya makannya, sehingga upah yang diterima bersifat netto alias “bersih”.

Namun saat ini dongsih juga diartikan sebagai sebutan untuk para perempuan muda yang bekerja ke kota Garut, Bandung dan Jakarta sebagai buruh pabrik atau menjadi ART (Asisten Rumah Tangga). Sementara itu jenis pekerjaan pabrikan yang banyak diminati adalah pabrik makanan seperti dodol Garut, pabrik garmen, dan pabrik bulu mata palsu dan wig untuk ekspor ke Korea. Hanya sedikit yang mendapatkan kesempatan melanjutkan kuliah dan bekerja berdasarkan keahliannya. Namun sejak lama juga banyak perempuan yang bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW) terutama ke negara-negara Arab.

Degan demikian, sejak kecil saya tidak pernah mendengar larangan terhadap perempuan untuk bekerja di luar rumah.  Sebaliknya saya sering mendengar Mama Ajengan (sebuatan untuk kyai dalam kebiasaan orang Sunda) mendorong untuk bekerja di mana saja yang penting halal dan tetap menjalankan kewajiban agama. Dengan bekerja, demikian sering saya dengar, kita jadi punya kesempatan bersedekah. Kalau Lebaran tiba, dan para perantau pulang, banyak sekali kegiatan-kegiatan untuk bersedekah seperti membangun madrasah, mesjid atau untuk membangun rumah untuk orang tua yang tetap tinggal di kampung. Jadi kalau sekarang ada ujaran-ujaran yang meminta perempuan sebaiknya tinggal tidak bekerja dan di rumah, buat saya itu seperti melawan kewajibannya yang selalu kita dengar sebagai nasihat dari orang tua.

Namun begitu saya juga melihat yang menjadi masalah adalah cara orang menghargai tenaga kerja perempuan dan lelaki yang dibeda-bedakan. Upah yang didapatkan buruh lelaki dan perempuan terutama dalam dunia pertanian dan melaut itu berbeda. Baik di pertanian maupun di laut upah perempuan selalu lebih rendah. Upah perempuan lebih kecil upahnya dengan alasan bahwa beban kerja laki-laki lebih berat daripada perempuan. Selisih upahnya lumayan jauh sekitar Rp15.000 sampai Rp20.000 untuk waktu kerja 6 – 7 jam kerja, Perempuan dibayar Rp 35.000,- laki-laki Rp 50.000,-. Sampai Rp60.000,- selain itu ada anggapan perempuan selalu mendapatkan nafkah dari suaminya sehingga status mereka dalam bekerja dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Padahal banyak perempuan  apapun status perkawinanya merupakan pencari nafkah utama. Dalam beberapa kasus, mereka merupakan kepala keluarga.

Persoalan lain, terutama bagi keluarga yang istrinya merantau jauh seperti menjadi TKW, tidak ada pendidikan bagi suami di kampung bagaimana menjadi suami dan bapak yang baik, setia dan menunjang perjuangan istrinya di rantau. Hal yang sering menjadi cerita umum adalah suaminya nyandung (poligami), uang dari istri dihambur-hamburkan  untuk membeli barang-barang kosnumtif dan tidak ada budaya menabung dan cara pengelolaan uang hasil kerja di rantau.

Namun ada juga yang berhasil dipakai untuk menyekolahkan anak, membangun rumah dan membeli sawah/ kebun untuk bekal perempuan sendiri di masa tuanya. Ketika mereka kembali ke kampung mereka tetap bekerja baik mengurus rumah tangganya, mengurus keluarganya sambil tetap mencari nafkah.  Sementara anak-anaknya melanjutkan kariernya di kota dan kembali sesekali ke kampungnya untuk menikmati jerih payahnya mereka dan orang tuanya bekerja.  Perempuan di kampung saya memang perempuan pekerja!

 

Merebut Tafsir: Membaca pelemahan Perempuan Jawa, Minang dan Indonesia Timur paska Kolonial.

Oleh Lies Marcoes

Paska Kolonial, perempuan Jawa secara sosial politik diuntungkan oleh infrastruktur politik jajahan yang menyediakan kemungkinan-kemungkinan bagi mereka untuk berkembang, Perempuan Minang adalah satu kelompok yang memberi sumbangan besar bagi Indonesia paska Kemerdekaan dalam mengisi bidang-bidang yang menunjukkan kecerdasan mereka, jurnalistik, diplomasi, ilmu pengetahuan, dan organisasi. Sementara perempuan dari Indonesia Timur, mereka mendapatkan peluang itu berkat orgaisasi-organisasi Gereja (Katolik atau Protestan) dan Ormas Islam utamanya Muhammadiyah dan organisasi Islam lokal yang berafiliasi ke NU dalam menyediakan infrastruktur pendidikan, dan jaringannya sehingga mereka bisa sekolah ke Jawa dan pulang menjadi pelopor perubahan.

Namun politik bumi hangus yang dikembangkan oleh politik Orde Baru paska peristiwa 65, menghancurkan hampir satu generasi perempuan terdidik di Jawa, Indonesia Timur dan Minang. Guru-guru perempuan yang begitu berharga nilainya bagi pembangunan di wilayah wilyah kepulauan Indonesia Timur, digulung oleh politik kebencian terhadap ideologi terlarang (PKI Gerwani) dan menghukum mereka tanpa ampun. Di Jawa pemulihan luka dan kehancuran satu generasi perempuan terdidik yang tergabung dalam organisasoi Gerwani bisa segera teratasi dengan politik pembangunan untuk perempuan. Universitas-universitas dengan cepat menutup kesenjangan melalui berbagai proyek pembangunan ekonomi meskipun perempuan tak terkalkulasi kecuali sebagai istri dan dalam organisasi sejenis PKK.

Namun ini tidak terjadi di wilayah Timur. Pembangunan bergerak super lambat di sana. Upaya untuk pulih tak mampu membangkitkan ketertinggalan yang disebabkan hilangnya guru-guru cerdas perempuan terdidik dari wilayah mereka.

Sementara untuk Perempuan Minang. Persoalan lebih berat lagi. Politik Orde Baru Paska PRRI menghancurkan modal sosial yang luar biasa kuat yaitu budaya berpikir dan debat serta berorgaanisasi. Politik Orde Baru mematikan inti kekuatan perempuan yaitu kemandirian, berubah menjadi perempuan yang kehilangan kemandiriannya, mereka tergantung kepada suaminya atau sebagai istri. Seluruh proyek bantuan Orde Baru tak memandang peran perempuan kecuali untuk PKK, Dharma Wanita. Pada waktu yang bersamaan, para intelektual lari ke Jakarta karena hanya dengan cara itu mereka bisa bertarung gagasan, sementara di lokal, tak terjadi hal serupa, yang ada bertarung posisi sebagai pegawai negeri, satu-satunya sumber ekonomi yang masih memadai untuk bisa hidup layak neski memasung kreatifitas berpikir.

Kekuatan budaya yang lahir dari pemikiran lokal “alam takambang jadi guru” tak berhasil melahirkan gagasan-gagasan baru karena hukum adat mengalami stagnasi. Perguruan-perguruan Islam melemah dengan sendirinya ketika organisasi Islam pun tunduk pada politik Islam Orde Baru yang diserahkan otoritasnya kepada MUI.
Jadi jika sekarang orang bertanya mengapa perempuan begitu gandrung kepada atribut-atribut keagamaan atau pandangan umum menjadi semakin fundamentalis, tak perlu hanya menunjuk pada makin meluasnya gagasan fundamentalisme agama, tapi kita juga perlu bertanya pembangunan infrastruktur perubahan sosial yan seperti apa yang mampu membangun otonomi perempuan yang kini masih ada? #SelamatHariPerempuanInternasional

Image source: https://nasional.sindonews.com/read/1299203/15/gerakan-perempuan-indonesia-dari-masa-ke-masa-1524130561

Perempuan Bekerja Dulu dan Kini

UNTUK memperingati Hari Perempuan Sedunia (HPS), Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) bekerjasama dengan UN Women menggelar HeForShe Run pada 4 Maret 2018. Direktur Eksekutif IBCWE Maya Juwita dalam siaran pers mengatakan, kegiatan lari dipilih karena identik dengan semangat menumbuhkan sportivitas di dunia olahraga.

“Olahraga lari yang kini populer dan bersifat lintas gender serta usia dipandang dapat menjadi medium untuk menunjukkan dan membentuk sportivitas di kalangan peserta baik laki-laki dan perempuan untuk mencapai garis lintas akhir (finish),” kata Maya.

Lomba lari menjadi simbol dan sarana menumbuhkan sportivitas antara lelaki dan perempuan. Kegiatan ini juga diharapkan bisa meningkatkan kepedulian masyarakat, khususnya laki-laki, untuk ikut berkontribusi dalam memperkecil kesenjangan gender dan mencapai kesetaraan gender di dunia kerja serta pemberdayaan ekonomi perempuan.

“Kesetaraan gender akan tercapai apabila perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan, kemampuan, serta pilihan-pilihan yang setara dalam keseharian mereka. Hal ini membutuhkan partisipasi sportif dari kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan,” kata Anne Patricia Sutanto, ketua pelaksana HeForShe Run sekaligus anggota Dewan Pembina IBCWE.

IBCWE adalah koalisi perusahaan yang peduli kesetaraan gender di tempat kerja dan membantu pemberdayaan ekonomi perempuan. Tiap perusahaan yang menjadi anggota IBCWE akan menjalani asesmen untuk mengetahui tingkat kesetaraan gender di perusahaan tersebut. Setelah asesmen dan audit, IBCWE bersama perusahaan terkait akan membuat road map dan action plan.

“Kalau mau menaikkan tingkat kesetaraan gender di satu perusahaan, perlu ada kebijakan-kebijakan yang menciptakan kondisi, baik bagi pekerja laki-laki maupun perempuan, berkontribusi secara setara,” kata Suci Haryati, communications specialist IBCWE.

Dalam misi mendukung kalangan bisnis agar berperan optimal menciptakan kesetaran gender di dunia kerja dan pemberdayaan ekonomi perempuan, IBCWE berupaya mempersuasi pemimpin perusahaan untuk menerapkan kebijakan yang adil gender. Hal ini diwujudkan antara lain melalui upaya mengatasi kesenjangan upah antar-gender, memajukan perempuan dalam kepemimpinan dan posisi badan kelola, meningkatkan partisipasi pekerja perempuan, investasi untuk kondisi kerja ramah perempuan (misalnya, cuti haid, ruang laktasi, parental leave), dan memastikan para pemimpin dan manajer menerapkan kesetaraan gender.

Upaya di Masa Lalu

Upaya untuk memenuhi hak pekerja perempuan sudah berjalan sejak Indonesia belum merdeka. Istri Sedar, organisasi perempuan yang diprakarsai Suwarni Pringgodigdo, mengupayakan kesejahteraan buruh pada pertemuannya, Juli 1932. Pertemuan itu meski bahasan utamanya mengenai pendeklarasian bentuk gerakan menjadi gerakan politik, tapi juga membahas masalah perburuhan. Istri Sedar memutuskan untuk mengkampanyekan kebutuhan perempuan kelas proletar sehingga pihak pemberi kerja dapat menyediakan kondisi kerja yang baik bagi mereka. Imbasnya, para perempuan pekerja memiliki kesempatan menjadi ibu yang baik.

Bukan hanya Istri Sedar, Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII) atau biasa disebut Kongres Perempuan juga menaruh perhatian pada nasib pekerja perempuan. Saat mendapat kabar dari Dr. De Kat Angelino, direktur Dinas Pendidikan dan Pengajaran, bahwa banyak pabrik batik di Lasem melakukan pelanggaran hak-hak buruh, Badan Federasi PPII langsung mengutus Sujatin dan Nyonya Hardjodiningrat mengunjungi perusahaan batik di Lasem pada 1930.

“Para pekerja sempat mengadu pada Sujatin karena mendapat perlakuan sewenang-wenang dari majikan. Hasil kunjungan Sujatin ke Lasem itu langsung dia kemukakan dalam Rapat Umum PPII,” tulis Hanna Rambe dalam biografi Sujatin, Mencari Makna Hidupku.

Ketika Kongres Perempuan melakukan pertemuan pada Juli 1935, organisasi itu membentuk Komite Investigasi untuk mengurusi masalah perburuhan. Upaya memperjuangkan hak-hak pekerja perempuan terus berlanjut ketika Indonesia sudah merdeka. Dalam kongres di Bandung tahun 1952, Kongres Perempuan antara lain memutuskan meneliti besaran gaji yang diterima perempuan pegawai negeri sipil dan buruh. Selain itu, Kongres Perempuan mengorganisasi pengasuhan anak bagi ibu yang bekerja, dan mendirikan kantor yang berhubungan dengan masalah buruh, kesehatan, pendidikan, dan perkawinan. Untuk merealisasikan putusan tersebut, diusulkan mendirikan Yayasan Happy Childhood, namun pelaksanaannya tak diketahui.

Sementara itu, tarik-ulur tentang cuti haid juga sudah terjadi di masa lalu. Kementerian Perburuhan dalam laporan Repelita 1956-1960, menolak diberlakukannya cuti haid. Alasannya, seperti dikutip Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, diberikannya hak cuti haid pada perempuan membuat perusahaan enggan mempekerjakan pegawai perempuan. Padahal, aturan tentang pemberian cuti haid sudah dikeluarkan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1951 yang mengatur jatah cuti haid sebanyak dua hari dan pemberian gaji penuh terhadap karyawan yang mengambil cuti ini.

Meski sudah dibahas sejak lama, tempat kerja yang mengakomodasi kebutuhan ibu bekerja, cuti haid untuk perempuan, dan kadilan remunerasi bagi laki-laki maupun perempuan masih terus diperjuangkan sampai sekarang, antara lain oleh IBCWE.

“Tantangannya di Indonesia adalah mengajak para pemimpin perusahaan untuk membangun budaya kerja yang kondusif untuk terwujudnya kesetaraan gender di dunia kerja di tengah masyarakat yang masih patriarkis,” kata Suci.

Sumber: http://historia.id/modern/perempuan-bekerja-dulu-dan-kini