GISEL dan HRS
Oleh Jamaluddin Mohammad
Saya tidak ingin membandingkan kedua orang ini. Keduanya tidak layak dan tidak patut dibanding-bandingkan, tidak apple to apple. Keduanya memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing. Namun, keduanya pernah dijadikan pemberitaan besar terkait [fitnah] skandal seks. Nah, inilah yang akan saya bicarakan. Mengapa seksualitas selalu menarik diperbincangkan dan jika menyangkut tokoh publik dipastikan akan menjadi berita besar — di negeri ini hampir sama hebohnya dengan berita politik!
Sebagai sebuah dunia yang digerakkan dan dikuasai sistem ekonomi kapitalis, seksualitas adalah sebuah industri. Lyotard, seorang filsuf post-modernisme, menyebut logika ekonomi kapitalisme sebagai logika ekonomi libido [libidinal economy], yaitu sebuah sistem ekonomi yang menjadikan segala bentuk potensi energi libido dan hasrat sebagai komoditi. Setiap potensi dorongan hasrat dan energi libido harus dijadikan sebagai alat tukar (Yasraf, 2010)
Korban pertama dari sistem ekonomi kapitalistik yang eksploitatif ini adalah perempuan. Di dalam budaya kapitalisme, tubuh perempuan dieksploitasi, baik nilai gunanya (pekerja seks, pramusaji, pramugari, dll), nilai tukarnya (modelling, peraga, hostess, dll), juga nilai tandanya (pornografi, erotic art, erotic video, erotic magazine, porn site, porn film, dll).
Karena itu, tak aneh ketika berita seks yang menimpa Gisel ataupun Virzha yang menyeret HRS begitu heboh dan beranak pinak dalam pikiran dan imajinasi orang. Di era digital setiap orang berusaha berusaha mereproduksi tanpa batas.
Dampak buruk dari pemberitaan ini adalah munculnya bibit-bibit fitnah di tengah-tengah masyarakat. Bibit-bibit fitnah itu kemudian tumbuh besar menjadi tuduhan-tuduhan perzinahan.
Dalam Islam, setiap bentuk tuduhan harus disertai saksi dan bukti. Seseorang yang menuduh orang lain berzinah harus disertai 4 orang saksi yang betul-betul melihat perbuatan tersebut dengan mata kepala sendiri, bukan berdasarkan informasi orang lain apalagi bersumber dari gosip/kasak kusuk/desas-desus yang berseliweran di media. Video bukanlah saksi melainkan alat bukti yang harus diuji keasliannya oleh para pakar di bidangnya.
Mari kita renungkan surat An-Nur 4-5 di bawah ini:
“Dan orang-orang yang menuduh (zina) wanita-wanita yang baik, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka delapan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka adalah orang-orang fasik. Kecuali setelah itu orang-orang tersebut bertaubat dan mau memperbaiki kesalahannya. Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Konon, ayat itu turun berkaitan dengan kebiasaan buruk masyarakat Arab yang mudah sekali menjatuhkan tuduhan zina kepada laki-laki atau perempuan yang duduk berdua meskipun sebetulnya hanya sekadar ngobrol atau berkenalan. Mereka juga kerap kali menuduh istrinya berzina jika anak yang dilahirkan tidak mirip suaminya.
Ayat ini memberikan semacam peringatan kepada siapapun untuk tidak gampang menuduh zina kepada orang lain. Al-Quran memberikan syarat-syarat tertentu, seperti syarat harus menghadirkan empat orang saksi yang keempat-empatnya melihat secara kasat mata perbuatan tersebut. Apabila tidak sanggup menghadirkan empat orang saksi, maka harus dihukum cambuk sebanyak 80 kali.
Menurut salah satu riwayat, asbab an-nuzul ayat ini berkaitan dengan Hilal bin Umayyah, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang mengadu kepada Nabi SAW bahwa istrinya berselingkuh. Nabi tidak langsung percaya. Sebelumnya, Nabi meng-cross check kebenaran tuduhan tersebut. Kemudian turunlah Jibril membawa ayat ini.
Artinya, sebelum mendapatkan kepastian, sebaiknya menahan diri untuk tidak memberikan penilaian dan keputusan. Dan kepastian itu hanya diperoleh dari pengakuan atau kesaksian langsung dari orang yang melihat perbuatan tersebut, bukan dari “keaslian” yang didasarkan pada kemiripan (video asli belum tentu orangnya juga aseli).
Ada salah satu kisah menarik yang penting saya ceritakan untuk memungkasi tulisan ini.
Suatu hari ketika Rasulullah SAW sedang duduk-duduk di teras masjid bersama sahabat-sahabatnya, dari pintu masjid muncul seorang perempuan hamil menghampiri Nabi SAW sambil menyodorkan mukanya:
“Wahai Rasulullah SAW, saya telah berzina. Hukumlah saya!”
Raut muka Nabi SAW berubah memerah. Ia palingkan mukanya seolah-olah tak mendengar pengakuan perempuan tersebut.
“Rasulullah, saya khilaf. Janin di perutku adalah hasil perbuatanku,” kata perempuan itu sambil terus mendesak Nabi agar merespon pengakuan dosanya.
“Saya tak bisa menghukum orang yang didalam perutnya ada janin. Pergi dan kembalilah saat kau sudah melahirkan!” ujar Nabi SAW
Setelah melahirkan, perempuan itu datang lagi bersama bayinya.
“Jika saya menghukummu, siapa yang akan menyusui bayimu? Kembalilah setelah anakmu tumbuh besar,” kata Nabi SAW
Setelah anaknya disampih, ia mengajak anaknya menemui Nabi SAW dan tetap meminta untuk dihukum.
“Barangsiapa yang mau mengadopsi anak ini, ia akan bersama saya, perempuan dan anak ini di surga nanti,” kata Nabi SAW kepada sahabat-sahabatnya yang hadir di tempat itu. Para sahabat berebut mengadopsi anak itu setelah itu Nabi SAW menghukum perempuan itu.
Berdasarkan kisah ini saya berkeyakinan bahwa Nabi SAW sebetulnya tak mau menghukum perempuan tersebut. Dari ekspresi dan sikap Nabi SAW yang pura-pura tak mendengar pengakuan perempuan tersebut, menunjukkan bahwa, kalau saja tidak didesak oleh keinginan dan kesadaran sendiri, Nabi SAW tak mungkin menghukumnya. Buktinya, tidak ada riwayat yang mengabarkan bahwa Nabi SAW bertanya atau mencari tahu dengan siapa perempuan itu berselingkuh. Bahkan, sejahrawan menyebut peristiwa penghukuman ini hanya sekali dalam seumur hidup Nabi SAW.
Karena itu, para ulama menganjurkan untuk merahasiakan segala kekhilafan yang pernah kita lakukan dengan tidak menceritakan kepada siapapun kecuali Allah SWT, bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat.
Wallahu a’lam bi sawab.