Strategi Menegosiasikan Pekerjaan yang Tersembunyi

Laporan serial diskusi Muslimah Bekerja: Kerja-Kerja yang Tak Terlihat di Sekitar Kita

Sabtu, 29 Januari 2022, Rumah KitaB kembali menggelar serial diskusi Muslimah Bekerja dengan tema “Kerja-Kerja yang Tak Terlihat di Sekitar Kita”. Dalam diskus serial ke tiga untuk wilayah Jakarta ini hadir narasumber Sagita Ajeng (Single Moms Indonesia) yang hadir secara online, dan tiga nara sumber offline  Dr. Nur Rofiah (Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ)  dan pendiri “Ngaji Keadilan Gender Islam”, Malahayati (Fotografer Dokumenter dan co-founder Women Photograph Indonesia), dan Aditya Septiansyah (Penggerak Isu Kaum Muda). Acara siang itu dipandu Nurhayati Aida dari Rumah KitaB.

Kadang saya bingung menjelaskan apa pekerjaan saya kepada kerabat” demikian Aditya menuturkan megingat profesinya adalah relawan kampanye untuk kesehatan reproduksi remaja. Tak sedikit yang menganggap ia aktivis partai, “Iya..disangkanya aku tukang kampanye buat partai” ujarnya diiringi  tawa peserta ketika menjelaskan betapa tak mudahnya bekerja untuk jenis pekerjaan yang tak kentara.

Jika pada Adit pekerjaannya tak dikenali, pada dua nara sumber lainnya kesulitan itu disebabkan stereotypegender.  Sebagai single mom atau sebagai pekerja yang tak biasa ditekuni perempuan, Ajeng dan Malahayati harus bekerja ekstra untuk membuktikan bahwa mereka layak dipertimbangkan sebagai pekerja yang sesuai dengan keahliannya.

Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid (online dan offline) dengan format talkshow ini dihadiri 97 peserta (35 di antaranya melalui Zoom). Hal yang menarik, dalam diskusi kali ini bukan hanya komunitas muslim yang hadir tetapi juga beberapa mahasiswa dari perguruan tinggi Katolik dan Kristen. Mereka tertarik dan ikut menjadi penanggap. Salah satu dari mereka, Mery mengatakan  “Problem serupa ini dialami oleh perempuan di lingkungan agama saya, Katolik”.

Hal lain yang berbeda dari dua diskusi sebelumnya, acara kali ini dihadiri 19 orang peserta laki-laki. Salah satunya, Ustaz Iman dari Pesantren Asy-Syaqafah menyatakan bahwa ia sangat memahami betapa sulitnya perempuan bekerja, sebagaimana di alami istrinya, dan mereka niscaya akan sulit jika lelaki tidak peduli dan tidak bersedia mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Acara ini dengan sengaja memilih sebuah Rumah Pesta “Rumah Putih” guna memenuhi standar protokol kesehatan sesuai kebijakan pemerintah mengingat di Jakarta kasus Covid 19 dinyatakan naik kembali.

Selain melalui zoom, acara ini ditayangkan melalui YouTube dan Instagram. Seperti di Bandung, kegiatan diskusi ini bekerja sama dengan Komuji (Komunitas Musisi Mengaji) sebuah komunitas para musisi dan pekerja kreatif sebagai konter wacana terhadap kelompok anti pluralisme.

Dalam pengantarnya Lies Marcoes yang kemudian digarisbawahi moderator Nurhayati Aida, konsep kerja merupakan konstruksi sosial yang memiliki dimensi gender yang dikonstruksi oleh pandangan keagamaan atau norma atau bahkan prasangka. Mengawali diskusi, Ajeng menjelaskan bahwa sangatlah penting untuk menegosiasikan peran atau posisinya sebagai seorang single mom baik di dalam rumah (keluarga) maupun di tempat kerja atau lingkup masyarakat. Dengan berbagai tanggungan sebagai ibu tunggal, perempuan membutuhkan proses healing atau move on dari kehidupan sebelumnya yang dianggap “normal”. Cara untuk bernegosiasi itu antara lain mengasah kemampuan diri sebagai Ibu tunggal, sementara kepada pihak yang lain ia berharap untuk menghindari diskriminasi atau judgment. Hal lain, dan ini disepakati oleh tiga nara sumber lainnya adalah melakukan keseimbangan khususnya dalam menjaga emosi. Bagi Malahayati, sebagai fotografer  yang juga ibu dari satu orang anak, pekerjaan itu memiliki dimensi gender,  dan fotografer sering dikaitkan dengan pekerjaan laki-laki. Menurutnya hal itu karena industri itu memiliki kesan maskulin dan material kamera sendiri cukup berat. Namun bagi Mala, dunia fotografi adalah dunia kreativitas  yang menjadi medium untuk menyampaikan pendapat akan hal-hal yang terjadi di sekitar kita, oleh karenanya jendela yang dibuka melalui  mata dan kamera perempuan sangat penting untuk menghadirkan realitas  yang tidak bias.

Terakhir tantangan, para nara sumber menjelaskan bahwa adanya stereotype gender, stigma dan subordinasi terhadap perempuan merupakan tantangan terberat. Ini antara lain sering dikaitkan dengan peran reproduksi perempuan yang dianggap menghambat “ketika hamil, atau sedang masa menyusui misalnya, kita sering dianggap lemah atau tidak performed” demikian Malahayati menguraikan hambatan yang dihadapinya. Atas dasar itu para fotografer perempuan kemudian mendirikan wadah “Women Photograph Indonesia” guna memberi ruang bagi para fotografer perempuan mengekspresikan diri mereka  secara bebas  dalam  menyampaikan isi kepalanya dengan percaya diri melalui fotografi.

Pengalaman real dari para nara sumber  dan para penanggap itu kemudian ditanggapi oleh Dr. Nur Rofiah sebagai tantangan yang disebabkan oleh kuatnya praktik dan wacana yang menganggap perempuan tidak pernah setara dengan lelaki. Melalui penjelasannya ia mengatakan yang harus dilakukan adalah terpenuhinya keadilan hakiki bagi perempuan dan mereka yang dilemahkan dalam struktur akibat pandangan keagamaan yang tidak adil kepada perempuan. (DO/FZ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.