Perjalanan Pemikiran Ibn Rusyd: Purifikasi Akidah (2/4)
Dunia Islam belahan Barat yang sama sekali tidak terancam oleh perseteruan antaragama dan aliran menjadikan akidah para shahabat mengakar begitu kokoh. Pada waktu itu, larangan mempelajari ilmu kalam semata-mata hanya strategi negara demi memperlihatkan kedigyaan eksistensinya di hadapan negara-negara lain yang sedang tenggelam dalam permasalahan ilmu kalam.
Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai filsuf dinasti Muwahhidin pada akhirnya diminta memberikan konstribusi baru yang mampu membungkam segala bentuk pemikiran yang berkembang di negara-negara lain. Dua karya besarnya, “al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah” dan “Fashl al-Maqâl”, merupakan konstribusi paling nyata terhadap penguasa saat itu.
Dari penamaannya saja, “al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah”, kita bisa melihat betapa kitab tersebut sengaja ditulis untuk menghajar kitab “al-Irsyâd” karangan al-Juwaini yang ketika itu menjadi simbol legitimasi bagi pemikiran Asy’ariyah. Penamaan tersebut mengisyaratkan adanya upaya pelucutan terhadap segala bentuk bid’ah yang dilakukan oleh para ahli kalam (Mutakallimin), sekaligus memberikan format baru bagi akidah yang mesti dipegang oleh masyarakat.
Dengan kitab tersebut Ibn Rusyd berusaha memurnikan akidah Islam dari “bid’ah” para ahli kalam yang selalu mengedepankan apologi tanpa berpijak pada argumentasi demonstratif. Metode yang mereka gunakan dalam membangun akidah Islam, yaitu qiyâs al-ghâ`ib ‘alâ al-syâhid, tidak bisa diaplikasikan untuk memahami “alam” Tuhan. Alam Tuhan yang tak terbatas tidak bisa disamakan dengan alam nyata yang terbatas. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda.
Penyepadanan keduanya berarti menyamakan dua sisi yang berbeda. Penyepadanan hanya bisa dilakukan pada dua hal yang memiliki kesamaan, atau dua hal yang berbeda tapi masih memiliki sisi-sisi kesamaan. Menyepadankan alam Tuhan dengan alam nyata tak ubahnya seperti menyepadankan Tuhan dengan makhluk-Nya. Dengan kata lain, metode tersebut merupakan bumerang dalam memahami akidah Islam itu sendiri; terlebih karena metode semacam itu tidak pernah digunakan oleh para shahabat maupun Nabi.
Dari itu, pengkafiran para ahli kalam terhadap filsafat terkait dengan keabadian alam dan ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partikular (juz`iyyât) merupakan konsekuensi logis dari penggunaan metode yang salah.
Dengan metode tersebut para ahli kalam bahkan melakukan pentakwilan secara membabi buta terhadap ayat-ayat al-Qur`an. Parahnya, mereka justru mempublikasikan pentakwilan tersebut kepada masyarakat, dengan dalih sebagai doktrin agama yang harus dijalankan oleh semua orang.
Mereka mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran dengan mengkafirkan pemikiran yang berseberangan. Muncullah klaim-klaim kebenaran dalam setiap aliran, yang pada tahapan selanjutnya menjadi penyebab timbulnya perpecahan dalam diri umat Islam. Alih-alih membawa perbaikan dalam masyarakat, mereka malah menanam benih-benih perpecahan.
Makna tekstual al-Qur`an lebih mampu dicerna oleh akal, dan lebih dekat dengan argumentasi demonstratif para filsuf, daripada takwil para ahli kalam. Argumentasi demonstratif para filsuf lebih seiring dengan pemahaman al-Qur`an secara tekstual. Apa yang dipahami para sahabat dan al-salaf al-shâlih lebih argumentatif dan lebih dekat dengan teori ilmiyah dari pada pemikiran para ahli kalam. Lebih-lebih dalam mengukuhkan konstruk akidah mereka terkadang melabrak aksioma nalar manusia; seperti pengingkaran kausalitas dan teori atom. Dapat dibayangkan betapa jauh perbedaan antara para ahli kalam dan para filsuf dalam hal metode, terutama menyangkut masalah-masalah ketuhanan (ilâhiyyât).
Para ahli kalam meyakini kaidah-kaidah keimanan, mengakui kebenarannya, kemudian mereka membentuk dalil-dalil rasional untuk menjustifikasinya; sedangkan para filsuf mengkaji permasalahan secara murni, artinya bahwa nalar-nalar mereka sama sekali tidak dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan. Mereka memulai pencarian dengan menunggu sesuatu yang dapat diargumentasikan, melangkah setapak demi setapak hingga mencapai hasil yang kemudian mereka yakini; inilah tujuan filsafat sekaligus pijakan di dalamnya.
Memang tidak mungkin melepaskan diri dari adat, lingkungan dan keyakinan secara paripurna; para filsuf Yunani banyak dipengaruhi oleh agama paganisme, para filsuf Kristen dipengaruhi oleh agama Kristen, dan para filsuf Muslim dipengaruhi oleh Islam, tetapi—bagaimanapun—itulah metode pencarian serta pijakan mereka dalam mengkaji permasalahan sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti argumentatif, sedangkan metode para ahli kalam adalah membangun argumentasi setelah mengimani kaidah-kaidah dasar dalam Islam.
Posisi para ahli kalam seperti seorang “pengacara tulus” yang meyakini kebenaran suatu masalah lalu membelanya, membuat bukti-bukti yang dapat memperkuat apa yang diyakininya. Sementara para filsuf dapat diposisikan seperti seorang “hakim adil” yang kepada mereka diajukan suatu permasalahan. Mereka tidak memberikan pendapat kecuali setelah mendengar alasan-alasan dari para terdakwa, menimbang-nimbangnya secara cermat dan tak berpihak, kemudian memberikan pendapat, dan keluarlah kebijaksanaannya.
Para ahli kalam lebih bersikap membela keyakinannya (akidah), mereka menyerang pendapat-pendapat para musuh, baik dari umat Muslim atau tidak, mereka banyak menyebut pendapat-pendapat yang bertentangan dan membantahnya; sedangkan para filsuf lebih kepada penentuan kebenaran-kebenaran, atau paling tidak apa yang mereka yakini sebagai kebenaran, mereka membuktikannya tanpa banyak masuk dalam penyebutan pendapat-pendapat yang bertentangan untuk kemudian balik menyerangnya.
Tersebab perbedaan metode itulah antara para ahli kalam dan para filsuf, dalam sejarah Islam, kadang terjadi pertentangan, seperti pertentangan antara Ibn Rusyd dan para ahli kalam, dan antara al-Ghazali dan para filsuf.
Pengingkaran Ibn Rusyd terhadap takwil para ahli kalam merupakan bukti nyata adanya pententangan tersebut. Namun perlu diingat, Ibn Rusyd sama sekali tidak menolak penggunaan takwil dalam memahami akidah Islam. Takwil merupakan keharusan yang mesti dilakukan dalam memahami redaksi al-Qur`an. Penggunaan takwil harus didasarkan pada argumentasi demonstratif, tidak seperti takwil para ahli kalam yang kental dengan aroma apologetik. Takwil merupakan salah satu cara dalam menghilangkan perbedaan antara agama dengan filsafat.
Dengan takwil perseteruan akal dengan teks agama akan terselesaikan. Keharusan penggunaan takwil disebabkan oleh karakteristik redaksi teks itu sendiri. Teks agama tidak hanya ditujukan kepada sekelompok orang, akan tetapi kepada segenap lapisan masyarakat; masyarakat awam, kaum intelektual menengah, dan para ulama. Retorika yang digunakan dalam menyampaikan kebenaran adakalanya berupa perumpamaan, apologi, perdebatan, juga adakalanya berupa argumentasi demonstratif.
Maka, apabila terjadi benturan antara teks agama dan kebenaran yang telah ditemukan melalui argumentasi demonstratif, maka teks agama harus ditakwil, sebab pemahaman terhadap teks al-Qur`an harus didahului oleh pemahaman terhadap alam. Apabila pemahaman terhadap alam harus melalui argumentasi demonstratif, maka pemahaman terhadap teks agama harus dilandaskan pula pada pijakan yang sama.
Penggunaan takwil dalam pemikiran Ibn Rusyd mempunyai aturan-aturan tersendiri. Takwil merupakan permasalahan sosial dan keagamaan. Takwil tidak boleh dipublikasikan kepada masyarakat umum. Memahami akidah dalam al-Qur`an secara tekstual lebih bisa diterima masyarakat umum ketimbang menawarkan sebuah takwil. Larangan tersebut disebabkan oleh karakteristik takwil itu sendiri.
Takwil merupakan masalah ijtihâdiyyah yang sangat rentan perbedaan di antara para muawwil (orang yang melakukan takwil). Takwil hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu memahaminya; al-râsikhûn fî al-‘ilm. Mempublikasikan takwil yang berbeda-beda dan bertentangan satu sama lain akan mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat, sekaligus pelecehan terhadap syariat dan kemanusiaan; kiranya inilah faktor pemicu munculnya pengkafiran antaraliran dalam Islam.
Dalam pandangan Ibn Rusyd, ayat-ayat al-Qur`an tak ubahnya seperti alam natural (al-‘âlam al-thabî’îy). Dalam alam natural, apa yang diterima oleh panca indra tidak sepenuhnya berupa kebenaran mutlak; adakalanya tidak seiring dengan pembuktian ilmiyah. Dalam konteks ini, kebenaran yang harus diterima oleh seseorang yang mampu melakukan pembuktian tersebut adalah informasi yang diperoleh melalui argumentasi demonstratif, bukan informasi yang telah diberikan secara langsung oleh panca indra. Sebab informasi yang diberikan panca indera terkadang menyesatkan dan menyeret kita pada sebuah kemungkaran.
Kendati demikian, mempublikasikan informasi yang diperoleh melalui argumentasi demonstratif kepada masyarakat umum merupakan sesuatu yang menyalahi etika intelektual. Masyarakat umum tidak mampu mencerna argumentasi demonstratif dengan baik. Argumentasi demonstratif tidak akan membawa kejelasan bagi mereka, justru sebaliknya akan membawa keragu-raguan.
Ketika informasi yang diberikan membawa keraguan, maka tidak akan ada hal yang dapat dipahami masyarakat umum secara benar. Hilanglah segala bentuk kenyakinan, baik bersifat sederhana maupun terperinci, tersebab ketidakmampuan mereka menerima argumentasi demonstratif dalam memahami al-Qur`an. Tidak berarti setiap apa yang tidak dijelaskan oleh syariat bisa diselidiki untuk kemudian dipublikasikan kepada masyarakat umum.
Setelah menjelaskan etika pelaksanaan takwil, Ibn Rusyd dalam mempurifikasi akidah Islam sangat memperhatikan aturan pentakwilan terhadap ayat-ayat al-Qur`an. Takwil menurut Ibn Rusyd adalah upaya mengeluarkan petunjuk lingual dari dilâlah haqîqiyyah menuju dilâlah majâziyyah. Ini tidak jauh beda dengan takwil dalam aliran Asy’ariyah. Bedanya hanya pada keterkaitan takwil dalam pemikiran Ibn Rusyd dengan argumentasi demonstratif serta pembagian ruang takwil dalam pemikirannya.
Ibn Rusyd membagi ayat-ayat al-Qur`an menjadi ayat-ayat yang menerima takwil dan tidak menerima takwil. Ayat-ayat yang tidak menerima takwil hanya berupa landasan aksiomatik yang akan membuat orang yang mengingkarinya menjadi kafir, misalnya, ayat-ayat yang berbicara tentang keimanan kepada Tuhan, hari akhir dan alam akhirat; ayat-ayat seperti ini tidak menerima takwil. Adapun hal-hal yang terkait dengan perspektif masing-masing pemikir akan keberadaan landasan-landasan tersebut masih bisa ditakwilkan.
Maka, mengkafirkan sebuah pemikiran semata karena perbedaan dalam mentakwilkan ayat-ayat al-Qur`an tidak dibenarkan secara ‘aql dan naql. Tidak ada konsensus umum dalam melakukan takwil, juga tidak ada undang-undang yang menjelaskan secara rinci ayat-ayat yang bisa ditakwil dan tidak.
Pula, pengkafiran suatu aliran terhadap aliran lain, serta pengkafiran para ahli kalam terhadap para filsuf yang mengingkari kebangkitan jasad, sungguh tidak dibenarkan oleh agama, karena hal itu lebih merupakan perbedaan takwil belaka. Dalam konteks ini, secara tidak langsung, Ibn Rusyd telah membuktikan adanya kesatuan hakikat antara agama dan filsafat, sekaligus signifikansi rasionalitas filsafat dalam memahami akidah Islam.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!