Perempuan Baru

oleh Dr. Gaber Asfour*)

QASIM Amien menerbitkan buku “al-Mar`ah al-Jadîdah” tahun 1900, atau tepatnya seratus tahun yang lalu, satu tahun setelah terbitnya buku “Tahrîr al-Mar`ah” yang saling melengkapi dengan buku “al-Mar`ah al-Jadîdah” dalam membentuk sebuah proyek dasar pengembangan kondisi perempuan Arab. Gambaran dasar proyek ini adalah bahwa ia tidak terbatas pada masalah perempuan di satu sisi saja dari pembaharuan budaya, pendidikan misalnya, tidak sekedar mempropagandakan tuntutan-tuntutan sosial partikular yang berkaitan dengan hijab, atau meninjau kembali hak mutlak laki-laki dalam talak, atau menentukan hukum poligami dan lain sebagainya. Akan tetapi semua itu dan yang lainnya dibentuk dalam sebuah perspektif dasar, menyeluruh dan integral untuk proses pembebasan perempuan, baik dalam ranah pemikiran, sosial, ekonomi dan politik. Akar proyek ini berdiri di atas lima prinsip yang tidak akan kehilangan nilai efektivitasnya meskipun telah berlalu satu abad dari masa pembentukannya.

Pertama, bahwa agama Islam—sebagai agama mayoritas—tidak menjadi batu penghalang bagi pembebasan dan kemajuan perempuan, tidak memandang daya pikirnya lebih rendah dari laki-laki, dan tidak menghalanginya dari hak-hak sosial, ekonomi, politik serta budaya, kecuali dalam takwil-takwil jumud atau tafsir-tafsir ekstrim yang mendominasi pada masa-masa keterbelakangan, kemandulan, kekalahan dan keditaktoran.

Kedua, bahwa langkah pertama dalam pembebasan perempuan adalah membuka pintu-pintu pendidikan dan pembudayaan baginya dari sejak kecil, dan itu dengan hal yang dapat menggantikan prioritas taklid dengan prioritas ijtihad di dalam kesadarannya, menggantikan transmisi teks (al-naql)yang tertutup dengan rasionalitas akal yang terbuka, membekukan fanatisme dengan menghidupkan toleransi, menggantikan ketertutupan dan pengisolasian diri dengan kehadiran efektif yang terbuka terhadap dunia kemajuan.

Ketiga, bahwa masalah pembebasan perempuan adalah masalah “peradaban” yang tidak bertentangan dengan kesucian agama-agama samawi atau toleransi nilai-nilai spiritual yang otentik. Secara prioritas ia tetap merupakan masalah peradaban, selama ia masih merupakan syarat pertama dalam perkembangan masyarakat madani atau dalam pencarian karakteristik-karakteristik kemajuannya. Ini berarti bahwa masalah pembebasan perempuan berhubungan dengan seluruh masalah masyarakat madani dan menjadi syarat eksistensinya pada waktu yang sama.

Keempat, bahwa kemajuan perempuan dalam masyarakat madani tidak harus terjadi dengan berpijak pada masa lalu dalam segala hal. Masa lalu terdiri dari masa kejumudan dan keterbelakangan di samping masa kekuatan dan kegemilangan. Masa lalu tidak selamanya relevan, atau secara mutlak, untuk seluruh kondisi yang terus berubah dengan berbagai kerumitan kontemporernya atau syarat-syarat kemodernannya. Yang lebih penting dari pengukuran dengan masa lalu adalah pengukuran dengan masa kini yang bergerak ke depan. Artinya mengukur kemajuan perempuan Arab dengan apa yang telah dicapai oleh perempuan di seluruh negara maju, dengan berpijak pada dasar-dasar kapabilitas masa depan yang diharapkan oleh para pionir perempuan Arab dalam realita khususnya.

Kelima, bahwa pembebasan perempuan tidak terlepas dari pembebasan laki-laki dan merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari pembebasan masyarakat, baik dalam aspek-aspek politik, sosial, ekonomi dan pemikirannya. Karena itu Qasim Amien menekankan bahwa keterbelakangan perempuan adalah akar keterbelakangan masyarakat secara keseluruhan, keterbudakan sosialnya termasuk keterbudakan laki-laki, kelemahan politiknya dikarenakan perbudakan laki-laki melalui media pemerintahan yang berkuasa, dan bahwa ketika perempuan menikmati kemerdekaan pribadinya maka laki-laki pun akan menikmati kemerdekaan politiknya; kedua hal ini saling berhubungan.

Sampai sekarang prinsip-prinsip tersebut tidak kehilangan nilai kebenarannya dan layak untuk direnungkan kembali sebagai prinsip-prinsip dinamis yang harus ditekankan saat ini ketika burung gagak kegelapan berusaha mengembalikan perempuan ke masa-masa Harem dan kekangan-kekangan kelaliman sosial, gender dan pemikiran. Selain itu prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip-prinsip yang dapat kita jadikan sebagai titik tolak menuju langkah selanjutnya di atas jalan kemajuan bagi gerakan pembebasan perempuan Arab. Karena itu kita tidak melihat kembali prinsip-prinsip tersebut sebagai dasar yang perlu diikuti tanpa direnungkan, namun kita melihatnya kembali untuk mengulang pembacaan terhadap proyek Qasim Amien dalam kaitannya dengan zamannya dan dari perspektif zaman kita dan urutan prioritas-prioritas zaman yang kita jalani. Bukan agar kita berhenti pada apa yang telah dicapainya semenjak seratus tahun lalu, namun agar kita dapat memulai dari apa yang dicapainya itu dan dari apa yang telah dicapai oleh gerakan pembebasan perempuan setelahnya. Hal itu perlu kita lakukan guna melampaui satu abad penuh yang telah mewujudkan lebih dari apa yang diharapkan oleh Qasim Amien dan melewati batas khayalannya, baik dalam tataran positif maupun negatif secara bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa satu abad yang telah dibuka buku “Tahrîr al-Mar`ah” benar-benar telah berlalu dan telah masuk dalam putaran masa lalu, meninggalkan keadaanya—dalam sejarah—untuk abad baru, abad yang menjanjikan dengan syarat-syarat perubahan dan hubungan-hubungan yang berbeda, khususnya setelah planet bumi kita berubah menjadi sebuah desa kosmos, di mana tidak seorang pun mampu menyembunyikan diri di dalamnya, atau melangkah lamban dalam gerakan yang sangat cepat. Keadaan ini menuntut adanya sebuah pembacaan ulang terhadap segala sesuatu, berangkat dari prinsip-prinsip proyek Qasim Amien, dalam pembebasan perempuan, sebagai salah satu titik permulaan bukan akhir. Dengan demikian, peletakan prinsip-prinsip proyek tersebut dalam ranah analisis, studi dan kritik, dalam muktamar tersebut, adalah masalah yang tidak kalah penting dari masalah proyek-proyek selanjutnya.

Proyek Qasim Amien adalah sebuah kesimpulan awal dan tahta pemikiran yang sedang naik bagi seluruh upaya-upaya pembaharuan yang telah mendahuluinya, yang dari sejak pertengahan kedua dari abad kesembilan belas muncul upaya-upaya yang secara berkesinambungan telah ikut andil di dalamnya, di samping tokoh-tokoh seperti Rifa’at al-Thahthawi di Mesir, Boutros al-Bustani di Lebanon, para pioner sekaliber Aisyah al-Taimuriyah, Zainab Fawaz, Hindun Naufal, Labibah Hasyim dan tokoh-tokoh perempuan selain mereka. Dalam kapasitas yang sama, proyek Qasim Amien tidak lain adalah petanda mutlak dimulainya abad baru capaian-capaian perempuan baru yang tidak pernah berhenti menunjukkan eksistensinya dan membela hak-haknya sepanjang abad dua puluh yang akan berakhir setelah dua bulan lagi. Bukanlah sebuah kebetulan jika Universitas Mesir berdiri setelah sembilah tahun saja dari masa terbitnya buku “Tahrîr al Mar`ah” dan delapan tahun dari masa terbitnya buku “al-Mar`ah al-Jadîdah”. Bukanlah sebuah kebetulan juga jika Huda Sya’rawi meminta kepada Majelis Administrasi Universitas Mesir, pada tahun berikutnya dari masa pendiriannya, agar seorang perempuan dibolehkan memberikan ceramah-ceramah bagi kaum perempuan yang kemudian disepakati oleh Majelis Administrasi Universitas yang turut dirintis oleh Qasim Amien itu. Ini adalah langkah awal universitas untuk membentuk paradigma yang menjanjikan bagi perempuan baru yang segera memberontak terhadap hijab dan melepaskannya dari wajahnya setelah sepuluh tahun saja dari peresmian Universitas Mesir. Dan itu terjadi di tengah-tengah revolusi 1919 yang merupakan sumbangsih awal peran politik perempuan Mesir Arab dalam kehidupan umum sekaligus awal pembebasannya secara sosial, dalam upaya pemberontakannya yang luar biasa yang tidak pernah berhenti sampai saat ini, meskipun menghadapi banyak kesulitan, resiko, bahaya dan tantangan.

Tidak diragukan lagi bahwa berdirinya “perempuan baru” di pintu abad kedua puluh satu, millinium ketiga Masehi, mengharuskannya untuk memikirkan kembali hasil-hasil yang telah dicapainya selama satu abad dan mempertimbangkan rumusan-rumusan masa lalu dan rumusan-rumusan masa kini dalam upaya pembebasannya yang baru, yang memberikan sumbangan positif dalam membentuk pandangan masa depannya dan yang memasukkannya dengan langkah tegar dan kepala yang terangkat ke dalam dunia-dunia abad mendatang dengan impian-impian indahnya.

*) Pemikir, Kritikus sekaligus Ketua Pusat Penerjemahan dan Ketua Komite Kebudayaan di Majelis Nasional Perempuan Mesir

2 replies
  1. DMPK says:

    234581 803638Quite unusual. Is likely to appreciate it for those who add forums or something, website theme . a tones way for your customer to communicate. Nice task.. 367820

    Balas

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.