Menjadi Manusia bi Adab

Oleh: Suriadi (Kader Muda NU)

Al-Insanu Hayawanun nathiq “manusia adalah binatang yang berfikir”. Mengutip pendapat Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya filsafat ilmu, pembeda derajat manusia dan hewan terletak pada seperangkat kerohanian yang diberikan Tuhan berupa akal. Lebih lanjut dijelaskan, pembeda manusia dan hewan terletak pada cara pandangnya terhadap sebuah fenomena di alam semesta. Manusia berfikir nalar dan hewan berfikir insting.

Sebagai contoh, hewan lebih perasa terhadap kondisi gunung yang akan meledak karena hewan berfikir insting. Kendati demikian, hewan tidak akan pernah sampai kepada tahap berfikir nalar, seperti kenapa gunung tersebut mengeluarkan asap, larva, meletus dan lain sebagainya. Sedangkan manusia mampu memikirkan hal demikian, itu di karena kan manusia mampu berfikir nalar, maka dikatakanlah berfikir nalar adalah maqamnya manusia. Dan pada titik berfikir nalar, manusia akan dapat memahami setiap fenomena yang terjadi di alam semesta ini. Sehingga berfikir nalar harus ditarik sebagai alat ukur setiap produk lisan, tulisan, pendengaran, gerakan tangan kaki manusia.

Dengan demikian, teruntuk mengemban amanah sebagai seorang Abullah (hamba Allah) yang fi Ahsani Taqwim (Ciptaan terbaik). Sudah selayaknya disetiap detik yang mencumbu menit, disetiap menit yang memeluk jam, disetiap hari yang menggengam minggu, disetiap bulan yang mengejar tahun. Manusia seharusnya senantiasa berfikir nalar terhadap setiap gerak-gerik, lika-liku kehidupannya, baik itu proses ber-Agama, ber-Tuhan, serta bermasyarakat, juga mengayomi semesta beserta isinya.

Namun jika manusia enggan berfikir maka ia tidak akan sampai pada puncak sebuah pemahaman, inna fi dzaalika la aayatin liqawmin yatafakkarun. Sebuah seruan yang indah dari Tuhan Yang Maha Esa, seolah Tuhan mengisyaratkan, berfikirlah hamba-Ku untuk sampai pada puncak kemanusiaanmu.

Manusia dalam Kaca Mata Islam

Dalam Islam, melalui Al-Qur’an, kita mendapat pengetahuan tentang beberapa istilah yang erat kaitannya dengan manusia. Al-Qur’an menyebut manusia dengan empat istilah : basyar, ins, insan dan nas. Yang di mana perlu tolak ukur akal agar output yang baik senantiasa lahir dari ke empat nya.

Pertama, Basyar. Basyar merupakan pandangan terhadap fisik manusia atau jasadiahnya.  Pandangan Basyar ini berawal dari kisah iblis yang  protes kepada Allah karena menciptakan Adam. Kata Iblis “aku tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari lumpur hitam yang dibentuk” (QS. Al-Hijr : 33).

Untuk apa aku sujud kepada tanah?, kira-kira begitulah pandangan iblis. Iblis tidak memandang hakekat dibalik lumpur itu, iblis tidak melihat kualitas dibalik tanah itu, iblis tidak mencapai inti dari lumpur hitam itu. Ia hanya melihat unsur basyarnya saja, unsur fisik Adam saja.

Dengan demikian, cara pandang ini harus di ubah dengan berfikir. Cara berfikir yang baik harus menjadi guru bagi mata kita, agar kita melihat dengan menggunakan kacamata bi’aynir rahmah, pandangan cinta dan kasih sayang. Dengannya kita tidak lagi melihat manusia hanya pada tampilan luarnya saja. Baik itu agama, suku, ras, daerah, status sosial dan lain sebagainya. Karena, ketika kita masih melihat seseorang dengan pandangan yang tertuju pada kulit luarnya saja, tidak melihat dalamnya, maka kacamata yang kita gunakan dalam melihat sesungguhnya mirip dengan kacamata yang digunakan Iblis saat memandang Adam.

Jika hanya melihat basyarnya, kita tidak akan menemukan hakikat manusia. Coba kita renungkan perkataan ahli hikmah dibawah ini

Ketika Kita telah bersenggama dalam cinta
maka, tidak akan ada lagi pertanyaan
engkau agama apa?
suku apa?
daerah mana?
Kitab apa ?
Buku apa ?
Pasal berapa ?
Ayat berapa ?
Halaman berapa ?
Lembar berapa ?
Sebab cinta telah menyulap bumi kita menjadi permata,
dan tanah liat kita ia bentuk laksana Surga

Kedua, Agar manusia sukses menjadi inni jailun fil-ardhi khalifah maka ia harus sadar akan dirinya yang ins. Ins dalam bahasa Arab artinya jinak. Sehingga perbedaan manusia dengan makhluk lain adalah manusia itu jinak.

Istilah ini berlaku untuk manusia agar mampu menjinakkan segala dorongan buruk yang bercokol di dalam hatinya. Rasulullah Saw berpesan “Kita baru pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu” .

Pesan ini menjadi nasehat juga wasiat bagi kita manusia, agar sadar pada status ins yang melekat di diri kita. Karena jika manusia kalah berperang menaklukkan dorongan buruk, akan mendapatkan balasan yang kurang baik di semesta berikutnya. Pun demkian, jika menang, akan di uji lagi dengan sesuatu yang lebih berat. Olehnya itu, ins menjadi salah satu garapan akal manusia untuk difikirkan, direnungkan lalu dikontrol, yang melalui proses tersebut diharapkan mampu membangun kesadaran manusia untuk selalu menjinakkan dirinya, mencegah kepada yang buruk, menuju kepada yang baik. Menjadi manusia yang manusia.

Ketiga, insan. Menurut Quraish Shihab, kata insan digunakan Al-Quran untuk merujuk kepada manusia dengan segala totalitasnya, jiwa dan raga. Hemat penulis, kata insan merujuk kepada aspek akal budi manusia, yaitu sifat-sifat psikologis dan spiritual-intelektual manusia.

Proses dari akal budi manusia harus mendapat timbangan awal, berupa proses berfikir atas kelayakan hal yang akan di lakukan, apakah melahirkan etika dan estetika atau malah sebaliknya. Karena berapa banyak produk akal budi manusia, justru ketika diterapkan sangat jauh dari etika sehingga kemudian tidak melahirkan estetika.

Ke empat, nas. Begitu jelas Allah Swt berfirman di atas kertas putih tak bernoda dengan tinta emas penuh rahmah, Ya ayyuhan-nas inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa . Nas menurut Dr. Fakhrudin Faiz, merujuk kepada jenis manusia secara umum yang tentu saja lebih menitikberatkan pada unsur sosialnya. Manusia hidup bersama-sama dalam kelompok yang dianjurkan untuk saling kenal-mengenal “li ta’arafu”. Yang mana pada umumnya “li ta’arafu”, saling kenal mengenal adalah mengenal nama, alamat, asal usul keturunan, pekerjaan dan lain sebagainya.

Menurut penulis, kita harus lebih tenggelam dalam mengenal. Sehingga pada langkah pengenalan berikutnya kita akan sampai pada puncak pemikiran bahwa kamu adalah aku, aku adalah kamu, tidak ada lagi manusia yang berinteraksi dengan penuh kebohongan.

Bahkan Nabi Muhammad Saw berpesan kepada kita, Laa yu’minu ahadukum hatta yuhibba li-akhi-hi maa yuhibbu linafsihi “Tidak sempurna imannya seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”

Saudara yang dimaksud di sini, bukan hanya sesama Islam namun juga mencakup persaudaraan kemanusiaan. Lebih jauh, beberapa ulama berpendapat bahwa sabda Nabi tersebut di atas, merupakan dasar untuk mewujudkan mahabbatul insan (Cinta kasih sesama manusia)

Akhirul kalam, Menjadi home work kita bersama, apakah corak berfikir kita selama ini, telah  menjadikan kita manusia bi adab atau biadab  ?

Biadab bukan dalam arti konotasi bahasa  sehari-hari, bahasa ibu, yaitu kurang akhlak, namun ditarik dalam bahasa arab bi adab, yang artinya “dengan adab”.

 

Sumber: Sulengka.net

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.