Hikmah di Balik Peristiwa Qurban
MENGAPA kisah Ibrahim as. selalu diulang-ulang kepada kita setiap tahun? Apa tujuan umat Muslim mengikuti teladan Nabi Ibrahim menyembelih qurban? Dan mengapa tindakan seorang ayah yang ingin menyembelih anaknya ribuan tahun yang lalu itu menjadi perayaan yang penuh suka cita dan kegembiraan? Semua pertanyaan ini muncul di benak kita saat kita merenungkan kisah Nabi Ibrahim as. dan putranya, Nabi Ismail as. Dan untuk menjawab semua pertanyaan ini, ada baiknya bila kita membaca ulang firman Allah di dalam al-Qur`an,
“Dan Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku [seorang anak] yang termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai [pada usia sanggup] berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis[nya], [nyatalah kesabaran keduanya]. Dan Kami panggil dia, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu [pujian yang baik] di kalangan orang-orang yang datang kemudian, [yaitu] ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman,” [Q.S. al-Shaffat: 99 – 111].
Berdasar ayat ini, setidaknya ada sejumlah hikmah dan pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa agung tersebut yang bisa menjadi petunjuk bagi setiap keluarga yang menginginkan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya.
Pertama, kebenaran mimpi para nabi. “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,” [Q.S. al-Shaffat: 102]. Di masa kecilnya Ismail tahu bahwa mimpi para nabi adalah haqq, benar, bukan hoax, dan bahwa mimpi para nabi di dalam tidur adalah wahyu dari Allah, sehingga tanpa ragu ia berkata, “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” Ini menunjukkan bahwa sejak kecil Ismail telah menerima pendidikan ketauhidan dan keimanan yang sempurna dari Nabi Ibrahim.
Kedua, mendengar dan mentaati perintah Allah: Ismail menerima permintaan ayahnya meskipun permintaan itu sangat berat dan sulit, “Tatkala keduanya telah berserah diri,” [Q.S. al-Shaffat: 103]. Ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim dan Ismail menerima dan mentaati perintah Allah. Nabi Ibrahim menutup wajah Ismail supaya beliau tidak melihatnya kesakitan saat disembelih sehingga membuat beliau ragu untuk menunaikan perintah Allah tersebut.
Ketiga, ketaatan akan segera mendapatkan balasan dari Allah: ketika seseorang mentaati Allah, Allah akan membalasnya dengan kebaikan. “Dan Kami panggil Ibrahim, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar,” [Q.S. al-Shaffat: 104 – 107]. Nabi Ibrahim langsung menerima penghargaan dari Allah karena keberhasilannya menghadapi cobaan keluarga, dan Ismail juga langsung menerima penghargaan berupa domba jantan karena ketaatannya.
Keempat, perbuatan baik akan berumur panjang dan pengaruhnya sangat besar. Kisah ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menjadi sejarah bagi manusia dan agama bagi kemanusiaan. Pengaruh dari peristiwa agung itu akan terus kita rasakan bahkan hingga hari Kiamat.
Kelima, yang dapat kita ambil dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail adalah jalinan hubungan kepercayaan antara keduanya. Kita lihat percakapan antara Nabi Ibrahim dan Ismail yang menunjukkan bahwa hubungan keduanya sangat kuat. Hubungan yang terjalin antara keduanya bukan sekedar hubungan ayah dan anak, tetapi hubungan kepercayaan. Hubungan seperti ini sangat sulit kita temui pada zaman sekarang ini, di mana orangtua dan anak saling percaya satu sama lain. Nabi Ibrahim tidak pernah bohong kepada Ismail. Sebaliknya, Ismail, karena pendidikan yang diterimanya sejak kecil, selalu percaya kepada Nabi Ibrahim.
Maka ketika Nabi Ibrahim berkata, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”, beliau tahu dan yakin bahwa Ismail pasti akan menerimanya. Kenapa? Karena Ismail percaya bahwa yang dikatakan Nabi Ibrahim adalah kebenaran, bukan hoax. Oleh karena itu, setiap orangtua perlu menjalin hubungan saling percaya dengan anak-anaknya.
Keenam, perlunya dialog antara orangtua dan anak. “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Meskipun Nabi Ibrahim menerima perintah penyembelihan dari Allah Swt., tetapi beliau tetap meminta pendapat dari Ismail. “Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ini merupakan suatu isyarat pendidikan yang sangat penting, bahwa orangtua harus selalu berdialog dengan anak-anaknya bahkan dalam perkara-perkara wajib yang datang dari Allah sekalipun. Karena anak-anak, terutama anak-anak remaja, saat mereka diajak untuk berdialog, mereka akan merasa dihormati dan dihargai. Mereka sangat benci dan tidak suka dipaksa-dipaksa. Makanya jalan dialog, sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim, adalah jalan yang dapat ditempuh oleh para orangtua untuk menanamkan kesadaran kepada anak-anaknya mengenai kewajiban menjalankan perintah agama.
Ketujuh, kesabaran melaksanakan perintah yang sulit. “Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Ismail, seorang anak yang usianya belum genap 15 tahun, mengerti betul mengenai arti kesabaran dan menjalankannya di dalam kehidupan dengan selalu meminta pertolongan dari Allah. Ini merupakan indikasi keberhasilan pendidikan di dalam rumah tangga Nabi Ibrahim, meskipun beban dan cobaan yang beliau hadapi sangat berat dan sulit.
Kalau Nabi Ibrahim gagal mendidik Ismail menjadi anak yang beriman dan sabar, ketika dikatakan kepadanya, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”, mungkin Ismail akan menjawab, “Ayah, aku masih muda, banyak yang bisa aku lakukan untuk masa depan. Justru ayah yang sudah tua renta dan bau tanah yang harus disembelih. Tanpa disembelih pun sebentar lagi ayah juga akan mati.”
Kedelapan, cobaan keluarga. “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu [pujian yang baik] di kalangan orang-orang yang datang kemudian, [yaitu] ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim,” [Q.S. al-Shaffat: 106 – 109]. Nabi Ibrahim sudah lama menginginkan kehadiran seorang anak di dalam rumah tangganya. Baru di usia yang ke-86 tahun beliau dikaruniai seorang anak bernama Ismail. Sungguh, itu adalah penantian yang sangat panjang. Ketika Ismail sudah terlahir ke dunia, Nabi Ibrahim sangat mencintai dan menyayanginya. Bersama Siti Hajar beliau mendidik dan mengasuh Ismail dengan baik. Cinta dan kasih-sayang Nabi Ibrahim kepada Ismail diwujudkan dengan memberikannya pendidikan yang baik, bukan menuruti apapun kemauannya.
Berbeda dengan orangtua di zaman sekarang. Demi anak, banyak orangtua di zaman sekarang yang rela melakukan apapun, rela “peras keringat banting tulang” siang dan malam tanpa kenal lelah. Dan beberapa waktu lalu kita mendengar berita yang sempat viral mengenai seorang ayah yang nekat mencuri laptop supaya anaknya bisa belajar online seperti anak-anak yang lain. Bahkan di zaman ini, demi mendapatkan anak, banyak laki-laki yang tega menceraikan istrinya supaya bisa kawin lagi.
Ketika Nabi Ismail mulai menginjak usia remaja, dan Nabi Ibrahim sedang sayang-sayangnya, Allah Swt. memberikan perintah untuk menyembelihnya. Bayangkan, Nabi Ibrahim menunggu selama 86 tahun untuk mendapatkan seorang anak. Tetapi begitu anak itu lahir, beliau diminta untuk menyembelihnya. Dan hal yang paling berat adalah penyembelihan itu harus dilakukan oleh Nabi Ibrahim sendiri. Ini adalah cobaan keluarga yang amat sangat hebat. Tetapi Nabi Ibrahim berhasil melewati cobaan itu, sehingga Allah kemudian menganugerahi beliau dengan kelahiran anak kedua, yaitu Ishaq.
Kesembilan, bahwa pertolongan pasti datang setelah kesusahan. “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik,” [Q.S. al-Shaffat: 110]. Inilah sunnah kehidupan, bahwa akhir yang baik adalah bagi orang-orang bertakwa, bahwa kemenangan akan datang bagi orang-orang yang sabar, dan bahwa bersamaan dengan kesusahan terdapat kelapangan. Kita harus menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah fana, sirna, dan bisa lepas dari genggaman. Dunia tidak abadi, dan tidak ada satu makhluk pun yang hidup kekal di dunia ini. Demikian juga kesusahan, pasti berlalu, tidak langgeng, dan waktunya terbatas.
Banyak sekali nilai kebaikan yang bisa pelajari dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Dan Allah telah memasukkan Nabi Ibrahim dan Ismail ke dalam golongan muhsinîn, yaitu orang-orang yang ikhlas dalam amal-perbuatan karena selalu merasa diawasi oleh Allah, sabar menghadapi segala cobaan hidup, dan senang melakukan kebajikan dan kebaikan. Mereka adalah “orang-orang beribadah kepada Allah seolah-olah mereka melihat-Nya, dan jika mereka tidak melihat-Nya maka mereka yakin bahwa Dia melihat mereka”.
Kesepuluh, bahwa penyembelihan Ismail yang diganti dengan binatang berupa kambing jantan, menurut para ulama mempunyai dua makna:
(1). Merupakan simbol bahwa manusia harus mampu mengendalikan nafsu kebinatangan di dalam dirinya. Di dalam diri manusia terdapat dua unsur, yaitu unsur kemalaikatan dan unsur kebinatangan. Manusia dituntut untuk menjaga keseimbangan antara keduanya. Asupan bagi otak adalah ilmu dan pengetahuan, sedangkan asupan bagi perut adalah makanan. Banyak orang yang karena terlalu sibuk mengurusi urusan perut sampai lupa memberikan asupan kepada otaknya. Makanya ada pepatah yang mengatakan, “Law lâ al-‘ilmu lakâna al-nâs ka al-bahâ`im,” (Kalau tidak karena ilmu, niscaya manusia akan seperti binatang). Artinya, orang yang hanya peduli dengan urusan perutnya, maka ia tak ubahnya seperti binatang.
(2). Merupakan sebuah petunjuk bahwa kita tidak boleh membunuh manusia tanpa alasan yang hak. Salah satu tujuan diturunkannya syariat (maqâshid al-syarî’ah) adalah hifzh al-nafs (menjaga jiwa), yaitu menjaga jiwa manusia. Allah Swt. berfirman,
“Bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu [membunuh] orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya,” [Q.S. al-Maidah: 32].[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!