Fikih Kuliner

Sumber gambar: https://img.okezone.com/content/2017/06/19/320/1719840/baca-5-trik-berikut-sebelum-memulai-bisnis-kuliner-ZuGZFxfq5A.jpg

Rasulullah pernah dikirimi keju oleh penduduk Syam [sekarang Syiria]. Tanpa basa-basi, Rasulullah
langsung memakannya. Padahal, sudah masyhur di masyarakat, kebiasaan orang Syam mengolah dan
mencampur keju dengan jeroan babi (infahah al-khinzir). Bukankah babi haram? Mengapa Rasulullah
tidak tabayyun terlebih dulu?

Ada kaidah fiqh berbunyi: “al-ashlu baqa’u ma kana ala ma kana” (hukum asal sesuatu dikembalikan
pada asal mulanya). Segala sesuatu yang asal mulanya halal, kemudian diduga terkontaminasi benda
haram, maka hukumnya tetap halal.

Rasulullah berpegang pada hukum asal keju yang halal. Adapun ia diduga bercampur barang haram,
mengingat kebiasaan penduduk Syam mencampur keju dengan jeroan babi, hanyalah dugaan. Dugaan
tidak bisa menghapus keyakinan. “al-yaqin la yuzalu bi syak”.

Kaidah ini, biasa digunakan minoritas muslim ketika hidup di negara-negara non muslim. Mereka makan
dan minum seperti biasa tanpa dihantui pertanyaan-pertanyaan menakutkan: apakah minyak yang
digunakan bukan minyak babi? Apakah piring dan sendoknya bukan bekas masakan babi? Apakah
mereka mencucinya dengan tujuh kali basuhan yang salah satunya dicampur debu? Apakah tangan
mereka tidak habisa memegang anjing? Dan lain lain. Jika pertanyaan-pertanyyan tersebut terus dipelihara bisa-
bisa mereka mati kelaparan.

Dalam soal hukum makanan [plus minuman], Islam sebetulnya memberi banyak kelonggaran. Prinsip
dasarnya, selagi makanan itu lezat, nikmat, dan baik untuk tubuh, tidak menjijikkan dan tidak
membahayakan tubuh, maka hukumnya halal (lihat QS al-Anam 145; QS al-Araf 15). Kecuali yang secara
tegas disebut al-Quran maupun Hadis.

Mengingat begitu banyak jenis makanan di dunia ini, para ulama membuat kaidah untuk mengukur
sekaligus menentukan halal-haramnya:
“Kullu ma istatobathu al-arab fahua halal wa kullu ma istakhbatsathu al-arab fahua haram” (setiap
makanan yang menurut orang Arab lezat dan nikmat maka hukumnya halal dan setiap makanan yang
menurut orang Arab menjijikkan hukumnya haram).

Jadi, menurut kaidah ini, semua jenis makanan dikembalikan pada “selera” orang Arab. Jika pas di lidah
mereka hukumnya halal. Sebaliknya, jika menurut mereka menjijikkan dihukumi haram.

Sebagai orang Jawa saya keberatan dengan kaidah ini. Apalagi kuliner Nusantara lebih kaya dibanding
kuliner Arab. Terlebih tidak semua makanan Arab saya sukai. Saya doyan “mandi lahm” tapi tidak suka
(jijik) “air kencing unta”). Kelihatannya, dalam soal makanan, Islam Nusantara punya madzhabnya sendiri.
Wallahu alam bi sawab. [Jamaluddin Mohammad]

1 reply

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.