Diskursus Perempuan Bekerja dalam Pandangan Ulama Klasik – Islam Tidak Melarang Perempuan Bekerja (3)

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

Domestikasi Perempuan

Perintah merumahkan perempuan bersumber dari Q.S. al-Ahzab: 33

 

وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ وَأَقِمۡنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذۡهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجۡسَ أَهۡلَ ٱلۡبَيۡتِ وَيُطَهِّرَكُمۡ تَطۡهِيرا

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya,” [Q.S. al-Ahzab: 33].

 

Qarna” atau “qirna” berasal dari “qarâr” artinya tinggal atau menetap. Maksudnya adalah tinggal dan menetap di dalam rumah. Ini merupakan perintah Allah kepada istri-istri Nabi untuk tidak meninggalkan rumah kecuali ada keperluan/kebutuhan.[1] Bisa juga bermakna kewibawaan (wiqâr). Menurut makna ini, perempuan-perempuan yang tinggal di dalam rumah mendapat kehormatan dan harga diri.

Jika melihat sabab nuzûl-nya, konteks ayat ini ditunjukkan kepada istri-istri Nabi Muhammad Saw. Namun, sebagaimana dikatakan al-Maraghi, perintah ini berlaku bagi seluruh perempuan muslim.[2] Hal senada disampaikan Ibnu Katsir bahwa selama tidak ada dalil pengecualiannya, maka berlaku secara umum. Untuk memperkuat pendapatnya ini, ia mengutip sejumlah hadits Nabi Saw. yang mendukung interpretasi terhadap ayat ini.[3]

 

لا تمنعوا إما ء الله مساجد الله وليخرجن وهن تفلات

Janganlah melarang perempuan pergi ke masjid.”

 

جئن النساء الي رسول الله صلي الله عليه وسلم فقلن يا رسول الله ذهب الرجال بالفضل والجهاد في سبيل الله تعالي فما لنا عمل ندرك به عمل المجاهدين في سبيل الله؟ فقال رسول الله من قعد منكن في بيتها فإنها تدرك عمل المجاهدين في سبيل الله

Seorang perempuan datang menemui Rasulullah Saw. Ia bertanya, Wahai Rasul, laki-laki punya kesitimewaan berjihad di jalan Allah Swt. Apakah perempuan memiliki amal yang sebanding dengan jihad di jalan Allah? Nabi menjawab, ‘Barangsiapa di antara kalian (perempuan) duduk (berdiam diri) di rumah, maka itu sama seperti jihad di jalan Allah Swt.”

 

ان المرأة عورة فإذا خرجت استشرفها الشيطان وأقرب ما تكون برحمة ربها وهي قعر بيتها

Sesungguhnya perempuan itu adalah aurat. Ketika keluar rumah, setan akan memuliakannya. Dan tempat yang paling dekat dengan rahmat Allah baginya adalah di dalam rumahnya.”

 

Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa Aisyah ra. selalu meneteskan air mata ketika membaca Q.S. al-Ahzab: 33 ini. Ia teringat ketika meninggalkan rumahnya untuk memimpin perang Jamal. Istri Nabi yang lain, Saudah, pernah ditanya, “Kenapa tidak menggunakan hijab seperti saudara-saudaranya yang lain?” Jawabnya, “Sesunggungnya aku berhijab dengan tinggal di rumahku.” Hal itu dibuktikan bahwa sepanjang hidupnya ia tak pernah keluar rumah, kecuali ketika ia sudah menjadi jenazah. Riwayat-riwayat seperti ini semakin mempertegas dan memapankan bahwa ruang lingkup perempuan adalah di dalam rumah. Perempuan diciptakan untuk selalu tinggal dan menetap di dalam rumah. Dengan kata lain, dunia perempuan adalah rumahnya. Sesekali boleh keluar apabila ada keperluan.

Pendapat senada disampaikan oleh Muhammad Sayyid Quthb (1906 – 1966 M), seorang ideolog Ikhwanul Muslimin yang dieksekusi rezim Gamal Abdel Nasser, mengatakan bahwa Q.S. al-Ahzab: 33 sama sekali tidak melarang perempuan bekerja, karena Islam sendiri tidak melarangnya. Namun, Islam tidak senang dan tidak mendorong hal tersebut. Islam membolehkan perempuan bekerja ketika dalam keadaan darurat. Sebagaimana perempuan-perempuan di awal Islam, mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Jadi, persoalannya, bukan pada ada atau tidaknya hak bagi perempuan untuk bekerja. Islam tak mendorong perempuan untuk keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat diperlukan dan dibutuhkan masyarakat atau oleh ia sendiri. Misalnya, perempuan harus bekerja karena tak ada yang membiayai dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Menurut Sayyid Quthb, ayat ini bukan berarti melarang perempuan untuk meninggalkan rumah. Ayat ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya.[4]

Q.S. al-Ahzab: 33 juga melarang istri-istri Nabi Saw. untuk “tabarruj”. Menurut al-Syaukani (1759 – 1834 M), ulama besar Iran Abad Pertengahan, tabarruj artinya menampakkan/memperlihatkan aurat (zînah) dan perhiasan (mahâsin) di hadapan laki-laki yang seharusnya ditutup dan disembunyikan. Ada yang mengatakan bahwa tabarruj artinya “berjalan dengan angkuh dan sombong” (tabakhtar). Atau berjalan dengan “genit” dan menggoda.

Mayoritas ulama menafsiri “qarna” dalam Q.S. al-Ahzab: 33 sebagai perintah bagi perempuan untuk menetap di dalam rumah. Ayat lain yang ikut mengkondisikan perempuan tetap di dalam rumah adalah pandangan bahwa tubuh perempuan adalah aurat yang harus ditutup rapat-rapat (Q.S. al-Nur: 24 – 31). Perempuan tidak boleh tampil di ruang publik karena bisa menimbulkan fitnah. Menurut para ulama, ketika perempuan keluar rumah maka harus dikawal atau didampingi mahram (orangtua/saudara kandung). Jadi, perintah merumahkan perempuan sangat erat kaitannya dengan konsep aurat.

Pandangan/tafsir keagamaan seperti ini ikut melanggengkan sekaligus terus mengkondisikan peran domestik atau domestikasi perempuan. Seolah perempuan tidak boleh dan tidak berhak bekerja di luar rumah. Mungkin, untuk konteks masyarakat pra-modern, merumahkan perempuan tidak bermasalah, mengingat tuntutan, kebutuhan, serta pembagian kerjanya belum sekompleks manusia modern. Seiring kemajuan dan perkembangan masyarakat, telah banyak terjadi pergeseran norma dan nilai dalam keluarga. Tanggungjawab ekonomi tidak lagi dibebankan hanya kepada suami melainkan juga istri. Kedua-duanya memiliki hak dan kewajiban sama dan setara dalam mengurus dan membangun rumah tangga. Karena masyarakat telah berubah, otomatis pandangan dan penafsiran keagamaan pun ikut berubah. Pola pembagian kerja tradisional yang hanya menempatkan perempuan di ruang-ruang domestik tidak lagi memadai dan mustahil dipertahankan sebagai nilai ideal.

Jika kita perhatikan mulai dari ayat 28 – 34, rangkaian ayat ini sebetulnya adalah sebuah nasehat untuk istri-istri Nabi Saw. Dalam sabab al-nuzûl-nya diceritakan bahwa mereka ingin hidup mewah dan kecukupan seperti anak-anak raja, memakai pakaian dan perhiasan mewah. Kemudian Allah Swt. menegur mereka. Pertama, mereka disuruh untuk memilih kehidupan dunia atau akhirat. Kedua dan ketiga, mereka diberikan keistimewaan dibanding perempuan-perempuan lain. Jika mereka melakukan kebajikan atau keburukan maka pahala atau dosanya akan dilipat gandakan. Keempat, tidak berkata lirih atau melembutkan suara kepada laki-laki lain dan selalu berkata baik. Kelima, menetap dan berdiam diri di rumah dan tidak menampakkan aurat di hadapan orang lain. Keenam, mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan ketujuh, menghiasi rumah dengan ayat-ayat Allah Saw.[]

 

____________________________________

[1]. Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Fath al-Qadîr, (Lajnah Darul Wafa), Vol. 5, hal. 365

[2]. Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghîy, (Mesir: Musthofa al-Bab al-Halabi, 1946), Vol 22, hal. 6

[3]. Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-Azhîm, (Riyadh: Dar al-Thayyibah, 1997), Vol. 6, hal. 409

[4]. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati, 2011), Cet. IV, Vol. 10, hal. 469

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.