Diskursus Perempuan Bekerja dalam Pandangan Ulama Klasik – Islam Tidak Melarang Perempuan Bekerja (1)

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

PANDANGAN ulama klasik terkait hukum perempuan bekerja masih dipengaruhi norma-norma gender yang membagi dan memisahkan peran kerja laki-laki dan perempuan dalam ruang domestik dan ruang publik. Ranah domestik untuk perempuan, sementara laki-laki di ruang publik. Dalam kehidupan keluarga, sebagai kepala keluarga, laki-laki (suami) bertanggung jawab terhadap perekonomian keluarga (istri dan anak-anaknya). Karena itu, ia boleh bekerja dan mencari nafkah di manapun. Sementara perempuan (istri) bertugas melayani suami, mendidik anak, dan mengurus kebutuhan keluarga.

Pembagian ruang domestik-publik ini seolah-olah sudah paten dan tak bisa diganggu gugat.  Bukan saja karena landasannya teks keagamaan tetapi juga diterima sebagai hal yang wajar baik dalam adat, tradisi bahkan dalam regulasi resmi negara. Dalam UU Perkawinan/1/74 pasal 31 ayat 3 disebutkan, “Suami adalah Kepala Keluarga, istri adalah Ibu Rumah Tangga.”

Karena itu, secara normatif kedudukan istri adalah ibu rumah tangga sementara suami di luar rumah sebagai pencari nafkah. Seorang istri yang akan keluar atau bekerja di luar rumah, atau sekadar keluar rumah, berkewajiban mengantongi izin suami. Logika ini juga berlaku bagi anak perempuan, ia harus izin bapaknya (wali) dan untuk memastikan keamanannya ia harus didampingi mahramnya.

Dalam literatur Islam klasik (kitab kuning), istri boleh keluar rumah tanpa harus izin suami hanya ketika dalam kondisi darurat (emergency), semisal terjadi kebakaran atau bencana alam. Juga keluar rumah untuk meminta fatwa keagamaan jika suaminya tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup. Tanpa izin suami, istri tak boleh keluar rumah syahdan bahkan untuk menjenguk keluarganya yang sakit atau melayat orangtuanya yang meninggal. Dalam keadaan normal, istri/anak perempuan tetap harus meminta persetujuan suami/orangtua. Jika tak mendapat izin tetapi tetap memaksa keluar, maka dihukumi nusyuz atau dianggap membangkang.[1]

Namun, pandangan serupa itu bukan sebuah pandangan yang mutlak dan tanpa celah perubahan. Menurut Imam al-Syafi’i, salah satu imam paling berpengaruh dan menjadi rujukan utama mazhab Syafi’iyah yang juga dianut oleh umat Muslim di Indonesia, suami tidak boleh melarang istrinya bekerja selama suami tidak bisa memberikan nafkah kepada istrinya. Dalam keadaan demikian, istri boleh memilih antara bercerai atau tetap mempertahankan pernikahan. Menurut al-Mawardi, salah satu rujukan dalam tradisi mazhab Syafi’iyah selama istri masih menunggu kepastian atas nafkah yang menjadi haknya yang belum diberikan oleh suaminya, ia boleh keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah. Dalam situasi seperti ini, suami tak boleh melarang, karena suami tak memiliki kuasa sama sekali.[2]

Menurut Sayyid Abdullah ibn Mahfuzh al-Haddad, seorang ulama dan mufti dari Yaman, pada prinsipnya syariat Islam tak melarang perempuan bekerja di luar rumah. Hanya saja, berdasarkan ketentuan syariat, perempuan seyogyanya bekerja di dalam rumah, kecuali ada kebutuhan mendesak (hajat). Jika terpaksa harus bekerja, syaratnya, di tempat kerja tidak boleh bercampur antara laki-laki dan perempuan. Apalagi bagi perempuan yang sudah memiliki suami atau anak. Maka, kata Sayyid Abdullah, pekerjaan paling mulia adalah melayani suami dan mendidik anak-anaknya.[3]

 

إن الشارع لا يمنعها من العمل في أي وقت و في أي حال . و لكن قواعد الشارع تطلب منها ألا تتعرض للعمل خارج بيتها إلا للحاجة، بشرط أن تتجنب ما قد ينتج عن الاختلاط بالأجانب، وخصوصا إذا كانت ذات زوج و أطفال، فإن عملها المجيد هو خدمة بيتها و تربية أطفالها و رعايتهم و تنشئتهم على الاخلاق الاسلامية الحميدة. فعملها هذا يعدّ جهادا في سبيل الله، كما أجاب بذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم النسوة اللاتي سألنه و قلن له: ان الرجال يجاهدون و يحصلون على الشهادة فما مقابل ذلك للمرأة قال: (إن مهنة احداكنّ في بيتها تدرك به عمل المجاهدين في سبيل الله)، و أورد في (الحلية) عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم بسند حسن: (المرأة في حملها إلى وضعها إلى فصالها كالمرابط في سبيل الله، فإن ماتت فيما بين ذلك فلها أجر شهيد)، و في لفظ آخر عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إن للمرأة في حملها الى وضعها الى فصالها من الأجر كالمرابط في سبيل الله، فإن هلكت فيما بين ذلك فلها أجر شهيد).

أما عن العمل المناسب لها ، فكل عمل يبعدها عن الاختلاط  بين الاجانب: كتدريس البنات  والاولاد الصغار فهو أنساب و أسلم. و كذلك الطب إذا كان مختصا بشؤون النساء والأطفال. والله أعلم

 

Syari’ tidak melarang perempuan untuk bekerja kapanpun dan dalam kondisi apapun. Tetapi ketetapan Syari’ menuntut perempuan agar tidak bekerja di luar rumah. Kecuali karena kebutuhan yang mendesak, dengan syarat ia terhindar dari sesuatu yang dapat menimbulkan bercampur-baur dengan lawan jenis yang ajnabi (asing). Sedangkan bila perempuan tersebut merupakan seorang ibu rumah tangga yang memiliki suami dan anak, maka pekerjaan yang paling baik baginya adalah mengurus rumah, mendidik dan menjaga anak-anaknya, serta memperbaiki dan mengajari mereka tentang akhlak-akhlak yang terpuji. Adapun karir perempuan yang seperti ini digolongkan ke dalam jihad fi sabilillah. Sebagaimana Nabi Saw. pernah menjawab pertanyaan para perempuan, “Para laki-laki, mereka berjihad dan mereka memperoleh gelar syahid, lalu apa yang setara dengan jihad bagi kami perempuan?” Rasulullah Saw. bersabda, “Karir kalian adalah di dalam rumah, kalian akan memperoleh amalan para mujahidin yang berperang di jalan Allah.” Dan telah warid satu hadits yang diriwayatkan dari Ibn Umar dari Rasulullah Saw. dengan sanad yang hasan, “Perempuan yang mengandung hingga melahirkan, ia sama seperti seseorang yang sedang berjuang di jalan Allah, bila ia meninggal dalam kondisi demikian maka ia memperoleh pahala orang yang mati syahid.”

Dalam redaksi lain yang diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Nabi Saw. bersabda, “Perempuan yang sedang mengandung hingga ia melahirkan dan hingga selesai pahalanya setara dengan pahala orang yang berjuang di jalan Allah, jika ia meninggal dalam kondisi sedang melahirkan, maka baginya pahala syahid.

Adapun pekerjaan yang pantas dan sesuai bagi seorang perempuan adalah pekerjaan yang terhindar dari bercampur-baur dengan lawan jenis yang ajnabi (asing): seperti mengajar anak perempuan, anak laki-laki yang masih kecil, pekerjaan yang demikian lebih sesuai dan lebih selamat bagi seorang perempuan. Dan begitu pula perempuan yang bekerja sebagai dokter spesialis perempuan dan anak-anak.

 

Meskipun para ulama memberikan peluang dan kesempatan bagi perempuan untuk mewujudkan keinginannya tampil atau bekerja di ruang publik, tetapi peluang dan kesempatan itu sebenarnya sebagai sesuatu yang bersifat darurat yaitu ketika suami tidak sanggup atau hanya peran sekunder sebagai pelengkap laki-laki. Pemilik ruang publik dalam pemahaman fikih Islam adalah laki-laki. Pembagian peran dan tugas ini oleh sebagian orang dianggap sudah baku, mapan (estasblished), sebagai kodrat Tuhan, dan tak bisa diganggu gugat, karena dianggap sebagai norma-norma agama yang sudah pasti/tetap (qath’îy). Padahal, syariat selain ibadah (muamalah) yang mengatur relasi antar manusia bisa berubah seuai kebutuhan dan tuntutan waktu.

Karena itu, sesuai perkembangan zaman, pembagian kerja gender publik-domestik sudah tidak relevan lagi karena menyebabkan ketidakadilan, diskriminasi dan marjinalisasi perempuan. Dalam literatur Islam klasik, pembagian kerja lakii-laki dan perempuan masih dipengaruhi cara pandandang dan paradigma lama yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Hal ini dianggap wajar, mengingat dalam waktu cukup lama sistem nilai yang berlaku dalam agama menempatkan Laki-laki bekerja di luar sementara perempuan mengurus pekerjaan rumah tangga. Pembagian kerja seperti ini sudah berlaku selama berabad-abad, bahkan sebelum Islam itu sendiri.

Dalam uraian selanjutnya akan dijelaskan beberapa sandaran rujukan yang menjadikan logika pembagian kerja gender lelaki kepala keluarga dan wajib mencari nafkah  dan perempuan ibu rumah tangga dianggap wajar dan logis. Dibutuhkan seperangkat metodologi untuk mengubah makna literal itu menjadi makna yang subtantif guna memastikan argumen itu dapat dijadikan rujukan  tentang reasi gender yang lebih adil dan setara.[]

 

______________________________________

 

[1] Fatâwâ al-Fiqhîyyah al-Kubrâ, Bairut: Dar al-Fikr, 1997, Vol. 4 hal. 961

[2]. Al-Hâwîy al-Kabîr, Vol. 11, hal. 460

[3]. https://lbm.mudimesra.com/2018/03/hukum-bekerja-bagi-wanita.html diakses pada 17/01/2021

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.