Desakralisasi Gus: Antara Socio-Culture, Kritik, dan Feodalisme Tak Sehat

Di tengah dinamika budaya Jawa yang kaya dan beragam, salah satu aspek menarik yang dapat kita pelajari ialah transformasi penggunaan gelar “Gus”. Bila kita tarik jauh ke belakang, gelar ini awalnya merujuk pada budaya Jawa terdahulu yang kaya akan hierarki sosial yang tercermin dalam gelar-gelar. Raden Bagus, misalnya, adalah gelar untuk bangsawan muda, yang merupakan cikal bakal panggilan Gus ini.

Pesantren, yang lahir dari sintesis budaya Jawa dan Islam, mengadopsi pendekatan serupa. Gelar Gus di pesantren sering disematkan kepada putra kiai, yang dianggap memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan keilmuan dan dakwah abahnya. Dalam perspektif semiotika, Gus bukan sekadar nama, melainkan tanda status sosial yang membawa marwah masyarakat. Itu sebabnya panggilan tersebut datang dari konstruksi sosial, tidak buatan sendiri, seharusnya.

Namun, pada penerapannya, gelar ini cenderung mencerminkan stratifikasi sosial yang jomplang. Di pesantren, utamanya, ada kesan bahwa mereka yang menyandang gelar tersebut otomatis memiliki hak istimewa. Anak kiai—entah pintar atau tidak, berakhlak mulia atau sebaliknya—sering dianggap lebih baik atau lebih mulia dibanding santri biasa.

Dalam konteks yang lebih luas, pun sebetulnya hal ini menjadi celah dalam masyarakat kita. Sebab, ada oknum “Gus jadi-jadian” atau “Gus Nusub” yang memasang gelar ini tanpa alasan yang jelas demi mendapat privilese dari masyarakat, entah secara politis maupun secara kehormatan. Hal ini menjadi pertanyaan bagi penulis: apakah sakralisasi berlebihan terhadap istilah ini masih relevan di tengah tuntutan zaman yang semakin egaliter?

Penghormatan atau Pengultusan?

Di sinilah muncul masalah. Islam mengajarkan cara menghormati sesama yang proporsional. Rasulullah ﷺ sendiri pernah mengingatkan:

“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku sebagaimana Nasrani memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR Ahmad [I/215, 347], an-Nasa’i [V/268], Ibnu Majah [no. 3029], Ibnu Khuzaimah [no. 2867]).

Dalam istilah agama, sikap berlebihan ini disebut ghuluw.

Contoh nyata ghuluw bisa dilihat dari sejarah umat Nabi Nuh. Kaumnya begitu menghormati orang-orang saleh hingga membuat patung untuk mengenang mereka. Awalnya hanya sekadar simbol memang, tetapi lama-lama patung itu disembah. Penghormatan yang mulanya wajar menjadi bencana besar.

Dalam konteks Indonesia modern, sebagian kuburan orang saleh telah mengalami proses sakralisasi yang sangat panjang, beberapa diposisikan sebagai wali penentu masuk surga. Kemudian, kuburan dianggap menjadi tanda bagi status feodalisme dan digunakan untuk merebut simpati para pengikut awam, meraih cuan, kedudukan, dan kekayaan, serta melanggengkan nasab yang diklaim sepihak tersambung dengan sosok paling suci di muka bumi, Nabi Muhammad ﷺ.

Contoh lain praktik ghuluw terdapat dalam tradisi pesantren. Sakralisasi Gus ini memang tidak sampai ke ranah akidah. Namun, dampaknya tetap ada: ghuluw, kebal kritik, dan feodalisme stadium akut. Dalam praktiknya, ini menciptakan jarak antara para penyandang gelar tersebut dan masyarakat biasa. Figur Gus bisa dianggap sempurna dan tidak boleh disentuh kritik. Padahal, seyogianya kritik adalah cara agar tradisi tetap sehat dan relevan.

Fenomena ini perlu kita cermati lebih dalam. Sebab, para penyandang gelar tersebut sejatinya memiliki potensi besar bila ditempatkan dengan benar. Gus Dur, Gus Mus, Gus Baha, dan lainnya merupakan contoh nyata bagaimana gelar ini bisa membawa manfaat untuk masyarakat. Dengan latar belakangnya sebagai ulama hebat nan tangguh, mereka menjadikan gelar tersebut sebagai simbol perjuangan sosial.

Namun, tidak semua Gus punya jejak langkah seperti mereka-mereka. Banyak di antaranya yang sekadar mewarisi nama tanpa kontribusi nyata, hanya demi merebut status sosial, cuan, dan memenangkan persaingan politik dalam konteks organisasi maupun dalam wilayah politik praktis. Ini membuat penulis bertanya untuk kedua kalinya: apakah “Gus” masih relevan sebagai gelar istimewa, atau sebaiknya didesakralisasi agar lebih sejalan dengan nilai egalitarianisme Islam?

Bias Gender dalam Sakralisasi Gus

Menarik untuk dicermati juga, gelar Gus dalam tradisi pesantren tidak hanya mencerminkan stratifikasi sosial yang jomplang, tetapi juga bias gender yang cukup kentara. Gelar ini secara eksklusif diberikan kepada putra kiai, sementara putri kiai yang mendapatkan gelar Ning—meskipun terdengar setara—tidak memiliki bobot simbolik maupun pengaruh sosial yang sama.

Dalam banyak kasus, Gus diproyeksikan sebagai pemimpin masa depan, pewaris perjuangan dakwah, dan figur yang diharapkan membawa marwah keluarga. Sebaliknya, Ning sering kali ditempatkan dalam peran pendukung, lebih banyak dihubungkan dengan urusan domestik atau pendidikan di lingkungan internal pesantren. Hal ini menunjukkan konstruksi peran berbasis gender yang diwariskan secara turun-temurun, di mana laki-laki ditempatkan sebagai pusat pengaruh, sedangkan perempuan berada di pinggiran.

Fenomena ini tidak terlepas dari akar patriarki yang kuat di budaya masyarakat tradisional, termasuk pesantren. Ketimpangan ini semakin terlihat ketika gelar Gus membawa privilese yang besar, baik dalam akses kepemimpinan maupun penerimaan sosial. Padahal, potensi intelektual dan kontribusi perempuan dalam pesantren juga tidak kalah besar. Perempuan sering kali menjadi motor penggerak pendidikan keagamaan, tetapi kontribusi mereka jarang diakui secara setara.

Gelar Ning, yang selama ini kurang dihargai, sebenarnya dapat dimaknai ulang sebagai simbol perjuangan yang sejajar. Bila kita mundur jauh ke belakang, dalam sejarah Islam banyak perempuan seperti Khadijah رضي الله عنها, Aisyah رضي الله عنها, hingga Rabi’ah al-Adawiyah yang menunjukkan bahwa kepemimpinan dan pengaruh bukanlah monopoli laki-laki. Oleh karenanya, dalam konteks keislaman, tradisi pesantren bisa mencontoh semangat ini dengan memberikan lebih banyak ruang bagi perempuan untuk berkontribusi secara publik tanpa terhalang oleh sekat-sekat budaya patriarki.

Langkah-langkah seperti ini tidak hanya relevan untuk mendukung kesetaraan gender, tetapi juga untuk menjadikan tradisi pesantren sebagai model masyarakat egaliter yang mengedepankan substansi daripada simbol belaka. Dengan begitu, upaya desakralisasi Gus juga dapat membawa pesan yang lebih luas: bahwa setiap insan, laki-laki maupun perempuan, memiliki peluang yang sama untuk menjadi bagian dari perubahan yang lebih baik.

Mengapa Desakralisasi Penting?

Desakralisasi bukan berarti menghapus rasa hormat. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk mengembalikan makna gelar “Gus” sebagai amanah, bukan privilese.

Dalam tradisi akademik, langkah serupa pernah diterapkan. Di Universitas Islam Indonesia (UII), misalnya, ada kebijakan untuk tidak mencantumkan gelar profesor di dokumen administratif. Tujuannya jelas: mengurangi feodalisme akademik yang sering menciptakan jarak sosial.

Penulis teringat dengan sebuah esai yang ditulis oleh Fathul Wahid, Rektor dan Profesor UII, berjudul “Desakralisasi Profesor”. Dalam tulisan tersebut, beliau menyampaikan bahwa saat ini sebagian kalangan memandang jabatan profesor sebagai sesuatu yang sakral. Banyak yang menjadikannya status sosial yang perlu dikejar dengan segala cara, lalu dipamerkan ke ruang publik sebagai kebanggaan. Kiranya, fenomena gelar Gus pun demikian.

Upaya desakralisasi ini tentu tidak dapat dilakukan secara instan. Setidaknya, ada tiga langkah yang dapat dilakukan:

  1. Edukasi masyarakat.
    Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa menghormati seseorang tidak harus berujung pada pengkultusan. Figur Gus, pada dasarnya, adalah manusia biasa yang juga bisa melakukan kesalahan. Penghormatan yang baik seyogianya didasarkan pada kapasitas dan kontribusi mereka, bukan hanya pada garis keturunan atau gelar semata.
  2. Sistem meritokrasi dalam kepemimpinan pesantren dan masyarakat.
    Layaknya masyarakat madani, kepemimpinan pesantren seyogianya tidak hanya diberikan kepada mereka yang memiliki garis keturunan kiai, melainkan kepada mereka yang memiliki kapasitas, kompetensi, dan integritas, terlepas dari jenis kelaminnya. Dengan demikian, santri dan masyarakat akan melihat bahwa kepemimpinan yang baik dapat datang dari siapa saja, selama mereka mampu memberikan kontribusi positif dan membawa kemajuan bagi pesantren.
  3. Keterbukaan terhadap kritik.
    Figur Gus harus menerima kritik dengan lapang dada sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan amanah daripada marwah masyarakat. Sebagai pemimpin, mereka harus siap untuk diperbaiki apabila ada kekeliruan, serta menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk dari santri. Dengan cara ini, gelar tersebut akan lebih mencerminkan sikap tawadhu, bukan sekadar menjadi alat untuk mempertahankan status sosial.

Membumikan Gelar—Jabatan

Hemat penulis, kita tak boleh terjebak dalam ilusi sakralitas yang menempatkan gelar masyarakat dalam posisi tak tergoyahkan nan kebal kritik. Sebaliknya, kita harus mendorong agar figur tersebut berakar pada kontribusi sosial yang konkret, bukan hanya pada garis keturunan yang terkadang jauh dari substansi.

Ini merupakan langkah maju untuk menciptakan kesetaraan dan menghilangkan tembok pemisah yang cukup tinggi. Hanya dengan cara tersebut, kita bisa mengembalikan makna sejati dari gelar tersebut: sebagai simbol perjuangan sosial, bukan sekadar tanda status sosial yang terputus dari realitas.

Maka, seperti pertanyaan yang terus menggema di benak penulis: apakah kita masih ingin mempertahankan kesakralan yang sudah usang, atau berani mengambil langkah berani untuk memodernisasi tradisi dengan menanamkan nilai keadilan dalam setiap lapisan masyarakat?

Referensi:

  1. Abdurrahman Wahid (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. The Wahid Institute.
  2. Azyumardi Azra (1998). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Mizan.
  3. Fathul Wahid (2024). Desakralisasi Profesor. Opini Kompas.
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.