Antara “Dâr al-Islâm”, “Dâr al-Kufr”, “Dâr al-Salâm”, dan “Dâr al-Harb”
SEJAK awal munculnya Islam, umat Muslim telah menggunakan istilah “dâr al-Islâm” (negeri Islam) dan “dâr al-kufr” (negeri kafir) atau “dâr al-harb” (negeri perang) untuk menunjukkan realitas historis yang berlaku di zaman mereka. Kemudian, pada fase berikutnya, para ahli fikih mulai melakukan ijtihad untuk menentukan kriteria-kriteria yang menjelaskan istilah-istilah tersebut, dan mayoritas dari mereka melihat bahwa “setiap negeri yang didominasi hukum Islam adalah dâr al-Islâm, dan jika didominasi hukum kaum kafir maka itu adalah dar al-kufr, karena tidak ada negeri selain keduanya”. (Ibn Muflih, al-Âdâb al-Syar’îyyah, Juz 1, hal. 211-212).
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dâr al-Islâm adalah negeri yang diatur dengan syariat Islam, meski sebagian besar penduduknya bukan Muslim, karena “di antara syarat dâr al-Islâm penduduknya tidak harus Muslim, tetapi cukup negeri itu dipimpin oleh seorang imam (pemimpin) yang telah masuk Islam” (al-Rafi’i, Fath al-‘Azîz bi Syarh al-Wajîz, Juz 8, hal. 14). Dan negeri-negeri yang dulu pernah ditaklukkan umat Muslim bisa juga dimasukkan ke dalam daftar dâr al-Islâm, seperti Khaibar yang berhasil ditaklukkan umat Muslim pada tahun 7 H, meski penduduknya tetap memeluk agama Yahudi.
Mungkin butuh beberapa abad bagi sebagian besar penduduk negeri taklukan untuk memeluk Islam, seperti di Mesir, Afrika Utara, dan Andalusia. Tetapi di India, hukum Islam berlaku selama beberapa abad, sekalipun sebagian besar penduduknya non-Muslim, sampai akhirnya lepas dari kekuasaan umat Muslim, dan selama itu India dipandang sebagai dâr al-Islâm.
Mayoritas ahli fikih juga menganggap dâr al-harb sebagai negeri yang “tidak menjalankan hukum Islam”, (Abdul Karim Zaidan, Ahkâm al-Dzimmîyyîn wa al-Musta`minîn fâ Dâr al-Islâm, hal. 8-9), yaitu negeri yang dikuasai kaum kafir atau direbut dari umat Muslim; meskipun sebagian besar penduduknya masih memeluk Islam, tetapi mereka tidak mampu menegakkan hukumnya (Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ`îy al-Islâmîy Muqâran-an bi al-Qânûn al-Wadh’îy, Juz 1, hal. 277), seperti yang terjadi di negara-negara yang diduduki oleh orang-orang Kristen Spanyol dari Andalusia, dan negara-negara yang diduduki oleh tentara Salib di Syam.
Itu adalah pandangan mayoritas ulama Muslim klasik, dan berdasarkan itu dâr al-Islâm bisa menjadi dâr al-harb karena munculnya hukum kafir dan tidak adanya hukum Islam di dalamnya. Sebagian ulama lain berpandangan berbeda, yaitu bahwa “suatu negeri yang telah dianggap sebagai dâr al-Islâm, setelah itu tidak akan menjadi dâr al-kufr secara mutlak,” (Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtâj fî Syarh al-Minhâj, Juz 9, hal. 269).
Namun Abu Hanifah menambahkan dimensi lain, bahwa dâr al-Islâm tidak menjadi dâr al-kufr kecuali dengan tiga syarat: pertama, munculnya hukum kafir di dalamnya; kedua, berdekatan/bertetangga dengan dâr al-kufr, dan; ketiga, di dalamya tidak ada satu pun orang muslim dan juga orang dzimmi yang hidup aman dan damai (al-Kasani, Badâ`i’ al-Shinâ’ fî Tartîb al-Syarâ`i’, Juz 7, hal. 130). Berarti, jika salah satu dari tiga syarat itu tidak terpenuhi, maka negeri tersebut tidak menjadi dâr al-kufr. Dalam hal ini, pokok masalahnya bukan pada “Islam” dan “kafir”, tetapi pada “rasa aman” dan “rasa takut” (al-Sarkhasi, Syarh al-Sayr al-Kabîr, Juz 3, hal. 1253). Sehingga, jika umat Muslim berada di sebuah negeri yang didominasi kaum kafir dan hukum-hukumnya, dan mereka tetap aman dalam menjalankan kewajiban agama mereka (jiwa dan harta mereka juga aman), sama seperti saat mereka tinggal di dâr al-Islâm, dan negeri tempat mereka tinggal itu tidak berdekatan atau bertetangga dengan dâr al-harb yang memerangi umat Muslim, maka negeri tempat mereka tinggal itu bukanlah dâr al-harb. (Muhammad Abu Zahrah, al-‘Alâqât al-Dawlîyyah fî al-Islâm, hal. 57-58).
Para ahli fikih kontemporer berbeda pandangan tentang pembagian negara-negera di dunia menjadi “dâr al-Islâm” dan “dar al-harb”. Sebagian dari mereka melihat bahwa pembagian itu didasarkan pada pembacaan terhadap teks-teks syariat dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan syariat, dan tidak terbayangkan di antara mereka akan memikirkan hal selain itu (Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Jihad, Juz 2, hal. 869-873).
Sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa pembagian itu tidak disebutkan di dalam al-Qur`an dan sunnah, dan bahwa jihad bukanlah sebentuk relasi alami antara umat Muslim dan non-Muslim (Wahbah al-Zuhaili, Âtsâr al-Harb fî al-Fiqh al-Islâmîy Dirâsah Muqâranah, hal. 193). Sebagian lainnya mengatakan bahwa pembagian itu “didasarkan pada kenyataan, bukan didasarkan pada syariat, dan merupakan tindakan murni para ahli hukum pada abad ke-2 Hijriyah” (Wahbah al-Zuhaili, Âtsâr al-Harb fî al-Fiqh al-Islâmîy Dirâsah Muqâranah, hal. 194). Dan yang ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah “pembagian darurat yang muncul akibat perang, dan tidak akan berlaku lagi jika alasan dari pembagian itu sudah tidak ada (Wahbah al-Zuhaili, Âtsâr al-Harb fî al-Fiqh al-Islâmîy Dirâsah Muqâranah, hal. 194-195).
Perbedaan pandangan para ulama tentang pembagian “dâr al-Islâm” dan “dar al-harb” itu terkait dasar hubungan dan interaksi internasional dalam Islam, apakah itu jihad, atau perdamaian dan dakwah? Sebagian dari mereka melihat bahwa dasar hubungan internasional umat Muslim dengan umat lainnya adalah jihad, “Supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah,” (Q.S. al-Anfal: 39). Sebagian lainnya melihat bahwa perdamaianlah yang akan dapat membuka pintu-pintu masuk bagi umat dan bangsa lain untuk menuju dan mengenal Islam. Jihad disyariatkan hanya untuk melindungi dâr al-Islâm, para penduduknya, agamanya, dan para dai yang menyerukannya. Jihad adalah cara untuk melindungi dakwah, dan bukan cara dakwah yang memaksa orang lain memeluk Islam dengan kekuatan senjata.
Bersedia atau tidaknya seseorang memeluk suatu agama itu berhubungan erat dengan keyakinan. Dan di dalam Islam keyakinan itu didasarkan pada dakwah dan karelaan, bukan pada paksaan dan keterpaksaan (Abdul Wahhab Khallaf, al-Siyâsîyyah al-Syar’îyyah fî al-Syu`ûn al-Dustûrîyyah wa al-Khârijîyyah wa al-Mâlîyyah, hal. 83). Allah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk [memasuki] agama [Islam]; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat,” (Q.S. al-Baqarah: 256), “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?,” (Q.S. Yunus: 99).
Kalau mengacu kepada dua ayat tersebut, sebenarnya prinsip yang mendasari hubungan internasional dalam Islam adalah “jaminan kebebasan dakwah yang damai dan kedamaian negara”. Jihad dan dakwah hanya sebatas cara untuk mewujudkan prinsip itu dan untuk mencapai tujuan perdamaian. Jalan dakwah yang damai kadang terbuka lebar sehingga tidak perlu berperang, atau kadang tertutup sehingga tidak ada jalan lain kecuali jihad sebagai cara untuk menyampaikan seruan Tuhan ke seluruh dunia. Zaman kadang memberikan kesempatan untuk berdakwah secara damai, atau kadang memberikan kesempatan untuk berjihad. Tetapi di zaman sekarang ini, yang diperlukan adalah dakwah yang damai karena dunia tidak dalam keadaan perang. Pesatnya perkembangan dan kemajuan dunia saat ini yang menyediakan banyak sekali sarana untuk berdakwah secara damai telah menutup jalan untuk berjihad mengobarkan api peperangan dengan bangsa manapun.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!