rumah kitab

Merebut Tafsir: Nasihat Gus Mus tentang Perkawinan

Oleh: Lies Marcoes-Natsir

 

DI umur kepala enam, tak terbilang walimah atau hajatan perkawinan yang pernah dihadiri. Menghormati yang mengundang itu jadi alasan utama. Jika tidak sedang ke luar kota saya berusaha menyempatkan hadir: bertemu para tetamu, suguhan dan kemeriahan hajatan adalah bonus yang menggembirakan. Namun yang tak kalah penting adalah mendengarkan nasihat perkawinan.

Di beberapa kawinan, nasihat atau khutbah nikah disampaikan langsung oleh Kepala KUA. Selain menasihati kewajiban suami-istri, menekankan menjadi istri salehah, tak jarang nasihat Pak Penghulu menyerempet guyonan tipis-tipis soal ranjang penganten. IiIhhh…

Namun di banyak kawinan, nasihat perkawinan sering disampaikan khusus oleh mereka yang diundang shohibul hajat. Nasihat biasanya dipersiapkan dengan baik, berisi perbekalan yang layak diingat dan dipersiapkan kedua mempelai dalam mengayuh biduk rumah tangga. Ketika Boris, anak bungsu kami menikah, nasihat disampaikan Prof. Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal. Nasihat yang lembut, dalam, menyentuh, menggugah hati, yang membuat kami, terutama saya dan Boris menitikkan air mata.

Pertengahan Juni 2022 saya menghadiri resepsi pernikahan putri Gus Adib Machrus, karib seperjuangan dalam pencegahan perkawinan anak dari Kementerian Agama. Seingat saya ini adalah acara kawinan meriah pertama yang saya hadiri setelah ruang perjumpaan sosial tertutup akibat Covid-19.

Acara digelar di pelataran atas Masjid Istiqlal dan ini benar-benar seperti reuni. Pelataran itu disulap jadi ruang pesta terbuka, udara cerah, dan meriah dengan iringan musik gambus yang membuat pendengarnya seperti ingin menari zapin.

Saya kebetulan duduk semeja dengan Gus Mus yang dikawal Ben dan Billy, dua kesayangan Mbak Ienas – Gus Ulil. Di meja itu ada Pak Lukman Hakim Saefuddin dan istrinya Ibu Willy, dan beberapa kolega Pak LHS. Meja ini bersebelahan dengan meja rombongan Menteri Agama Yaqut Cholil dan Ibu Eny Retno Yaqut.

Kedua meja itu praktis menjadi pusat kemerahan, selain di pelaminan. Orang bergantian menyalami Gus Mus dan Pak Lukman. Bu Willy kemudian mengajak kami pindah ke meja ketiga mengingat makin banyak tetamu yang ingin sowan dan selfie di meja Gus Mus.

Demikianlah, kemeriahan walimahan semakin gayeng ketika Gus Mus naik ke panggung pelaminan. Berbeda dari lazimnya menasihati kedua mempelai, Gus Mus melakukakannya dengan bersoal jawab. Kedua mempelai diberi pertanyaan dan berdasarkan jawaban itu Gus Mus melanjutkannya dengan nasihatnya untuk kedua mempelai.

Dari sekian pertanyaan yang diajukan, ada tiga hal yang begitu terkesan dari cara Gus Mus mengantarkan nasehatnya tentang esensi relasi yang dibina melalui perkawinan. Pertama-tama Gus Mus mengajukan pertanyaan untuk memastikan bahwa perkawinan itu bukanlah hal yang dipaksakan. Setelah teryakinkan, Gus Mus melanjutkan dengan pertanyaan yang dikutip dari Q.S. al-Hujurat: 13 (Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal).

Gus Mus bertanya, mengapa laki-laki dan perempuan yang begitu berbeda: fisiknya, sifatnya, karakternya, anggapan-anggapan sosial tentang kedudukan, peran, tanggungjawab perempuan dan laki-laki yang begitu berbeda dipersatukan dalam perkawinan. Di ujung ayat itu terdapat kunci jawabannya. Untuk saling mengenal. Namun, Gus Mus kembali bertanya secara skeptis, “Untuk apa saling mengenal?”. Bayangkan, demikian Gus Mus mengimajinaskan ada perbedaan bangsa-bangsa, lalu perbedaan suku-suku yang gampang menyulut sengkarut dan sengketa. Apalagi perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sekali lagi Gus Mus mengajukan pertanyaan perenungan, mengapa dari makhluk yang begitu berbeda dipersatukan dalam perkawinan?

Berdasarkan ayat iu Gus Mus menegaskan bahwa kita dipersatukan dalam perkawinan untuk saling mengenal yang artinya kita mengakui bahwa kita berbeda. Jadi perkawinan itu merupakan fondasi untuk mengakui, menerima, menyadari PERBEDAAN!. (Tetiba ingat lagu Tulus, “Ku kira kita akan bersama. Begitu banyak yang sama…”)

Hal kedua, Gus Mus mengingatkan bahwa manusia bukanlah makhluk yang selamanya baik seperti malaikat dan selamanya buruk seperti setan. Karenanya perkawinan menurut Gus Mus harus berfungsi sebagai sarana memanusiakan manusia, agar masing-masing yang ada dalam ikatan perkawian itu tetap menjadi manusia. Karenanya rumah tangga harus dapat menjaga dan merawat martabat pasangan sebagai manusia.

Dan hal ketiga, dengan menyadari bahwa antara laki-laki dan perempuan itu berbeda, keduanya adalah manusia, maka hal yang harus diusahakan dan diperjuangkan oleh pasangan yang berbeda di dalam perkawinan itu adalah terus-menerus berbuat ma’ruf. Bukan sekali-sekali ma’ruf, bukan kadang-kadang ma’ruf, tetapi harus terus-menerus ma’ruf. Selamanya terus berbuat baik kepada pasangan. Dan itu adalah perjuangan di sepanjang perkawinan![]

25 Juni 2022

Islam dan Demokrasi

HUBUNGAN Islam dan demokrasi menjadi bahan dialog dan perdebatan di dunia Islam sejak Muhammad Ali Pasha mengirim ratusan mahasiswa Mesir antara tahun 1813-1849 ke Prancis, Inggris, Italia, dan Austria. Di antara mahasiswa tersebut yang mempunyai nama besar adalah Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi, yang setelah kembali dari Prancis ia membawa gagasan mengenai demokrasi dan nasionalisme. Al-Thahthawi merupakan tokoh pembaharu pertama dalam sejarah Mesir modern. Ia memandang bahwa pengiriman ratusan mahasiswa ke negara-negara Eropa itu merupakan upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai demokrasi dalam sistem Barat ke dunia Islam. Dan ia melihat bahwa kepentingan umum yang merupakan bagian dari syariat relatif lebih terpenuhi di dalam struktur permusyawaratan yang membangun sistem demokrasi (saat itu belum ada kebijakan-kebijakan politik di negara-negara demokrasi yang memicu kontroversi besar, seperti hak-hak homoseksual).

Karena demokrasi menduduki posisi puncak di arena global dengan berpijak pada pemikiran liberal yang terkait dengan Eropa dan Amerika, sebagian dari umat Muslim mencoba membandingkannya dengan prinsip keadilan dan syûrâ dalam Islam—yang dari sana kemudian lahir istilah “demokrasi Islam”—, hingga kemudian mereka mengklaim bahwa Islam sebenarnya telah terlebih dahulu menjalankan sistem demokrasi tanpa melihat titik-titik persamaan dan perbedaan antara antara istilah “Islam” dan “Barat” dengan prinsip “tidak masalah dalam terminologi”. “Keadilan dan syûrâ di dalam ajaran Islam adalah demokrasi,” kata mereka. Mereka menulis banyak buku dan artikel yang memuji demokrasi dan kelebihannya serta kesesuaiannya dengan agama. Belakangan muncul istilah “demokrat konservatif” di Turki yang merujuk pada sistem yang dianut oleh para politisi Turki, sebagaimana digambarkan oleh pakar hukum konstitusi Amerika Noah Feldman bahwa tren demokrasi Islam akan penguasai arena politik di masa depan karena agama dan demokrasi adalah teknik kemasyarakatan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan, sehingga wajar bila keduanya berjalan seiring dan tidak berseberangan.

Sebagian yang lain memandang bahwa demokrasi tidak layak dibandingkan dengan Islam. Sebab, menurut mereka, Islam adalah agama yang memiliki sistem lengkap dan integral yang memandang alam semesta dan kehidupan secara menyeluruh dan komprehensif, sedangkan demokrasi merupakan ekspresi praktis dari metode pemikiran liberal yang lebih menonjolkan pandangan umum tentang alam semesta dan kehidupan. Berbeda dengan pandangan agama, demokrasi lebih fokus pada individu manusia dan kebebasannya tanpa memandang batas nilai, masyarakat dan kekuasaan kecuali dalam batas-batas duniawi semata. Oleh karena itu, dalam pandangan mereka, tidaklah objektif membandingkan suatu bagian dari satu sistem dengan sistem yang lain, karena bagian tersebut tidak akan dapat menjelaskan konsep-konsepnya kecuali melalui posisinya di dalam struktur sistem yang menjadi pijakannya. Dari sini maka perbandingan antara Islam dan demokrasi seperti yang populer di kalangan intelektual Muslim dan lainnya jelas merupakan kesalahan fatal.

Dalam konteks inilah kajian referensi-referensi klasik mengenai nilai-nilai universal Islam menjadi sangat penting. Sebab hanya dengan cara ini pemikiran ulama dan pemikir Muslim bisa dipelajari, begitu juga dengan referensi-referensi kontemporer yang terbit di berbagai negara di Timur Tengah yang banyak memberikan pengaruh di Indonesia. Pengaruh referensi-referensi tersebut terkait pandangan mengenai Islam dan demokrasi belakangan ini kembali mengemuka dan menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, ulama, dan akademisi seiring semakin menjamurnya gerakan fundamentalisme, ekstremisme, dan radikalisme yang menopang Islamisme politik.

Problem hubungan antara agama, negara dan demokrasi sebenarnya tidak eksklusif hanya untuk situasi dunia Islam. Eropa telah lebih dulu mempersoalkannya, karena problem ini mendominasi pemikiran Kristen sejak awal kemunculan agama Kristen, tetapi problem ini bisa diselesaikan pada awal era Renaissance dan kemudian dengan cara yang bervariasi antara kekerasan dan perang saudara di satu sisi, dan perdebatan intelektual yang mengarah kepada konsensus-konsensus rasional realistis yang menentukan batas-batas gereja dan negara di sisi lain. Demokrasi yang didasarkan pada kewarganegaraan dan kemitraan politik untuk semua mendapat tempat yang baik di dalam konsensus-konsensus ini, dan hasilnya adalah stabilitas dunia Kristen di atas kemapanan-kemapanan dan sumber-sumber yang hari ini menjadi bagian bersama antara semua masyarakat Kristiani Barat yang sekuler, liberal dan demokratis, atau negara sipil, dengan beberapa pengecualian di sana-sini.

Hubungan antara agamawan dan politisi dalam masyarakat Kristiani dapat dijelaskan dengan melihat sifat agama Kristen yang memisahkan antara iman Kristen di satu sisi dan politik dan negara di sisi lain, sebagaimana dikatakan, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah,” [Matius 22: 21]. Selain itu, fakta bahwa al-Masih tidak mendirikan negara atau menjalankan pemerintahan, menjadi teladan luhur bagi masyarakat Kristiani untuk tidak mencampuradukkan antara agama dan negara.

Pertimbangan-pertimbangan lain yang membantu mengokohkan posisi demokrasi di dalam masyarakat Kristiani Barat adalah kebangkitan intelektual, industri dan sains, serta kuatnya posisi kaum intelektual atau kelas intelektual yang tercerahkan, juga kesadaran dan kematangan masyarakat Kristiani Barat yang pernah mengalami penderitaan akibat dominasi gereja dan ketiadaan akal. Ketika agama Kristen diadopsi sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi selama pemerintahan Kaisar Konstantin pada abad ke-4 Masehi, peradaban Kekaisaran Romawi pada saat itu sudah sangat tinggi yang diwarisi dari pendahulunya, yaitu peradaban Yunani.

Kesadaran ini telah menanamkan di dalam diri setiap orang kepercayaan kepada diri sendiri, kepercayaan kepada rakyat, serta kemampuan rakyat untuk menyelesaikan masalah-masalah duniawi mereka tanpa memerlukan bantuan Tuhan dalam setiap urusan kecil maupun besar, yang membuat mereka yakin bahwa urusan negara dan sistem pemerintahan beserta kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosialnya bersifat profan untuk kepentingan manusia bukan untuk kepentingan Tuhan di langit, dan bahwa apa yang menjadi kebaikan bagi rakyat dan diterima oleh rakyat tentu juga akan diridhai oleh para penghuni langit karena Tuhan sendiri pasti menghendaki yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.

Perlu dijelaskan bahwa sekularisme Barat-Kristen tidak hanya melihat agama semata, tetapi posisi agama itu sendiri di dalam masyarakat, juga fungsi dan hubungannya dengan bidang-bidang kehidupan yang lain, sebagaimana demokrasi telah mengembalikan kepada warga negara Barat kemanusiaannya, mengukuhkan kewarganegaraan yang membatasi sektarianisme dan sukuisme, dan mengubah hubungan antara pemerintah dan yang diperintah dari hubungan pemimpin dan yang dipimpin menjadi hubungan kewarganegaraan yang menetapkan hak dan kewajiban bagi pemerintah dan warga negara, menghormati kehendak rakyat dan hak mereka melakukan revolusi guna mengganti penguasa, dan melepaskan dari para penguasa monopoli religius dan sakralitas atau untuk berbicara atas nama Tuhan, artinya sistem demokrasi melepaskan legitimasi agama dari para penguasa.

Di lain pihak, pengalaman sejarah Islam tentang hubungan Islam dengan negara dan hubungannya dengan demokrasi, sikap dan pandangan bermunculan dan masih hangat hingga sekarang. Puluhan bahkan ratusan seminar dan konferensi ilmiah diselenggarakan yang melibatkan para intelektual dan cendekiawan dari semua latar belakang politik dan pemikiran. Perdebatan ini semakin meningkat di bawah naungan kekacauan Arab Spring, terutama tentang negara sipil (al-dawlah al-madaniyyah).

Sebelum menguatnya Islamisme politik, pendapat yang paling bisa diterima adalah tidak adanya pertentangan antara Islam dan pembangunan negara modern juga antara Islam dan demokrasi sebagai sistem dan mekanisme untuk mengatur kehidupan masyarakat di dalam negara, atau kemungkinan memasuki dunia demokrasi tanpa berbenturan atau bertentangan dengan agama Islam, karena masing-masing dari keduanya memiliki bidang dan coraknya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain. Para pemikir era kebangkitan Arab-Islam di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah yang paling matang dalam mendekati persoalan ini.

Munculnya Islamisme politik seiring dengan lahirnya Al-Qaeda dan kemudian ISIS beserta apa yang mereka praktikkan di wilayah-wilayah yang mereka kuasai, juga ledakan konflik-konflik sektarianisme dan sukuisme, menjelaskan bahwa banyak masalah yang belum terselesaikan di dunia Islam. Dalam pandangan kelompok ini, demokrasi adalah sistem kafir berdasarkan pada konstitusi positif yang menjadi acuan bagi umat, dan pemerintahan rakyat bertentangan dengan konsep hâkimîyyah (kedaulatan Tuhan) atau pemerintahan dalam Islam. Kaitan erat demokrasi dengan pengalaman politik dan peradaban Barat yang sekular menjadi alasan mereka untuk mewaspadai dan bahkan menolak demokrasi. Banyak kelompok keagamaan di dalam Islam yang memandang demokrasi sinonim dengan sekularisme dan sekularisme sinonim dengan ateisme! Kelompok-kelompok ini mengadopsi pemikiran Wahabi, organisasi Al-Qaeda, ISIS dan lain-lain.

Terdapat pandangan lain yang tidak menolak demokrasi secara prinsip, tetapi melihat demokrasi ada dalam Islam melalui prinsip syûrâ. Menurut pandangan ini dimungkinkan untuk menciptakan ruang pertemuan dan koeksistensi antara Islam dan demokrasi. Pandangan ini diadopsi oleh beberapa negara seperti Maroko, Turki dan lainnya, serta kelompok-kelompok dan tokoh-tokoh pemikir seperti Hassan al-Turabi di Sudan, al-Raisuni di Maroko, Hizbun Nahdhah di Tunisia, dan bahkan Ikhwanul Muslimin belakangan ini.

Terlepas dari semua yang telah terjadi beberapa tahun terakhir, yang pasti demokrasi dan Islam tidak dapat dijauhkan dari pembangunan negara, dan ini berlaku bahkan untuk negara-negara yang belum tersentuh api kekacauan Arab Spring. Demokrasi dan kemitraan politik untuk semua adalah syarat utama untuk membangun kembali negara pada fase post-Arab Spring, keduanya merupakan jaminan kehidupan yang layak dan kebebasan dalam segala bentuknya, jaminan penghormatan terhadap keyakinan agama rakyat, serta jaminan budaya, identitas dan agama mayoritas, bukan aturan individu atau segelintir orang yang menyatakan diri berbicara atas nama Islam dan umat Muslim, atau atas nama sekte atau etnis tertentu.

Tetapi itu tidak berarti bahwa kita harus meniru model demokrasi dan sekularisme Barat, yang diperlukan adalah menyesuaikannya agar selaras dengan budaya dan ciri khas kita, seperti yang dilakukan bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Afrika, juga beberapa negara Islam seperti Malaysia dan Turki sampai batas tertentu, karena demokrasi tidak selalu berarti westernisasi melainkan modernisasi dan modernitas sistem politik. Sama halnya dengan sekularisme yang tidak berarti melawan agama, tetapi lebih merupakan upaya mengatur hubungan antara agama dan negara dengan menghormati dan mengatur bidangnya masing-masing.

Pertanyaannya: bisakah Islam menjadi demokratis? Bisakah partai Islam demokratis dibentuk? Kedua pertanyaan ini menempati area yang sangat luas di dalam berbagai dialog karena transformasi besar yang dialami masyarakat Muslim di tingkat sosial, politik dan ekonomi. Transformasi ini telah membuka cakrawala dialog dan diskusi tentang tema-tema yang sangat kompleks dan sangat urgen yang memerlukan solusi yang efektif.

Kembali ke dua pertanyaan tersebut, Islam, seperti halnya agama lain, punya kontribusi besar dalam menata masyarakat yang berada di bawah naungannya. Dan seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan masyarakat serta tumpang-tindihnya kepentingan ekonomi dan politik, Islam melampaui peran sosialnya, dan dengan sangat cepat berubah menjadi salah satu bentuk penyelenggaraan negara (mencakup pengelolaan kepentingan ekonomi dan politik warga-warganya). Undang-undang dan peraturan disusun berdasarkan kepentingan kekuatan yang berkuasa dengan memberikan tafsir-tafsir yang bertentangan dengan agama. Dan bersamaan dengan perkembangan sistem ketatanegaraan dan mekanisme peralihan kekuasaan secara damai, mereka yang bertugas mengembangkan instrumen-instrumen pemerintahan dalam Islam gagal menyelaraskannya dengan negara modern. Akibatnya, agama hanya menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan dan filosofi untuk mengatur dan menundukkan masyarakat.

Berbeda dengan demokrasi yang sejak awal merupakan alat untuk mengatur kepentingan politik dan ekonomi, kekuasaannya diperoleh dari kehendak bebas warga negara, hingga kemudian berkembang menjadi alat paling penting untuk peralihan kekuasaan dan penyelenggaraan negara melalui aturan dan mekanisme tertentu. Demokrasi adalah ideologi negara yang diciptakan oleh akal manusia yang otoritasnya diperoleh dari kehendak bebas manusia. Menggabungkan atau mencampuradukkan demokrasi dengan Islam atau agama lain akan menciptakan bentuk administrasi yang terdistorsi, dan segala bentuk harmonisasi di antara keduanya memerlukan perubahan radikal dan mendalam pada salah satu atau kedua-duanya secara bersamaan.

Mengenai keberadaan partai-partai Islam, tidak ada yang menghalangi eksistensinya di dalam sistem demokrasi, atau partai-partai tersebut memiliki agenda politik terkait isu-isu etika dan budaya keagamaan yang berdimensi sosial serupa dengan partai-partai demokrasi Kristen yang tersebar di Eropa, tetapi tanpa sedikitpun “menyentuh” dan “mengganggu” bentuk negara, nilai-nilai dan peraturan-peraturannya yang dihasilkan dari konsensus bersama, atau bahkan netralitas negara terhadap komponen-komponennya, terutama yang bersifat religius, dan tidak dibolehkan menggunakan mimbar keagamaan sebagai tempat propaganda partai. Dulu Gereja di Eropa berusaha untuk mengontrol seluruh sendi negara. Akibatnya sangat tragis dan berdimensi destruktif, sehingga masyarakat Eropa tidak dapat bangkit sampai mereka memisahkan agama dari negara.

Pembagian peran yang damai antara kekuasaan dan aliran-aliran politik membutuhkan inkubator yang mampu menampung semua orang dan menyediakan lingkungan yang aman bagi penegakan hukum supaya peralihan kekuasaan berlangsung secara baik demi terciptanya negara netral yang melindungi kepentingan warganya jauh dari kekuasaan politik. Dan saat ini, tidak ada inkubator yang lebih baik daripada demokrasi yang dapat menampung keragaman dan perbedaan di masyarakat, karena demokrasi tidak menghapuskan afiliasi (kepada kelompok apapun) atau membeda-bedakan orang karena perbedaan ras, suku, dan agamanya, melainkan menyamakan semua dan membuat negara berdiri pada jarak yang sama dari setiap orang tanpa diskriminasi.

Oleh karena itu, demokrasi harus menjadi tujuan dasar bagi semua kekuatan politik, bahkan kekuatan Islam, karena demokrasi merupakan sistem yang mampu melindungi kepentingan setiap orang dan memberi setiap orang kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan tanpa membedakan satu pihak dengan mengorbankan yang lain. Demokrasi mampu memberikan hak yang sama kepada seluruh warga negara untuk menjalankan keyakinan dan ritual agama mereka tanpa diskriminasi, agresi, atau preferensi terhadap satu agama di atas yang lain.[]

Tentang Hijab

PADA tahun 2013 Universitas Al-Azhar menganugerahi Syaikh Musthafa Muhammad Rasyid gelar doktor dalam bidang Syariah dan Hukum dengan predikat Cumlaude untuk disertasinya yang secara khusus mengulas tentang apa yang biasa disebut “hijab” (penutup kepala untuk Muslimah) dari sudut pandang fikih yang menegaskan bahwa itu bukan kewajiban Islam. Dalam disertasinya, Syaikh Rasyid menunjukkan bahwa “penafsiran ayat-ayat yang terlepas dari situasi-situasi historis dan asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat)” telah menyebabkan kebingungan dan penyebaran pemahaman yang salah tentang “hijab” bagi perempuan dalam Islam.

Syaikh Rasyid menganggap bahwa sebagian mufassir menolak untuk menggunakan akal dengan mengutip teks-teks agama bukan pada tempatnya, dan bahwa masing-masing dari mereka menafsirkannya baik atas kemauan sendiri yang jauh maknanya yang hakiki, atau karena kurangnya “kemampuan analitis akibat petaka psikologis”. Sebabnya adalah terhentinya aktivitas ijtihad di kalangan ulama, padahal seorang mujtahid akan menerima kebaikan dari Allah meskipun ia melakukan kesalahan.

Syaikh Rasyid percaya bahwa di masa sekarang kaidah yang berlaku di kalangan sebagian besar ulama kontemporer adalah kaidah “naql (teks) sebelum ‘aql (rasio)” yang diadopsi di dalam kajian-kajian Islam, bukan hanya dalam masalah hijab, tetapi juga dalam masalah-masalah penting lainnya, sehingga menutup celah bagi umat Muslim untuk maju dibanding umat-umat yang lain.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan hijab? Apa dalil-dalil yang diklaim sebagai dasar kewajiban hijab di dalam Islam? Di sini kita akan mendiskusikan dalil-dalil tersebut secara rasional, logis, dan argumentatif sehingga kita tidak membebani Islam dengan sesuatu yang tidak dibawanya. Sejauh ini dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang memandang hijab sebagai kewajiban Islam cenderung membingungkan dan tidak berhubungan: kadang dihadirkan dalam makna jilbab, kadang dalam makna khimar, kadang dalam makna niqab, dan kadang dalam makna burqa, yang menunjukkan penyimpangan dari makna yang sebenarnya.

Pertama, kita mengenal hijab secara bahasa sebagai penutup atau dinding (tabir/tirai). Dan ayat-ayat al-Qur`an tentang hijab hanya terkait dengan istri-istri Nabi Saw., yang berarti meletakkan penghalang/tirai antara mereka (para istri Nabi) dan para sahabat. Tidak ada perbedaan pendapat sama sekali di kalangan ahli fikih mengenai hal ini. Al-Qur`an menyebutkan,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak [makanannya], tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu [untuk menyuruh kamu keluar], dan Allah tidak malu [menerangkan] yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu [keperluan] kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti [hati] Rasulullah dan tidak [pula] mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar [dosanya] di sisi Allah,” [QS. Al-Ahzab: 53].

QS. al-Ahzab: 53 ini mengandung tiga aturan: (1). Tentang perilaku para sahabat ketika mereka diundang untuk makan bersama Nabi Saw.; (2). Tentang peletakan tirai/tabir di antara istri-istri Nabi Saw. dan para sahabat, dan; (3). Tentang ketidakbolehan umat Muslim menikahi istri-istri Nabi Saw. setelah beliau wafat.

Kata “hijab” di dalam ayat tersebut bisa dipahami sebagai peletakan tabir atau tirai di antara istri-istri Nabi Saw. dan para sahabat, dan juga bisa dipahami bahwa peletakan tabir atau tirai itu khusus untuk istri-istri Nabi Saw. saja, bukan untuk budak-budak perempuan beliau, putri-putri beliau, atau perempuan-perempuan muslim lainnya.

Kedua, hijab dimaknai sebagai khimar (kain penutup) dengan landasan QS. al-Nur: 31 yang berbunyi, “Katakanlah kepada perempuan yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka.

Sebab turunnya QS. al-Nur: 31 adalah karena perempuan pada masa Nabi Saw. dan masa sebelum itu biasa memakai khimar yang menutupi kepala dan bagian belakang punggung, sementara bagian atas dada dan leher tetap terbuka. Pendapat lain menyebutkan bahwa khimar adalah abaya (gamis), dan ayat ini meminta perempuan-perempuan Muslim untuk menutupkan khimar ke bagian dada mereka.

Dengan demikian, alasan hukum (‘illah al-hukm) turunnya QS. al-Nur: 31 adalah modifikasi kebiasaan yang berlaku kala itu, yaitu bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah dengan dada terbuka. Ayat ini tidak mengandung ketentuan bagi perempuan untuk menutupi dada dengan model pakaian tertentu, dan juga tidak menetapkan kewajiban menutup kepala dengan khimar atau sejenisnya. Dan ayat ini dimaksudkan untuk membedakan antara perempuan Muslim dan perempuan non-Muslim yang pada masa itu biasa keluar rumah dengan bertelanjang dada.

Ketiga, hijab dimaknai sebagai jilbab dengan landasan QS. al-Ahzab: 59 yang berbunyi, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri kaum mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, dan karena itu mereka tidak diganggu.”

Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa perempuan di masa itu biasa menampakkan wajah mereka seperti budak perempuan ketika buang air besar dan kencing di tempat terbuka karena di rumah mereka tidak ada toilet, sementara beberapa laki-laki “tak bermoral” mencoba menggoda dan mengganggu mereka saat buang air. Masalah ini didengar oleh Nabi Saw., lalu turunlah QS. al-Ahzab: 59 itu untuk menunjukkan identitas perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan budak.

Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa Umar ibn al-Khattab, ketika ia melihat seorang budak perempuan menutupi seluruh tubuhnya, ia akan memukulnya sembari berkata, “Lepaskan jilbabmu, kamu jangan meniru perempuan-perempuan merdeka.” Di masa sekarang, manusia budak sudah tidak ada lagi di muka bumi. Sehingga alasan hukum (‘illah al-hukm) mengenai kewajiban jilbab tidak berlalu lagi.

Keempat, sebuah hadits yang dinisbatkan kepada Nabi Saw. dari Abu Dawud dari Aisyah bahwa Asma binti Abi Bakr datang kepada Nabi Saw., dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Asma, jika seorang perempuan sedang haid (menstruasi), ia tidak pantas untuk dilihat kecuali ini,” dan beliau menunjuk ke wajah dan tangannya. Oleh sejumlah kalangan hadits ini dinilai sebagai dalil kewajiban hijab dalam arti “penutup kepala”. Menurut para ulama hadits ini bukan hadits Mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka bersepakat untuk berbuat dusta), tetapi hadits Ahad (hadits yang tidak memenuhi syarat Mutawatir), sehingga tidak bisa dijadikan landasan kewajiban hijab bagi perempuan.[]

Politik dalam Khazanah Islam

POLITIK makna asalnya (dalam bahasa Yunani) adalah “mengatur kota”. Pengaturan kota di sini bisa melalui partisipasi “warga” dalam jajak pendapat dan pengambilan keputusan. Pada pendapat warga itulah terlahir sebuah legitimasi atau pengakuan atas sebuah kewenangan dari seseorang yang kemudian dikenal dengan konsep pemimpin.

Dalam sejarah peradaban, makna tersebut tidak berbeda dengan makna politik saat ini tentang negara. Makna sebuah negara modern tentu lebih besar daripada sebuah “kota”, lebih kompleks bersamaan dengan fungsi-fungsi yang lebih luas. Tetapi tidak ada salahnya kalau kita meletakkan negara pada posisi “kota” sebagaimana definisi di atas, dan karenanya kita bisa mengatakan: politik adalah mengatur masalah-masalah negara.

Masalah-masalah negara sangat banyak dan bercabang-cabang, di antaranya mengenai masalah-masalah kenegaraan (menjaga batas-batas, kesatuan tanah air, rakyat), dan masalah-masalah kehidupan kebangsaan (kepentingan-kepentingan ekonomi, independensi politik, tradisi kebudayaan).

Di antara fungsi kenegaraan sebagai institusi yang mewakili umat dalam menjalankan kekuasaan adalah menjaga keamanan, menjamin hak dan kebebasan, mewujudkan keadilan, dan mencanangkan kemajuan bagi para warganya. Fungsi lainnya adalah menjalin hubungan dengan negara-negara lain guna menjaga kepentingan-kepentingan eksternalnya, termasuk juga ekonomi, strategi dan lain sebagainya, hingga menjaga keamanan dan perdamaian dunia.

Melihat fungsi politik yang sedemikian banyak, maka politik jelas mempunyai peranan sangat signifikan dalam kehidupan orang banyak. Politik, atau pengaturan masalah-masalah negara, merupakan aktivitas yang akan dapat terlaksana dengan baik melalui pemberian kebebasan kepada seluruh warga negara, baik dari rasa takut maupun dari segala kekurangan. Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) yang dimaksud di sini adalah kebebasan dalam berbicara, menyatakan pikiran dan pendapat dan kebebasan berserikat maupun berkumpul secara damai yang tentu saja perlu dijamin dalam aturan bernegara itu sendiri. Sementara dari sisi lain, kebebasan dari segala kekurangan (freedom from want) dimaksudkan agar menjamin kesetaraan dan kesejahteraan warga yang tentu saja merupakan kepentingan serta tujuan dari mengapa manusia membentuk negara.

Di masa klasik Islam, makna dari otoritas politik kerap dimanifestasikan dalam bentuk negara “khilafah”. Sebuah bentuk negara teokrasi yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memegang otoritas penuh, baik dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia atau agama. Apakah sesederhana penjelasan umum yang demikian? Bagaimana sebenarnya?

Di sini kita perlu membahas masalah khilafah. Masalah ini akan mengalihkan perhatian kita pada masalah-masalah tentang akar kekuasaan dan sistematisasi negara Islam. Problem khilafah sudah memantik suatu upaya yang boleh dibilang berani dari seorang pemikir Mesir Syaikh Ali Abdur Raziq tahun 1925, yaitu sekularisasi pemikiran Islam.

Jika kita bicara tentang kekuasaan mengatur (rule) dan otoritas (authority), maka setidaknya terdapat empat istilah yang perlu diselidiki. Istilah pertama adalah al-imâm atau “leader”, yang secara definitif seringkali berarti seseorang yang memimpin umat Muslim dalam shalat dengan menghadap Ka’bah atau bisa dikatakan bahwa al-imâm adalah pemimpin rohani. Istilah kedua adalah “al-khalîfah” atau “successor”, yang berarti pemimpin umat Muslim yang menggantikan posisi kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. setelah wafat. Adapun istilah yang ketiga yaitu al-amîr atau “command” bisa diartikan sebagai pemegang komando dan biasanya dikenal dalam keadaan tertentu, misalnya perang. Sedangkan istilah yang keempat adalah al-sulthân, yang mempunyai arti seseorang yang menjalankan dan menangani kekuasaan dalam artian politik yang bersifat duniawi.

Keempat istilah ini tak bisa disamaratakan sebagai konsep yang lahir dari sejarah Islam, apalagi jika dikatakan berasal dari al-Qur`an. Itu adalah dua konteks yang harus dibedakan agar kita memahaminya secara adil. Keempat istilah di atas juga berbeda antara satu sama lain, meski seringkali dipahami secara saling tumpang tindih. Dua istilah pertama biasanya diartikan mengandung tanggungjawab-tanggungjawab spiritual, sedangkan dua istilah yang kedua lebih bersifat non-spiritual atau bisa diartikan sebagai menjalankan kekuasaan atau kewenangan yang diperoleh dari pemberian legitimasi dan jalan kekuatan serta berlangsung berkat adanya kekuatan tersebut.

Meski dengan ini kita dapat melihat perbedaan antara al-imâmah (kepemimpinan) maupun al-khilâfah (kekhalifahah) dengan al-sulthânah (kesultanan, kerajaan), dalam sejarah pun kita menemukan penggunaan seluruh istilah itu kerap bercampur aduk dan bertumpang tindih. Istilah al-imâmah bisa ditemukan dalam kisah Nabi Saw. dan tertuang dalam rujukan fikih. Di masa Nabi Muhammad Saw, seorang imam bisa memimpin ibadah agama atau kegiatan spiritual sekaligus memimpin komunitasnya. Setelah Nabi Saw wafat istilah al-khilâfah lebih disoroti guna merujuk kepemimpinan Abu Bakar dan para sahabat yang menggantikan peran kepemimpinan Nabi Saw (successor).

Demikian pula istilah al-amr yang terkenal di masa Umar ibn al-Khatthab. Al-Qur`an menyebutkan tentang otoritas politik dalam makna seperti yang populer saat ini dengan kata “al-amr”. Dari kata ini kemudian muncul “al-amîr”, yaitu orang yang memegang kendali kekuasaan dan pemerintahan. Itulah sebabnya Umar ibn al-Khatthab menyebut dirinya Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman) yang juga dijadikan sebutan untuk dua khalifah setelahnya (Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib).

Masing-masing kekhalifahan berlangsung selama periode yang bervariasi. Dari periode yang tersingkat hanya 2 tahun di bawah Abu Bakar al-Shiddiq, lalu 10 tahun di bawah Umar ibn Khattab lalu berakhir dengan pembunuhannya, 12 tahun di bawah Ustman ibn Affan yang juga dibunuh, dan sekitar 3-5 tahun di bawah Ali ibn Abi Thalib yang juga berakhir dibunuh. Keseluruhan dinamika kekhalifahan mereka memperlihatkan adanya tarik menarik kekuasaan yang keras sehingga diwarnai dengan pembunuhan politik (political assassination).

Dalam perkembangan peradaban di kemudian hari, setelah satu generasi dari wafatnya Nabi Saw., kepemimpinan oleh seorang khilafah menjadi warisan turun-temurun sejak awal masa pemerintahan Umawiyah pada tahun 660 M. Dinamika pertarungan kekuasaan di masa-masa kemudian pun tidak jauh berbeda dengan masa kekhalifahan. Istilah kekuasaan berbasis khalifah kemudian menjadi bercampur aduk dengan model kepemimpinan seorang kaisar di Persia atau Roma yang dalam sejarahnya juga diwarnai konflik-konflik politik dan menelan korban. Salah satu sebabnya adalah kepemimpinan yang otoriter, baik dalam bentuk pemerintahan berbasis khalifah maupun kaisar atau kesultanan. Bentuk suatu pemerintahan dan praktik kepemimpinan dalam sebuah pemerintahan tersebut menjadi hal yang paradoks. Kisah sejarah para sultan Turki yang mengklaim dirinya sebagai pewaris khilafah juga turut membuat pengertian atas konsep al-imâmah, al-khilâfah, al-sulthânah, dan al-amr semakin dapat disalahartikan.

Dalam sejarah, dari keempat konsep yang disebutkan di atas, al-khilâfah adalah konsep yang paling sering diperbincangkan, diikuti, sekaligus disalahartikan. Para khalifah dan para ahli fikih berpijak pada sebuah perspektif—meskipun secara implisit—yang mengatakan bahwa khalifah merupakan pewaris hak-hak Nabi, sehingga fikih Islam tampak hanya tertarik kepada masalah kepemimpinan sang khalifah berikut hak-haknya, dan sedikit sekali menaruh perhatian pada hak-hak rakyat. Kecenderungan ini juga terjadi dalam sejarah kekuasaan yang berbasis non-kekhilafahan.

Selama sejarah kekhilafahan Islam penerapan politik selalu saja bisa bertentangan dengan kepentingan-kepentingan manusia. Kecenderungan ini terlihat pada sepanjang sejarah kekuasaan maupun kepemimpinan di bawah kesultanan dan kekaisaran di masa lalu dan pada era kekuasaan politik modern di bawah konsep republik maupun demokrasi. Keadilan, harta, dan otoritas keagamaan seringkali menjadi milik pribadi seorang pemimpin, serta ditafsirkan secara sepihak oleh sang pemimpin, atau menjadi hak anak-anaknya dan para menterinya. Di titik inilah kita perlu secara adil menempatkan ambiguitas konsep kepemimpinan dari istilah al-imâmah, al-khilâfah, al-sulthânah, dan al-amr.

Dengan pemahaman yang salah terhadap sejarah peradaban Islam, agama dan al-Qur`an serta pandangan-pandangan tradisional dan imajinasi yang belum tentu terjadi di kehidupan Nabi berikut para shahabat, praktik atas konsep khilafah seringkali kembali kepada keadaan semula, yaitu kekuasaan kabilah, di mana orang-orang Quraisy (orang-orang Umawiyah, Abbasiyah dan para pendukung Ali ibn Abi Thalib) mulai masuk ke dalam konflik atas dasar bahwa khilafah hanya merupakan hak anak-anak dan keturunan-keturunan mereka saja, sebab mereka termasuk dari kabilah Nabi Saw. Sehingga khilafah hanya dikuasai oleh politik dinasti, yaitu kabilah Quraisy selama sembilan abad, yang memang sulit dipungkiri dimulai dari al-Khulafa` al-Rasyidin, kemudian dinasti Umawiyah, dinasti Abbasiyah dan setelah itu dinasti Fathimiyah.

Kendati kondisi-kondisi historis dan sosial mengalami perubahan, konsep dan praktik atas konsep itu menjadi semakin rumit ketika banyak orang kemudian memahaminya sebagai perintah agama, sunnah Nabi dan syariat Allah. Benar-benar menjadi semakin rumit ketika di masa lalu, praktik kekuasaan politik berbasis dinasti dan kesukuan sangat kuat sehingga pada suatu masa kekuasaan kekhilafahan, orang-orang non-Arab—lebih tepatnya orang-orang non-Quraisy Arab tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam politik dan mengurus masalah-masalah pemerintahan.

Pandangan fikih klasik sering menegaskan bahwa kekuasaan orang-orang non-Quraisy terhadap umat Muslim tidak dibenarkan. Padahal, paling tidak menurut sunnah, sebenarnya khilafah bukanlah sebuah sistem keagamaan. Perubahannya menjadi sistem keagamaan telah terjadi pada perkembangan berikutnya, yang oleh para ahli fikih dianggap sebagai “penjaga agama dan pengatur masalah-masalah dunia”. Hal ini telah melahirkan keyakinan di kalangan orang-orang awam bahwa para khalifah adalah ma’shûm (terpelihara dari dosa) dalam ucapan dan perbuatan mereka.

Sifat kekuasaan yang pragmatis dalam pemerintahan Islam, yang secara umum hanya terpusat pada satu ras tertentu yaitu Quraisy, dan secara khusus pada keluarga Nabi Saw., juga mendorong para khalifah ketika itu memerangi negara-negara lain guna melindungi hak-hak kekuasaan atau menambah kekuatan dan mengembangkan sumber penghasilan.

Kendati tujuan ekspansi-ekspansi yang dilakukan kerap berdalih untuk menyebarkan Islam, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Orang-orang Mesir, sebagai contoh, tetap memeluk agama lama mereka selama lebih dari tiga abad setelah ekspansi Islam, kemudian di Andalusia banyak dari penduduk yang masih memeluk agama Kristen selama pemerintahan Islam yang berlangsung selama tujuh abad.

Meskipun non-Muslim tidak mendapat tekanan di bawah pemerintahan Islam di negara-negara taklukan, tetapi keadaan mereka tetap dibedakan dengan orang-orang Arab. Benar bahwa mereka bebas melakukan ritual-ritual keagamaan, namun mereka sama sekali tidak bebas melaksanakan hak-hak sipil politik atau hak-hak ekonomi, sosial dan budaya seperti membangun tempat-tempat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan secara terang-terangan. Akibatnya, sebagian warga yang tertindas membuat aliran-aliran keagamaan khusus, dan banyak dari mereka—setelah masuk Islam—mengaku-ngaku Nabi dengan tujuan mendapatkan ketenaran dan kekuasaan atau harapan untuk mendapat keselamatan.

Dalam skala ekstrim, banyak dari para khalifah dengan orang-orang kepercayaan, para menteri serta para hakimnya yang anti terhadap pendidikan atau kebudayaan luhur di luar apa yang mereka tafsirkan sebagai Islam. Mereka melarang pendidikan yang dianggap tak sesuai Islam, mereka lebih suka model pendidikan yang terkontrol dan tidak menimbulkan ancaman bagi kepentingan status quo kekuasaan. Akibatnya adalah terjadi kebodohan dan kemunduran politik yang besar dari peradaban Islam. Kekuasaan yang membatasi hak-hak dan kebebasan warga negara meskipun Muslim, dan sekalipun hanya sekedar menghafal ayat-ayat al-Qur`an dan beberapa hadis Nabi, tentunya memberangus pandangan-pandangan yang bertentangan dengan ahli fikih yang dekat dengan kekuasaan ketika itu.

Demikianlah kita melihat bagaimana konsep dan praktik atas otoritas politik berbentuk negara khilafah tampak bertentangan dengan al-Qur`an yang mengajarkan keadilan sosial, hak-hak dan kebebasan asasi manusia, hingga tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Dengan catatan bahwa prinsip-prinsip dasar dari konsep ideal manusia atas kekuasaan, sebagai contoh dalam hal ini kekhilafahan memang banyak diambil dari ajaran agama seperti al-Qur`an. Di titik ini, ajaran “hukma illâ Allâh”, yang dari sini muncul konsep “hâkimiyyatullâh” seringkali diulang-ulang oleh para khalifah—setelah masa-masa al-Khulafa` al-Rasyidin. Hal ini kemudian menimbulkan kesan keidentikan antara konsep kekhilafahan dengan perintah al-Qur`an. Dalam masa terjadinya penyimpangan kekuasaan—kekhilafahan sekalipun—ajaran-ajaran agama memang sering dijadikan topeng yang menutupi tujuan-tujuan pribadi mereka, dan menjustifikasi kezhaliman-kezhaliman mereka terhadap rakyat.

Padahal kata “al-hukm” di dalam al-Qur`an tidak bermakna otoritas politik (al-sulthah al-siyâsîyyah), atau makna sistem kekuasaan monolitik yang saat ini lagi berkembang. Kata-kata “hukma illâ Allâh” (tiada hukum kecuali Allah) dengan makna yang politis, sebenarnya bukan dari Islam, dan al-Qur`an juga tidak mengenalnya. Pandangan semacam ini sama seperti pandangan yang muncul pada masa Mesir kuno, kemudian menyebar dalam masyarakat-masyarakat Kristen di abad-abad petengahan. Dan yang terpenting ialah bahwa kata “al-hukm” dalam bahasa al-Qur`an berarti menegakkan keadilan di antara manusia [QS. al-Nisa`: 58]. Di ayat lain berarti menyelesaikan perselisihan [QS. al-Zumar: 3]. Juga berarti nasehat dan hikmah [QS. al-Syu’ara`: 21]. Sama sekali tidak ada yang mempunyai arti otoritas politik.

Akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya, apapun itu bentuk negara, tidak menjadi soal. Tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika otoritas politik disalahgunakan, atau dijadikan senjata ampuh untuk memeras dan menindas rakyat serta berbuat kerusakan di muka bumi melalui eksploitasi sumber daya alam yang hanya diperuntukkan bagi keuntungan segelintir elite penguasa dan para pebisnis yang mendapat perlindungan mereka. Tujuan utama pendirian sistem politik bukanlah penguasaan, pemaksaan atau penundukan rakyat untuk kepentingan para penguasa dan segelintir orang yang kaya-raya, tetapi pembebasan dari rasa takut (liberation from fear) dan pembebasan dari segala kekurangan (liberation from want), sehingga setiap orang dapat hidup dalam keadaan damai dan dalam kemuliaan martabatnya sebagai manusia (al-karamah al-insânîyyah). Tujuan dari sebuah sistem politik bukan mengubah manusia menjadi makhluk pemangsa atau alat pemuas nafsu penundukan, tetapi antara lain untuk mencapai keselamatan jiwa, hak hidup dan kehormatan manusia (hifzh al-nafs wa al-‘irdh), hingga menjaga akal pikiran (al-‘aql) sehingga tidak akan terjadi keterbelakangan, artinya bahwa sebenarnya tujuan daripada sistem politik adalah kebebasan dan keadilan, sebagaimana diajarkan di dalam al-Qur`an.[]