Pos

Relasi Agama dengan Realitas Sosial

Oleh: Ulil Abshar Abdalla

 

PERAN agama Islam terutama dan agama secara umum di dalam masyarakat Indonesia itu sangat besar. Penetrasi nilai-nilai agama terhadap masyarakat di Indonesia sedemikian dalam. Sebetulnya ini sangat bagus karena agama juga memainkan peranan penting dalam membentuk masyarakat kita secara kebudayaan, politik, dan secara sosial. Inilah yang membedakan kita dengan masyarakat-masyarakat modern di Barat yang mengalami sekularisasi.

Di Indonesia, dan mungkin juga di tempat-tempat lain, sekularisasi tidak terjadi seperti di Barat. Sebagaimana yang kita tahu, agama di Indonesia tetap bertahan sampai sekarang dan mengalami reartikulasi kembali di dalam kehidupan sosial dengan bentuknya yang bermacam-macam.

Menurut saya, pertanyaan besarnya di dalam masyarakat yang kultur agamanya sangat kuat seperti di Indonesia, sebuah masyarakat di mana nilai-nilai agama membentuk semua hal, adalah: bagaimana kita memahami agama dalam relasinya dengan hal-hal lain? Ini sangat penting sekali. Kalau kita tidak bisa membuat suatu kerangka paradigma yang tepat di dalam melihat hubungan antara agama dengan banyak hal, maka akan timbul masalah di masyarakat. Makanya, menurut saya, relasi agama dengan hal-hal lain itu sangat penting kita pikirkan secara serius. Misalnya relasi agama dengan negara, agama dengan keadilan gender, agama dengan ekonomi, agama dengan politik, agama dengan kebudayaan, agama dan perkembangan sains modern, agama dan perkembangan masyarakat digital, dan seterusnya.

Itu tidak berarti kita memaksa-maksakan agama untuk dibicarakan dalam segala hal, tetapi kita memang harus berhadapan dengan fakta bahwa agama begitu penetratif di dalam kehidupan masyarakat kita. Ini adalah given, sesuatu yang terberi secara sosial. Dan kita tidak bisa menolak sesuatu yang terberi secara sosial.

Menghadapi realitas seperti itu, kita harus membuat kerangka yang tepat bagaimana relasi agama dengan hal-hal lain. Inilah tantangan kita sekarang, karena kita dihadapkan pada pola relasi agama dengan hal-hal lain itu sangat problematis. Sebenarnya ada beberapa orang yang membuat kerangka relasi agama dengan negara modern yang menurut saya keliru sehingga memicu munculnya radikalisme. Jadi, kita perlu membuat kerangka paradigma yang solid tentang relasi agama dengan realitas sosial modern saat ini.

Sekarang ini salah satu institusi penting dalam realitas modern, selain negara tentu saja dan ekonomi modern, juga kehadiran orang-orang yang berbeda-beda atau the existence of others atau wujûd al-âkhar (beradaan orang lain) di dalam masyarakat kita yang semakin banyak variasinya. Sebab, agama-agama itu, pada umumnya, terutama dalam praktik kita, dulunya berkembang di dalam konteks sosial yang relatif homogen. Tetapi sekarang kita berhadapan dengan realitas sosial yang heterogen.

Dulu orang-orang mempraktikkan agama di dalam masyarakat yang homogen. Karena itu, misalnya, menyalakan speaker keras-keras di malam hari tidak menjadi persoalan. Tetapi sekarang, di dalam masyarakat yang semakin plural, ketika praktik-praktik keagamaan di dalam konteks homogen itu dibawa ke dalam konteks sosial yang heterogen justru menjadi persoalan. Sehingga timbullah konflik seperti kasus Meliana di Medan, misalnya. Ini terjadi karena kita gagal mentransformasikan pandangan kita tentang bagaimana agama dihubungkan dengan keadaan-keadaan di dalam realitas modern saat ini.

Di dalam konteks sosial yang heterogen ini kita mendapati dua opsi yang menurut saya tidak ideal. Pertama adalah opsi kembali kepada formulasi keagamaan dari abad ke-7 Masehi yang terhalang oleh gap yang sangat jauh dengan realitas yang kita hadapi saat ini, yaitu gap teologis yang begitu lebar. Kita tidak bisa menggunakan formulasi klasik seperti itu secara apa adanya di dalam realitas saat ini. Kedua adalah opsi yang mengabaikan tradisi agama, dan ini sangat tidak realistis.

Kedua opsi tersebut menurut saya sama-sama tidak ideal. Untuk itu kita harus mencari jalan tengah yang tentu saja tidak mudah untuk merumuskannya. Tetapi menurut saya, tantangan menjadi muslim di era digital adalah membuat kerangka relasi agama dengan situasi-situasi kontemporer dalam rumusan yang pas dan tepat: bukan rumusan yang mengajak kita untuk kembali ke era salaf, dan bukan pula rumusan yang mendorong kita untuk mengabaikan tradisi yang berkembang di masyarakat.

Jadi, bagi masyarakat Muslim sekarang sangat penting merumuskan suatu kerangka konseptual supaya mereka bisa meletakkan agama secara proporsional dalam relasinya dengan hal-hal lain di luarnya. Dalam hal ini pertanyaan besarnya adalah: “what does mean to be muslim in this era?” atau “mâdzâ ya’nîy antakûna musliman fî hâdzâ al-‘ashr?” (apa artinya menjadi muslim di masa sekarang?). Ini adalah pertanyaan perenial/abadi yang harus terus direfleksikan dan dipikirkan. Karena, menurut saya, esensi menjadi muslim adalah seperti anjuran di dalam al-Qur`an, “Ya’qilûn,” “Yatafakkarûn”, yaitu bahwa kita harus selalu menggunakan akal untuk berpikir. Artinya, seorang muslim harus menjadi sosok yang selalu memikirkan relasinya dengan hal-hal lain tanpa henti.

Jawaban atas pertanyaan besar tersebut tidak akan pernah selesai dan harus dipikirkan secara terus-menerus. Makna dari kata “ya’qilûn” dan “yatafakkarûn” di dalam al-Qur`an menurut saya adalah tidak pernah berhenti merefleksikan, memikirkan, merenungkan, dan melihat relasi kita dengan dunia dan realitas sosial modern seperti sekarang ini.

Saya katakan, sekularisme dan fanatisme bukan jawaban atau solusi. Mungkin ada segelintir orang yang merasa nyaman dengan salah satu dari keduanya. Tetapi, menurut saya, sebagian besar orang menghendaki jalan yang tidak terlampau jauh pergi ke masa lalu (fanatisme) atau jalan yang mengabaikan tradisi yang berkembang di masa sekarang (sekularisme).

Di sini saya ingin menekankan bahwa ada keragaman cara menjadi muslim. Menjadi muslim itu tidak tunggal, tetapi bisa diterjemahkan ke dalam berbagai cara. Tidak sedikit orang sekarang ini yang berasumsi bahwa menjadi muslim itu hanya melalui cara yang tunggal saja. Dan menurut saya perlu digaungkan secara terus-menerus bahwa ada “different ways” (jalan yang berbeda-beda) untuk menjadi muslim seperti ditunjukkan dalam praktik-praktik keislaman yang bervariasi—keragamaan variasi ekspresi menjadi muslim sesuai dengan konteksnya masing-masing. Fakta keragaman ini harus kita tunjukkan kepada publik umat Muslim sekarang yang lebih menyukai homogenisasi dan penunggalan.[]