Pos

Rumah KitaB Luncurkan Buku Fikih Wabah

Jakarta, NU Online

Rumah Kita Bersama atau Rumah KitaB meluncurkan sekaligus membedah buku Fikih Wabah: Panduan Keagamaan di Masa Pandemi, Selasa (12/5) secara daring. Buku Fikih Wabah ini ditulis oleh Achmat Hilmi, Jamaluddin Muhammad, dan Muhammad Fayyaz. Direktur Rumah KitaB Lies Marcoes menyatakan, buku ini disusun dengan sebuah metodologi yang konsisten digunakan Rumah KitaB, yakni maqasid syariah. “(Buku ini) berdasarkan apa sih tujuan beragama dan implikasinya dalam situasi seperti ini yang tiba-tiba gak boleh ke masjid, gak boleh berjamaah dan lain sebagainya,” kata Lies.

 

Pada buku ini, Rumah KitaB juga disebut Lies berusaha menghadirkan perspektif keadilan gender sesuai dengan kebutuhan masyarakat supaya dapat melihat konsekuensi dari adanya pandemi Covid-19. “Virusnya tidak berjenis kelamin saya kira, tetapi berdampak beda kepada laki-laki dan perempuan. Berdampak beda kepada lelaki tua dan perempuan tua, berdampak beda kepada anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki,” katanya. Ia mengemukakan laporan dari Lombok yang menunjukkan tingkat kekerasan pada anak perempuan menjadi besar karena anak perempuan menjadi pekerja substitute dari orang tuannya. “Jadi perspektif gender menurut saya sangat penting, dan ini dihadirkan dalam buku ini,” ucapnya.

 

Penulis buku Fikih Wabah Jamaluddin Muhammad mengemukakan, buku fikih wabah ini merupakan panduan bagi umat Islam mulai dari bagaimana sikap yang harus diambil dalam merespons pandemi Covid-19 sampai tuntunan menjalani ritual keagamaan dengan prinsip maqasid syariah. “Karena semangat yang ingin disampaikan dalam buku ini sebetulnya satu, yaitu dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih. Jadi bagaimana menghindari mudarat, menghindari mafasid, kerusakan sebagai prinsip utama dalam menjalankan ritual keagamaan,” kata Jamal.

 

Penulis lainnya, Achmat Hilmi menyatakan bahwa buku yang ditulisnya bukan buku panduan keagamaan pertama dalam merespons pandemi Covid. Namun, kata Hilmi, bukunya memiliki metodologi yang berbeda dengan buku fikih wabah yang lain yang sudah ada. “Di sini penggunaan perspektif gender, terutama pembahasan soal anak dengan disabilitas itu sangat kentara. Misalnya di bab Ramadhan dan zakat, lalu pembahasan yang terkait sekali dengan pendekatan perempuan juga sangat kental di beberapa bab di buku ini,” kata Hilmi.

 

Buku ini pun dibedah dengan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sri Mulyati, Pengampu Pengajian Ihya Ulumiddin KH Ulil Absar Abdalla, Ketua LBM PWNU Jakarta, dan Ketua PEKKA Nani Zulminarni.

 

Download buku disini

Pewarta: Husni Sahal

Editor: Abdullah Alawi

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/119963/rumah-kitab-luncurkan-buku-fikih-wabah

Menjadi Muslim yang Kullîy dan Juz’îy

Oleh Ulil Abshar Abdalla

 

TUBUH manusia itu bersifat “juzîy”, partikular. Sebagai tubuh, manusia hanya bisa berada di sebuah tempat yang terbatas, misalnya, di Jakarta. Sebagai tubuh, manusia tidak bisa berada di beberapa tempat secara bersamaan. Itulah makna bahwa manusia adalah makhluk “juzîy” dari segi tubuh dan jasadnya.

Tetapi sebagai ruh dan spirit, manusia adalah makhluk “kullîy”, universal. Melalui pikirannya, manusia bisa menjangkau hal-hal yang paling jauh, bahkan bisa membayangkan hal-hal yang “madûm”, hal-hal yang tak atau belum ada. Bayangan ini punya akibat yang ajaib. Melalui bayangan dan fantasinya, manusia bisa mengubah hal-hal yang “madûm”, tak ada, menjadi “mawjûd”, ada. Inovasi-inovasi besar dalam sejarah manusia berlangsung melalui mekanisme ini.

Dengan kata lain, manusia adalah makhluk juzîy dan kullîy sekaligus, makhluk yang terbatas, tetapi juga sekaligus tidak terbatas. Kebahagiaan manusia akan terbit jika ia menyadari natur atau wataknya yang ganda seperti itu.

Saya ingin terapkan wawasan ini dalam contoh yang kongkrit. Kemusliman kita (ini bisa berlaku untuk agama-agama lain juga!) akan membawa rahmat jika kita bisa menjadi Muslim yang juzîy dan kullîy sekaligus.

Apa maknanya ini? Menjadi Muslim yang “kullîy” artinya adalah mengikuti ajaran-ajaran Islam yang berlaku universal, yang dipraktekkan di mana-mana secara seragam: dari yang sifatnya ‘ubûdîyyah, ritual, seperti salat, hingga yang doktrinal seperti ajaran tauhid, atau yang bersifat normatif, seperti nilai-nilai keadilan, kedamaian, persaudaraan, kesetaraan, dll.

Tetapi menjadi Muslim yang kulli tok tidak cukup. Kita juga harus menjadi Muslim yang “juz’îy”, yakni menjadi Muslim yang kongkrit dan riil, berjejak di bumi atau tempat yang “juz’îy”, di ruang yang jelas.

Menjadi Muslim yang “juz’îy” maknanya ialah melaksanakan Islam dalam konteks kebudayaan lokal yang menghidupi kita. Islam yang kullîy harus diberikan tubuh dan jasad yang jelas, yaitu kebudayaan dan adat-istiadat setempat.

Islam yang dilaksanakan dengan wasasan seperti ini, Insyaallah, akan membawa rahmat. Yaitu Islam yang juz’îy dan kullîy sekaligus. Jika seorang Muslim hanya menekankan aspek-aspek kullîy saja, mengabaikan yang juz’îy, maka akan timbul masalah besar. Sebab, akhirnya Islam dibenturkan dengan kebudayaan-kebudayaan lokal.

Tetapi menjadi Muslim yang juzîy saja juga tidak memadai. Sebab, jika kita hanya menekankan aspek-apsek keislaman yang juzîy saja, kita akan kehilangan perspektif tentang universalitas Islam.

Karena manusia adalah makhluk juz’îy dan kullîy sekaligus, maka cara menerjemahkan Islam (atau agama apapun) juga tak bisa mengabaikan aspek kegandaan dalam diri manusia ini.[Roland]

Rumah KitaB di Mata Gus Ulil

MESKIPUN saya baru satu tahun terakhir berinteraksi secara intensif dengan teman-teman Rumah KitaB, tetapi saya menemukan suatu lingkungan gerakan pemikiran dan aktivisme yang menurut saya cukup stimulatif, lega, dan fresh karena memberikan ruang yang tidak disediakan oleh lembaga-lembaga yang lain.

Tentu saja Rumah KitaB mencakup banyak hal yang cukup impresif dilakukan. Tetapi kalau boleh, saya ingin memberikan usulan ke depan. Pertama, menurut saya, karena karakter yang paling menonjol dari Rumah KitaB adalah produksi pengetahuan, maka sumber daya yang menopang produksi pengetahuan itu harus ditingkatkan dan dipertajam, terutama dalam kerangka metodologis.

Sebenarnya, apa yang dilakukan Rumah KitaB selama ini sudah bagus. Rumah KitaB sudah sukses mengembangkan sejumlah isu, di antaranya tentang perkawinan anak dan CVE. Selain itu yang sangat menarik adalah tentang fikih orientasi seksual. Bagi saya, membuka diskusi mengenai masalah orientasi seksual merupakan suatu terobosan yang belum pernah dilakukan oleh lembaga-lembaga yang lain.

Tetapi menurut saya cakupan isu yang ada itu harus diperluas. Saya melihat percakapan tentang hubungan negara dan agama, bagaimana agama menghadapi kaum minoritas dalam segala bentuknya, juga relasi kekuasaan dalam kehidupan sosial masih sangat penting dan akan selalu diperbincangkan. Dan yang tidak kalah penting adalah mempertajam pendekatannya. Karena itu saya usul agar Rumah KitaB menambah teman yang cakap dalam bidang teori-teori dan analisa-analisa sosial supaya bisa melihat hal-hal yang selama ini terabaikan.

Jadi, cakupan isunya diperluas, tetapi jangan sampai Rumah KitaB sama dengan lembaga yang lain. Karena bagaimana pun Rumah KitaB harus punya karakteristik sendiri. Karakter Rumah KitaB sebenarnya sudah terbentuk, yaitu kajian tekstual Islam klasik. Dan kalau itu diperkaya dengan analisa sosial, tentu akan lebih bagus. Bukan saja berguna untuk advokasi tetapi juga berguna secara akademis sehingga untuk ke depannya Rumah KitaB juga diperhitungkan oleh lembaga-lembaga pemikiran.

Kedua, menyangkut publishing ke luar. Menurut saya, tidak terhindarkan bahwa di Rumah KitaB harus ada satu atau dua orang yang harus sering bicara ke luar dan dikutip di media-media massa. Bukan untuk mencari popularitas, tetapi untuk mencari kemungkinan edukasi publik. Dikutip di media bagi diri sendiri mungkin tidak terlalu penting, tetapi menjadi penting dalam rangka edukasi publik.

Untuk itu diperlukan rencana terstruktur, misalnya, pada momen-momen tertentu dengan sengaja Rumah KitaB mendorong seorang wartawan untuk mewawancarai seorang tokoh di Rumah KitaB yang sudah ditentukan. Tokoh yang disudah ditentukan itu akan berbicara kepada media massa, terutama media massa yang masih dilihat sebagai media massa yang kredibel.

Saya kira perkawinan anak yang beberapa tahun ini menjadi isu garapan Rumah KitaB masih akan menjadi isu yang diminati banyak pihak. Selain itu juga isu mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta isu perkawinan secara umum. Diharapkan, ketika isu-isu ini muncul, mestinya para konsumen yang punya perhatian besar terhadapnya langsung menghubungi Rumah KitaB.

Dalam bayangan saya, kekuatan Rumah KitaB adalah karena menfokuskan diri pada isu-isu yang selama ini dianggap sebagai masalah-masalah private atau keluarga. Dan bagi Rumah KitaB, di dalam masalah-masalah private ini terdapat relasi-relasi kuasa tak adil/timpang yang harus diungkap. Mungkin banyak orang yang sudah membahas masalah-masalah tersebut, tetapi Rumah KitaB punya cara baca dan pendekatan tersendiri yang berbeda dengan yang lain.

Jadi, Rumah KitaB harus lebih banyak lagi bersuara keluar. Rumah KitaB harus menjadi suara yang kredibel di saat masyarakat mendiskusikan masalah-masalah private. Menurut saya ini sangat serius, karena sekarang adalah era pertempuran opini di ruang publik. Di tengah-tengah gejolak konservatisme, radikalisme dan fundamentalisme, suara-suara dari Rumah KitaB perlu muncul lebih keras lagi.

Ketiga, sudah saatnya Rumah KitaB memikirkan soal kaderisasi pemikir. Karena terus terang, salah satu krisis yang meresahkan saya adalah krisis pemikiran di kalangan mahasiswa. Sekarang sudah tidak ada lagi forum-forum studi pemikiran. Kalau kita lihat mahasiswa-mahasiswa di era sekarang, mereka hanya kuliah, menjadi doktor hingga profesor, lalu mendapatkan gaji yang lumayan, tetapi tidak ada dari mereka yang terlibat di dalam dinamika pemikiran yang pernah kita alami di era tahun 1980 – 1990-an.

Menurut saya keberadaan semacam pesantren yang di dalamnya Rumah KitaB bisa melakukan workshop atau training intensif bagi anak-anak mahasiswa semester 1 atau 2 untuk membangun kader-kader baru. Saya khawatir, kalau Rumah KitaB tidak segera membangun kader-kader baru, isu-isu yang sudah mulai menggema beberapa tahun belakangan ini akan surut, dan kita menjadi semakin tidak bisa bicara, karena kita ini sebenarnya adalah sisa-sisa masa keemasaan ketika dinamika intelektual masih berjalan cukup baik.

Sekarang kita mengalami kemiskinan institusi yang bisa melahirkan kelompok-kelompok pemikir. Perguruan-perguruan tinggi yang ada saat ini memang semakin bagus dari segi lembaga dan birokrasinya, tetapi tidak bisa melahirkan sarjana-sarjana yang pemikir. Kalau kita tidak segera berbuat sesuatu, keadaan ini akan sangat berbahaya.

Diakui atau tidak saat ini kita berhadapan dengan semakin konservatifnya ruang sosial. Dan problem yang kita hadapi sampai sekarang yang masih belum berubah dari sejak 10 – 20 tahun yang lalu adalah bahwa kita selalu mengeluh melihat keberadaan kelompok-kelompok radikal. Karena mereka sangat kreatif menciptakan gerakan-gerakan kecil di lapangan atas inisiatif mereka sendiri tanpa adanya funding manapun. Inilah yang tidak kita punyai, yaitu kemampuan menciptakan gerakan yang bertumpu pada inisiatif masyarakat sendiri.

Tetapi daripada selalu mengeluh, Rumah KitaB perlu segera membangun lapisan sosial—walaupun tidak besar—yang menjadi komunitas Rumah KitaB di luar komunitas elit yang biasa berdiskusi di kantor Rumah KitaB. Jadi, pelan-pelan Rumah KitaB merekrut generasi baru dari kalangan anak-anak muda untuk dilatih menjadi komunitas epistemik. Konten pelatihannya adalah hasil-hasil penelitian Rumah KitaB untuk disosialisasikan kepada mereka semberi diajari mengenai analisa sosial.[Roland]

KIYAI SAID SERUKAN AKHIRI PERKAWINAN ANAK

Perkawinan anak merupakan perkawinan yang dilakukan oleh salah satu atau kedua belah pihak di bawah usia 18 tahun. Praktik perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Perkawinan anak merampas hak-hak anak, terutama anak perempuan, untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak, dan hak-hak lainnya.

Indonesia menempati urutan kedua praktik perkawinan anak tertinggi di kawasan Asia Tenggara, dan menempati urutan ketujuh tertinggi di dunia. Berdasarkan data UNICEF, 1 dan 9 anak di Indonesia korban perkawinan anak.

Berdasarkan hasil penelitian Rumah KitaB tahun 2014-2016, salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya praktik perkawinan anak yaitu, kelembagaan formal dan non-formal. Kelembagaan formal terdiri dari aparatur pemerintahan dan para pihak yang memiliki otoritas resmi dari negara. Sementara para pihak di kelembagaan non formal terdiri dari para tokoh agama, tokoh adat, dan lainnya yang memegang peranan penting di masyarakat. Keberadaan lembaga non-formal memiliki pengaruh besar dalam mempengaruhi pemahamaan masyarakat untuk melakukan perkawinan anak. Oleh karena itu, perlu adanya jalinan kerja sama dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menghentikan praktik perkawinan anak. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengundang peran serta ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyyah, untuk bekerja sama dalam menyosialisasikan pencegahan praktik perkawinan anak.

Senin, 21 Januari 2019, Tim Rumah KitaB berkunjung ke kantor Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), di Kramat Raya, Jakarta. Tujuan dari kedatangan ini adalah untuk melakukan audiensi dengan Buya Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU. Audiensi ini merupakan upaya Rumah KitaB untuk merangkul PBNU sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang memiliki pengaruh besar di kalangan umat muslim di Indonesia untuk bergerak bersama secara aktif melakukan pencegahan perkawinan anak.

Kegiatan audiensi ini merupakan tindak lanjut program pencegahan perkawinan anak yang dilakukan Rumah KitaB sejak tahun 2017 hingga 2019 di tiga provinsi; DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2). Kegiatan audiensi ini bertujuan menjaga keberlanjutan program agar usaha pencegahan perkawinan anak dapat terus dilakukan secara aktif melalui peran tokoh nasional.

Tim Rumah Kita Bersama yang hadir di PBNU antara lain; Jamal (Staf Kajian), Hilmi (Manager Kajian), Nura (Manajer Operasional), Dilla (Manajer Program), Roland (Manajer Publikasi), dan Seto (Manajer Media dan Desain). Di tengah kesibukan Kiyai Said yang sangat padat, Kiyai Said menerima kedatangan Tim Rumah KitaB pada pukul 19.00 WIB, di ruang kerjanya di lantai 3, Gedung PBNU.

Dalam pertemuan itu, Nura, Dilla, dan Hilmi, memaparkan berbagai hasil penelitian Rumah KitaB terkait faktor, aktor, dan dampak buruk perkawinan anak. Di samping itu, tim Rumah KitaB juga menyampaikan pentingnya kehadiran NU untuk secara aktif ikut serta dalam upaya pencegahan perkawinan anak.  Tim Rumah KitaB meminta Kiyai Said untuk menghubungkan Rumah KitaB dengan Lembaga Bahtsul Masail PBNU agar mengangkat tema pencegahan perkawinan anak sebagai salah satu agenda bahtsul masail di MUNAS NU 24 Februari 2019 mendatang.

Kiyai said memahami dan sepakat bahwa perkawinan anak merupakan praktik yang membahayakan dan menimbulkan madharat (dampak negatif) terhadap perempuan dan anak-anak. Kiyai Said menyadari bahwa negara tidak bisa bergerak sendiri untuk mengatasi persoalan ini. Karena itu, diperlukan peran aktif masyarakat dan berbagai pihak termasuk organisasi masyarakat berbasis keagamaan dan non keagamaan.

Kiyai Said menawarkan Rumah Kita Bersama untuk mengadakan FGD dengan Lembaga Bahtsul Masail, Ma’arif,  dan Lembaga Perguruan Tinggi NU, untuk membangun kesepahaman bersama pentingnya pencegahan perkawinan anak, dan mengikutsertakan peran aktif ketiga lembaga NU tersebut dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

Di akhir pertemuan, kiyai Said menyerukan kepada segenap ulama, tokoh agama, dan komunitas Muslim di Indonesia, untuk secara aktif melakukan pencegahan perkawinan anak.

“Pencegahan perkawinan anak merupakan hal yang sangat penting dilakukan, tujuannya menghindari kemadharatan (dampak negatif) terhadap perempuan dan anak-anak. Perkawinan anak tidak dapat mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Pencegahan perkawinan anak sangat mendesak agar mengurangi perceraian, menghadirkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah, keluarga yang produktif, keluarga yang dinamis, dan bermartabat, karena keluarga adalah madrasah pertama.”

Kiyai Said mengutip syair Ahmad Syauqi; seorang penyair asal Mesir yang sangat terkenal di masa modern; “al-ummu madrasatun idz a’dadtah, a’dadta sya’ban thayyiba al-a’rqi“. Kiyai Said menjelaskan kalimat ini, ia mengatakan “Ibu itu madrasah pertama, kalau ibu atau rumah tangga itu ideal maka akan melahirkan bangsa yang baik. Karena bangsa yang baik lahir dari ibu yang baik pula”.

Oleh karena itu, pencegahan perkawinan anak sangat penting dilakukan oleh warga Nahdhiyyin dan umat Muslim di seluruh Indonesia untuk membantu anak-anak perempuan mencapai masa depannya yang gemilang dan terbebas dari perkawinan anak. [Ahmad Hilmi]

Pemkab Lebak Tekan Angka Pernikahan Anak

LEBAK, iNews.id – Pemerintah Kabupaten Lebak terus berupaya menekan pernikahan usia dini. Perkawinan anak dikhawatirkan punya dampak pada indeks pembangunan manusia (IPM) dan masalah kemiskinan.

“Kami mendorong orang tua bahwa anak-anaknya harus menyelesaikan dulu pendidikan ketimbang menikah,” kata Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana. Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan (DP2KBP3) Kabupaten Lebak, Tadjudin di Lebak, Banten pada Selasa (20/11/2018).

Menurut dia, perkawinan usia anak tentu akan menimbulkan permasalahan di masyarakat, dan menghambat tujuan pembangunan yang berkelanjutan.

Selain itu, menurutnya bisa meningkatkan angka kematian ibu serta anak, lantaran masih rentannya rahim mereka. Belum lagi masalah ekonomi, yang kemudian berpotensi memunculkan pekerja anak, karena harus menafkahi keluarga.

Perkawinan anak juga memengaruhi indeks kedalaman kemiskinan (IKK) sehingga menimbulkan kerawanan kejahatan. Dampak negatif lainnya adalah menyumbangkan perceraian cukup tinggi, karena mental mereka belum siap membangun rumah tangga.

“Apalagi, anak-anak itu tidak memiliki pekerjaan dan ketrampilan,” ujar dia.

Karena itu, pihaknya terus mengoptimalkan pencegahan perkawinan usia anak melalui sosialisasi ke berbagai elemen masyarakat dan lembaga pendidikan agar tidak terjadi pernikahan dini.

“Kami tidak henti-hentinya menyosialisasikan pencegahan perkawinan anak, menunda perkawinan anak hingga memasuki usia 20 tahun,” kata Tadjudin.

Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lebak, Ratu Mintarsih menjelaskan, secara psikologis anak-anak yang menjalani perkawinan usia dini akan menanggung beban cukup berat yang semestinya tidak dialami pada usia mereka.

Maka itu, dia meminta masyarakat yang memiliki anak agar tidak menikahkan anak usia dini.

Undang-undang tentang Perkawinan, katanya, batas usia pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Tapi, kalau mengacu UU tentang perlindungan anak, perempuan berumur 16 tahun masih masuk kategori anak-anak.

“Kami minta KUA agar melakukan pembinaan dan pengawasan kepada penghulu guna mencegah perkawinan anak,” katanya.

Sumber: https://www.inews.id/daerah/regional/pemkab-lebak-tekan-angka-pernikahan-anak/348842

Yang juga Patut Disorot Soal Pemuda Indonesia: Program KB!

Rayakan Sumpah Pemuda dengan memperbaiki usia perkawinan penduduk Indonesia.

tirto.id – Pemuda selalu jadi bahan pembicaraan rutin menjelang peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober. Dari sisi negara, kategori pemuda kerap dibicarakan dalam bingkai tema kependudukan, khususnya dengan frasa “bonus demografi” atau jumlah angkatan pemuda yang besar. Tak lupa, juga soal bagaimana partisipasi mereka dalam kehidupan politik dan ekonomi.

Memang benar, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa seperempat penduduk Indonesia adalah golongan pemuda. Artinya, segala potensi dan dampak yang terjadi dari pemuda signifikan bagi perkembangan negara. Bahkan, dalam pendekatan optimis, orang-orang sering percaya bahwa masa depan suatu negara ada di golongan pemuda itu.

Pemuda dalam UU No.40 Tahun 2009 adalah warga negara Indonesia berusia 16 sampai 30 tahun. Kelompok penduduk dengan rentang umur itu juga disebut sedang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan. Pemuda, dalam pemahaman ini, mencakup semua gender.

Data Statistik Pemuda Indonesia 2017 dari Badan Pusat Statistik (BPS) memberi bahan optimisme. Dalam hal capaian pendidikan, misalnya, hampir tidak ada pemuda yang tidak bisa membaca dan menulis. Angka partisipasi sekolah pada kelompok umur 16-18 tahun juga telah mencapai 71,42 persen. Lebih dari separuh pemuda di Indonesia juga telah mengakses internet dalam tiga bulan terakhir (saat survei BPS berlangsung).

Namun, apakah data-data itu beriringan dengan perbaikan dalam urusan kesehatan reproduksi seperti perkawinan dini, kerentanan kehamilan pertama, hingga penerimaan terhadap program keluarga berencana (KB)?

Statistik Pemuda Indonesia 2017 mencatat persentase pemuda yang menikah dari kelompok umur 15 tahun atau di bawahnya secara nasional hanya mencapai 2,66 persen. Umumnya, pemuda Indonesia melangsungkan perkawinan pertamanya pada usia 19-21 tahun (34,03 persen). Artinya, secara statistik, problem perkawinan dini kini bukanlah masalah struktural. Kalaupun ada persoalan tersebut di beberapa wilayah, kemungkinan ia terkait dengan konteks lokal, tradisi maupun praktik budaya tertentu.

Kalimantan dan Sulawesi Patut Diperhatikan

Meski demikian, sebanyak 21 provinsi di Indonesia masih memiliki persentase tinggi untuk pernikahan dini (dari kelompok umur 15 tahun atau di bawahnya).

Masalah ini ada di satu wilayah Pulau Jawa, beberapa wilayah di bagian selatan Pulau Sumatera, dan merata untuk wilayah Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Di bagian Indonesia timur seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara juga masuk ke dalam kelompok itu. Secara khusus, lima wilayah dengan persentase teratas adalah: Kalimantan Tengah (5,96%), Sulawesi Barat (5,78%), Sulawesi Tengah (5,75%) dan Sulawesi Tenggara (5,42%) serta Papua (4,63).

Infografik Periksa Data Program Kesehatan KB

Patut diperhatikan pula, 21 provinsi di Indonesia masih memiliki nilai rataan di atas nasional untuk kategori pemuda yang menikah pada umur 16-18 tahun. Beberapa wilayah di pulau Sulawesi dan Kalimantan tercatat masuk dalam situasi itu.
Kalimantan Selatan (28,98%), Sulawesi Tenggara (28,28%), Kalimantan Tengah (27,69%), Nusa Tenggara Barat (27,53%) dan Sulawesi Barat (26,60%) adalah lima wilayah dengan persentase teratas.

Kerentanan di Wilayah Perdesaan

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah soal kehamilan pertama. Kehamilan pertama dari kelompok pemuda yang menikah dalam umur 15 tahun atau di bawahnya terjadi lebih banyak di perdesaan daripada perkotaan. Di wilayah perdesaan, persentasenya sebesar 1,51 persen, lebih besar dari angka rata-rata nasional: 1,09 persen.

Infografik Periksa Data Program Kesehatan KB

Kehamilan pertama dari kelompok pemuda yang menikah dalam umur 15 tahun atau di bawahnya di perdesaan cenderung muncul pada 40 persen rumah tangga ekonomi terbawah. Pada kelompok 20 persen rumah tangga ekonomi teratas, kehamilan pertama justru terjadi pada usia teratas, 25-30 tahun.

Berbagai problem kesehatan mendasar terkait kehamilan pertama bisa menjadi efek domino. Kelangsungan generasi yang sehat dan ideal pada masyarakat kelas ekonomi terbawah di perdesaan cenderung sukar terwujud. Artinya, berbagai kebijakan mendatang perlu memperhatikan kelompok rumah tangga itu.

Partisipasi KB

Pada konteks lain, kualitas kependudukan pemuda tidak hanya bersumber dari persoalan perkawinan dini ataupun kehamilan pertama. Kependudukan yang sehat tentu sejalan dengan capaian partisipasi program keluarga berencana (KB).

Infografik Periksa Data Program Kesehatan KB

Data Statistik Pemuda Indonesia 2017 sendiri memperlihatkan bahwa partisipasi pemuda dalam program KB tidak begitu berbeda. Survei menemukan 52,67 persen pemuda perkotaan sedang dalam program KB. Sementara itu, di wilayah perdesaan capaiannya mencapai 56,68 persen.

Berdasarkan demografi kelompok pengeluaran rumah tangga, kelompok 40 persen rumah tangga ekonomi terbawah adalah peserta program KB utama. Sebaliknya, kelompok 20 persen rumah tangga ekonomi teratas tercatat tidak dalam program KB.

Infografik Periksa Data Program Kesehatan KB

Stigma soal KB juga semakin terlihat jika melihat pandangan alasan pemuda ikut dalam program. Alasan fertilitas (29,57 persen) menjadi alasan utama dari kelompok demografi wilayah perdesaan. Menariknya, pemuda dari wilayah perkotaan punya persentase yang besar dalam soal urusan takut efek samping (13,61 persen) dari program KB.

Gambaran soal perkawinan dini, kerentanan kehamilan pertama hingga resepsi terhadap program KB atas pemuda di atas menunjukkan bahwa situasi pemuda Indonesia semestinya tidak hanya dilihat dalam hal bonus demografi. Jumlah pemuda yang besar itu tak hanya perlu dirayakan, tetapi juga disambut dengan perangkat kebijakan yang bisa menjamin kualitas pemuda, termasuk program Keluarga Berencana.

Sumber: https://tirto.id/yang-juga-patut-disorot-soal-pemuda-indonesia-program-kb-c8uj

 

Program BERPIHAK: Program Penguatan Kapasitas Tokoh Formal dan Non-formal untuk Advokasi Pencegahan Perkawinan Anak

Fenomena perkawinan anak di Indonesia sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang mengkhawatirkan. Praktik ini terjadi hampir merata di berbagai wilayah di negeri ini dengan beragam faktor penyebab dan pemicu. Berdasarkan data dari UNICEF tahun 2016, Indonesia menempati peringkat ke 7 di dunia sebagi negara dengan angka perkawinan anak tertinggi dan peringkat ke 2 di Asia Tenggara. Sementara itu, data dari KPPPA yang bersumber dari Susenas menunjukkan bahwa 24.17% anak di Indonesia mengalami perkawinan di bawah umur 18 tahun di tahun 2013 dan di tahun 2015 menurun sedikit menjadi sejumlah 22,82%. Data yang dikumpulkan BAPPENAS menunjukkan bahwa 1 dari 4 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun, dan rata-rata 375 anak perempuan menikah setiap harinya.

 

Hasil kajian dan penelitian Rumah KitaB menunjukkan bahwa tingginya jumlah kasus perkawinan anak di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keberadaan kelembagaan, baik formal, non formal maupun tersamar. Kelembagaan formal mewakili institusi dan aktor yang bekerja di ranah formal, yaitu yang mengampu otoritas dari negara dan pemerintahan, seperti pejabat dan staf di instansi pemerintahan; kelembagaan non formal mencakup institusi dan tokoh yang mempunyai pengaruh di masyarakat meskipun tidak memiliki dan tidak mewakili otoritas dari negara dan pemerintah, misalnya tokoh agama, pemuka adat serta tokoh masyarakat lainnya; dan kelembagaan tersamar merujuk pada pranata sosial, norma budaya dan tradisi, ajaran dan praktik agama serta faktor-faktor ekonomi maupun politik lainnya yang mempengaruhi sikap, tindakan dan keputusan yang diambil oleh masyarakat. Yang termasuk dalam kategori terakhir ini bisa bermacam-macam, dari rasa malu, tekanan sosial, sanksi adat, sampai dengan masalah kemiskinan, struktur relasi yang masih timpang antara perempuan dan laki-laki, maupun ajaran dan praktik agama.

 

Memahami betapa kompleksnya permasalahan kawin anak, serta sangat banyaknya aktor-aktor yang mesti digandeng untuk dapat mengatasi permasalahan yang ada secara efektif dan berkelanjutan, maka Rumah KitaB memandang penting akan adanya satu program yang menyasar para aktor formal dan non formal dengan tujuan untuk memperoleh dukungan bagi kerja-kerja advokasi pencegahan kawin anak ke depan. Dukungan ini mutlak diperlukan karena di sebagian besar kasus kawin anak yang terjadi, para aktor ini berperan penting dan berpengaruh besar dalam memfasilitasi terjadinya praktik tersebut. Dengan mendorong perubahan pandangan, sikap dan keberpihakan para aktor di atas, dari semula melakukan fasilitasi atau pembiaran atas praktik kawin anak menjadi aktif untuk mencegah perkawinan anak, diharapkan upaya penghentian dan pencegahan kawin anak menjadi lebih efektif dan tajam hasilnya.

 

Atas dukungan dan kerjasama dengan Ford Foundation, pada akhirnya Rumah KitaB berkesempatan untuk menyusun dan melaksanakan sebuah program di tema perkawinan anak dengan tajuk Program BERPIHAK. BERPIHAK adalah program pencegahan perkawinan anak yang akan dilaksanakan oleh Rumah KitaB di tiga wilayah di Indonesia, yaitu di Cianjur-Jawa Barat, Madura-Jawa Timur, dan Lombok Utara-NTB, dalam kurun waktu 2018-2020. Program dukungan Ford Foundation ini bertujuan untuk turut mengurangi praktik kawin anak di wilayah kerja program melalui penguatan kapasitas aktor formal dan non-formal untuk advokasi pencegahan perkawinan anak. Ketiga wilayah kerja program sebagaimana disebutkan di atas dipilih karena daerah-daerah tersebut merupakan salah satu kantong penyumbang angka perkawinan anak terbesar di Indonesia.

Dilema Pendidikan Seksual, Makin Ditutupi Makin Terbuka Aksesnya

Jakarta – Zaman boleh berganti namun tidak demikian dengan persepsi pada pendidikan seksual. Terlepas dari latar belakang pendidikan dan ekonomi, pendidikan seksual masih jadi sesuatu yang tabu. Meski sudah ingin membuka aksesnya, pendidikan seksual masih menjadi hal yang sulit diungkapkan di masyarakat.

Berlawanan dengan tabu, informasi seputar reproduksi dan seksual kini makin mudah diperoleh dari berbagai sumber. Akibatnya, Anak dan remaja berisiko tersesat karena tidak tahu sumber informasi yang bisa dipercaya.

“Yang ideal memang sediakan pengetahuan dan layanan, namun jika tidak bisa minimal ada informasinya,” kata Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) Lies Marcoes, Rabu (26/9/2018).

Menurut Lies, pendidikan seksual sebetulnya telah diajarkan sedini mungkin dalam agama. Misalnya ajaran terkait bersuci sebelum melakukan ibadah, misal wudhu. Ibadah dikatakan tidak sah bila wudhu batal, salah satunya dengan menyentuh alat kelamin tanpa pelapis. Dubur dan kemaluan juga diajarkan untuk selalu bersih demi kesehatan tubuh.

Pemenuhan informasi bisa menjadi jalan keluar beberapa masalah terkait seksual dan reproduksi. Misal pernikahan dini, yang ditempuh dengan pertimbangan lebih baik daripada zina. Masalah lainnya adalah kehamilan tidak diinginkan, yang seolah hanya menyediakan jalan keluar menikah secepatnya.

Informasi tentunya harus disampaikan dengan gaya khas remaja, bukan menimbulkan rasa takut atau bertentangan dengan logika. Kecukupan informasi diharapkan bisa membantu remaja mengenal diri, serta mempertimbangkan keputusan terkait seksual dan reproduksi. Hasilnya remaja tak perlu lagi mempercayai iklan obat penggugur kandungan, praktik aborsi ilegal, dan info sesat lainnya.

Sumber: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4230263/dilema-pendidikan-seksual-makin-ditutupi-makin-terbuka-aksesnya

Menyikapi Hamil ‘Tekdung’, Haruskah Indonesia Meniru Belanda?

Jakarta – Hamil ‘tekdung’ alias hamil sebelum menikah, merupakan realita yang kerap melatarbelakangi Married by Accident (MBA). Hal ini terjadi seiring masih tingginya angka pernikahan usia dini di Indonesia. Data BPS 2017 menyatakan, sebaran nikah dini di 23 propinsi di Indonesia mencapai lebih dari 25 persen.

Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) Lies Marcoes mengatakan, remaja yang hamil tekdung umumnya mendapat diskriminasi dari lingkungan sekitar. Remaja dan keluarganya seolah tak punya pilihan lain kecuali segera menikah, tanpa mempertimbangkan kehidupan rumah tangganya kelak.

“Remaja seharusnya bisa memilih dengan difasilitasi negara,” katanya, Rabu (26/9/2018).

Pilihan tersebut tak mengecualikan aborsi jika remaja merasa keberatan atau belum siap menjadi orangtua. Tentunya, remaja harus tahu konsekuensi medis dan psikologis atas pengguguran kandungan. Hal ini untuk mencegah remaja menjadi korban malpraktik atau mengalami dampak buruk lainnya dari praktik aborsi ilegal. Beberapa negara yang membolehkan aborsi adalah Belanda, Singapura, Cina, Korea Utara, dan Vietnam.

Solusi lainnya adalah membuka akses seluasnya pada remaja yang memutuskan ingin menjadi orangtua. Hal ini meliputi boleh melanjutkan sekolah dan mengikuti ujian meski tengah berbadan dua. Layanan medis juga terbuka bagi calon ibu yang ingin memeriksakan kandungan atau melahirkan, tanpa memandang sebelah mata. Ibu yang masih remaja juga bisa mengusahakan kehidupan yang lebih baik bagi diri dan janinnya.

Selain paska kehamilan, Lies mengingatkan pentingnya solusi untuk mencegah kehamilan remaja. Salah satunya kecukupan informasi terkait reproduksi, seksual, dan kontrasepsi sebelum anak beranjak remaja. Selain bisa memilih dan membentengi diri, remaja tak perlu lagi terjebak info yang sumber kebenarannya diragukan terkait reproduksi.

Sumber: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4230020/menyikapi-hamil-tekdung-haruskah-indonesia-meniru-belanda