Pos

Suluk Ruhani

Oleh Ulil Abshar Abdalla

“Ada sejumlah pengertian yang tak bisa dipahami dengan terang-benderang, wahai saudaraku. Melainkan pengertian itu hanya bisa disampaikan dan dipahami melalui perlambang, pasemon, isyarat, bahkan kadang-kadang teka-teki (lughzun).”

Demikian dikatakan oleh wali agung Abdul Karim al-Jili dalam maha-karyanya yang masyhur, “Al-Insan al-Kamil”. “Fa mina-l-ma’ani ma la yufhamu illa lughzan wa isyaratan,” demikian kata al-Jili.

Dan memang demikianlah keadaannya. Ada pengertian-pengertian yang bisa disampaikan dengan kalimat yang terang-benderang, mudah dicerna. Pengertian semacam ini tak butuh “ketajaman rohani” yang tinggi untuk mencernanya.

Sementara pengertian-pengertian yang hanya bisa disampaikan dengan isyarat, perlambang, tak bisa engkau ungkai rahasianya selain melalui “bashirah”, ketajaman mata batin.

Engkau mungkin bertanya: Mengapakah pengertian seperti ini tidak dikatakan saja dengan kalimat yang jelas, tandas, tanpa ambiguitas? Maka, dengarlah jawaban al-Jili berikut ini:

“Fa law dzukira musharrahan, la-hala al-fahmu bihi ‘an mahallihi ila khilafihi.” Andai pengertian semacam itu dikatakan dengan jelas, maka maknanya akan berubah, akan menjerumuskan kita pada pemahaman yang salah.

Sebab, bahasa manusia, wahai saudaraku, seringkali menipu, dan membangkitkan salah paham yang kurang perlu. Engkau pasti pernah mengalami momen ini: Engkau ingin mengatakan sesuatu A, tetapi oleh orang lain justru dimengerti menjadi B. Dan lalu timbul pengertian yang berlawanan dengan apa yang engkau maksudkan.

Para wali dan kekasih Tuhan mengerti benar tentang rentannya dan lemahnya bahasa manusia ini. Satu-satunya jalan untuk menghindar dari kesalah-pahaman ini ialah dengan berlindung di balik isyarat, perlambang.

Sebab, bukankah Tuhan acapkali “berbicara” dengan hamba-Nya melalui bahasa isyarat ini? Melalui ayat-ayat, tanda-tanda, pasemon? Dan bukankah bahasa ini yang sering dipakai sebagai alat percakapan di antara mereka yang sedang jatuh cinta?

Tentu saja bahasa isyarat dan perlambang bisa disalah-pahami, bahkan kadang-kadang dijadikan sebagai alat untuk “memfitnah” dan “mendakwa” para kekasih Tuhan. Tidak apa-apa. Orang-orang yang sedang jatuh cinta dan saling bertukar isyarat, perlambang, tak takut akan dakwaan.

Bahasa isyarat ini hanya bisa engkau pahami dengan cinta, saudaraku. Cinta akan membuka gudang pengertian ilahiah yang tersembunyi di balik teka-teki. Di mata mereka yang hatinya dipenuhi kebencian, teka-teki ini akan terlihat seperti batu keras yang susah dipecahkan dengan palu godam.

Tetapi di mata para pecinta Tuhan, teka-teka itu akan tampak seperti kaca yang tembus pandang, transparan, seperti digambarkan Tuhan dalam Ayat Cahaya: al-zujajatu ka-annaha kaukabun durriyyun. “Bumbung beling kuwe kaya lintang sing gumebyar,” demikian menurut terjemahan Qur’an dalam bahasa Jawa Banyumasan.

Di mata pecinta Tuhan, pengertian-pengertian rahasia yang dibungkus dalam bahasa isyarat itu seperti kaca yang berkilau-kilau. Ya, cinta akan mengubah batu yang pejal menjadi permata yang cemerlang.[]