Pos

Kajian Walâyah dan Qawâmah

SEJAK tahun 2015 Rumah KitaB melakukan penelitian lapangan tentang perkawinan anak. Ada dua bagian yang dilihat dalam studi ini, yaitu soal dampak dan siapa yang berpengaruh terhadap praktik tersebut. Bukan hanya dampak, tetapi juga sebab. Dalam hal ini kami berusaha menghasilkan sebuah studi yang keluar dari sandera pembicaraan mengenai perkawinan anak terkait isu-isu domestik, isu-isu kesehatan, dan lain sebagainya. Kami mencoba keluar dari itu semua dengan memperlihatkan bahwa perkawinan anak sesungguhnya adalah ujung terdekat dari perubahan-perubahan politik-ekonomi. Karena, misalnya, dari segi statistik enam daerah terbesar terjadinya praktik perkawinan anak adalah daerah yang mengalami krisis ekonomi (krisis sosial-ekonomi) di mana pangkal utamanya adalah soal tanah. Artinya, hilangnya akses lelaki terhadap tanah itu berdampak sangat buruk bagi praktik perkawinan anak. Demikian temuan dari penelitian Rumah KitaB.

Temuan tersebut tentu saja keluar dari sandera pembicaraan mengenai perkawinan anak yang melulu mengharuskan adanya advokasi yang sangat simpel, misalnya menaikkan usia perkawinan dan lain sebagainya. Hal-hal semacam ini bukan tidak penting, tetapi ujung terjauhnya sebetulnya adalah soal politik agraria dan politik-ekonomi yang seharunsnya dibahas dan dipersoalkan.

Dari hasil penelitian tersebut kami lalu mencari tahu: harus bekerjasama dengan siapa dalam mengatasi persoalan perkawinan anak? Kemudian kami melakukan Survei Indeks Penerimaan Perkawinan Anak. Studi kasusnya hanya di daerah Jawa Timur dan hanya di dua kabupaten, yaitu Sumenep dan Probolinggo. Survei ini kami lakukan secara profesional. Kami meminta dukungan UNICEF untuk membuktikan siapa sebenarnya yang punya pengaruh (menerima atau menolak) terhadap praktik perkawinan anak. Sederhananya adalah, yang bertanggungjawab terhadap praktik perkawinan anak itu adalah lelaki dalam berbagai posisinya baik formal atau non formal.

Selama ini kalau berbicara mengenai perkawinan anak itu pasti kepada ibu, kepada perempuan, kepada kelompok perempuan, atau kepada organisasi perempuan. Padahal jelas sekali hasil survei indeks di dua daerah itu: (1). Di Probolinggo menunjukkan faktor struktural yang menyebabkan kenapa kemudian praktik perkawinan anak semakin menguat; (2). Di Sumenep menunjukkan faktor kultural. Dan kedua-duanya dipegang secara ketat bukan oleh perempuan, tetapi oleh lelaki. Ini sangat sangat cocok dengan temuan penelitian Rumah KitaB sebelumnya yang memperlihatkan perubahan ruang hidup yang sangat dahsyat, yang menyebabkan lelaki kehilangan dignetinya sebagai lelaki.

Sebetulnya pada tahun 1980-an ketika ada praktik perkawinan anak dan diteliti, waktu itu jawabannya sama, yaitu soal kemiskinan, hanya saja perilakunya berbeda. Kalau dulu, karena miskin lalu terjadi perkawinan anak agar si petani punya tambahan tenaga kerja. Sementara sekarang, dalam kasus kemiskinan ini, bukan lagi karena alasan untuk mendapatkan tambahan tenaga kerja, tetap karena tanahnya sudah tidak ada. Dan yang terjadi kemudian adalah, agar para lelaki tetap survive dalam menjadi dignetinya sebagai lelaki, mereka melakukan dua hal: (1). Menjaga moralitas. Mereka tak punya mainan, tidak lagi mengurus tanah, tidak lagi mengurus sawah, dan tak punya otoritas-otoritas lainnya. Hanya satu yang mereka punya, yaitu bagaimana mempertahankan moral. Mereka yang melakukan penggerebekan, mereka yang memanipulasi data, dan lain sebagainya dengan berbagai alasannya; (2). Ekonomi, sangat ekonomis. Kalau suatu keluarga mengawinkan anak perempuannya dengan pergi ke pengadilan, para lelaki tentu tak kebagian apapun. Tetapi kalau mengawinkannya secara sirri, minimal para lelaki dapat uang 1.200.000 dengan dibagi-bagi. Mereka juga dapat kopi, rokok, plus moral.

Jadi, itulah problemnya. Karena itu Rumah KitaB kemudian berbicara dengan OSLO Coalition untuk kembali melakukan studi. Kenapa? Karena Rumah KitaB domainnya adalah “teks ngomong apa sih sebenarnya”. Kenapa teks? Sebab masyarakat kita adalah masyarakat teks: minum air kencing onta melihatnya ke teks, dan seterusnya. Karena masyarakat teks, maka kita yakin bahwa akar problemnya itu bukan personal, tetapi struktural dan sistemik, antara lain adalah sistem pengetahuan agama. Sistem pengetahuan agama memang bermasalah, sehingga apapun situasinya isu qawâmah dan walâyah dalam konteks hukum keluarga akan selalu muncul.

Sejauh ini, konsep kunci relasi gender di dalam keluarga adalah: perempuan itu seumur hidupnya berada di dalam perlindungan laki-laki. Sebelum menikah di bawah perlindungan bapaknya, kakaknya, kakeknya, dan lain sebagainya (walâyah). Setelah menikah ia berada di bawah perlindungan suaminya (qawâmah). Makanya di dalam akad nikah, yang bersalaman adalah laki-laki dan laki-laki. Karena akad nikah itu adalah momen peralihan perlindungan dari walâyah ke qawâmah. Di sini perempuan menjadi obyek akad, dan seterusnya perempuan akan menjadi obyek.

Jadi, walâyah dan qawâmah adalah kunci dari semua isu tentang keluarga. Kalau kita bisa membaca walâyah ke qawâmah dalam perspektif kesetaraan, tentu isu-isu tentang perempuan akan aman, meskipun agak berat. Kalau perlindungan dan pertanggungjawaban itu menjadi spirit yang hilang, maka kekerasan akan menjadi sistematis—terus-menerus akan terjadi.

Kami katakan ke OSLO Coalition, “Kami ingin melakukan kajian tentang walâyah dan qawâmah: siapa yang menjadi wali dan pelindung bagi anak.” OSLO Coalition sangat menyetujui itu. Idenya adalah bahwa kami ingin melihat kembali teks-teks keagamaan, karena kami pernah bereksperimentasi sebagaimana yang dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla dan para peneliti Rumah KitaB—dengan membaca beberapa teks—bahwa walâyah itu tidak seperti yang dibayangkan oleh KUA dan kelompok-kelompok fundamentalis. Perbincangan tentang walâyah di dalam teks ternyata sangat luas, dan itu harus dikaji dengan serius.

Kami menemukan sebuah buku bertajuk “Reformasi Hukum Keluarga dalam Islam”, tetapi sayang sekali bahwa kajian-kajian lapangan yang sangat kaya di Indonesia tidak muncul di dalam kajian buku ini sebagai wakil dari Indonesia. Yang ada hanya tulisan Faqihuddin Abdul Qadir mengenai kajian hadits. Artinya buku ini tercerabut dari situasi di Indonesia. Makanya, hasil kajian yang akan dilakukan Rumah KitaB nantinya diharapkan bisa melengkapi buku tersebut, yaitu kajian tentang teks dan konteks soal walâyah dan qawâmah di Indonesia.

Bagaimana caranya? OSLO Coalition menyetujui kajian walâyah dan qawâmah ini menggunakan metode yang biasa dilakukan di Rumah KitaB, yaitu melakukan kajian keagamaan bulanan. Basisnya adalah teks-teks yang ada di perpustakaan Rumah KitaB. Dan Ulil Abshar Abdalla mengusulkan agar kajian ini tidak terfokus hanya pada masyarakat teks, tetapi teks harus dipersandingkan dengan konteks, yaitu dengan mengkaji praktik walâyah dan qawâmah di dalam keluarga masyarakat Indonesia secara sosial-antropologis. Misalnya soal perempuan sebagai kepala keluarga yang kajiannya selama ini dilakukan oleh PEKKA.

Kajian akan dilakukan selama enam putaran dengan tema-tema diskusi dalam konteks keindonesiaan, di antaranya: soal nasab (nasab seseoran ke ayahnya), soal aqiqah (laki-laki 2 kambing, perempuan 1 kambing), soal mahram (siapa yang melindungi dan siapa yang dilindungi), soal nafkah (siapa yang memberi dan siapa yang diberi), soal mahar (siapa yang memberi dan siapa yang diberi), soal wali mujbir, soal kepala keluarga, soal tamkîn (kemungkinan: laki-laki boleh punya istri lebih dari satu), perempuan tak boleh punya suami lebih dari satu), soal khulu’ (perempuan hanya boleh menggugat, sementara laki-laki bisa langsung mentalak), dan masih banyak lagi.

Dan hasil dari kajian ini diharapkan menjadi produk pengetahuan yang dapat berkontribusi secara nasional maupun internasional. Kajian kelak akan menjadi produk pengetahuan berbahasa Indonesia dan Inggris, dan mungkin juga berbahasa Arab, maka enam putaran diskusi itu diharapkan memang bisa memproduksi pengetahuan secara optimal yang bisa menggambarkan situasi walâyah dan qawâmah di Indonesia.[]