Pos

Pernikahan yang Menghancurkan, Alarm Kawin Anak Berbunyi di Sulsel

INIKATA.com Kisah pernikahan dini dari Pulau Kodingareng seperti yang diceritakan Rahma Amin di Alarm Kawin Anak Berbunyi di Sulsel, hanyalah segelintir cerita nasib anak yang meninggalkan bangku sekolah lalu kawin. Ada banyak kasus anak-anak di Kodingareng yang hanya tamat SD dan terpaksa harus putus sekolah karena dikawinkan keluarga. Kasus terparah banyak terjadi tahun 2009 ke bawah, saat SMP belum berdiri di sana dan anak-anak harus keluar pulau untuk bersekolah. Ketika anak perempuan dipinang, orangtua lebih memilih anaknya segera berkeluarga ketimbang menempuh pendidikan yang aksesnya sangat sulit di kota.

Kehadiran sekolah SMP Negeri 38 pada tahun 2009 membawa angin segar di pulau, perlahan akses pendidikan anak-anak utamanya perempuan terbuka. Partisipasi sekolah meningkat hingga ke jenjang SMA. Namun kehadiran sekolah tingkat SMA , SMA Citra Bangsa Kodigareng pada tahun 2010 belum sepenuhnya bisa menekan kasus kawin anak di Kodingareng, pasalnya SMA di sana milik yayasan yang tidak gratis untuk anak-anak bersekolah.

Kasus putus sekolah ini rutin terjadi di setiap kurikulum berjalan, khususnya di bangku SMP maupun SMA. Dari data yang dimiliki Dinas Pendidikan Sulsel, angka putus sekolah kurikulum tahun 2017 – 2018 tingkat SMA berjumlah 4.133 pelajar, dari total pelajar 351.000 pelajar yang ada. Pendidikan menengah atas ini diantaranya SMA, SMK, SLB, dan Madrasah Aliyah.

Tak hanya pendidikan menengah atas, untuk pendidikan menengah pertama kurikulum 2017- 2018 SMP dan Madrasah Tsanawiyah, 4.766 putus sekolah dari total siswa 473.000 pelajar. Sedangkan data kurikulum 2017-2018 pendidikan dasar SD tahun 10 ribu yang berhenti sekolah dari 1 juta total murid. Dari 24 kabupaten-kota,  presentase putus sekolah paling banyak terjadi di Kota Palopo yakni 1500 pelajar dari total pelajar 6 ribuan, sedangkan yang terendah Makassar dari total pelajar 71 ribu, 385 putus sekolah.

Selain di pulau, pengantin anak juga banyak terjadi di tengah-tengah pusat Kota Makassar. DL (17), warga Kecamatan Manggala salah satu contohnya. Calon manak anak  yang tengah menanti kelahiran buah hatinya. Saat dilakukan wawancara pada akhir Januari lalu, kandungan DL memasuki masa persalinan. Ada rasa bahagia sekaligus amuk kecewa dihati perempuan yang baru menginjak 16 tahun itu.

Sebab, anak yang dikandung DL akan lahir tanpa sosok suami sekaligus ayah untuk calon anaknya, yang oleh hasil Ultra Sono Grafi (USG) dokter DL akan memiliki seorang putra. DL memilih pulang ke keluarganya dan meninggalkan AB, suaminya yang menikahinya awal tahun 2018 lalu, lantaran tak tahan hidup dengan pria yang tidak memberikannya nafkah lahir dan batin.

Oleh DL, AB adalah sosok suami yang tidak bertanggung jawab. Uang hasil kerjanya sebagai buruh bangunan bukannya digunakan untuk menafkahi DL dan disisihkan untuk keperluan persalinan, malah digunakan untuk bermain playstation (game) di warnet. Umur AB memang tidak terpaut jauh dari DL, saat menikah AB berusia 19 tahun. Sehingga psikologi AB belum matang untuk dibebankan oleh urusan menafkahi keluarga.

DL mengaku tak akan pernah rujuk dan mau kembali, sekalipun AB mengajaknya pulang dan kembali tinggal bersama .” Pernikahan ku ini adalah kesalahan, salah karena dilakukan secara dini. Saya baru menyadari setelah apa yang saya lalui,” tutur DL yang memilih tidak melanjutkan sekolah ke tingkat SMA setelah tamat SMP setelah menikah.

Kini DL tinggal bersama bibinya, kakak dari ayahnya yang telah merawat dan membesarkannya sejak kecil setelah  ditinggal oleh orang tuanya yang berpisah. Bibi DL, Humairah (nama samaran) ikut prihatin dengan kondisi kemanakan perempuannya. Di usianya yang masih belasan tahun, ia harus menanggung beban hidup yang amat berat.

Calon cucunya itu harus dibesarkan seorang diri oleh perempuan yang secara psikologi dan ekonomi sangat rentan. Proses pernikahan DL yang dilakukan di bawah tangan tidak pernah disangkanya akan berakhir dengan tidak bahagia dan bertanggung jawab. Ditambah, DL tidak memiliki pendidikan cukup tinggi sebagai modal melamar pekerjaan untuk ia dan anaknya bertahan hidup, kelak setelah nanti melahirkan.

Mengancam Hak Anak

Data dari Rumah KitaB, lembaga riset untuk kebijakan guna memperjuangkan hak-hak kaum termarjinalkan seperti perempuan menyebutkan, 25 persen anak yang menikah sebelum berumur 18 tahun memutuskan bercerai setelah satu tahun menikah. Sementara hanya satu dari 10 korban kawin anak yang bisa kembali ke sekolah. Apa yang dialami DL adalah representasi dari kondisi umum yang dialami korban kawin anak.

Jalan hidup yang terjal pasca DL dinikahkan oleh keluarga, kata Pengurus Yayasan Rumah KitaB di Makassar, Mulyani Hasan sebenarnya telah melanggar UU nomor 10 tahun 2012 tentang Protokol Oprasional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak.

Dimana mejelaskan bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan bekerja pada pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu pendidikan anak,merusak kesehatan fisik, mental, spiritual, moral dan perkembangan sosial anak.

Anak sebagaimana diatur dalam UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, anak adalah mereka yang berusia 18 tahun. Ketentuannya menyatakan perlu adanya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak, namun lanjut Mulyani tak ada satupun yang melarang adanya perkawinan anak yang jelas-jelas sangat merugikan kepentingan anak.

Penelitian yang dilakukan “Rumah Kita Bersama” atau kerap disebut “Rumah Kitab” mendapati bahwa 97 persen dispensasi yang diajukan ke pengadilan agama untuk menikah pada usia lebih dini, selalu disetujui hakim.

Data Pengadilan Agama Makassar Kelas 1A, sebanyak 59 dispensasi kawin yang diputus dari total 80 perkara yang diterima sepanjang tahun 2018. Kehamilan tidak dikehendaki menjadi salah satu penyebab dominan PA Makassar mengeluarkan dispensasi. Selebihnya permohonan tersebut ditolak dan gugur.

“Yang ditolak itu biasanya karena pihak pemohon tidak mampu membuktikan anak yang ingin dinikahkan itu hamil, lainnya karena anak tersebut ternyata tidak mau menikah tapi dipaksa dan hanya kehendak orang tua, yang seperti itu kita tolak,”kata Panitera Muda PA Makassar, Shafar Arfah awal Februari lalu saat dikunjungi di kantornya Jalan Perinris Kemerdekaan.

Selain ada permohonan dispensasi yang ditolak, lanjut Shafar banyak juga pemohon yang gugur atau tidak melanjutkan perkara.”Misalnya setelah mereka datang ke sini ternyata proses menanti putusan itu dirasa memakan waktu yang lama hingga berminggu-minggu, sementara undangan sudah tersebar, mereka biasanya memutuskan untuk tidak melanjutkan perkara,” katanya.

Anak-anak Tanpa “Bapak”

Anak yang dilahirkan Asrianti ,juga anak yang ada dalam kandung DL, mereka adalah sebagian kecil dari anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Ketiadaan dokumen formal dari pemerintah yang membuktikan ibu bapaknya pernah menikah menjadi hambatan yuridis dalam pemenuhan hak identitas anak, yakni akte kelahiran.

Hukum administrasi kependudukan versi UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengenai akte kelahiran mensyaratkan dokumen formal yakni surat nikah, Kartu Tanda Penduduk-KTP, Kartu Keluarga-KK) untuk menerbitkan akte kelahiran, membatasi jangka waktu pelaporan, dan penarikan biaya sebagai retribusi sehingga menghambat pencatatan kelahiran anak.

Kepala Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan(Discapil) Kota Makassar, Aryanti Puspasari Abady menerangkan, akte kelahiran merupakan hak dasar setiap anak yang diberikan segera setelah seseorang lahir. Setiap anak yang lahir harus diberi identitas sebagai Warga Negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Dalam pasal 27 ayat 1 dan 2 tercantum bahwa” Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya. Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran”. Akta kelahiran adalah bukti otentik yang sah mengenai status dan peristiwa kelahiran seseorang yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

“Orangtua wajib memenuhi hak anak atas kepemilikan akta kelahiran karena akta kelahiran merupakan bentuk pengakuan negara dan bukti hukum bahwa seseorang itu ada,”terang Aryanti yang ditemui Selasa (19/2/2019) lalu di kantornya, Jalan Sultan Alauddin.

Di Makassar sendiri ada banyak kelahiran yang tidak atau belum tercatat secara de jure. Konsekuensinya, keberlangsungan hidup anak di kemudian hari juga ikut berdampak, misalnya dalam pelayanan pendidikan dan kesehatan. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya kepemilikan akta kelahiran adalah tidak terpenuhinya persyaratan dalam membuat akta kelahiran.

Oleh Discapil Makassar, kata Ariyanti anak yang lahir dari pasangan suami istri yang tidak memiliki surat nikah tetap bisa diakui negara dengan kepemilikan akte kelahiran. Hanya saja karena perkawinan yang tidak dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan adalah perkawinan yang tidak sah secara hukum Indonesia meskipun sah secara agama. Akibatnya, anak-anak yang dilahirkan dari pasangan suami istri yang tidak memiliki buku nikah  hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya saja.

“Jadi tetap dicatat, namun dalam akte lahir hanya melampirkan nama ibu saja dan tidak mencantumkan nam ayahnya,”ujar Arianti,Persyaratan pembuatan akta kelahirannya sama dengan anak lain pada umumnya, tetapi ditambah dengan melampirkan surat pernyataan tidak ada ikatan perkawinan yang dibuat oleh ibu dari anak tersebut. Untuk anak yang orangtuanya telah menikah secara sah tetapi tidak memiliki buku nikah, dapat meminta surat keterangan dari KUA (Kantor Urusan Agama).

Jika cara tersebut tidak dapat dipenuhi, maka orangtua dari anak tersebut dapat melakukan itsbat nikah di Pengadilan Agama. Itsbat nikah adalah permohonan pengesahan pernikahan yang diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan sah dan memiliki kekuatan hukum. Jika permohonan isbat nikah tersebut dikabulkan, maka hak suami/istri dan anak-anak dari perkawinan tersebut akan terjamin, termasuk kepemilikan akta kelahiran bagi anak-anak tersebut.

Sepanjang tahun 2018, Discapil Kota Makassar telah menerbitkan sebanyak 311 akte kelahiran tanpa nama ayah, totalnya 180 anak laki-laki dan 131 anak perempuan. Terbanyak anak tanpa keterangan ayah ada di Kecamatan Tamalate sebanyak 59 anak, 32 anak laki-laki dan 27 anak perempuan. Lalu Kecamatan Panakkukang sebanyak 39 anak, 20 anak laki-laki dan 27 anak perempuan. Terbanyak ketiga ada di Kecamatan Rappocini yakni 37 anak, 21 anak laki-laki dan 16 anak perempuan.

Jumlah ini meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya pada 2017 lalu yang hanya 141 anak, 64 anak laki-laki dan 77 anak perempuan. Tiga kecamatan itu tetap menempati warga dengan kelahiran tanpa status bapak dalam akte kelahiran. Tamalate masih diurutan pertama dengan presentase  23 anak, 7 anak laki-laki dan 16 anak perempuan. Lalu Rappocini 16 anak, anak laki-laki 7 orang, dan perempuan 9 orang. Sementara Panakkukang sebanyak 15 anak, 6 anak laki-laki dan 9 anak perempuan.

Fadiah, Direktur Lembaga Perlindungan Anak Sulsel menerangkan dari dampak terburuk dari kawin anak adalah  sulitnya memenuhi hak  identitas ayah dalam dokumen kependudukan negara. Anak lalu menjadi korban berikutnya dari perkawinan di bawah umur. Secara psikologis, ini tentu berdampak pada anak.

Cara yang bisa dilakukan adalah orangtua mengurus surat keterangan nikah untuk dicatat di KUA.”Tapi simalakama jadinya. Sepertinya ada jalan untuk memperbaiki manakala orangtua sudah menguruskan surat nikahnya,”Fadiah menerangkan.

Menurutnya, akan muncul persepsi negatif dari masyarakat terhadap anak yang tidak terlampir nama bapaknya. Masyarakat akan menganggap anak tersebut lahir tanpa bapak. Sehingga secara pribadi, Fadiah menaruh harapan besar kepada pemerintah sebagai pengambil kebijakan agar anak yang lahir dari pernikahan ilegal tetap bisa memiliki nama ayah dalam akte kelahirannya.

Walau diakuinya tidak gampang untuk sampai pada kebijakan itu. Perlu kerja keras koalisi perlindungan anak dan perempuan di Sulsel untuk mendorong hal ini. Sebab akte kelahiran kata Faidah sesuatu hal yang tidak bisa ditawar.”Akte itu hak anak, bahkan Unicef menyebutnya hak anak yang pertama dan utama,”tutup Faidah.

Siapa Turun Tangan ?

Aktivis untuk perlindungan perempuan dan anak di Makassar sepakat bahwa perkawinan anak hanya bisa dicegah jika semua pihak membuka mata dan mau melakukan intervensi untuk melindungi anak, utamanya anak perempuan dari praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM) ini.

Mengentaskan kemiskinan perlu dilakukan, sebab kondisi ekonomi yang rapuh menjadi  motivasi beban orang tua bisa lebih ringan jika menikahkan anak-anak mereka.Membuka kesempatan yang lebih besar lagi bagi anak-anak untuk bisa tetap berada di bangku sekolah,serta membuka ruang untuk mendiskusikan kembali tradisi atau praktek kebudayaan yang melestarikan perkawinan anak.

Direktur Institute of Community Justice, Sunem Fery Mambaya menyebut ketiga poin di atas adalah berbagai upaya yang bisa dilakukan agar praktek kawin anak bisa ditekan. Dan kerja-kerja pencegahan kawin anak hanya bisa berjalan dengan efektif jika multi stakeholder sama-sama mendorong itu.

“Tidak bisa dikerjakan hanya orang tua saja, masyarakat saja, pemerintah saja. Tapi semua lapisan harus berbicara soal kawin anak. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus mendorong dengan regulasi,”kata Fery sapaannya saat ditemui di kantornya Jalan  pada awal Februari lalu.

Pada bidang kesehatan, pendidikan, hukum, agama dan lain-lainnya, kawin anak harus dibumikan. Melakukan sosialisasi tentang pencegahan kawin anak, bahaya  bagi kesehatan dan berbagai masalah dan resiko hukum yang ditimbulkan jika kawin anak tetap dibiarkan terjadi.

“Kadang-kadang kita tidak menyadari sebagai orang tua telah berperilaku tidak adil kepada anak, merenggut hak-hak anak. Bahkan tidak menyadari apa yang kita lakukan adalah perilaku koruptif dalam kawin anak yag sebenarnya merupaka kejahatan,”tambahnya.

Pengurus Yayasan Rumah KitaB di Makassar, Mulyani Hasan menyebut celah-celah untuk pencegahan kawin anak melalui peraturan yang ada bisa dilakukan dengan pengetatan umur saat pernikahan. Pemda, KUA dan PA menurutnya adalah pihak yang paling bisa bertanggungjawab.

Selain itu memastikan adanya saksi yang tidak palsu saat PA mengekuarkan dispensasi. Memberikan penegasan adanya pidana  dalam manipulasi umur anak juga harus dilakukan.”Ini semua perlu keterlibatan Pemda, Kementerian Agama(Kemenang), PA, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan orang tua itu sendiri,”kata Yani panggilan Mulyani.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak(DP3A) Kota Makassar dalam kerja-kerja perlindungan perempuan dan anak melibatkan organisasi perangkat daerah dan lembaga lintas sektor terkait upaya menekan pernikahan dini atau usia dini. Pencegahan dan penangana kawin anak juga dilakukan berbasis RT/RW melalui Shelter Warga.

Kepala Dinas(Kadis) DP3A Makassar, Tenri A Palallo mengatakan shalter kelurahan adalah program inovasi baru untuk menciptakan kota dunia yang nyaman untuk perempuan dan anak. Melibatkan warga dan tokoh masyarakat untuk mencegah dan melindungi perempuan dari kekerasan dan penelantaran anak, termasuk kawin anak.

“Jadi tim shelter warga dibekali kemampuan melalui pelatihan pengelolaan agar mampu menanggulangi persoalan perempuan dan anak berbasis RT/RW, di mana diutamakan penyelesaian dengan pendekatan persuasif,” ungkap Tenri A. Palallo. Termasuk kata dia, banyak akad nikah kawin anak yang batal dilangsungkan setelah mendapat arahan dari pengurus shelter di kelurahan.

Uji coba shalter warga awalnya dilakukan di lima kelurahan yakni Manggala, Tamamaung,Maccini Parang, Pannampu dan Maccini Sombala. Belakangan, tepatnya tahun 2016 shalter warga direplikasi di Kelurahan Batua. Keberhasilan uji coba tesebut lalu di tahun 2017 dikembangkan lagi di 8 ke lurahan yakni Pattingaloang, Tabaringan, Daya,Bira Sudiang Raya, Kapasa, Malimongan Tua,Malayu Baru.

Tahun 2018 shalter warga dikembangkan lagi di delapan keluarahan. Sehingga shalter warga saat ini tersebar di 22 kelurahan. “DP3A bersama organisasi dan aktivis perempuan terus bergerak massif untuk mengendalikan berbagai persoalan perempuan dan anak, sosialisasi pencegahan kawin anak kita terus lakukan,” tutup Tenri.

Oleh: Rahma Amin

Penulis adalah editor di Harian Radar Makassar, Aktifis Perempuan & Anak sekaligus anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar.

Banjir di Wilayah Program BERDAYA Makassar

Dalam tiga hari ini, hujan disertai angin kencang melanda wilayah Makassar, Gowa, Maros dan sekitarnya. Sungai-sungai dan bendungan meluap, sehingga air menggenangi kota dan wilayah pemukiman. Makassar hampir lumpuh akibat banjir ini. Dua kelurahan, Tamamaung dan Sinrijala yang berada di bibir sungai Tallo  juga mengalami banjir. Dua kelurahan tersebut terletak di kecamatan Panakukkang, kota Makassar, dan merupakan pemukiman padat  dengan jumlah penduduk mencapai puluhan ribu orang. Dua kelurahan tersebut menjadi tempat pelaksanaan program Berdaya, Rumah KitaB sejak dua tahun lalu. Banjir melanda rumah rumah yang ketinggiannya hingga lutut orang desa. Sebagian penduduk mengungsi ke rumah keluarga, sebagian lagi bertahan di loteng loteng rumah. Hingga berita ini diturunkan, banjir di dua kelurahan tersebut belum surut.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika mengimbau warga Makassar dan sekitarnya waspada hingga tiga hari yang akan datang, karena curah hujan masih tinggi dan angin masih kencang. Sejak tadi malam, sejumlah titik di Malassar, Gowa dan Maros tergenang air hingga atap rumah. Warga mengungsi ke masjid-masjid, dan kantor pemerintah. Di kota Maros para pengguna kendaraan terjebak di jalan sejak malam hingga siang hari tadi karena arus lalu lintas berhenti total.

Beberapa kegiatan yang termasuk Program BERDAYA kemungkinan akan tertunda hingga kondisi pulih dan warga sudah bisa beraktivitas seperti biasanya. [Yani]

Rumah Kita Bersama Gelar Penguatan Kapasitas “Cegah Kawin Anak”

Wartasulsel.net,- Makassar- Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) telah melakukan penelitian di Makassar bertemakan “Kawin Anak” dan sebagai salah satu tindak lanjutnya melakukan penguatan kapasitas untuk mencegah kawin anak kepada orang tua, remaja dan tokoh-tokoh formal dan non formal. Kegiatan ini berlangsung selama 3 hari dimulai pada tanggal 18-20 September 2018 di Hotel Grand Asia. Selasa (18/09/2018).

Perkawinan anak yang terjadi di seluruh dunia sedang menjadi sorotan lembaga-lembaga global sebagai salah satu penyebab yang menghambat perkembangan perekonomian sebuah negara dan keterpurukan perempuan dalam lingkup sosial, ekonomi dan pendidikan. Upaya untuk menghapus perkawinan anak didasari oleh semakin banyaknya bukti yang menunjukkan kerugian dan penderitaan yang diakibatkan olehnya. Anak-anak perempuan yang menikah ketika usia anak-anak menghadapi risiko kematian pada saat melahirkan, kekerasan seksual, gizi buruk, gangguan kesehatan dan reproduksi serta terputus dari akses pendidikan dan dijerat kemiskinan. Generasi selanjutnya yang dilahirkan oleh anak-anak berisiko mengalami gangguan pertumbuhan, dan gizi buruk.

Sulawesi Selatan masuk dalam zona merah perkawinan anak, menduduki posisi keempat tertinggi di Indonesia. Praktik kawin anak di wilayah ini bukan hanya terjadi di pedesaan, tapi juga merangsek ke wilayah perkotaan. Hasil penelitian Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), hal ini diakibatkan oleh kebijakan struktural melalui perubahan ruang hidup yang memaksa orang desa migrasi ke kota untuk bertahan hidup. Mengawinkan anak dianggap bisa mengeluarkan mereka dari himpitan beban hidup kemudian diperkokoh oleh tradisi dan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan yang keliru.

Sementara itu, Pengadilan Agama Makassar menyebut permohonan dispensasi nikah mengalami peningkatan setiap tahun. Tahun 2015 ada 25 perkara, tahun berikutnya 37 perkara, sedangkan tahun 2017, 71 perkara. Demikian pula permohonan cerai, meningkat setiap tahun. Penggugat cerai umumnya berusia di bawah 30 tahun.

Harus diakui, ada kekuatan lain yang memuluskan kawin anak, walaupun sudah ada larangan dari pemerintah dan lembaga-lembaga yang bekerja untuk perlindungan anak dan perempuan. Di Kecamatan Panakukkang, misalnya, tidak ada data pasti berapa angka kawin anak, tapi data dari Puskesmas setempat menunjukkan tingginya angka pemeriksaan ibu hamil di bawah usia 18 tahun. Selain menikah sirri, pemalsuan dokumen menjadi alternatif melangsungkan kawin anak. Hal ini tentu saja melibatkan tokoh-tokoh yang mempunyai otoritas untuk mengawinkan, baik formal maupun non formal.

Rumah KitaB melakukan penelitian di dua kelurahan di wilayah kecamatan Panakukkang, Makassar. Dua kelurahan itu, Sinre’jala dan Tammamaung. Tindak lanjut dari hasil penelitian itu adalah melakukan penguatan kapasitas untuk mencegah kawin anak kepada orangtua, remaja, dan tokoh-tokoh formal dan non formal. Dua kelompok, orang tua dan remaja sudah berlangsung. Ujar Mulyani Hasan

(RAF/redws)

Sumber: https://wartasulsel.net/2018/09/18/rumah-kita-bersama-gelar-penguatan-kapasitas-cegah-kawin-anak/

Sulsel Masuk Zona Merah Perkawinan Anak, Rumah Kitab Sarankan Kurikulum Kesehatan Reproduksi

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR – Perkawinan anak yang terjadi belakangan ini sedang menjadi sorotan lembaga-lembaga global. Perkawinan anak ini menjadi salah satu penyebab yang menghambat perkembangan perekonomian sebuah negara dan keterpurukan perempuan dalam lingkup sosial, ekonomi dan pendidikan.

Sulawesi Selatan sendiri masuk dalam zona merah perkawinan anak, dan menduduki posisi keempat tertinggi di Indonesia. Praktik kawin anak di wilayah ini bukan hanya terjadi di pedesaan, tapi juga merangsek ke wilayah perkotaan.

Hasil penelitian Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), hal ini diakibatkan oleh kebijakan struktural melalui perubahan ruang hidup yang memaksa orang desa migrasi ke kota untuk bertahan hidup. Mengawinkan anak dianggap bisa mengeluarkan mereka dari himpitan beban hidup, kemudian diperkokoh oleh tradisi dan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan yang keliru.

“Sekarang kita harus mendorong kepada tokoh agama, untuk memberikan kelonggaran dalam kemungkinan memasukkan kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi, bukan mengajarkan tentang seks, tetapi agar anak tahu menjaga tubuh mereka baik laki-laki maupun perempuan,”kata Direktur Rumah Kita Bersama, Lies Marcus Natsir di Makassar, Selasa (18/9/18).

Beberapa kasus kawin anak di Sulsel yang terekam oleh media menjadi sorotan publik. Di antaranya, kisah remaja Sekolah Menengah Pertama di Bantaeng. Sempat ditolak Kantor Urusan Agama setempat, sebelum dinikahkan atas izin dari Pengadilan Agama.

Lalu  awal bulan ini, seorang anak baru lulus Sekolah Dasar dikawinkan dengan anak Sekolah Menengah Atas. Mereka dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Pernikahan dianggap sah secara agama, tapi KUA setempat tidak memberikan izin.

“Harus diakui, ada kekuatan lain yang memuluskan kawin anak, walaupun sudah ada larangan dari pemerintah dan lembaga-lembaga yang bekerja untuk perlindungan anak dan perempuan,”lanjutnya.

Untuk kota Makassar, angka kawin anak juga tergolong tinggi. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Selatan menyebut pada tahun 2017, ada 11.000 anak sekolah tidak mengikuti ujian nasional karena sudah menikah. Sekitar 80 persen perempuan dan setengahnya akibat kehamilan tidak diinginkan.

“Walaupun pemerintah Provinsi telah menandatangani kesepakatan mencegah kawin anak, tapi butuh upaya lebih startegis lagi yaitu meningkatan pengetahuan dan kesadaran pihak-pihak kunci yang menentukan terjadi atau tidak terjadinya kawin anak,”jelasnya. (sul/fajar)

Sumber: https://fajar.co.id/2018/09/18/sulsel-masuk-zona-merah-perkawinan-anak-rumah-kitab-sarankan-kurikulum-kesehatan-reproduksi/

Pencegahan Perkawinan Anak di Bawah Umur Libatkan Tokoh Agama

Makassartoday.com – Perkawinan anak di bawa umur masih saja terjadi di beberapa daerah di Indonesia khususnya Sulawesi selatan, sehingga hal ini perlu menjadi perhatian serius.

Karena itu pihak Lembaga Rumah Kitab Makassar kemarin gelar Training Penguatan Kapasitas Tokoh Formal dan Non Formal dalam pencegahan perkawinan anak di hotel Grand Asia Selasa Pagi (18/09/18).

Direktur Rumah Kitab Lies Marcoes mengatakan selama ini persoalan kawin anak telah didekati dari sisi kerentanan sosial, kesehatan dan pendidikan serta hukum sehingga hal ini terus dilakukan pendekatan-pendekatan persial sehingga rumah kitab terus memberikan solusi terhadap pencegahan kawin anak di bawa umur.

Dalam Tarining ini melibatkan tokoh agama serta sejumlah lembaga –lembaga yang terkait dengan anak di kota Makassar.
(Rangga)

Sumber: http://makassartoday.com/2018/09/18/pencegahan-perkawinan-anak-di-bawah-umur-libatkan-tokoh-agama/

Pelatihan Pencegahan Perkawinan Anak Untuk Para Tokoh Formal dan Non Formal di Makassar, Sulawesi Selatan 18-20 September 2018.

Rumah Kita Bersama melaksanakan Pelatihan Pencegahan Perkawinan Anak Untuk Para Tokoh Formal dan Non Formal di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.

Kegiatan ini dilaksanakan pada 18-20 September 2018.

Para peserta berasal dari Pengadilan Agama, KUA Kec. Panakkukang, kecamatan Panakkukkang, Lurah Sinrijala, Kelurahan Tamamaung, Dinas kesehatan Pemkot Makassar, Dinas Pendidikan kota Makassar, para Guru dari beberapa sekolah di Makassar, media Cetak/Online, Imam kelurahan, ketua PKK , Rt/RW dan unsur Tokoh non Formal lainnya.

Hari Pertama, 18 September 2018

Pelatihan diselenggarakan melalui diskusi dan dialog aktif peserta

– Sambutan AiPJ2 dan Pembuka Acara, Mr. Peter

– Sesi Fakta dan data perkawinan Anak di Indonesia dan Sulawesi Selatan – ibu Lies Marcoes

– Sesi Hukum Nasional dan Hukum Internasional untuk pencegahan perkawinan anak – Bapak Wahyu Widiana

– Sesi Analisis Sosial dan Gender untuk memahami kerentanan perkawinan anak difasiltasi oleh Ibu Lies Marcoes

Cerita Pelatihan BERDAYA Makassar

Bagaimanapun orangtua menjadi benteng paling depan untuk mencegah kawin anak.

Di Sulawesi Selatan, kawin anak bukan hanya didorong oleh faktor kemiskinan dan fundamentalisme agama, tapi juga didukung oleh nilai adat dan tradisi.

Banyak perjodohan dilakukan untuk mengamankan aset, merekatkan kembali silsilah keluarga dan menghindari rasa malu.

Ada pula semacam kepercayaan bahwa ketika menolak lamaran lakilaki, keluarga perempuan bisa kena karma. Tak peduli berapapun usia si anak perempuan yang dilamar itu.

Di bawah ini, gambar kegiatan training penguatan kapasitas orangtua untuk mencegah kawin anak yang berlangsung 24-26 Agustus 2018 oleh Rumah KitaB.

Para orangtua bermukim di wilayah Panakkukang, daerah padat penduduk, dimana kawin anak banyak terjadi.

Seorang ibu menangis ketika melihat simulasi tentang seorang anak yang jadi buruh migran, dipaksa menikah oleh orangtuanya supaya bisa berangkat ke Arab Saudi untuk bekerja. Anak itu diperkosa oleh “suami” nya. Dalam keadaan hamil jadi pekerja rumahtangga di Arab Saudi. Diperkosa oleh majikan dan anak majikannya, sambil disiksa. Si anak berakhir dihukum mati, karena membunuh majikan yang biadab.
Membayangkannya saja kami sudah tidak sanggup.

Ibu-ibu dan bapak-bapak, semangat yah!

– Mulyani Hasan –  

Asmi: Profil Pendamping Remaja Pencegahan Kawin Anak di Panakkukang, Makassar

oleh Mulyani Hasan

Ketika sejumlah remaja Tamamaung dan Sinrijala Kecamatan Panakkukang mengikuti Pelatihan Peningkatan Kapasitas Remaja  untuk Pencegahan Kawin Anak yang diselenggarakan program BERDAYA  Rumah KitaB, Asmi hadir sebagai pendamping.  Tak sekadar untuk memenuhi syarat dasar pelaksanaan kegiatan yang melibatkan remaja yang mewajibkan hadirnya pendamping, tapi Asmi juga mengambil peran sebagai “asisten fasilitator” yang membantu kelancaran pelatihan.  “ Saya ingin setelah pelatihan saya bisa mendampingi mereka, karenanya saya mengikuti penuh materi-materi ini agar saya paham,”  demikian Asmi memberikan alasan.

Asmi,  seorang ibu berusia 30 tahun tinggal di Sukaria, wilayah padat penduduk di tengah Kota Makassar. Wilayah ini merupakan bagian  dari Tammamaung, Kecamatan Panakkukang, salah satu lokasi penelitian Pencegahan Kawin Anak untuk program BERDAYA Rumah Kita Bersama.

Jika perempuan lain tak terlalu ambil peduli pada praktik yang dianggap hal yang biasa itu, Asmi melihatnya berbeda. Karenanya ia berharap kawin anak di wilayah tempat tinggalnya tidak lagi terjadi atau paling tidak berkurang. “ Saya lihat dengan mata kepala sendiri, dampaknya sangat buruk bagi anak perempuan yang mengalami kawin anak,” demikian Asmi menegaskan sikapnya.

Sambil mengurus rumah tangga dan aktif di majelis taklim, sehari-hari ia  menjahit dan merajut. Dari aktivitasnya itu ia terhubung langsung dengan anak korban perkawinan anak, atau orang tuanya.  Tahun 2015 Ketika LBH APIK Makassar mengajaknya bergabung sebagai paralegal untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan, Asmi merasa menemukan teman dan lembaga seperjuangan. Karenanya dia juga langsung setuju untuk membantu program BERDAYA ketika tim  Berdaya mengajaknya aktif dalam program pencegahan perkawinan anak di wilayahnya. Dalam satu tahun terakhir ini, dia giat mengikuti kegiatan pencegahan kawin anak dan menghimpun para perempuan dewasa dan remaja untuk menolak kawin anak.

Perkawinan anak bukan hal aneh bagi Asmi. Di lingkungan keluarga dan tetangganya, kawin anak dianggap lumrah. Namun bagi Asmi, apalagi setelah mengikuti pelatihan dari LBH APIK ia menyadari, mengawinkan anak sebelum usia dewasa bukan keputusan tepat. Bukan saja  anak perempuan itu akan terputus pendidikannya tapi juga harus menanggung pekerjaan rumah tangga yang terlalu berat untuk si anak. Ia juga melihat, mereka yang kawin di usia anak-anak mengalami kesulitan ekonomi, tidak punya pekerjaan, dan berujung pada perceraian.“Ujung-ujungnya lari lagi ke orangtuanya,” kata Asmi.

Asmi sendiri menikah di usia 21 tahun setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas dan sempat bekerja sebagai kasir dan pelayan toko. Asmi memilki tiga orang anak perempuan. Anak pertama duduk di kelas VI SD, yang kedua, kelas IV dan yang terakhir Kelas II SD. Suaminya pedagang dan pegiat di komunitas pasar tradisional.

Di Sukaria tempat Asmi bermukim, kawin anak umumnya terjadi karena perjodohan dan paling banyak akibat kehamilan tak diinginkan. “Warga di sini khawatir terjadi sesuatu pada anak perempuannya. Sebelum terjadi, mereka menikahkan anak perempuan, apalagi kalau sudah kelihatan pacaran,” kata Asmi.

Kehamilan di luar nikah memang menjadi hal paling menakutkan bagi para orangtua yang memiliki anak perempuan. Masalahnya, menurut Asmi,  para remaja itu tidak mendapatkan pendampingan dan informasi yang tepat, bagaimana cara bergaul yang sehat. Karenanya Asmi sangat mengapresiasi adanya program BERDAYA di kampungnya. “Dari pemaparan para pemateri saya senang, karena anak- anak kami diberi pengetahuan untuk percaya diri, diajari untuk berunding dengan orang tua dan kerabat agar tak cepat-cepat dikawinkan, tapi juga tak ditakuti-takuti dalam cara bergaul.”

Asmi juga memahami bahwa faktor tradisi dan adat sangat besar pengaruhnya pada praktik kawin anak. Menurutnya, di wilayahnya banyak alasan orang  tua mengawinkan anaknya meskipun belum cukup umur. Menikahkan anak perempuan lebih cepat untuk mengurangi beban keluarga merupakan alasan yang sering ia dengar. Namun selain itu Asmi juga melihat perkawinan dilakukan karena orang tua ingin menjauhkan anak dari pergaulan yang dianggap tidak bermoral dan orang tua tergiur uang panaik.

Alasan terakhir diakui Asmi sebagai tradisi yang sulit dibicarakan. Meskipun malu-malu, pada kenyataanya, tak sedikit orangtua“membandrol”anak perempuan mereka dengan nilai uang panaik. Besaran nilainya, bergantung pada, nama besar keluarga, tingkat pendidikan, dan pekerjaan sang anak.  Untuk sekedar diketahui, uang panaik merupakan syarat yang ditetapkan oleh pihak keluarga calon pengantin perempuan terhadap calon pengantin laki-laki dalam bentuk uang dan barang berharga.

Sebelum mengalami pergeseran nilai dan fungsinya, uang panaik ini pada prinsipnya bertujuan mengamankan posisi perempuan dari guncangan ekonomi jika sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat dalam pernikahannya. Oleh sebab itu, biasanya syarat ini dalam bentuk aset tidak bergerak. Pada keluarga dengan pendapatan ekonomi rendah, uang panaik ini menjadi semacam transaksi jual beli. Ini menjadi salah satu target yang disasar oleh para kelompok agama yang masuk ke wilayah ini. Mereka mengupayakan terjadinya kesadaran warga untuk mempermudah proses pernikahan sesuai ajaran Islam. Tapi, sisi buruknya, penyadaran itu dibarengi dengan anjuran menikah muda, walaupun tidak semua kelompok Islam berlaku demikian.

Menyadari situasi dan perubahan-perubahan di wilayahnya yang serupa itu, pada tahun 2016, Asmi berinisiatif mengumpulkan ibu-ibu dan remaja perempuan untuk terlibat dalam sebuah proyek festival merajut bersama komunitas merajut, Qui-Qui yang dikembangkan oleh aktivis merajut untuk komunitas Fitriani A. Dalay. Sebagian besar ibu-ibu kemudian belajar kepada Asmi dan umumnya mereka belajar merajut dari nol.  Ini menantang Asmi untuk mengembangkan teknik-teknik mengajar merajut mengingat sebagain ibu-ibu yang menjadi muridnya, buta huruf.

Sambil mencari cara untuk menjual barang-barang karyanya dan anggota perkumpulannya, Asmi bekerjasama dengan timBerdaya menyosialisasikan pencegahan kawin anak sejak 2017. Dia menghadiri pertemuan-pertemuan dan diskusi yang menyangkut masalah perempuan dan anak. Dari sana,hubungan pertemanan Asmi makin luas. Asmi beberapa kali ikut pelatihan pararegal mengenai hak-hak perempuan dan anak. Perkenalan dengan orang-orang baru itu dia manfaatkan untuk mengenalkan barang-barang hasil merajutnya.

“Asmi cukup aktif dan bisa mengajak ibu-ibu muda lainnya untuk berkumpul dan meningkatkan pengetahuan,” ujar Sumarni, aktivis di Shelter Warga Tammamaung yang menjadi pusat pemberdayaan perempuan dan anak di wilayahitu. Sumarni bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat untuk mencegah dan mengatasi kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga  (KDRT)

“Awalnya saya tidak tahu dampak buruk perkawinan anak. Setelah mengenalnya dari LBH APIK kemudian diperdalam  melalui kegiatan program BERDAYA Rumah KitaB saya jadi paham bahaya kawin anak, dan saya tidak ingin ada lagi kawin anak di lingkungan rumah dan keluarga saya,” kata Asmi. Setidaknya ibu-ibu yang berada di kelompok-kelompok dimana Asmi berada, mulai paham dan ikut mencegah perkawinan anak. Paling tidak, mereka tidak menikahkan anak-anak sebelum mencapai usia dewasa.

“Kerugian ada di pihak perempuan,” kata Asmi.

Sejauh ini tidak ada kesulitan dalam menerangkan pentingnya mencegah kawin anak kepada warga setempat. Apalagi para ibu-ibu mengetahui angka kematin ibu akibat menikah di usia anak-anak. Walaupun demikian, sebagian orang yang patuh pada tradisi dan doktrin agama  tidak bisa menolak perkawinan anak. Ini biasanya terjadi pada orangtua yang tidak memiliki akses pada sumber-sumber pengetahuan dan tidak teroganisisasi dalam sebuah kelompok atau komunitas dimana pertukaran informasi berlangsung.

Belum lama ini, tetangga Asmi baru saja membatalkan rencana perjodohan antara anaknya yang masih 15 tahun dengan kerabatnya. Entahapa yang membua tpernikahan itu batal, tapi yang pasti, si anak perempuan dengan keras menolak rencana itu.

Kesulitan ekonomi jadi salah satu pemicu para orangtua di lingkungan tersebut lebih cepat menikahkan anak-anak mereka. Tapi, kepatuhan terhadap tradisi juga kuat mendorong kawin anak. Ada tradisi yang melarang keluarga perempuan menolak lamaran seorang laki-laki yang ingin menikahi putrinya. Kalau menolak, bakal terjadi tregedi pada keluarga perempuan. Sebagian masyarakat masih percaya dan patuh terhadap tradisi itu. Inilah yang sedang dilawan oleh Asmi dan teman-temannya. Saat ini, mereka berencana membuat sebuah forum bagi remaja perempuan untuk bergerak aktif mencegah kawin anak. []

 

 

 

Hingga Juli, 200 Pernikahan Anak Digelar di Makassar

Jakarta – Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Makassar mencatat ada 200 perkawinan anak di Makassar selama 2018. Perkawinan anak ini terjadi disebabkan adanya oknum Kelurahan yang memberi surat pengantar hingga dapat mencuri umur.

“Kalau perkawinan anak yang terjadi di Makassar itu banyak jumlahnya sekitar sampai 200 anak. Ini karena ada juga oknum Kelurahan hingga RT/RW memberi surat pengantar jadi gampang curi umurnya,” kata Ketua Tim Reaksi Cepat (TRC), P2TP2A Dinas Pemberdayaan Perenpuan dan Perlindungan anak (PPPA) Makassar, Makmur, Senin (22/7/2018).

Pernikahan ini kerap dihalalkan orang tua di Makassar bukan tanpa sebab, melainkan faktor ekonomi. Banyaknya jumlah anak hingga beban orang tua agar lepas tangung jawabnya dan diserahkan kepada calon suaminya.

“Banyak faktornya, orang tua tidak mau lagi menurus anaknya, dia mau lepas tanggung jawab karena jumlah anak banyak juga, makanya dia mau nikahkan jadi sudah diserahkan ke suaminya. Nikahnya antara usia 13 sampai 15 tahun,” jelasnya.

P2TP2A juga mencatat kasus kekerasan anak telah dialami berkisar 150 orang anak. Mulai kekerasan fisik, seksual, ekploitasi, terlantar hingga yang marak saat ini yakni bully.

“Kekerasanya ya. Macam-macam juga, mulai kekerasan fisik, sampa bully, ya rata-rata dilakukan orang terdekatnya juga mereka, seperti keluarga, pacaranya hingga temannya sendiri,” tutupnya.

Sumber: https://news.detik.com/berita/4128410/hingga-juli-200-pernikahan-anak-digelar-di-makassar

Mengenal Yulia, Duta Pencegahan Kawin Anak di Makassar

Yulia Anggraini merupakan salah satu peserta dalam Training Penguatan Remaja untuk Pencegahan Kawin Anak yang diselenggarakan oleh Program BERDAYA bersama Rumah KitaB yang dilaksanakan di Hotel JL Star Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Remaja yang akrab disapa Yulia ini, berusia 15 tahun dan baru menyelesaikan pendidikannya di SMP Tut Wuri Handayani. Saat ini, ia sedang menunggu pengumuman setelah mendaftar sebagai murid di SMK Negeri 8 Makassar jurusan Tata Boga. Ia sangat bersemangat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, ia bahkan sudah mengunduh aplikasi transportasi online untuk ia gunakan ketika masuk sekolah nanti karena jarak sekolah dan rumahnya berjauhan.

Ketika ditanya mengenai cita-cita, Yulia dengan cepat mengatakan ingin menjadi guru. Menurutnya, guru adalah profesi yang sangat menyenangkan. Ia bisa berbagi ilmu dan pengetahuan kepada orang lain.

“Saya sangat mengidolakan salah satu Guru di sekolah dulu. Saya suka caranya mengajar dan pendekatannya kepada murid-murid sangat seru dan ramah. Saya ingin seperti itu nantinya, membuat murid-murid senang belajar,” katanya, bangga.

Yulia tinggal di RW IV, Kelurahan Sinrijala, Kota Makassar. Hanya berjarak sekira 500 meter dari Kantor Kelurahan. Tempat tinggal Yulia juga dikenal dengan sebuatan Rumah Kereta karena dipenuhi rumah semi permanen yang berderet-deret seperti gerbong kereta. Dalam satu rumah bisa dihuni hingga tiga kepala keluarga.

Yulia banyak bercerita tentang lingkungan tempat tinggalnya. Sepengetahuannya, ada banyak kawin anak yang terjadi di sana. Beberapa teman bermain yang usianya sama dan beberapa tahun lebih tua darinya, sudah banyak yang menikah, memiliki anak dan bahkan ada yang bercerai. Seingatnya, teman-teman sebayanya yang terpaksa menikah di usia anak banyak disebabkan karena mereka mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Hal tersebut membuatnya khawatir namun sekaligus memotivasi dirinya untuk mencari cara agar bisa terhindar dari KTD dan perkawinan anak. Lingkungan sekitarnya lah yang kemudian membangkitkan ketertarikannya terhadap isu perkawinan anak.

Sejak kelas 2 SMP, Yulia mulai terlibat pada kegiatan sosial untuk pencegahan kawin anak. Awalnya diajak oleh tetangganya yang sedang mencari anak remaja yang ingin berpartisipasi dalam sebuah kegiatan sosialisasi pencegahan kawin anak bersama salah satu pengelola shelter warga di Kelurahan Tamamaung. Sejak itu, ia mulai aktif di isu pencegahan kawin anak. Ia beberapa kali mengikuti kegiatan diskusi, dilatih keterampilan seperti kerajinan tangan dan membuat cokelat. Ia juga diajak untuk mengikuti les Matematika, Bahasa Inggris dan Operasional Komputer di salah satu lembaga kursus secara gratis.

Semakin hari, ia menjadi lebih semangat. Ketika ada kegiatan terkait pencegahan kawin anak, ia tak akan melewatkan kesempatan. Ia juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Forum Anak Makassar. Pengetahuan-pengetahuan yang ia dapatkan tentang pencegahan kawin anak, juga ia sosialisasikan di sekolah ketika berbincang bersama teman-temannya atau melalui tugas sekolah seperti membuat naskah pidato.

“Saya senang sekali mengikuti kegiatan-kegiatan yang temanya tentang pencegahan kawin anak apalagi yang dilaksanakan oleh Rumah KitaB. Saya belajar banyak hal dan mendapatkan pengetahuan yang tidak saya dapatkan di sekolah,” katanya sambil tersenyum.

Saat mengikuti training BERDAYA,  Yulia menjadi salah satu peserta yang sangat aktif. Ia cepat beradaptasi dengan peserta lain. Bersikap ramah pada setiap orang dan tidak malu tampil di depan untuk mempresentasikan hasil-hasil diskusinya bersama peserta lain. Di usianya yang masih sangat muda, ia sudah mampu menganalisa persoalan kawin anak mulai dari faktor, aktor dan solusi dalam mencegah kawin anak. Kata Yulia, anak-anak seharusnya tidak dikawinkan tetapi didukung untuk mencapai cita-cita mereka.

“Waktu ikut di training Rumah KitaB, ilmu yang saya dapatkan sangat berguna sekali untuk saya agar tidak terjerumus pada pergaulan yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, saya juga bisa membagi informasi yang saya dapatkan kepada teman-teman khususnya di lingkungan tempat tinggal saya dan di sekolah yang baru nantinya,” kata Yulia.

Kegiatan yang dilaksanakan oleh Rumah KitaB menurutnya sangat menarik, berbeda dengan kegiatan yang lain. Metode yang digunakan pada saat training sangat memudahkan Yulia memahami materi. Namun, yang paling mengesankan adalah karena setiap peserta dilatih untuk berani berpendapat dan berbicara di depan banyak peserta lainnya. Yulia juga berkata bahwa, “Saya menjadi sadar bahwa sebagai anak, kami juga berhak untuk menolak kawin anak,”

Selain itu, ia juga mendapatkan ilmu baru mengenai aktor-aktor yang dapat mendukung terjadinya kawin anak. Ia sangat kaget saat mengetahui fakta bahwa pemerintah bisa menjadi salah satu aktor yang mendukung terjadinya kawin anak melalui pemalsuan identitas dengan manaikkan usia anak di KTP. Oleh karena itu, ia bertekad ingin melakukan sosialisasi pencegahan kawin anak bersama teman-temannya saat pesta rakyat di Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, 17 Agustus mendatang yang akan dilaksanakan di kelurahan tempat tinggalnya mengingat unsur-unsur pemerintahan terkecil akan hadir pada moment tersebut.

Salah satu hal yang membuat Yulia bersyukur adalah dukungan keluarganya dalam mendorongnya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan terkait pencegahan kawin anak. Meski sejak kecil, orang tua Yulia bercerai dan ia dirawat oleh neneknya, namun ia ingin membuktikan bahwa ia dapat menjadi remaja yang berdaya.

“Pendidikan itu nomor satu, urusan pacaran bisa belakangan. Saya masih mau main dan belajar, bukan gendong anak!” serunya sambil tertawa. [Sartika]