Pos

Gender dan Pluralisme Hukum Dalam Kewarisan di Indonesia

Mungkin orang menyangka bahwa hukum waris di Indonesa yang berlaku dalam keluarga Muslim semata-mata bersumber dari hukum agama (fiqh Islam). Pada kenyataannya penerapan pembagian warisan bersifat sangat pluralistik dan tak sepenuhnya mengambil hukum fiqh sebagai rujukan. Asas yang selalu digunakan adalah musyawarah. Meskipun landasan dalam penentuan pembagian waris adalah hukum agama (hukum faraidh) namun tiap keluarga niscaya memiliki kebijakan dalam pembagian waris itu berdasarkan kesepakatan/musyawarah keluarga. Dan sepajang kesepakatan itu diambil dengan musyawarah dan adil maka biasanya internal keluarga dapat menerima keputusan pembagian harta itu tanpa harus melalui keputusan lembaga peradilan secara formal (Pengadilan Negeri atau pengadilan Agama).

Kondisi itu menunjukkan bahwa hukum waris yang berlaku dalam masyarakat Indonesia bersifat pluralistis; ada yang tunduk kepada hukum waris dalam hukum positif yang bersumber dari undang-undang yang dibangun sejak masa kolonial Burgerlijk Wetboek (BW), atau Hukum Waris Islam yag dikompilasikan dalam KHI dan Hukum Waris Adat. Keragaman ini bagaimanapun dapat dibaca sebagai bentuk akomodasi politik yang dibangun pemerintah sejak masa Kolonial dan dilanjutkan hingga masa kini dalam menyerap hukum-hukum yang telah tumbuh dan berlaku di dalam masyarakat. Pengakuan atas tiga sumber itu memperlihatkan bahwa tiga sumber hukum itu memiliki otioritas penuh sebagai sumber hukum yang setara.

Tentu saja waris dibicarakan jika memenuhi tiga unsur yang menjadi syarat adanya peristiwa pembagian waris itu; adanya peristiwa kematian, adanya harta yang hendak diwariskan, adanya pihak yang berhak menerima warisan dan ada kesepakatan untuk terjadinya pembagian warisan.

Dalam hukum adat, salah satu elemen yang sering menjadi isu adalah soal kedudukan anak pertama (sulung) yang dihubungkan dengan tanggungjawabnya sebagai pelanjut klan yang menjadi alasan anak sulung mendapat bagian/warisan lebih besar daripada adik-adiknya. Demikian juga antara anak lelaki dan anak perempuan yag menyebabkan salah satu pihak diutamakan dalam menerima warisan. Di sejumlah budaya masih ada yang memberlakukan pembagian harta peninggalan keluarga yang hanya diberikan kepada anak lelaki saja dengan asumsi anak perempuan akan mendapatkannya dari bagian suaminya. Tentu saja cara pandang seperti itu didasarkan pada anggapan bahwa setiap perempuan akan menikah dan setiap perempuan menikah dengan lelaki yang dalam keluarganya memiliki kemungkinan untuk mendapatkan warisan. Untuk kepentingan itu pula anak perempuan kerap diharapkan mendapatkan pasangan yang setaraf (sekufu), bahkan untuk tujuan itu perempuan mengalami perkawinan perjodohan.

Pada saat ini cara pandang serupa ini sering dipersoalkan, salah satunya karena tak semua perempuan mendapatkan pasangat atau mendapatkan pasangan yang juga memperoleh warisan dari keluarganya. Karenanya, secara adat biasanya ada mekanisme untuk memastikan anak perempuan memperoleh bagian yang sama seperti mendapatkan hibah rumah dan tanah atau perhiasan sebagaimana terjadi dalam masyarakat adat Lombok di NTB.

Cara pembagian dengan pendekatan hukum adat itu tak selalu sama dengan dua jenis sumber hukum lainnya. Ini menjadikan penanda bahwa hukum waris di Indonesia menggunakan pendekatan pluralisme hukum. Dalam hukum positif (BW) dikenalkan konsep pembagian warisan sama dan serata dengan pebagian 1:1 bagi laki-laki dan perempuan. Ini berlaku bagi semua anak terlepas dari apapun kedudukannya dalam keluarga, status gendernya atau keadaan ekonominya. Dalam Hukum Waris Islam pada umumnya dikenal dengan pembagian 2:1 – bagian waris anak laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan. Sementara dalam hukum waris adat, corak dan sifat-sifatnya sangat beragam dan menjadi model pembagian waris yang juga khas budaya Indonesia dan berbeda dari Hukum Waris Islam maupun Hukum Waris Perdata (Barat) yang bersumber dari BW.

Pembagian berdasarkan Hukum Waris Adat dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan dari masyarakat itu sendiri. Secara teoritis sistem kekerabatan di Indonesia dapat dibedakan kedalam tiga corak, yaitu sistem patrilineal, di mana kedudukan laki-laki lebih diutamakan dan karenanya berpengaruh kepada pewarisan, sistem matrilineal di mana kedudukan anak perempuan dan perempuan lebih diutamakan, dan sistem parental atau bilateral yang mendudukan posisi anak laki-laki dan perempuan setara dan karenanya tidak dibedakan dalam pewarisan.

Dengan kenyataan bahwa Hukum Waris di Indonesia bersifat pluralis, sudah barang tentu membuat pencari keadilan bertanya-tanya, hukum waris manakah yang paling tepat digunakan apabila terjadi persoalan dalam pewarisan. Pada umumnya orang lalu akan mencari keadilan di lembaga peradilan yang disediakan oleh negara. Pada keluarga non Muslim, atau dalam keluarga Muslim yang tidak mau menggunakan hukum waris Islam mereka menggunakan hukum waris Barat atau hukum positif yang bersumber dari BW. Bagi masyarakat yang memegang teguh hukum adat mereka dapat menggunakan Hukum Waris Adat, sedangkan orang Islam menggunakan Hukum Waris Islam yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Hukum apapun yang akan diambil hal yang paling penting dikedepankan adalah pemenuhan rasa keadilan dan musyawarah. Dengan menggunakan analisis gender kita dapat menggunakan tolok ukur bagaimana rasa keadilan bisa ditegakan yaitu salah satu pihak tidak dipandang memiliki kedudukan lebih tinggi atau lebih penting dari dari yang lain. Sebab manakala hal itu terjadi maka praktik diskriminasi yaitu perlakuan pembedaan berdasarkan prasangka akan terjadi. Dan jika hal itu berlangsung maka salah satu pihak akan menzalimi yang lain. Padahal hukum waris dibahas dalam berbagai sumber hukum itu justru untuk menghindari kezaliman dan menegakan keadilan. Dari sisi kacamata keadilan kita dapat melakukan pilihan mandiri terhadap hukum waris yang ada yang sesuai dengan kesepakatan bersama.

*) Penulis adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, staf peneliti pada Rumah Kita Bersama

Lies Marcoes, Tokoh Bicara dalam Access to Justice

Artikel ini dimuat di Majalah Peradilan Agama Access to Justice, edisi Mei 2015

Kerjasama antarlembaga dalam program Layanan Terpadu sangat efektif. Pengetahuan hakim-hakim Pengadilan Agama tentang prosedur hukum sangat membantu SKPD lain terkait dengan layanan tersebut. Pihak kecamatan aktif memberikan informasi berantai sampai ke tingkat dusun dan menyediakan fasilitas transportasi bagi warga dari berbagai pelosok. Pihak Dinas Kependudukan dan Pengadilan Agama yang telah bekerja lebih awal memeriksa berkas beberapa hari sebelumnya sehingga mempercepat proses sekaligus menjamin akurasi data. Meskipun sebagain besar biaya persidangan ditanggung warga, umumnya kegiatan Layanan Terpadu mencapai hasil yang luar biasa.

Namun pelayanan terpadu perlu dikelola lebih baik. Karena permintaan lebih tinggi dari supplynya, petugas KUA sering kewalahan menghadapi pertanyaan warga pasca layanan. Kesediaan buku nikah harus disesuaikan dengan kesanggupan layanan, dan bukan sebaliknya. Ini perlu diperhatikan agar kesadaran warga yang telah dibangun dengan susah payah oleh banyak pihak tidak padam akibat ketidakpastian untuk mendapatkan dokumen.

Selain itu, terkait dengan keterbatasan fungsi isbat nikah yang biasanya berlaku untuk perkawinan yang pertama. Sementara di masyarakat tak sedikit anak-anak yang tidak mempunyai identitas hukum dan lahir dari perkawinan yang kedua atau ketiga. Ini kelihatannya belum tercakup perlindungannya. Terobosan hukum seperti apa yang bisa diberikan kepada anak-anak yang lahir dalam perkawinan kedua ketiga itu?

Di luar soal pemberian identitas hukum, saya melihat probem lain yang sangat laten adalah soal hak-hak perempuan pasca peceraian. Putusan yang memberikan hak-hak istri tak mengikat untuk dipenuhi. Studi van Huis di Cianjur, atau studi saya di PA Sulawesi Selatan memperlihatkan ikrar talak yang diucapkan tidak selalu mengikat pada upaya eksekusi atas putusan terkait uang iddah, mut’ah, nafkah tertunggak dan hadanah. Ini bagi perempuan miskin dan anak-anaknya merupakan penzhaliman. Pengadilan Agama harus mencari terobosan agar sebelum ikrar talak dibacakan semua kewajiban suami telah terpenuhi. Secara normatif hal itu dilakukan dengan menahan ikrar sampai 6 bulan hingga kesepakatan dipenuhi. Namun cara ini tidak efektif, dan tidak ada landasan hukum untuk menyandera ikrar talak. Terkait hadhanah, perlu dipikirkan bagaimana mengontrol mantan suami agar memenuhi kewajibannya. Bagi perempuan, ini sangat rentan karena tak ada lembaga yang mengontrol atas pelaksanaan putusan. Apakah lembaga-lembaga layanan seperti POSBAKUM mungkin ditingkatkan perannya untuk pendampingan para pihak pasca perceraian?

Penguatan kapasitas hakim dalam menggunakan perspektif gender sangatlah penting, karena hampir seluruh persoalan yang masuk ke Pengadilan Agama terkait dengan relasi gender. Peningkatan kapasitas dapat membantu dan membuka wawasan para hakim, misalnya soal KDRT, kekerasan non fisik yang menyebabkan terjadinya syiqaq.

Kesemuanya ini dapat diperdalam melalui kegitan pelatihan secara berkala, baik yang dilakukan secara mengikat di Litbang Badilag maupun secara insidental melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga bantuan hukum yang konsen terhadap isu gender seperti LBH Apik atau Komnas Perempuan.

Peningkatan daya jangkau PA juga sangat penting terutama untuk wilayah-wilayah kepulauan dan pedalaman yang jarak tempuh ke PA bisa berhari-hari dan membutuhkan biaya banyak. Menfasilitasi layanan dengan mobil atau perahu keliling bisa membantu aksesibilitas layanan.

Roadshow dan Peluncuran Buku “Menolak Tumbang” Karya Lies Marcoes-Natsir di Mataram

Roadshow dan peluncuran buku “Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan” karya Lies Marcoes-Natsir diadakan di Mataram, 24 November 2014 lalu. Atas dukungan dan kerja sama dengan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ), buku ini merupakan studi mengenai kemiskinan dan keadilan menggunakan kacamata gender. Buku setebal 285 halaman ini mencakupi narasi dan foto sebagai media advokasi dan menyoroti siklus kehidupan perempuan miskin sedari mereka lahir hingga lanjut usia.

Peluncuran buku yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini dihadiri oleh lembaga dan mitra lokal AIPJ, seperti PEKKA, LBH APIK, LPA, BP3AKB, hingga Pengadilan Agama, kepala KUA, dan kepala desa setempat. Sebagai pembicara Lies Marcoes menekankan pada konteks NTB yang juga termasuk salah satu wilayah penelitian buku “Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan”. Ia menjelaskan bahwa kemiskinan yang dialami perempuan-perempuan di NTB diakibatkan oleh adanya dualisme hukum dan juga kerentanan perempuan yang berhadapan dengan budaya yang sedang berubah.

Presentasi Lies yang berlangsung selama kurang lebih 30 menit memaparkan potret-potret kemiskinan yang dialami perempuan, berikut tantangan yang mereka hadapi. Selain Lies, fotografer “Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan”, Armin Hari, juga turut mempresentasikan perjalanannya selama setahun memotret berbagai fenomena kemiskinan di Indonesia, termasuk NTB.

Lies memaparkan bahwa meskipun menurut Komnas Perempuan 83 dari 154 regulasi daerah atau pusat mengandung aspek diskriminasi terhadap perempuan, mereka melawan kemiskinan tersebut dan pantang menyerah. Berbagai macam pemberdayaan dilakukan, seperti layanan pembuatan akta kelahiran hingga pelatihan rias pengantin untuk perempuan mantan TKW. Pada kesimpulannya, perempuan-perempuan tersebut tidak tinggal diam menghadapi kemiskinan. Mereka berupaya untuk keluar dengan melakukan berbagai cara, dan mereka adalah perempuan-perempuan tangguh yang “menolak tumbang.”

Pada akhir acara, setidaknya 25 kopi buku “Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan” didistribusikan atas minat dan antusiasme yang tinggi dari mitra lokal di NTB.

Roadshow Mataram 4 Roadshow Mataram 5 Roadshow Mataram 3 Roadshow Mataram 2

Manipulasi Data Perkawinan Anak

Salah satu problem dalam penelitian kawin anak adalah buruknya data. Dari Kemenag di Kabupaten XX, berdasarkan catatan peneliti Rumah KitaB, Anis Fuaddah dari Jawa Timur, data kawin anak berdasarkan dispensasi nikah yang diputus Pengadilan Agama tahun 2014 hanya terjadi di 3 kecamatan dengan total 13 kasus. Sementara data di PA, perkara dispensasi nikah tahun 2014 berjumlah 101 kasus, sebagian besar terkait perkawinan di bawah umur. Perkara yang diputus 94 kasus, selebihnya ditolak. Dispensasi terpaksa diberikan karena umumnya calon pengantin perempuan mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) atau orangtua tidak bisa menolak lamaran pihak lelaki.

 

Catatan lapangan Anis Fuaddah, diolah oleh Lies Marcoes

Peran Hakim sebagai Penafsir Hukum

Ibu Hat binti Tal (nama samaran), seorang janda 36 tahun, pendidikan SD dan bekerja sebagai buruh yang memohon dispensasi untuk anak lelakinya, J Putra. Ia anak sulung dan akan menikah, tapi umurnya baru 17 tahun 9 bulan. Sementara calon menantunya Yuli berumur 16 tahun 6 bulan. Ibu dan anak lelakinya datang ke PA Makassar memohon dispensasi nikah setelah mereka datang ke KUA dan ditolak karena menyalahi UU Perkawinan tentang batas usia kawin bagi lelaki, yaitu 19 tahun.

Sebagaimana diceritakan hakim dan staf POSBAKUM, sang Ibu mengatakan bahwa anaknya sudah cukup dewasa. Selama ini dia menjadi “bapak” bagi adik-adiknya, telah menunjukkan sikap kedewasaannya dan tanggung jawabnya meski hanya sebagai buruh harian. Sang ibu mengatakan bahwa ia juga sayang kepada calon menantunya dan merasa tak ada alasan untuk menunda perkawinan mereka sampai 2 tahun ke depan menunggu anaknya dianggap cukup umur menurut UU Perkawinan. Hakim yang mengadili perkara menyatakan, ia tak melihat hal yang menghalangi untuk memenuhi permohonan dispensasi nikah. Setelah melakukan pemeriksaan syarat-syarat formal, hakim melihat pemohon memang siap menjadi suami. Permohonan itu tak didasarkan pada alasan yang mendesak (seperti hamil di luar nikah), melainkan keinginan untuk berkeluarga secara benar, mengikuti hukum agama dan negara.

Ibu hakim yang menyidangkan mengatakan ia justru merasa salut kepada ibunya; meskipun miskin tapi mau taat hukum, padahal bisa saja mereka kawin siri atau manipulasi data umur. Tapi dia memilih jalur hukum. Hari ini sidang belum diputus, tapi tampak bahwa hakim menggunakan berbagai pertimbangan sosiokultural sambil tetap tunduk pada rambu-rambu hukum.

Kasus ini banyak memperlihatkan pentingnya pemahaman sosiologi hukum; menimbang aturan dari pendekatan sosiologis untuk memberikan keadilan bagi pencari keadilan. Di sini peran ex officio hakim yang memiliki kewenangan penuh sebagai penafsir hukum sangat besar artinya dalam memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan. Sebagaimana studi Stijn van Huis di Cianjur, kajian yang melampau teks putusan sangat diperlukan untuk memahami kompleksitas persoalan. Kita tak bisa menilai rasa keadilan hanya dari pendekatan legal formal.

Catatan lapangan Lies Marcoes & Fadilla, Makassar, Februari 2015