Pos

Tersesat dalam Cerita Tunggal Terorisme

Oleh Lies Marcoes (Peneliti Rumah KitaB)

 

Dalam minggu kedua Juni ini, dua peristiwa terorisme muncul di media. Pertama, berita penangkapan KDW alias Abu Aliyah Al Indunisy, salah satu mata rantai jaringan terorisme pemasok bahan baku bom yang kemudian diledakkan pasangan Lukman dan Yogi di Gereja Katedral Makassar pada 28 Maret lalu. Kedua, tertangkapnya tiga anggota teroris jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) wilayah Jawa Barat yang bersembunyi di Pangandaran. Mereka dituduh sebagai mentor idad (persiapan untuk jihad dengan kekerasan) yang antara lain berada di Gunung Galunggung, Tasikmalaya. Menurut Detasemen Khusus 88 Antiteror, kegiatan mereka telah berlangsung sejak 2019, yang didahului dengan baiat anggota baru Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan dilanjutkan dengan pembentukan wadah Rumah Quran Sabilunnajah di Priangan Timur.

Dua peristiwa itu menarik untuk dibedah dengan analisa yang berbeda untuk melihat kemungkinan hasil analisa yang juga berbeda. Hal itu dibutuhkan karena kajian tentang terorisme tampaknya macet dalam menjelaskan fenomena baru keterlibatan perempuan, seperti dalam kasus bom Makassar dan Markas Kepolisian RI. Setidaknya, analisa yang muncul hanya itu-itu saja ketika terjadi peristiwa kekerasan ekstrem yang melibatkan perempuan. Sementara itu, kajian akademis juga tidak menjadi pandangan arus utama dan hanya beredar di kalangan akademis.

Meskipun tak menyedot perhatian publik, dua penangkapan itu jelas bukan berita kriminal biasa. Dari kacamata awam, peristiwa ini hanya menjadi berita rutin tentang ancaman teror yang terus-menerus dihadapi negara. Bagi saya, berita itu hanya memberi gambaran seragam dan bahkan statis tentang ancaman terhadap “keamanan negara” dengan melihat hubungan ideologi radikal dengan ajaran Islam yang mengancam otoritas negara.

Kedua peristiwa seperti itu senantiasa dapat ditebak ujungnya, yaitu adanya keterkaitan antara terorisme dengan ideologi maskulin yang berwajah agama. Namun, ketika berulang kali terjadi teror dengan pelaku perempuan, kesimpulan serupa itu gagal untuk menjelaskan mengapa perempuan terlibat dan di mana letaknya dalam peta analisis itu. Sejauh ini, kegiatan teror senantiasa digambarkan menyangkut kepentingan dan agenda kaum lelaki dan beroperasi dengan cara-cara lelaki serta demi tujuan dan perjuangan kaum lelaki.

Tapi, justru ini masalahnya. Dengan anggapan serupa itu, kita disuguhi cerita tunggal atau “single story” tentang terorisme. Novelis feminis Nigeria, Chimamanda Adichie, lewat karya-karya sastranya menggugat “cerita tunggal” yang membentuk wajah Afrika. Wajah itu, menurutnya, hanya sesuai dengan citra penjajahan dan dunia Barat sekaligus mengkhianati kenyataan. Dari pengalaman dan pengamatannya tentang Afrika, penggambaran itu bukan sekadar melahirkan sterotipe atau stigma tentang Afrika, melainkan juga menggambarkan Afrika yang sungsang dan tak kunjung lengkap dan genap. Sterotipe itu, menurutnya, telah merampok harga diri dan membentuk satu-satunya kebenaran tapi sesat.

Dalam konteks dan skala yang berbeda, cerita tunggal yang digugat Chimamada Adichie ini tak jauh berbeda dari isu terorisme. Setidaknya ada tiga hal yang dapat dipersoalkan untuk menggugat cerita tunggal terorisme itu.

Pertama, cerita tunggal terorisme itu didominasi oleh prasangka tentang Islam. Narasi ini telah mengabaikan kenyataan tentang sejarah panjang perjuangan umat Islam di dunia dalam menghadapi penindasan, baik di era penjajahan maupun dalam rezim-rezim penguasa dengan menggunakan ideologi Islamisme. Meski dalam kenyataannya perlawanan atas rezim itu juga kerap melahirkan manipulasi baru dengan memanfaatkan sentimen umat, banyak penguasa cukup dibuat gugup oleh kekuatan ideologi Islamisme yang getol menawarkan keadilan dan kesejahteraan.

Di banyak peristiwa, ideologi Islamisme bersama kekuatan rakyat telah berhasil menumbangkan penguasa diktator. Kisah paling fenomenal tentu saja tumbangnya monarki Syah Reza Pahlavi. Melalui penggalangan kekuatan umat yang juga melibatkan perempuan bercadar hitam sebagai simbol perlawanan atas dominasi Barat dan sekularisme, ideologi Islamisme Syiah itu telah berhasil menggerakan kekuatan umat, meskipun dianggap gagal dalam mengeksekusi keadilan yang dicita-citakan.

Namun, cerita bahwa ideologi Islamisme sepenuhnya sebagai ideologi jahat anti-peradaban ala ISIS tak selalu cocok dengan pengalaman mereka yang benar-benar menemukan jalan kebenaran baik secara individual maupun kolektif tentang ajaran Islam yang mereka fahami. Kita sering mendengar kisah-kisah perempuan “hijrah”, yang menemukan Islam sebagai rumah baru, visi baru, dan jalan jihad untuk hidup “sekali berarti kemudian mati”. Studi menarik dilakukan Saba Mahmood dalam Politics of Piety di Mesir yang menggambarkan gerakan “majelis taklim” kaum perempuan dalam membangun kekuatan mereka dalam menolong sesama perempuan.

Kedua, narasi tunggal tentang keterancaman negara (state security), yang seolah-olah hanya negara yang sedang terancam oleh ulah para teroris. Dalam pengalaman perempuan, ceritanya sungguh berbeda. Hal yang membuat mereka terancam ternyata bukan ulah teroris melainkan kehidupan itu sendiri (human security). Setiap hari mereka berhadapan dengan teror kemiskinan, kekerasan berbasis prasangka gender, ancaman atas keselamatan anak dari narkotik, rentenir, dan utang yang membelit, suami penganggur atau bolak-balik selingkuh, dan hidup tanpa kepastian.

Masalahnya, di ruang-ruang tempat masyarakat dan kaum perempuan berkumpul atau dalam sinetron dan tontonan murah lainnya tak ditemukan penjelasan tentang apa yang sesungguhnya sedang mereka hadapi. Alih-alih mendapat jawaban, mereka malah mendengar dari para penganjur agama tentang ancaman nyata yang paling mudah mereka pahami, seperti pelemahan akidah, kelalaian dalam menutup aurat, dan kealpaan dalam ibadah. Karenanya, yang mereka perjuangkan kemudian adalah bagaimana menutup aurat rapat-rapat, mengoreksi akidah yang dianggap menyimpang, serta menjauhi tetangga yang berbeda suku, agama, dan keyakinan atau menuntut negara untuk menegakkan syariat. Mereka tak dibantu untuk melihat ragam akar persoalan yang disebabkan ketimpangan sosial, pelemahan partisipasi perempuan di ruang publik, subordinasi yang menempatkan kelas perempuan di bawah lelaki, dan hal-hal lain yang menyudutkan mereka sebagai perempuan.

Ketiga, cerita tunggal terorisme dengan aktor tunggal lelaki. Pandangan ini bersumber dari ideologi gender esensialis maskulin yang menganggap menjadi teroris itu merupakan watak bawaan lelaki. Dengan anggapan demikian, perempuan, yang memiliki rahim dan kemampuan hamil dan melahirkan, dianggap mustahil akan terlibat dalam terorisme. Pandangan semacam ini menilai bahwa jika pun perempuan terlibat, itu karena mereka telah bermetamorfosa menjadi lelaki.

Kita perlu mengoreksi tiga hal dalam cerita tunggal terorisme di atas. Cara ini mungkin dapat menjelaskan keterlibatan perempuan dalam kekerasan ekstrem. Cerita tunggal itu bukan saja membuat kita gagal dalam membaca ancaman terorisme tetapi juga tersesat dalam memahami terorisme yang dibaca dari kaca mata dan pengalaman perempuan.

 

Artikel ini telah dimuat di koran Tempo, 25 Juni 2021

Indonesia: The Rise of Moral Conservatism

Across Indonesia, a wave of moral conservatism is building. A recently leaked draft of the privately sponsored Family Resilience Bill, yet to be tabled before Parliament, represents an effort by conservative Muslim politicians to intrude into the private lives of Indonesian citizens. AUT’s Dr Sharyn Davies warns of the rising moral divide in Indonesia. 

Morality has long been an issue in Indonesia, always linked to power in the world’s largest Muslim nation, and always a mechanism by which to claim political legitimacy.

But since 2009 with the passing of the Pornography Law, and more so since the 2016 LGBT crises, issues of morality have taken centre stage.

Indonesia is now experiencing a growing moral conservatism, expressed in part by the proposed “Family Resilience Bill” (Ketahanan Keluarga).

It’s a law harking back to a bygone era in the country. One article in the legislation stipulates that husbands and wives “are responsible for performing their individual roles in accordance with religious norms, social ethics and prevailing laws.”

That positions the husband as the traditional bread-winner, protecting his wife and children from “mistreatment, exploitation  and sexual deviation” – a code word for homosexuality.

The bill seeks to regulate all sorts of things, from the use of donor sperm and eggs, to mandating that wives and husbands love each other, to demanding women do all the housework. The bill is also highly discriminatory toward LGBT, proposing LGBT undergo ‘rehabilitation.’

Article 86 of the draft bill states: “Families experiencing crises due to sexual deviation are required to report their members to agencies handling family resilience or rehabilitation institutions to undergo treatment.”

The bill also requires people experiencing “sexual deviation” to report to the authorities or so-called “rehabilitation centres”, which would be established by a state body responsible for “family resilience”.

The law was not the government’s doing, but President Jokowi had agreed that it should proceed. This surprised many used to seeing Jokowi’s liberal moral views decried as “un-Islamic” by his critics.

Four days before the bill was expected to pass, he asked on television for its passage to be delayed, on the grounds that all the public criticism suggested there was room for improvement.

As a way of thinking collectively about these morality pushes, I use the notion of “populist morality”. Populism is the idea that society is divided in two, the good and the bad. In the case of Indonesia, people are increasingly divided into ‘the moral’ and ‘the immoral.’

Populism comes to the fore through populist leaders, and the world is in no short supply of these. Perhaps the most infamous is Donald Trump, whose rallying cry is the claim that white straight US working-class folks are being disenfranchised by illegal Muslim and Mexican immigrants.

In Indonesia the fault line is also drawn along moral lines, with anyone who has sex outside of marriage, or is even considering sex outside of marriage, deemed immoral.

What is driving populist morality in Indonesia?

In many ways it is the same things driving populism more broadly across the globe, and it comes down in part to identity politics.

Dr Marcus Mietzner is an Indonesian politics scholar at the ANU in Canberra. He suggests for those Indonesian people who are feeling disenfranchised, rhetoric that places the blame on “the other” is appealing. And for those seeking to gain or hold onto power, a useful strategy is to appeal to the disenfranchised.

For this reason, perhaps, Indonesian President Jokowi, who on his own had seemed relatively supportive of LGBT, has found it strategic to align himself with anti-LGBT forces, notably in the appointment of Vice President Ma’ruf Amin.

As with populism elsewhere that positions immigrants or LGBT as the problem, it seems to avoid getting to the heart of what is driving the populist surge in Indonesia.

As a recent article from The Nation reveals, the ‘racism unleashed by Trump can be understood as directed at the political elite rather than minority groups. We should consider the ways in which racism might not be the core disease of Trumpism but a symptom of a deeper illness.

In a similar way, it seems that the homophobia unleashed by Islamists and nationalists is not necessarily at the core of the resulting hatred and violence toward LGBT and others in Indonesia. Rather the violence is a symptom of a deeper illness.

For Marcus Mietzner, this illness is a hardening of identity politics from groups having their place in society threatened.

In the US, much of Europe and elsewhere, the threat is perceived as coming from Muslims and immigrants.

In Indonesia, for Islamists, nationalists and others, the threat is increasingly positioned as coming from ‘the immoral.’ They want to have sex outside of marriage, donate sperm to infertile couples, allow unveiled women to attend university and worst of all, encourage men to pick up a broom and start sweeping.

Populism needs an enemy, and in Indonesia the enemy is not immigrants, Chinese or Communists, but the immoral.

Populist morality is also having a detrimental impact on sexual healthcare. It is no secret that sexual and reproductive health knowledge in Indonesia is dismally low, and this was only confirmed when Sitti Hikmawatty, an Indonesian commissioner for health, said that there are an especially strong type of sperm that can impregnate women in swimming pools. The Mayor of Tangerang, Arief Wis Mansyah, surprised the world by claiming Indomei instant noodles and infant formula can “make babies gay”.

Low levels of knowledge, and perhaps more worryingly, high levels of misinformation, are compounding the problem, and if the mood of conservative morality continues to grow in Indonesia, increasing hardship will be felt by many.

– Asia Media Centre

 

Source: https://www.asiamediacentre.org.nz/opinion/indonesia-the-rise-of-moral-conservatism/?stage=Live&fbclid=IwAR0x7HXbQWKGiyqicCAjLQYuwp_5ppG9immgZEdNgIx5ybWxvyjsQDNYKsw#.XmlgPqLOP1w.facebook

Picture: Getty Images

“Perkawinan Anak: Pelajaran Bukan Pengantin”.

Dalam menghadapi problem yang sama di Indonesia dan Malaysia terkait tingginya perkawinan anak, Sisters in Islam (SIS) Malaysia menggelar acara yang diberi tajuk “Perkawinan Anak: Pelajaran Bukan Pengantin”. Rumah Kitab dan SIS saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam kerja-kerja pencegahan kawin anak, KL (7/10)

Menyambangi Ijab Kabul Pasangan Remaja di Bantaeng, Potret Buram Pernikahan Anak Sulawesi

Kontributor VICE menggali lebih dalam kisah dua remaja Bantaeng nekat menikah di usia belasan. Sayang, jalinan kasih Fitrah dan Syamsuddin tak seindah skenario film ‘Moonrise Kingdom’—sebab tekanan adat agar anak menikah lazim terjadi di Sulawesi.

Tak ada janur kuning terpancang di ujung jalan Sungai Calendu Kelurahan Letta, Kabupaten Bantaeng. Pun tak nampak kemeriahan pesta. Pernikahan pasangan remaja yang masih setara usia pelajar SMP itu, yakni antara Fitrah Ayu dan Syamsuddin, sejak awal diniatkan sederhana saja. Sejauh ada penghulu, saksi, dan keluarga, maka berlangsunglah apa yang keluarga rencanakan.

Dalam rumah orang tua Fitrah yang bercat kuning itu, beberapa orang duduk membentuk lingkaran kecil. Seorang laki-laki berkemeja garis-garis biru duduk di kursi plastik, memegang rokok. Dia Muhammad Idrus Saleh, 40-an tahun, bapak Fitrah. Seorang laki-laki lainnya bersandar di salah satu tiang rumah. Menggunakan peci hitam, dengan janggut panjang. Tangannya tak bisa bergerak cekatan karena kecelakaan 20 tahun lalu. Dia, Daeng Sangkala, 68 tahun, bapak Syamsuddin.

Cahaya pagi menembus dinding gedeg bambu yang sudah tua. Seseorang yang dinanti-nanti memasuki rumah. Tangannya menenteng beberapa lembar kertas. Orang-orang mulai mengubah posisi duduknya. Dia adalah penghulu yang akan melangsungkan pernikahan.

Syamsuddin mengulurkan tangannya, berjabat erat dengan si penghulu. Surat Al Fatihah dan Syahadat dilantunkan. Lalu ucapan sakral pernikahan terucap. Diulang sekali lagi. Orang dalam ruangan itu kompak berucap “sah!”

 

Syamsuddin, 16 tahun, saat melafalkan ijab kabul

Fitrah Ayu dan Syamsuddin, akhirnya resmi menjadi pasangan suami istri secara hukum dan tercatat negara. “Mungkin dua atau tiga hari surat nikahnya akan jadi ya,” kata Syarif Hidayat, si penghulu. “Saya permisi dulu, masih ada yang mau dinikahkan di tempat lain.”

Pasangan asal Sulawesi Selatan ini belakangan santer diberitakan media dan digunjingkan warganet, lantaran keduanya belum genap berusia 17 tahun. Fitrah usianya baru 14 sementara Syamsuddin 16 tahun. Pernikahan mereka ramai dibicarakan jauh sebelum ijab kabul dinyatakan sah. Sedianya mereka telah menyebar undangan ke keluarga dan tetangga akhir Februari, memberi tahu pernikahan akan digelar pada 1 Maret. Di sela-sela itu mereka mendaftarkan diri ke Kantor Urusan Agama. Tak tahunya, pendaftaran mereka ditolak karena belum cukup umur.

KUA berpatokan pada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan pernikahan baru diizinkan bila pria telah berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Nurlina (34) yang menjadi ujung tombak pengurusan pernikahan ponakannya itu, kebingungan. “Jadi bagaimana mi ini. Undangan sudah tersebar,” katanya. “Terus orang KUA bilang, bisa minta dispensasi ke Pengadilan Agama. Saya urus semua, pernyataan dari Kelurahaan, Kecamatan, lalu bawa ke Pengadilan Agama.”

Di Pengadilan Agama Bantaeng, pasangan ini bersidang dua kali, masing-masing pada 23 Maret 2018 dan 3 April 2018. Hadir juga saksi dari keluarga calon mempelai pria dan perempuan. Pengadilan hanya meminta penjelasan atas proses pernikahan itu, apakah ada paksaan atau tidak, serta menanyakan alasan keluarga menikahkan. “Kami bilang mereka suka sama suka. Mereka ikhlas,” kata Nurlina.

Sampai di sini, semua baik-baik saja. Lalu Fitrah dan Syamsuddin mengikuti kursus calon pengantin di KUA Kecamatan Bantaeng. Ada 12 pasangan calon pengantin yang ikut. “Itu kursusnya cuma satu hari. Biasaji ada nasehat pernikahaan,” kata Fitrah.

Beberapa hari kemudian, kata Nurlina, pernikahan ponakannya itu menjadi perbincangan di media sosial. “Orang bilang, eh viral ki itu. Terus orang kasi liatka fotonya Fitrah sama Syam di internet, saya baru kaget,” katanya. “Setelah itu, banyakmi wartawan datang. Ada menelepon dan datang langsung ke rumah. Takut-takut ka saya. Kenapa inikah?”

Tidak hanya keluarga Fitrah dan Syamsuddin yang kebingungan. Orang-orang di sekitar rumah juga bertanya-tanya. Mereka bingung karena pernikahan remaja seperti ini di Bantaeng adalah hal biasa. Saya bertemu dengan beberapa pemuda di Bantaeng dan menanyakan dan mereka menanggapinya dengan santai.

“Di sana, ada juga anak yang menikah masih sekolah. Sekarang mereka samaji juga. Adami anaknya (mereka juga sama nikah muda, malah sudah punya anak),” kata Nurlina, sambil menunjuk arah rumah lain.

“Saya juga menikah umur 13 tahun. Umur 14 tahun melahirkan anak. Sekarang sudah dua anak,” kata Shinta, kakak dari Syamsuddin menimpali.

“Nda kita percaya? Na biasaji. Saya juga melahirkan normal ji nah,” Shinta melanjutkan.

“Di Kelurahan Onto, banyak yang seperti itu terjadi. Kedapatan berduaan saja, duduk, tidak bikin apa-apa, bisa langsung dinikahkan,” kata Adam, pemuda setempat lainnya.

Pemuda lainnya, yang tak ingin namanya disebutkan menceritakan kisah adiknya, yang menikah pada pertengahan tahun 2017. “Jadi dia kedapatan duduk sama perempuan di Pantai Seruni, terus ada keluarga perempuan yang lihat. Lalu dilaporkan,” katanya. “Besoknya itu keluarga perempuan datang ke rumah. Minta mereka dinikahkan. Kalau tidak mau, bayar denda Rp35 juta. Adik saya nda mau, daripada melayang percuma uang, jadi keluarga paksa kami menikah.”

Saya menemui Hartuti, Sekretaris Cabang Koalisi Perempuan Indonesia di Bantaeng sekaligus Kepala Desa Bonto Tiro, kampung Syamsuddin, dan menanyakan pendapat dia soal pernikahan anak. “Kita tidak bisa bilang apa-apa. Ini sudah terjadi. Ini soal menjaga anak dari perbuatan zina. Siapa yang bisa memastikan mereka tidak berzina?” katanya.

“Tahun depan, kami di desa cuman bisa menganggarkan bagaimana ada beasiswa untuk pendidikan anak-anak kurang mampu. Jika Fitrah ingin lanjut sekolah tahun depan, itu akan kami akomodir. Sampai kuliah,” kata Hartuti.

Syamsuniar, Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kabupaten Bantaeng, berusaha cuci tangan. “Baiklah. Kalau mengacu ke UU nomor 32 Tentang Perlindungan Anak, maka itu tidak bisa. Harus saklek. Tapi kan mereka menikah juga sesuai regulasi dan aturan. Jadi bagaimana?” katanya.

“Sekarang, dengan pemberitaan tentang Fitrah dan Syamsuddin, kami sudah melakukan perundingan dengan KUA, agar kelak pembekalan untuk calon pengantin, kami dilibatkan. Bagaimana menjelaskan kesehatan reproduksi misalnya.” UU Perlindungan Anak menyatakan, jika seseorang yang belum berusia 18 tahun masih dianggap anak-anak dan membutuhkan perlindungan dari orang tua dari segala bentuk eksploitasi. Atau harus saklek mengikuti Undang-undang Perkawinan Anak yang menyatakan anak di bawah batas usia menikah dapat mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama.

“Jadi dengan dua aturan yang berlaku seperti itu, kita di lapangan jadi serba salah juga kan. Akhirnya tak ada yang bisa disalahkan,” kata Syamsuniar.

Badan Pusat Statistik pada 2016 merilis data 17 persen anak di Indonesia menikah sebelum usia legal sesuai undang-undang. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia, satu dari 4 anak perempuan menikah di rentang usia 15-19 tahun. Sulawesi Selatan merupakan urutan ke delapan terbanyak untuk perkara kawin anak, dengan indeks rata-rata 30,5 persen. Sedangkan Sulawesi Barat adalah wilayah yang tertinggi di seluruh pulau soal perkawinan di bawah umur, dengan rata-rata kasus 37 persen dari populasi.

Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Selatan menyatakan, sepanjang 2017 saja, ada 11.000 anak sekolah di wilayahnya batal mengikut ujian nasional karena menikah. Sekira 80 persennya adalah perempuan.

Fitrah anak kedua dari tiga bersaudara. Semuanya perempuan. Si sulung bernama Nur Indah, 19 tahun. Sementara si bungsu namanya Cahyana Tri Salsabilah, 5 tahun. Ibu mereka meninggal pada hari ke 10 ramadhan 2016. Nama mendiang Darmawati, 34 tahun ketika dijemput maut.

Saat keluarga ini masih utuh, Darmawati menjadi kader Posyandu. Kesehariannya diisi dengan bekerja paruh waktu, ma’dawa-dawa (memasak di acara kawinan). Cahyana usianya baru 3 tahun saat ibunya meninggal. Jika ditanya di mana ibunya, si bungsu sudah pandai cerita, “Dia bilang, pi ma’dawa-dawa. Nanti kalau pulang bawa apel dan kue,” kata Nurlina.

Si sulung Nur Indah tak tamat sekolah menengah. Ia sempat bekerja di sebuah toko roti dan toko elektronik, lalu kemudian berhenti. Fitrah juga sama. Di Pantai seruni, ketika pulang sekolah, dia menjadi pelayan di sebuah kedai makanan, bekerja hingga pukul 12 malam. Saat malam minggu harus lembur hingga pukul 03.00 dini hari.

Fitrah menerima upah per hari Rp30 ribu di hari biasa, sementara malam minggu Rp50 ribu. Uang itu digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Membeli beras, jajan sang adik, dan membeli voucher listrik. Tapi bekerja hingga larut malam membuatnya mendapat stigma di sekolah. Ia sering disebut sebagai anak nakal, bahkan diejek sebagai tukang mabuk. Dia akhirnya memutuskan berhenti sekolah pada kelas dua, SMP Negeri 2 Bantaeng.

Sementara Syamsuddin adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Dia berhenti sekolah saat di kelas 4 Sekolah Dasar. Kini dia bekerja serabutan sebagai buruh bangunan. Setiap hari upahnya Rp60 ribu.

Dalam buku Kawan dan Lawan Kawin Anak oleh Rumah Kita Bersama, kesimpulan penelitiannya mengejutkan. Di Makassar, ada seorang anak yang menikah usia 12 tahun. Salah satu alasannya, karena tidak tahan acap kali dipukul sang ayah. Tingginya 145 cm dengan berat badan 39 kilogram. Dia terlanjur memiliki bayi usia 6 bulan. Suaminya bekerja sebagai buruh harian. Pergi pagi, pulang malam.

Di Malino, Kabupaten Gowa, kisah kawin anak juga terjadi. Seorang remaja menikah pada usia 15 tahun, lalu melahirkan anak. Kondisi kesehatan sang ibu memburuk. Payudaranya tiba-tiba bernanah dan meletus. Remaja nahas ini hanya mampu menjalani pengobatan melalui dukun.

Mulyani Hasan, peneliti pencegahan kawin anak dari yayasan Rumah KitaB di Makassar mengatakan, fenomena ini adalah lingkaran kecemasan yang sangat ironis. “Apa yang dialami seorang anak, menikah karena memutuskan rantai kekerasan, namun secara tidak sadar dia kembali masuk dalam lingkaran kekerasan baru,” katanya.

Bagaimana memutus rantai ini dalam wilayah dengan adat sedemikian kuat seperti Sulawesi? Kata Mulyani Hasan, harusnya ada keseragaman landasan hukum—artinya butuh ketegasan pemerintah. “Selama ini kita mempraktikkan dualisme hukum. Ada beberapa kasus menikah secara siri’, itu dalam hukum negara adalah ilegal. Tapi, ketika pasangan ini bercerai, maka pengurusannya dilakukan di lembaga negara,” katanya. “Ini kan jadi aneh dan ambigu.”

Analisis BPS atas data perkawinan anak di Indonesia sepanjang kurun 2008-2012, menunjukkan pernikahan di usia muda membuat mereka lebih sulit hidup sejahtera. Mayoritas pasangan muda hidup dengan penghasilan yang hanya cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari.

Saya memandang Fitrah ketika akad nikah selesai, oleh karena selang usia yang begitu jauh antara kita, saya jadi tak kuasa menahan diri menyampaikan nasehat padanya. Mengingatkannya bahwa jika ia tak melanjutkan pendidikan formal, kemungkinan besar mereka akan mengalami siklus yang sama dengan orang tuanya.

Ayah Fitrah, seperti Syamsuddin, juga seorang pekerja kasar. “Yang penting harus sabar,” katanya. “Kan kalau sama-sama dijalani bisaji. Insya Allah bahagia.”

Sumber: https://www.vice.com/id_id/article/qvxqev/menyambangi-ijab-kabul-pasangan-smp-di-bantaeng-potret-buram-pernikahan-anak-sulawesi

90 Persen Masyarakat Miskin ASEAN Tinggal di Indonesia dan Filipina

Sebuah laporan terbaru menunjukkan, proporsi masyarakat yang tinggal di bawah garis kemiskinan, kebanyakan berasal dari Indonesia dan Filipina.

Sebuah laporan yang mengikuti perkembangan negara ASEAN dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), menemukan fakta bahwa, meskipun sepuluh negara anggota telah membuat kemajuan signifikan dalam memberantas kemiskinan ekstrem, namun pekerjanya tetap rentan hidup kekurangan.

Asean China UNDP Report on Financing the Sustainable Development Goals (SDGs) in Asean melaporkan bahwa di seluruh Asia Tenggara, 36 juta penduduk hidup dalam kemiskinan. Dan 90 persennya tinggal di Indonesia dan Filipina.

Tingginya jumlah masyarakat miskin di Indonesia dan Filipina terjadi karena ukuran populasinya yang cukup banyak. Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa dan Filipina 100 juta. Padahal, keseluruhan negara ASEAN berjumlah 700 juta orang.

Sebenarnya, menurut laporan ini, Indonesia sudah melakukan upaya untuk mengurangi kemiskinan dengan penurunan 10 hingga 15 persen setiap tahunnya. Begitu pun dengan Filipina. Tingkat kemiskinannya menurun dari 17 persen pada 2005 menjadi 12 persen di 2013. Namun, dibanding negara ASEAN lainnya, mereka masih kalah.

“Publikasi ini memberikan kita pemahaman tentang skala dan perpaduan biaya di kawasan ASEAN dan peluang yang bisa dieksplorasi untuk memaksimalkan hal tersebut,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Komunitas Sosial Budaya ASEAN, Vongthep Arthakaivalvatee.

Selain kemiskinan, kekurangan gizi juga menghantui beberapa negara di ASEAN seperti Kamboja, Laos, Myanmar, Indonesia dan Filipina. Tiga puluh persen populasi di negara-negara ini menderita stunting.

Untuk pendidikan, negara ASEAN sudah menunjukkan kemajuan. Tingkat penyelesaian Sekolah Dasar penduduknya di atas 95 persen. Meskipun begitu, tantangan tetap ada untuk negara Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar. Tingkat partisipasi penduduk dan kualitas pendidikannya cukup rendah.

(Gita Laras Widyaningrum/asiancorrespondent.com)

Sumber: http://nationalgeographic.co.id/berita/2017/11/90-persen-masyarakat-miskin-asean-tinggal-di-indonesia-dan-filipina

Peran Perempuan Tegalgubug Cermin Para Khadijah Kontemporer

Tegalgubug merupakan salah satu desa di Cirebon yang dilalui jalur tranportasi antar propinsi; jalur pantura. Tegalgubug semakin dikenal setelah Pasar Sandang Murah-nya kian eksis mewarnai dinamika ekonomi mikro dan makro.

Mula-mula, Pasar Sandang menyatu dengan pasar sembako, yang berada di samping Kantor Desa, Masjid dan lembaga pendidikan Tsanawiyah Al-Hilal. Berbagai tempat pelayanan bagi kebutuhan masyarakat berada dalam satu lingkungan; pasar sebagai simbol perputaran ekonomi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat, masjid sebagai simbol agama dan spiritualitas, Kantor Desa sebagai simbol kepemerintahan, dan sekolah serta madrasah sebagai simbol pendidikan. Tataletak yang strategis itu konon dibuat oleh pendiri desa, yaitu Ki Gede Suropati.

Dulu, pasar sandang Tegalgubug hanya hari Sabtu saja, sedangkan pasar sembako setiap hari. Para pedagang baju dan tekstil selain hari Sabtu, mereka berdagang di daerah lain, seperti hari Selasa di pasar Kecamatan Susukan, hari Minggu dan Rabu di pasar Jatibarang Indramayu, Senin dan Kamis di pasar Parapatan Penjalin Majalengka. Hari Jumat untuk beristirahat. Sabtu untuk berbelanja di pusat tekstil Bandung, Tanggerang, dan Jakarta. Perlahan tapi pasti, pasar sandang tumbuh pesat dan lokasi pasar yang tersedia tak bisa menampungnya. Pasar menjadi tumpah. Mau tak mau para pedagang mendirikan tenda di samping-sampin lokasi pasar, depan kantor Desa, di depan Masjid, dan di pinggir-pinggir jalan. Dan pengurus desa berkerjasam dengan pengusaha akhirnya membangun pasar seluas 30 Hektar yang sekarang berada di pinggir jalan raya pantura, hari pasaran menjadi dua hari, Sabtu dan Selasa.

Pasar adalah permulaan dari segala perubahan sosial yang terjadi.

Wadon Sing Ning Arep, Lanange Sing Ning Guri

Ada jargon yang beredar di kalangan pedagang Tegalgubug yang kurang lebih bunyinya begini, “Kapa wong wadon sing ning arep dagangane payu/laris, tapi kapa lanang sing ning arep ora patian payu,” (Kalau seorang perempuan yang berada di depan maka dagangannya laku/laris. Tapi kalau laki-laki yang ada di depan kurang begitu laku). Yang dimaksudkan dengan sing ning arep (pihak yang di depan) adalah pihak yang menawarkan barang dagangan dan tawar-menarwa atau berdiplomasi dengan para pembeli atau pelanggan. Sing ning arep adalah pihak perempuan lantaran berdasarkan pengalaman bahwa pihak perempuan lah yang berdaya guna dan lebih mampu dalam menjalankan roda perekonomian. Bahkan, dalam mencari barang dagangan (kain textil, pakaian, dll.) di pabrik atau di toko grosir nasional—meski biasanya berjalan bersama-sama antara perempuan/istri dan laki-laki/suami—perempuan lah yang lebih dominan dalam berdiplomasi dengan para bos pabrik atau pedagang berbasis grosiran. Sehingga, sing ning guri (yang berada di belakang) adalah pihak laki-laki/suami. Sing ning guri ini selaras dengan apa yang disebut dengan konco wingking (teman belakang).

Relasi sing ning arep dan sing ning guri sejatinya sebentuk pembagian tugas yang sejajar, bukan hubungan superioritas-inferioritas. Perempuan yang konon tugasnya hanya di kasur, dapur dan sumur, tidak berlaku bagi para perempuan Tegalgubug. Relasi suami dan istri pada galibnya di Tegalgubug adalah relasi kerjasama dua subyek yang berdaya guna dalam menjalankan tugas, yaitu perempuan pemegang dan pengatur keuangan, berdiplomasi dengan langgan dan bos pabrik atau bos toko grosir, dan menganalisa barang dagangan yang dimungkinkan laku di pasaran. Sedangkan tugas suami yaitu mengatur barang dagangan bersama karyawannya, menyiapkan atau membantu pelanggan dalam memilih-memilah, dan kerja-kerja kasar lainnya serta tentunya juga mendampingi istrinya. Akan tetapi pembagian tugas ini bersifat tidak ajeg, hanya pada umumnya saja, tidak berlaku untuk semua orang dan keadaan. Sebab perempuan/istri pun sering kali turut mengerjakan apa yang dikerjakan suami. Apalagi bagi perempuan single parent yang sudah barang tentu mengerjakan tugas sendirian.

Kenapa perempuan lebih didudukkan sebagai pihak yang dapat mengatur keuangan? Setidaknya ada beberapa pertimbangan, yaitu; pertama, cenderung tidak boros dan tidak sembarangan dalam membelanjakan uang. Kedua, lebih teliti, penuh perhitungan dan rapi, telaten. Ketiga, berdasakan pengalaman, jika keuangan di pegang suami/laki-laki sering kali berakibat pada penyelewengan fungsi keuangan ke jalan yang tidak semestinya. Tidak sedikit akibat penyalahgunaan keuangan oleh suami, tersebab gaya hidup hedonistik, menuruti hobi yang tidak terkontrol dan wayuan (poligami), berakibat hancurnya tatanan ekonomi keluarga dan mengalami kebangkrutan. Kisah kebangkrutan yang mewabah menjadi pelajaran berharga bagi pedagang untuk memantapkan posisi istri sebagai pemegang keuangan.

Pembelajaran bisnis, enterpreneursip, dan kemandirian ekonomi bagi para perempuan Tegalgubug sudah ditanamkan sejak dini oleh orang tuanya—di samping miliu, lingkungan, yang mendukung—yang di antaranya ditanamkan pendidikan bagaimana cara mengatur keuangan, diajak berdagang di pasar mendampingi ibundanya sembari mengamati bagaimana cara berdagang yang baik dan efektif—biasa dilakukan pada saat libur pesantren atau sekolah, belajar keterampilan seperti menjahit dan mendesign model pakaian, ngobras, membikin rumah kancing, melipat kain, dll.

Kepada anak laki-laki, ibu-ibu di Tegalgubug memberikan nasihat (wejangan) agar mencari calon istri aja kang kaya pedaringan bolong (jangan yang seperti bakul nasi yang bolong). Pedaringan/bakul nasi adalah simbol perempuan yang menampung dan mengatur keuangan. Sedangkan pedaringan bolong adalah analogi bagi perempuan yang boros, tidak bisa mengatur keuangan, dan pada akhirnya tidak bisa menjadikan hidupnya makmur. Wejangan orang tua di Tegalgubug itu mencerminkan betapa besar kesadaran ekonomi dan kesadara akan istri yang ideal adalah istri yang dapat mengatur keuangan, tidak boros—tentunya ada kriteria-kriteria lain seperti perempuan yang baik-baik.

Menafsirkan Agama

Masyarakat Tegalgubug secara keseluruhan adalah muslim berbasis Nahdliyyin. Ada beberapa pesantren berdiri dan eksis sampai sekarang. Pesantren salaf-tradisional sebagai lembaga pendidikan favorit. Boleh dibilang masyarakat santri, yang dicermikan dengan cara berpakaian sehari-hari, laki-laki mengenakan sarung dan berkopiah hitam, perempuan berkerudung (bukan kerudung panjang) dan pakaian yang menutupi aurat kecuali wajah, kedua telapak tangan dan kaki.