Pos

Merebut Tafsir: Seratus ribu dapat apa?

Oleh Lies Marcoes

Jangan tersinggung ya kalau saya katakan harga-harga untuk makan sehari-hari memang mahal. Saya katakan begitu karena bicara harga selalu dimaknai sebagai kritik kepada pemerintah, dan mengkritik sering dianggap nyinyir atau bahkan terlarang (sederajat lebih rendah dari haram). Mungkin kita masuk ke dalam era masyarakat sendiri yang anti kritik.

Pasti kita ingat, ketika masa kampanye, sering kita lihat foto hasil “belanja Rp 100 ribu dapat apa”. Itu untuk menunjukkan bahwa kritik soal harga itu salah. Hal itu dibuktikan dengan “evidence based” Rp 100 ribu segala bisa kebeli untuk makan dua hari. Seorang teman yang mengoperasikan katering untuk hidup sehari-hari japri. Ia sakit hati kepada mereka yang punya pilihan 100ribu dapat apa karena buat dia sebagai penjual makanan kecil-kecilan harga-harga memang naik. Tinggal soal mau jujur atau tidak.

Sudah seminggu ini tukan sayur andalan ibu-ibu di kompleks kami berhenti jualan. Mang Ocid, orang Cirebon telah melayani kompleks kami jualan sayur dengan memakai mobil kecil bak terbuka selama lebih dari 10 tahun.

Ini telah memasuki musim kemarau. Ongkos petani sayuran pasti naik karena mereka harus menyediakan tenaga untuk menyiram, meski begitu hasilnya kurang memuaskan ibu-ibu. Dan karena uang belanja Ibu-ibu juga belum tentu ditambah atau bertambah, ibu-ibu dengan “kejam” tetap tak mau harga naik. Mereka meminta cabe plus rawit 5 atau 10 ribu. Mang Ocid, bingung. Mengingat sudah sangat akrab dan kenal kepada ibu-ibu ia tak berkutik. Sebagai warung serba ada, dia melengkapi warungnya dengan rupa-rupa lauk pauk. Ikan, udang, ayam, daging telur, antara lain. Jualan harus lengkap, tapi pembeli tak selalu belanja apa yang ia jual. Alhasil setiap hari ada yang tak terjual, padahal jenis jualannya bukan barang awet. Sementara dari segi harga ia praktis mensubsidi ibu-ibu di kompleks (yang umumnya bukan tergolong miskin). Ocid pun menyerah bangkrut.

Beberapa ibu yang punya akses kepada Mang Ocid memintanya tetap jualan. Tapi Ocid menyatakan ia tak sanggup lagi, karena ia bisa beli tak bisa jual, atau bisa jual tak bisa buat beli lagi. Dengan tepat dia mengatakan, harga-harga sayuran, bumbu dan jenis lainnya yang tak dikontrol negara (sebagaimana beras, minyak, tepung) bukan hanya naik tapi pindah harga. Dia angkat tangan.

Tentu ibu ibu bisa mengikuti anjuran pemerintah jika harga cabe atau sayuran naik sebaiknya menanam sendiri saja. Menurut saya anjuran itu keterlaluan sebab siapapun tahu sistem barter sudah berabad-abad bertukar dengan uang.

Saya anak petani, saya tahu betul derita mereka, menanam apa yang bisa ditanam sesuai musimnya. Jika kemarau buah-buahan seperti jeruk manis menjadi andalan menggantikan padi. Tak hanya itu mereka juga menanam palawija dan kacang kacangan terutama kacang hijau. Tapi kemarau membuat biaya di tingkat input memang mahal. Dibutuhkan tenaga untuk menyiram dengan tenaga manusia, atau menyewa pompa air. Namun ketika panen dan dijual, hasilnya hanya cukup untuk mengganti biaya upah dan kebutuhan di tingkat input.

Pada akhirnya kita harus berani jujur, harga-harga memang naik. Dan pemerintah (maaaaaf yaaa) seharusnya berani menjelaskan mengapa harga-harga naik. Ini berguna, minimal agar ibu-ibu tak terus bertahan dengan harga lama yang membuat seorang pedagang bermodal kecil seperti Mang Ocid mensubsidi mereka yang tetap ogah ganti harga. Seratus ribu memang sulit untuk dapat apa -apa untuk makan satu keluarga.