Pos

Laporan Kegiatan Diskusi Virtual ”GERAKAN SANTRI CINTA BUMI”

GERAKAN SANTRI CINTA BUMI

Zoom Meeting Online, Rabu 30 Juni 2021

Rumah Kita Bersama atas dukungan “The Oslo Coalition on Freedom of Religion or Belief (OC) University of Oslo Norwegia”, menyelenggarakan kegiatan Diskusi Virtual bertema ”Darurat Pencemaaran Sampah di Indonesia dalam Perspektif HAM dan Gender”.

Kegiatan ini diselenggarakan melalui aplikasi “zoom meeting”,Rabu, 30 Juni 2021 jam 13.30 – 16.00. Kegiatan ini merupakan bagian rangkaian pendampingan para peserta pengaderan Kiai Muda Sensitif HAM dan Gender, yang diselenggarakan selama bulan April sampai dengan Agustus, 2021.

Di angkatnya isu bencana pencemaran sampah ini karena dua hal, yaitu pencemaran sampah di Indonesia telah menjadi bencana  yang mengancam eksistensi manusia melanggar hifd nafs. Kedua, isu pencemaran sampah merupakan isu yang paling mudah dikenali dan kehadirannya sangat dekat dengan tempat tinggal dan tempat beraktivitas para kiai muda sensitif HAM dan Gender, seperti pesantren, madrasah, masjid, perguruan tinggi Islam. Sehingga dalam konteks advokasi lebih mudah dijangkau dan diimplementasikan.

Peserta terdiri dari alumni  pelatihan  HAM dan Gender, alumni pelatihan lain yang diselenggarakan RK, termasuk para pecinta lingkungan, akademisi, para kiai dan ibu nyai para pemimpin majelis taklim dan pondok pesantren. Mereka berasal dari berbagai provinsi di Indonesia, seperti DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur/Madura, Lampung, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara.

Acara diikuti 64 orang, di antaranya 34 perempuan dan 28 laki-laki. Jumlah peserta yang menyimak di channel youtube Rumah KitaB sebanyak 46 peserta. Total jumlah peserta yang aktif mengikuti kegiatan ini sebanyak 110 peserta.

Narasumber yang hadir adalah para aktivis lingkungan sekaligus praktisi perubahan lingkungan dengan basis pesantren dan pengorganisasian masyarakat. Mereka adalah  Nyai Nissa Wargadipura (Pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Ath-Thariq, Garut-Jawa Barat), Gus Roy Murtadla (Pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Misykatul Anwar, Depok-Jawa Barat), dan Noer Fauzi Rachman, PhD., (Pengajar psikologi lingkungan di Universitas Padjadjaran, Bandung-Jawa Barat dan pengurs Yayasan Sajogyo Institute).

Dalam presentasinya, Nyai Nissa Wargadipura, menyampaikan pengalamannya mengelola pondok pesantren ekologi Ath-Thariq-Garut. Pondok pesantren ini telah berhasil menyediakan berbagai kebutuhan pokok para santri dan masyarakat sekitar yang  dihasilkan dari kebun pangan mereka. Faktor utama keberhasilannya ini, di antaranya penerapan agroekologi dalam sistem pembelajaran ekologi di pesantrennya. Menurut Nyai Nissa, Agroekologi yang dipraktikkannya yaitu sistem agraris nusantara, yang mengurus hulu-hilir, dengan tata kelola dan tata produksi berbasis kearifan lokal setempat melalui budaya landskap urang sunda bernama, “Buruan Bumi – Kebun Talun ( halaman Rumah dan Kebun di tepi hutan)”.

Narasumber kedua, Gus Roy Murtadla menyampaikan beberapa hal, pertama, problem teoritis, yang melatar belakangi terjadinya pencemaran sampah yang masif. Menurut Gus Roy, “Sampah itu tidak turun dari langi, ada satu sistem yang memproduksinya hingga sampai pada kita”. Pola tindakan, model konsumsi dan produksi manusia  mempengaruhi terjadinya pencemaran sampah terus menerus dalam jumlah besar. Tindakan manusia membuang sampah sudah terjadi sejak manusia ada. Namun perbedaannya, sampah yang dibuang oleh manusia saat ini adalah sampah yang tidak bisa diurai seperti sampah plastik yang membutuhkan seribu tahun lebih untuk bisa diurai. Kedua, persoalan kebijakan. Saat ini belum ada aksi-aksi politik yang mampu mempengaruhi kebijakan penghentian pencemaran lingkungan oleh sampah  manusia di Indonesia. Belum ada juga gerakan besar dari masyarakat terkait perubahan gaya hidup dan cara pandang terkait sampah. Ketiga, perlunya agenda-agenda politik yang bisa disuarakan oleh para kiai kepada para pembuat kebijakan agar lebih sensitif dengan isu pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sampah plastik. Selain itu, gerakan dakwah para kiai yang sensitif lingkungan kepada masyarakat sebagai upaya membangkitkan kesadaran di level komunitas.

Sementara itu Dr. Noer Fauzi Rachman menyampaikan, pertama  problematika sampah yang mencemari laut dan daratan di level nasional, dan global, dan ancamannya bagi lingkungan, hewan, dan manusia sebagaimana disajikan melalui narasi beberapa video hasil penelitian para peneliti lingkungan di dunia. Kedua, problem utama dari krisis lingkungan yang diakibatkan oleh sampah itu adala rendahnya kesadaran manusia, baik di level individu, masyarakat, dunia usaha, maupun pembuat kebijakan tentang dampak kumulatif dari sampah. Mengingat problemnya cukup luas dan bertingkat-tingkat, maka hal yang bisa dilakukan adalah membangkitkan kesadaran manusia, setidaknya di tingkat individu  agar bisa menyampaikan bahaya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah. Langkah sederhana itu bila dilakukan secara konsisten, maka akan memberi pengaruh yang besar di lingkungan terdekat.

Dalam Islam, prinsip hifdzu al-biah (memelihara lingkungan) masuk kategori hifdzu al-nafs (memelihara hidup manusia); kedua prinsip ini tidak bisa dilihat secara terpisah, dan menjadi satu kesatuan prinsip HAM dalam Islam.

Para peserta mengapresiasi terselenggaranya kegiatan ini, karena kegiatan ini berhasil membuka mata mereka terkait bencana pencemaran sampah yang terdapat disekitar tempat tinggal para peserta. Kesadaran ini harus diapresiasi, setidaknya akan ada perubahan-perubahan kecil yang bisa diimplementasikan secara langsung, khususnya di level komunitas, di lingkungan tempat tinggal para peserta seperti pesantren dan madrasah [].

Kiai Muda, Ujung Tombak Penegakan HAM

“Seseorang yang memulai perjalanan untuk memperoleh pengetahuan, Allah SWT akan mempermudah jalannya menuju surga dan para malaikat akan menyambut dengan bersuka cita. Semua makhluk di surga akan memohon ampunan bagi orang tersebut sebagai alim”.

Kalimat di atas merupakan kalimat pembuka yang dikutip oleh Dr. Lena Larsen dari sebuah hadis Abu Dawud dan Tirmidzi dalam kesempatannya mengisi Kuliah Umum Kiai Muda Rumah KitaB bertajuk “Pentingnya Aktivis Muda Islam Memahami HAM Internasional dan Relevansinya bagi Islam di Indonesia”. Kalimat ini ditujukan untuk seluruh kader kiai muda sensitif gender dan HAM yang akan bertanggung jawab untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan mereka lewat dakwah.

Para ulama dan kiai muda menjadi ujung tombak untuk dapat mensyiarkan inti dari ajaran Islam, yakni keadilan. Seperti yang dikatakan Ibnu Qoyyim Al-Jawziyya dalam I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, (Mesir: Dār al-Ḥadīth, 2006) “prinsip dasar syariat berakar pada kebijaksanaan dan mendukung kesejahteraan umat manusia di kehidupan dunia dan di akhirat. Syariat memilki cakupan keadilan, kebaikan, kebaikan bersama (maslahat) dan kebijaksanaan. Aturan apapun yang berangkat dari keadilan ke ketidakadilan, dari kebaikan ke kekerasan, dari maslahat menuju kerugian, atau dari rasionalitas ke absurditas tidak bisa menjadi bagian dari syariat”.

Prinsip dasar syariat yang disampaikan Ibnu Qoyyim mengenai keadilan menjadi sangat penting. Para pemuka agama mestinya membawa semangat keadilan ini di setiap syiar dan dakwah yang mereka berikan. Keadilan sebagai inti dari ajaran Islam ini selaras dengan apa yang termaktub dalam HAM Internasional bahwa tidak seorangpun berhak mengalami diskriminasi ataupun tindakan  kekerasan dengan alasan apapun.

Sehingga keadilan menjadi tanggung jawab para ulama untuk mendakwahkan perlindungan atas individu, baik itu anak-anak, dewasa atau tua, perempuan atau laki-laki sepenuhnya sesuai dengan pesan kemanusiaan yang terkandung dalam Al-Qur’an. Bukan malah menyebarkan permusuhan dan perpecahan. Tidak hadirnya keadilan di tengah masyarakat menjadi penghalang menuju perdamaian dan kemakmuran.

Pengakuan dan realisasi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan ini tidak bisa didapat tanpa melalui perjuangan dan kerja keras. Di pundak para kiai muda dan ulama inilah kita bisa menitipkan harapan untuk tercapainya dunia yang bebas dari diskriminasi, ketimpangan dan ketidakadilan.

 

*Artikel dari ceramah Dr. Lena Larsen

Catatan Suram Janji Penegakan HAM

Persoalan penegakan HAM menjadi pekerjaan yang belum tuntas dari pemerintah.

tirto.id – Persoalan HAM masih menjadi pekerjaan rumah bagi rezim yang berkuasa. Kasus-kasus HAM lama hingga persoalan HAM di Papua masih menjadi catatan. Kinerja pemerintah dalam penanganan HAM dapat dilihat dari indeks HAM yang dibuat organisasi pegiat HAM.

Setara Institute, organisasi yang fokus pada masalah pluralisme, kemanusiaan, demokrasi dan hak asasi manusia, mengeluarkan laporan Indeks Kinerja Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Indeks ini merupakan hasil dari survei persepsi tentang situasi HAM di Indonesia. Ada 8 variabel pengukuran, yaitu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu; kebebasan berekspresi dan berserikat; kebebasan beragama/berkeyakinan; hak rasa aman warga dan perlindungan warga negara; penghapusan hukuman mati; penghapusan diskriminasi; hak atas ekonomi, sosial, dan budaya; serta RANHAM (Rencana Aksi Nasional HAM) dan kinerja lembaga HAM.

Tren data indeks kinerja HAM menunjukkan peningkatan sejak 2014 hingga 2016; pada 2014 skor indeks sebesar 2,25 dan naik menjadi 2,83 pada 2016 (skor tertinggi 7). Namun, peningkatan tersebut tidak signifikan lantaran kenaikannya hanya sebesar 0,58 dalam rentang tiga tahun. Selain itu, skor 2 pada indeks menunjukkan bahwa performa kinerja HAM Indonesia masih sangat rendah. Sayangnya indeks ini hanya mencatat hingga periode 2016 saja.

Infografik Periksa Data Hukum dan Kinerja HAM

 

Bila merujuk laporan Setara, selama dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, masalah HAM belum menunjukkan kemajuan signifikan. Setara Institute menilai, agenda pemajuan dan pemenuhan HAM belum menjadi perhatian pemerintahan Jokowi-JK. Pemerintah masih dianggap fokus pada ekonomi dan infastruktur.

Bila ditilik, sub indeks dengan performa kinerja HAM paling rendah adalah penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Selama tiga tahun berturut-turut performanya tidak berubah dengan skor indeks di bawah angka dua. Sub indeks dengan skor terendah lainnya adalah kebebasan berekspresi/berserikat yang skornya terus menurun dengan rentang skor 2,10-2,24 dan kebebasan beragama/berkeyakinan dengan rentang skor 2,24-2,57 pada 2014 sampai 2016.

Infografik Periksa Data Hukum dan Kinerja HAM

 

Hal yang termasuk dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah kasus penghilangan orang secara paksa, Peristiwa 1965, Kasus Tanjung Priok, Kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Kasus Pembunuhan Munir, Kasus Wamena-Wasior, dan Prakarsa Pengungkapan Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Pada sub indeks kebebasan berekspresi/berserikat juga menurun, lantaran pembubaran kegiatan diskusi dan kriminalisasi terhadap aktivis HAM, warga Papua, dan jurnalis. Juga termasuk dalam kebebasan beragama adalah kebebasan mendirikan tempat ibadah, perlindungan kebebasan beragama/berkeyakinan terhadap agama/keyakinan minoritas, regulasi negara yang membatasi kebebasan beragama, penanganan/peradilan terhadap kasus kekerasan terhadap kelompok agama/keyakinan minoritas.

Selain Setara Institute, kinerja HAM di Indonesia juga dapat dilihat dari laporan Rule of Law Index keluaran The World Justice Project (WJP), organisasi multidisiplin dan independen yang berupaya meningkatkan kualitas negara hukum di seluruh dunia.

Indikator dikelompokkan menjadi delapan faktor, yaitu pembatasan kekuasaan pemerintah, ketiadaan korupsi, pemerintahan yang terbuka, hak-hak fundamental, ketertiban dan keamanan, penegakan peraturan, hukum perdata, dan hukum pidana.

Untuk meninjau kinerja HAM Indonesia, maka dapat merujuk pada faktor hak fundamental yang mengukur perlindungan HAM yang berdasarkan Deklarasi Universal Manusia dan yang paling terkait erat dengan masalah peraturan hukum.

 

Infografik Periksa Data Hukum dan Kinerja HAM

 

Faktor ini mencakup kepatuhan terhadap hak-hak fundamental berikut: penegakan hukum yang efektif yang memastikan perlindungan yang sama, hak untuk hidup dan keamanan orang tersebut, proses hukum yang berlaku dan hak-hak terdakwa, kebebasan berpendapat dan berekspresi, kebebasan berkeyakinan dan agama, hak atas privasi, kebebasan berkumpul dan berserikat, dan hak-hak buruh yang mendasar.

Sepanjang empat tahun terakhir, skor Indonesia untuk faktor fundamental ini cenderung menurun. Secara berturut-turut, Indonesia memperoleh skor sebesar 0,54 pada 2014, lalu turun jadi 0,52 pada 2015 dan 2016, serta 0,51 pada 2017-2018 (skor tertinggi 1). Pada 2017-2018, Indonesia menempati peringkat 63 dari 113 negara. Hal ini menunjukkan lemahnya penerapan dan rendahnya kepatuhan hukum di bidang HAM, akibatnya perlindungan dan pemenuhan HAM pun tak maksimal.

Dari delapan sub faktor, skor terendah Indonesia ada pada proses hukum. Faktor proses hukum angkanya tak berubah dalam empat tahun terakhir; ada di kisaran skor 0,35-0,37. Hal ini mengindikasikan bahwa proses hukum yang berlaku tak berjalan dengan semestinya. Tak heran jika kinerja HAM Indonesia pun tak begitu baik.

Berdasarkan data juga terlihat turunnya tiga skor sub faktor antara lain: Pertama, soal tidak ada diskriminasi. Sub faktor ini pada 2014 sempat sebesar 0,51 lalu turun menjadi 0,42 pada 2017-2018. Selain itu, Kedua skor faktor kebebasan berkumpul yang turun dari 0,72 pada 2015 menjadi 0,66 pada 2017-2018 dan skor faktor Ketiga, kebebasan berekspresi dari 0,74 pada 2014 menjadi 0,67 pada 2018.

 

Tren ketiga sub faktor yang terus menurun ini bisa terlihat dari contoh kasus-kasus diskriminasi, ancaman, dan pelanggaran kebebasan. Bentuk ancaman dan pelanggaran kebebasan contohnya adalah penyalahgunaan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang disahkan pada 2008 dan direvisi pada 2016. UU ini sering menjadi jerat pidana dan menjatuhkan banyak korban, termasuk dalam kebebasan pers. Salah satunya adalah, Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Fathur Rokhman melaporkan Pemimpin Redaksi Serat.id, ke Polda Jawa Tengah dengan pasal 27 ayat (3).

Laporan itu terkait empat seri liputan Serat.id pada 30 Juni 2018 atas dugaan plagiat karya ilmiah yang dilakukan oleh Fathur Rokhman. UU ITE juga digunakan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan. Hal ini terlihat dari tingginya pelaporan kasus di tahun-tahun politik.

 

Ihwal kebebasan beragama, beberapa kasus yang membikin ramai adalah penyerangan terhadap minoritas agama, seperti Ahmadiyah, Kristen, Syiah, Muslim Sufi, dan kepercayaan lokal pada 2014. Ada juga kasus pidana penjara selama tiga tahun terhadap dua pemimpin komunitas religius Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Ahmad Moshaddeq selaku pendiri dan Mahful Muis Tumanurung selaku Ketua Umum; wakilnya, Andry Cahya, pada Maret 2017.

Belum lagi ihwal sangkaan penistaan agama yang semakin banyak. Kasus penistaan agama paling banyak dilakukan pada 2016. Pada periode ini, sebanyak 14 kasus yang terjadi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pidato Ahok saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu yang disertai kutipan surat Al Maidah ayat 51. Video dari pidato ini viral melalui jejaring Facebook milik Buni Yani.

 

Di atas kertas terkait indeks HAM, pemerintah memang belum mampu membuat perubahan signifikan dalam penegakan HAM dan menyelesaikan perkara HAM. Komitmen dalam menaruh perhatian kuat terhadap penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penegakan HAM belum menunjukkan keseriusan.

Catatan Human Right Watch (HRW), masih ada persoalan soal kebebasan beragama, kebebasan berekspresi dan berkumpul, hak-hak perempuan dan anak perempuan, Papua dan Papua Barat, orientasi seksual dan identitas gender, reformasi dan impunitas militer, hak-hak anak, hak-hak penyandang disabilitas, dan pembunuhan tanpa proses peradilan

Padahal dalam Pidato Kenegaraan Sidang Tahunan MPR, Kamis (16/8), Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa pemerintah menaruh perhatian kuat terhadap penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu langkah yang telah ditempuh, menurut Jokowi, adalah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019.

“Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari,” ujar Jokowi.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan menarik lainnya Scholastica Gerintya
(tirto.id – Hukum)

Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Suhendra

Sumber: https://tirto.id/catatan-suram-janji-penegakan-ham-dbFm

Baca Ulang Trafficking

GATRA, Desember 2017. Baru-baru ini, sebuah buku hasil penelitian tentang  ketersediaan  layanan  hukum  untuk perlindungan trafficking di Sulawesi Selatan diluncurkan. Studi ini saya lakukan bersama dengan  Rury  Syailendrawati  dan  Nurhady Sirimorok. Intinya adalah adanya ketidaksepadanan antara besaran persoalan trafficking dan layanan yang tersedia. Karena itu, dibutuhkan  sikap politik yang terbarukan, mengingat  adanya perubahan  bentuk pola  dan tujuan trafficking.

Selama ini, trafficking dimaknai semata-mata sebagai perdagangan  orang untuk  tujuan  ekonomi.  Biasanya,  korban dijadikan sebagai buruh berbayar rendah, pekerja seks, atau sebagai tambang uang bagi yayasan-yayasan yang berharap menarik simpatik dari belas kasih kepada anak­-anak terlantar. Dalam pemaknaan itu, praktik perdagangan orang dilakukan dengan mengomoditaskan manusia.

Perkembangan global memperlihatkan motif lain yang lebih rumit, yang terdeteksi dari penelitian ini namun membutuhkan pendalaman yang sangat serius. Pola-pola rekrutmen tak beda dengan praktik trafficking: memanfaatkan mata rantai tersamar. Satu lubang rantai dengan lubang rantai lainnya seakan tak terhubung.

Akan tetapi, pada kenyataanya,  jaringan  itu membentuk mata rantai yang menghubungkan rekrutmen, pemindahan, penjualan, dan penggunaan seluruh proses itu untuk kejahatan. Bedanya, dalam  perkembangan  global ini, tata kerja kejahatan perdagangan orang ini memiliki tujuan ideologis, menjadi bagian dari gerakan terror bermotif ideologi keagamaan dengan konsep yang lebih religius: hijrah.

Dalam trafficking gaya baru itu, motif untuk mendapatkan uang tetap menjadi tujuan si korban terutama bagi mereka dengan latar belakang kemiskinan akut. Namun dalam mata rantainya, unsur ekonomi dalam bentuk penjualan manusia sebagai komoditas tampaknya tidak benar-benar  terjadi. Keuntungan  sosial-politik dan pengakuan dalam hierarki jaringan  menjadi motif yang lebih besar bagi tiap-tiap mata rantai dalam jaringan itu.

Dalam trafficking gaya baru itu, para korban, terutama anak muda, dibujuk dan dikelabuhi dengan diberi janji yang sama sekali tak sesuai antara yang dijanjikan dan kenyataan. Janji mendirikan sebuah negara yang menyejahterakan dengan berbasis keyakinan, misalnya. Apalagi untuk janji berjumpa bidadari kelak.

Pendek kata, telah terjadi perubahan pola, bentuk dan tujuan serupa yang dalam tata kerjanya menunjukkan pola kerja kejahatan trafficking. Perubahan itu jelas membutuhkan pendekatan baru dalam mengatasinya. Selama ini, bahkan untuk trafficking konvensional negara mengandalkan pada sebuah kelembagaan, yang dari segi apapun, tak memiliki kekuatan yang memadai untuk mengatasinya, seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, serta jaringan Gugus Tugas yang tak jelas siapa harus mengerjakan apa. Melimpahkan pekerjaan besar dalam menangani mafia trafficking, serta pola-pola rekrutmen yang makin rumit seperti itu seharusnya tak bisa hanya mengandalkan kelembagaan yang begitu terbatas jangkauan kerjanya.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia adalah negeri seribu pintu untuk masuk dan keluar. Sekeras apapun pengamanan perbatasan dilakukan, lalu lalang orang dari dan keluar dari negeri ini tak gampang dilacak dan diawasi. Lagi pula, merantau adalah laku hidup hampir setiap anak bangsa di negeri ini. Coba saja perhatikan, ragam kata yang menunjuk pada aktivitas itu.

Dalam budaya Bugis, dikenal kata massompe atau passompe yang arti harfiahnya orang yang berlayar, alias pergi dari kampung halaman untuk merantau. Dalam bahasa Sunda ada istilah pancakaki, mencari kerabat ketika pergi merantau. Lebih jelas lagi dalam adat Melayu, atau dalam tradisi Minang, merantau adalah darah kehidupan. Sebuah pantun mengingatkan pada laku hidup merantau: jika anak pergi ke Lepau, yu beli belanak beli, ikan panjang beli dahulu (Jika anak pergi merantau, ibu cari, sanak pun cari, induk semang cari dahulu).

Pada tradisi merantau, terdapat satu rangkaian sistem yang menghidupkan  kebiasaan merantau: induk semang. Rangkaian sistem itu terkait dengan sistem budaya feodal yang melanggengkan terjadinya trafficking. Sang induk semang di rantau umumnya memberikan perlindungan dengan imbal balik kepatuhan dan kesetiaan si perantau yang menginduk kepadanya. Dalam film The Godfather, tergambarkan bagaimana para perantau Italia membangun sistem kekerabatan di perantauan yang mendudukan seseorang menjadi kepala suku dan yang lain menjadi rangkaian pendukungnya dengan imbalan perlindungan dan kehidupan seluruh keluarganya di rantau.

Penelitian ini memperlihatkan perubahan watak pada sistem proteksi para induk semang itu. Para induk semang itu kini tak lebih menjadi makelar para pencari tenaga kerja. Mereka tak lagi sanggup menjadi pelindung melainkan menjadi salah satu mata rantai trafficking.

Perubahan ini semula tak disadari oleh para perantau, mereka menganggap orang yang akan membawanya dari desa merupakan  pelindungnya di rantau kelak. Nyatanya, mereka dimangsa induk semangnya sendiri. Sang induk semang itulah yang menjerumuskan seorang korban ke dalam sistem perdagangan manusia.

Sementara itu, terkait jaringan trafficking global bermuatan ideologis, persoalan menjadi lebih rumit, karena motif merantau sama sekali berbeda. Jika yang konvensinal semata-mata untuk mencari kehidupan di dunia, perantau kedua memiliki motif yang seluruh mata rantainya memiliki keyakinan dan ideologi yang sama, berhijrah untuk mencari kehidupan akhirat yang indah.

Atas perubah pola, bentuk, dan motif trafficking itu, dibutuhkan strategi yang terbarukan dan terbuka pada perubahan-perubahan itu. Tanpa upaya itu, penanganan trafficking akan tertinggal ribuan langkah lagi dan lagi.

Lies Marcoes, dimuat di Gatra Edisi 14-20 Desember 2017

 

Komnas HAM sebut ada pelanggaran HAM terhadap pemeluk aliran kepercayaan

Perempuan Orang Rimba dan anak-anak mereka

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengindikasikan adanya pelanggaran HAM terhadap para pemeluk agama lokal atau aliran kepercayaan.

Komnas meminta pemerintah Indonesia mengakui dan mengakomodasi semua aliran kepercayaan.

“Ada indikasi pelanggaran HAM selama ini,” kata Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (21/11)

Pelanggaran tersebut, lanjut Sandra, bukan sekedar tidak bisa beribadah sesuai kepercayaan mereka. “Tapi ada hak-hak sipil dan politik lain yang dilanggar,” kata wakil ketua Komnas HAM tersebut.

Masalah aliran kepercayaan di Indonesia kembali mencuat setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi pada 7 November 2017.

MK memutuskan bahwa, “Negara harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)”.

Salah satu kelompok yang mengalami masalah dalam mendapatkan KTP karena kolom agama adalah Orang Rimba. Mereka terpaksa masuk Islam demi mendapatkan kartu identitas.

Salah satu dari beberapa orang Orang Rimba yang akhirnya masuk Islam, demi mendapatkan KTP dan hak-hak yang menyertainya adalah Yusuf. Pasalnya ia bersama Orang Rimba kesulitan mendapatkan fasilitas dasar hidup.

“Pernah ada jenazah warga kami selama enam hari di Rumah Sakit Umum Jambi sampai berbau busuk. Tidak ada yang mengantar jenazah itu karena tidak punya KTP, alamatnya tidak diketahui,” kata Yusuf.

Orang Rimba di Batanghari, Jambi

Komnas HAM, kata Sandra, mengapresiasi putusan MK tersebut karena mengakui agama lokal. “Putusan itu sejalan dengan prinsip hak asasi manusia,” kata dia.

Guru besar antropologi, Sulistyowati Irianto, mengatakan, putusan MK itu harus ditindaklanjuti aparatur pemerintah. Salah satunya dalam hal mengamandemen regulasi yang merugikan kelompok budaya lokal.

Sulistyowati menekankan perlunya setiap warga adat lokal mendapatkan identitas hukum seperti kartu penduduk. “KTP adalah karcis untuk menikmati fasilitas pemerintah,” kata pengajar Universitas Indonesia tersebut.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, mengatakan pemerintah tidak akan memberikan KTP atau KK kepada yang tinggal di hutan.

“Kalau di hutan, kami tidak bisa memberikan KTP. Karena hutan bukan desa atau tempat tinggal. Harus ada kawasan (permukiman)nya. Prinsipnya, alamat tidak boleh di tanah yang bukan peruntukannya.”

Konferensi pers antropolog bersama komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga (tengah).

Konsep Ketuhanan yang Maha Esa

Antropolog untuk Indonesia (AuI) dan Asosiasi Antropolog Indonesia (AAI) melihat Ketuhanan yang Maha Esa tidak hanya dimiliki enam agama yang diakui negara. “Budaya lokal di Indonesia punya tradisi luhur tersebut,” kata Ira Indrawardana, antropolog Universitas Padjadjaran Bandung.

Nilai-nilai dalam aliran kepercayaan yang universal, kata Ira, antara lain humanisme, menjaga kelestarian alam, dan berbuat baik terhadap manusia. “Sifat religiusitas itu (sebenarnya) adalah agama,” kata penganut Sunda Wiwitan ini.

Sulistyowati menambahkan komunitas-komunitas lokal bahkan sudah ada sebelum agama-agama datang ke Indonesia. Mereka memiliki kepercayaan masing-masing.

“NKRI (negara kesatuan Republik Indonesia) bukan satu-satunya nation (bangsa). Ada nation-nation kecil yang lebih dulu ada sebelum republik Indonesia,” kata Sulistyowati.

Pria suku Baduy di Banten.

Oleh karena itu, negara harus mengakui semua aliran kepercayaan yang dimiliki semua kelompok budaya di Indonesia. Tidak hanya terhadap 137 kelompok yang sudah terdaftar di pemerintah, tapi seluruhnya yang lebih dari 500 di seluruh Indonesia.

“Pemerintah tidak mengakui (semua) agama adat. Hanya mengakui yang terdaftar dan bersifat organisasi,” ujar Ira.

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42064964