Pos

Ngaji Kitab “Imra`atunâ fî al-Syarî’ah wa al-Mujtama’” Karya Thahir al-Haddad

Ditulis oleh KH. Husein Mohammad untuk Kajian “Walayah dan Qawamah” Seri II, yang diselenggarakan Rumah KitaB pada Selasa, 17 April 2018 di Kantor Rumah KitaB, Pasar Minggu Jakarta Selatan.

______________________________________________

 

Meski telah menjadi klasik, sepanjang diskriminasi terhadap perempuan masih berlangsung, buku ini selalu dan terlalu penting untuk dibaca.

 

Pemuda ini hadir dua abad mendahului zamannya. (Thaha Husein)

****

THAHIR al-Haddad adalah santri “liberal” yang hafizh, aktivis gerakan sosial, penulis produktif yang kritis, wartawan dan salah seorang sastrawan Tunis. Tetapi di dunia Islam pemuda ini lebih populer disebut sebagai tokoh feminis Arab. Namanya disejajarkan dengan para feminis Mesir, semacam Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi (w. 1873), Muhammad Abduh (w. 1905), Qasim Amin (w. 1908) Malak Hifni Nashif (w. 1918), May Ziadah (w. 1941), Nabawiyah Musa (w. 1951), Nazhirah Zainuddin (w. 1976), dan lain-lain. Ia lahir pada tahun 1899 di kota Tunisia. Keluarganya berasal dari Hammah, sebuah kota kecil di propinsi Gabes, Tunisia Selatan. Pendidikan awalnya ia selesaikan di Madrasah Zaetunah selama tujuh tahun (1913-1920).  Di sana ia mengaji dan menghafal alQur`an, serta mempelajari ilmu-ilmu keislaman tradisional sampai selesai dan mendapat syahadah (ijazah) Tathwi (setingkat SLTA). Ia dikenal sebagai murid yang cerdas dan kritis. Kemudian melanjutkan di Universitas Tunis, perguruan tinggi yang dinilai lebih terbuka dan modern.

Dari sini pikirannya semakin kritis dan progresif. Ia menjadi pemuda idealis dengan gagasan pembaruan sosial dan pemikiran. Ia aktif dalam gerakan pembaruan bersama tokoh lain yang mendahuluinya, antara lain Abdul Aziz al-Tsa’alabi. Tokoh pembaharu Tunisia ini menulis banyak buku tentang pembaruan antara lain h alTaharrur fî alQur`ân. Al-Haddad memperoleh banyak inspirasi dari toloh ini. Ia kemudian memasuki dunia jurnalistik sekaligus ikut aktif dalam gerakan buruh nasional sekaligus mendirikan Serikat Pekerja Tunis.

Al-Haddad melihat ketimpangan sosial dan ekonomi di negaranya. Kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan merata hampir di seluruh negeri. Melalui media ia melancarkan kritik-kritik keras terhadap penguasa dan penjajah Perancis atas ketimpangan sosial dan keterpurukan ekonomi rakyat. Ia mengajak masyarakat untuk bersama-sama memerangi kebodohan, kemunduran dan kediktatoran penguasa. Al-Haddad menulis buku “Al-‘Ummâl al-Tunîsîyyîn wa Zhuhûr al-Harakah al-Nuqâbîyyah” (Para pekerja Tunis dan Lahirnya Organisasi Pekerja).

Gagasan dan gerakan reformasi al-Haddad terus dilancarkan. Dan ia menemukan kata kunci yang dianggap akan bisa menyelesaikan problema sosial dan kemanusiaan itu. Kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan bangsa tidak akan dapat dihapuskan hanya dengan melakukan gerakan sosial politik praktis semata. Ia harus dimulai dari komunitas kecil bernama keluarga. Jika ia baik akan melahirkan masyarakat yang baik, dan pada gilirannya menjadi bangsa yang baik. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri nasib buruk dan sangat menyedihkan yang dialami kaum perempuan di tanah airnya. Perempuan mengalami kekerasan dan diskriminasi dalam kehidupannya. Dan menurutnya, upaya pembaharuan dalam keluarga itu harus diwujudkan pertama-tama dengan melakukan pembebasan kaum perempuan dari kebodohan dan memperjuangkan kesetaraan hak-hak mereka baik dalam ranah domestik maupun ranah publik.

Dari realitas yang dilihatnya itu ia kemudian melakukan kajian-kajian kritis atas teks-teks agama. Salah satu sumber persoalan keberadaan perempuan di atas, menurutnya ada dalam pikiran keagamaan yang dalam hal ini Islam. Pemikiran keagamaan konservatif menjadi penghambat kebebasan dan kemajuan perempuan. Al-Haddad menilai pandangan fikih sangat diskriminatif terhadap perempuan. Ia lalu melakukan kritisisme atasnya dan merekonstruksi tafsir dan pandangan-pandangan para ahli fikih tentang hukum-hukum keluarga dan tentang hak-hak perempuan. Ia menulis mengenai isu-isu ini dan menghimpunnya dalam buku ini “Imra`atunâ fî al-Syarî’ah wa al-Mujtama’” (Perempuan Kita dalam Hukum Islam dan Masyarakat) yang terbit pada tahun 1930.

Secara garis besar, buku ini membahas dua problem besar. Pertama tentang hak-hak perempuan dalam hukum keluarga yang ia sebut “al-Tasyrî’îyyah” (Hukum). Kedua tentang hak-hak perempuan di ranah publik yang disebut isu “al-Ijtimâ’îyyah” (Sosial).

Pada bagian pertama ia menguraikan tentang posisi  dan hak-hak perempuan dalam perkawinan atau dalam keluarga. Beberapa isu yang terkait dengan bidang ini antara lain: usia menikah, hak memilih pasangan hidup, hak perempuan untuk menikahkan diri tanpa wali, perceraian, poligami, dan waris. Sementara dalam bagian kedua, ia membicarakan tentang peran dan hak-hak perempuan di ranah sosial, ekonomi dan politik. Beberapa isu di bagian ini antara lain tentang jilbab, hijab, aktivitas sosial dan ekonomi serta pendidikan kaum perempuan.

Membaca uraian al-Haddad dan pandangan-pandangannya tentang perempuan dalam dua ranah tersebut, tampak dengan jelas bahwa ia sangat kecewa terhadap kenyataan sosial  yang memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil, mensubordinasi, memarginalkan, mencurigai dan melegalkan kekerasan terhadap mereka. Eksistensi perempuan dalampandangannya telah direndahkan dan dimarjinalkan oleh sistem sosial patriarkhis. Dan ia sadar sekali bahwa sistem ini dikonstruksi oleh kebijakan hukum dan politik negara, tradisi dan oleh pandangan-pandangan keagamaan mainstream. Al-Haddad mencoba menguji kesimpulan pandangannya ini dengan menanyakan dan mendialogkan isu-isu tersebut dengan para ulama terkemuka dari berbagai mazhab fikih di tanah airnya. Beberapa di antaranya adalah al-Ustadz al-Khithab Busynaq, dosen studi Islam bermazhab Hanafi, Abd al-Aziz, dosen sekaligus mufti mazhab Maliki di lembaga fatwa, Imam Thahir ibn Ayur, pemikir, hakim dan ulama besar bermazhab Maliki, Ustadz Balhasan al-Najjar, Mufti bermazhab Maliki, Syaikh Ahmad Biram yang bergelar Syaikh al-Islam dan lain-lain.

 

Kepada mereka al-Haddad mengajukan sejumlah pertanyaan mengenai hak-hak perempuan. Antara lain:

  1. Apakah perempuan mempunya hak untuk memilih pasangan hidupnya? Apakah menjadi hak walinya? Di tangan siapa keputusan terakhir?
  2. Sejauh manakah perempuan  punya kebebasan dalam melakukan pengelolaan harta baik dalam perdagangan maupun lainnya manakala sudah dewasa? 
  3. Sampai sejauh mana hak-hak yang dimiliki oleh perempuan secara lebih luas. Apakah ada pendapat yang membolehkan perempuan menjadi imam shalat (bagi siapa saja), atau menjadi hakim pengadilan dan jabatan publik lainnya?
  4. Sebatas mana perempuan wajib menutup tubuhnya dari pandangan mata orang lain sebagai cara menjaga moralitasnya?
  5. “Apakah perempuan (istri) di rumah merupakan teman setara dengan laki-laki (suami). Apakah laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam menentukan/memutuskan sesuatu (pekerjaan/tindakan) dan dalam melaksanakan sesuatu (pekerjaan/tindakan)? Ataukah perempuan (istri) berada di bawah kekuasaan laki-laki (suami), bagaikan alat untuk melaksanakan perintah-perintahnya? Apakah jika perempuan (istri menolaknya dia boleh dipaksa? Atau bagaimana seharusnya?”
  6. Sebatas manakah perempuan wajib menutup tubuhnya dari pandangan mata orang lain sebagai cara menjaga kehormatannya (akhlak/moralitasnya)?.

 

Jawaban-jawaban para ulama di atas beragam, tetapi secara umum memperilhatkan pandangan-pandangan fikih konsevatif. Pandangan-pandangan mereka tidak keluar dari bingkai fikih mazhab empat, terutama mazhab Hanafi dan Maliki. Sebagian pandangan menunjukkan cukup progresivitas tetapi sebagian yang lain tetap diskriminatif. Jika pandangan itu kita petakan maka:

  • Untuk soal tubuh, semua ulama sepakat tubuh perempuan harus dilindungi dan diproteksi secara ketat. Aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
  • Untuk soal hak atas tubuh, seperti memilih pasangan hidup dan menikahkan diri  tanpa wali, banyak pandangan ulama yang cukup progresif. Perempuan berhak memilih dan melakukan akad tanpa wali jika sudah “rusyd” (dewasa secara intelektual). Tetapi dalam masalah perceraian, hak cerai tetap di tangan laki-laki menjadi pandangan mayoritas.
  • Dalam hal soal fikih “mu’amalah”, yang meliputi aktivitas sosial, ekonomi, hukum dan politik pandangan secara umum cukup progresif. Perempuan boleh berdagang, menjadi hakim pengadilan, menjadi pejabat negara dengan catatan tidak sebagai pengambil keputusan/kebijakan.
  • Tetapi untuk kepemimpinan puncak, mereka sepakat bahwa perempuan tidak bisa/boleh menjadi pemimpin dalam ruang domestik dan publik. Perempuan dilarang menjadi pemimpin negara dan rumah tangga, apalagi dalam ruang privat (memimpin shalat). 

Sesudah memeroleh jawaban dari para ulama di atas, al-Haddad tampak tetap kecewa. Ia merefleksikan pandangan para ulama di atas. Ia mengatakan,

 

Pada umumnya para ulama fikih sepanjang sejarah cenderung mengikuti pendapat ulama pendahulunya meski sudah berjarak ratusan tahun dan telah terjadi perubahan besar. Mereka cenderung mengambil hukum berdasarkan pemahaman tekstualitas. Cara itu lebih mereka pilih dibanding berusaha mengetahui aspek kesesuaian teks-teks tersebut dengan konteks baru dan kemaslahatan masyarakat kontemporer. Mereka tidak melakukan analisis sejarah sosial yang sudah dan terus berubah dan berkembang. Bila itu dilakukan niscaya akan diketahui fleksibiltas hukum dan mereka akan memutuskan dengan hukum yang relevan dengan ruang dan waktunya. Sikap abai mereka terhadap kajian sosiologis tersebut itulah yang membuat mereka merasa tidak ada keharusan untuk mengubah hukum sejalan dengan  perubahan zaman.  Mereka juga tidak memberikan perhatian yang cukup untuk mengkaji semangat (ruh) syariat dan tujuannya. (Hal. 122).

 

Menurut al-Haddad pandangan diskriminatif terhadap perempuan bertentangan dengan al-Qur`an dan prinsip dasar Islam. Kesetaraan manusia adalah niscaya dan merupakan prinsip Islam. Banyak sekali ayat al-Qur`an yang menegaskan tentang kesetaraan manusia. Tetapi diakui bahwa banyak ayat-ayat al-Qur`an yang tidak/belum menunjukkan kesetaraan. Ia menuntut kesetaraan gender dalam segala aspek dan ruang kehidupan. Al-Haddad mengatakan,

                  

Ketentuan hukum Islam tentang hak-hak perempuan sesungguhnya masih dalam proses menuju kesetaraan gender. Jadi tidak berhenti dan bersifat final. Tetapi umat Muslim menganggapnya sudah final dan tidak boleh melakukan perubahan.

 

Karena itu ia menyampaikan kritik atas sejumlah isu yang terkait dengan fikih perempuan sambil menyampaikan usulan-usulan mengenainya. Beberapa di antaranya adalah:

  • Usia perempuan menikah tidak didasarkan pada baligh secara biologis (menstruasi) tetapi minimal pada “sinn al-rusyd” usia matang berpikir
  • Hak cerai tidak boleh di tangan laki-laki, tetapi diputuskan oleh pengadilan. Ia menuntut pembentukan Pengadilan Keluarga.
  • Poligami tidak memiliki dasar dalam Islam, bahkan Islam ingin mengapuskan poligami ini, melalui proses bertahap. Dalam dunia hari ini, Poligami sudah waktunya untuk dilarang. 
  • Perempuan berhak melakukan peran dan tugas-tugas kemasyarakat dan kenegaraan sebagaimana laki-laki, termasuk menjadi pengambil kebijakan publik dan politik.
  • Jilbab dan hijab adalah tradisi masyarakat dan bukan ajaran Islam. Ia bisa berubah dan berkembang.
  • Perempuan harus dibebaskan dari sistem sosial yang diskriminatif dalam semua hal.
  • Perempuan wajib diberi hak yang sama dengan laki-laki untuk memeroleh pendidikan dan keterampilan seluas-luasnya dalam bidang apapun. 

 

Pada bagian kedua, al-Haddad lebih banyak menguraikan tentang persoalan hijab dan pendidikan. Menurutnya persoalan hijab menjadi sangat serius. Ia pertama-tama mengritik habis tentang hijab sebagai kewajiban agama. Di awal buku ini ia mengatakan sikapnya mengenai masalah ini:

 

Dari sini jelas bahwa hijab yang kita tetapkan atas perempuan sebagai salah satu kewajiban (rukun) Islam, termasuk ketika di rumah atau mengenakan “niqab” (cadar) bukanlah masalah yang mudah ditemukan dalam sumber Islam. Bahkan secara jelas, ayat al-Qur`an mengenai hal ini [QS. al-Nur: 31] justru memberikan petunjuk kepada ketidakwajiban mengenakannya. Ini karena mengenakannya menimbulkan kesulitan hidup. Ini yang menjadikan kita memutuskan bahwa hijab tidak merupakan ajaran Islam. Andaikata diwajibkan, niscaya Nabi menegaskannya, dan niscaya para ulama Islam tidak akan berbeda pendapat, termasuk di dalamnya pada sahabat Nabi dan ulama yang sezaman dengan mereka. (hal. 34)

 

Dalam uraian selanjutnya di bagian akhir buku ini, Haddad mengkritik pemakaian hijab. Baginya pakaian hijab menimbulkan banyak masalah bagi perempuan maupun bagi kehidupan sosial. Ia mengatakan “hijab merupakan penghalang antara laki-laki dan perempuan dalam memilih pasangannya jika hendak menikah”. “Hijab banyak menghalangi hak-hak perempuan untuk belajar dan beraktivitas di ruang publik”. “Hijab bisa memunculkan penipuan identitas diri”. (hal. 98-99). Hijab sangat berpotensi menciptakan berkembangnya praktik seks “liwâth” (sodomi), “musâhaqah” (lesbian), dan “al-‘âdah al-sirrîyyah” (masturbasi/onani). (hal. 183-187).  

Di bagian lain ia mengingatkan,

 

Ayat al-Qur’an mengenai ini lebih menekankan anjuran kepada perempuan untuk menjaga etika dan kesopanan. Ini sesuatu yang baik.

 

Pandangan al-Haddad dalam hal ini tampak sejalan dengan pandangan al-Tsa’alabi dalam buku “h al-Taharrur” di atas dan Nazirah Zainuddin di Mesir dalam bukunya “Al-Sufur wa al-Hijâb”. Pandangan al-Haddad diterima publik sebagai ajakannya kepada kaum perempuan untuk melepaskan hijab/jilbabnya.

Sampai di sini dan atas dasar pernyataannya yang terakhir ini saya kira apa yang dimaksud “hijab” atau “jilbab” oleh al-Haddad, manakala ia menolaknya, adalah “niqab” atau cadar. Al-Haddad tidak menolak pemakaiannya jika masih membiarkan wajah dan kedua telapak tangannya terbuka. 

Tentang kepemimpinan publik politik perempuan ia mengatakan,

 

Tidak ada teks al-Qur`an yang melarang perempuan untuk mengelola urusan-urusan politik/pemerintahan dan kemasyarakatan, sebesar apapun tugas yang harus dikerjakannya.

 

Pada bagian akhir al-Haddad menyatakan bahwa seluruh persoalan diskriminasi terhadap perempuan berpangkal dari persoalan pendidikan perempuan atau dengan kata lain karena pembodohan terhadap perempuan. Kebodohan perempuan adalah kebodohan dan kemunduran bangsa. Oleh karena itu ia menyerukan pendidikan bagi perempuan. Perempuan harus diberikan ruang yang seluas-luasnya untuk belajar ilmu apapun dan keterampilan apa saja, sebagaimana yang diperoleh oleh kaum laki-laki. Ia mengatakan,

 

Pendidikan merupakan keharusan dalam hidup. Dan ini harus dinikmati oleh semua orang….maka adalah wajib bagi laki-laki dan perempuan untuk menempuh jalan cahaya ini dan menyambut seruan itu agar kehidupan menjadi indah. Tidak boleh ada separoh manusia yang bodoh dan hanya tunduk kepada kekuasaan separoh manusia yang lain.

 

Reaksi Publik

Pandangan-pandangan al-Haddad yang dituangkan dalam buku ini menghebohkan dunia dan memunculkan reaksi keras dari berbagai kalangan terutama kaum ulama di madrasah Zaintunah. Kelompok konservatif fundamentalis ramai-ramai menyerang al-Haddad dengan meneriakkan sejumlah stigma negatif terhadapnya: si gila, munafik, kafir, ateis, murtad dan penghancur agama. Universitas Zaitunah, almamater tempat dia menimba ilmu pengetahuan keislamannya mencabut ijazah kesarjanaannya. Dewan Ulama Zitunah mengeluarkan vonis kafir.

Sejumlah ulama menulis buku sanggahan atas buku Haddad ini. Beberapa di antaranya Syekh Muhammad Shalih ibn Murad yang menulis buku “al-Hiddad ‘alâ Imra`ati al-Haddâd” (Pedang tajam/Penjara untuk Buku Haddad). Syaikh Umar alMadani menulis buku Sayf alHaqq ‘ala Man Lâ Yarâ alHaqq” (Pedang Kebenaran untuk orang yang menentang kebenaran). Kecaman publik juga disampaikan melalui surat kabar dan majalah. Beberapa di antaranya adalah artikel “Hawlâ Zindiqât al-Haddâd”, “Mawqif al-Shahâfah al-‘Arabîyyah Hawlâ Nâzilât al-Haddâd, Khurafât al-Sufur”, dan “Ayna Yashilu Ghurur al-Mulhidîn”.

Stigmatisasi atasnya sebagai pemikir ultra liberal, ancaman dan pengucilan tidak mengubah pendirian al-Haddad. Dia tak bergeming dan terus berjuang menuntut kesetaraan dan keadilan gender. Ia siap dengan seluruh resiko yang akan dihadapinya. Dan benar saja, publik agamawan konservatif dan publik politik serta penjajah Perancis yang sudah lama tidak suka kepadanya akhirnya menghukum al-Haddad. Ia dibuang ke Arab Saudi, dan meninggal di sana, tanggal 7 Desember 1935, pada usia yang masih sangat muda, 36 tahun. 

Meski tubuh al-Haddad telah tertimbun tanah, tetapi pikiran-pikirannya tetap hidup dan dikagumi banyak orang. Paska kemerdekaan, pemerintah Tunisia mengapresiasi sejumlah pikirannya. Beberapa waktu kemudian memberinya gelar kehormatan sebagai pahlawan Naional dan Tokoh Feminis Tunis. Fotonya terpampang di sejumlah tempat: lembaga pendidikan, kantor pemerintah, bahkan rumah masyarakat, berdampingan dengan foto-foto pahlawan nasional lain. Juga banyak sekolah swasta yang dinamai “Sekolah Tahir al-Haddad”. Selain nama jalan raya di berbagai kota di Tunisia. Namanya direhabilitasi. Bukan hanya sampai di sini, beberapa gagasan Haddad diterima menjadi UU Hukum Keluarga Tunis. Antara lain: Perceraian hanya sah di Pengadilan, Poligami dilarang. Pelakunya diancam hukuman penjara dan denda. Tidak ada hak Ijbar ayah/kakek bagi perempuan usia di atas 18 tahun. Suami yang menceraikan isterinya wajib memberikan biaya bulanan kepada mantan isterinya bukan hanya dalam masa iddah, tetapi selama masih menjanda. Dan kewajiban pendidikan untuk perempuan di segala bidang, dan lain-lain.

Mengakhiri tulisan singkat ini ingin menyampaikan kalimat-kalimat al-Haddad yang indah dan mengesankan. Ia menulisnya dalam mukaddimah buku ini:

Perempuan adalah ibu manusia. Dialah yang mengandungnya di dalam perutnya dan mendekapnya dalam pelukannya. Lalu dialah yang menyusuinya dan memberinya makan dari darah dan hatinya.

Perempuan adalah pasangan yang penuh kasih, yang melayani makan pasangannya manakala lapar, yang menemaninya saat ia gelisah dalam kesepian. Dialah yang rela mengorbankan kesehatan dan waktu istirahnya demi memenuhi kebutuhannya, yang menangkal kesulitan dan bahaya manakala datang. Dialah yang memeluknya dengan penuh kasih, hingga ia tak lagi berduka dan bersedih hati. Dialah yang selalu membuatnya bergairah menapaki jalan kehidupan

Perempuan adalah separoh jiwa bangsa dan umat manusia dengan potensinya yang besar dalam seluruh aspek kehidupan

Bila kita merendahkannya dan membiarkannya menjadi hina dina, maka itu adalah bentuk perendahan dan penghinaan kita atas diri kita sendiri dan kita rela dengan kehinadinaan kita.

Bila kita mencintai dan menghormati dia serta bekerja untuk menyempurnakan eksistensinya, maka sesungguhnya itu bentuk cinta, penghormatan dan usaha kita menyempurnakan atas eksistensi kita sendiri.[]

 

Cirebon, 09 April 2018