Pos

Islam, Demokrasi, dan Perdebatan yang Belum Usai

Lies Marcoes Natsir, Direktur Eksekutif Yayasan Rumah Kitab menceritakan satu kenangan bersama almarhum Presiden Indonesia keempat, Abdurrahmah Wahid alias Gus Dur. Dia ingat, suatu saat berada dalam forum seminar bersama Gus Dur di Erasmus Huis.

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu mengatakan, di banyak negara Islam, belum tentu perempuan diberi tempat sebaik di Indonesia. Di mana kondisi itu adalah konsekuensi logis, sejak adanya pesantren putri dan perempuan bisa masuk ke perguruan tinggi Islam. Langkah itu, membawa mereka ke banyak pilihan, seperti Fakultas Syariah, yang akhirnya memungkinkan perempuan menjadi hakim.

“Sesuatu yang di negara Islam lain tidak mungkin, pada waktu itu tahun 1957, perempuan bisa menjadi hakim. Jadi, penerimaan perempuan ada di ruang publik dan menduduki peran-peran yang strategis hampir tanpa diskriminasi, itu adalah satu ciri penerimaan atau kesesuaian Islam dan demokrasi,” ujar Lies.

Kenangan itu dipaparkan Lies dalam forum yang juga digelar Erasmus Huis dalam bingkai AE Priyono Democracy Forum, Jumat (16/10) sore. Kali ini, forum berbincang mengenai Islam dan Demokrasi: Kebebasan Individual dan Keadilan Sosial di Indonesia.

Moderat Sejak Lama

Lies ingin meyakinkan publik, bahwa Islam di Indonesia sejak lama sebenarnya bersifat moderat atau yang disebut sebagai washatiyah. Sikap moderat itu menjadi pilar yang menjamin perkembangan dan bersemainya demokrasi.

Faktornya, kata Lies, antara lain karena Indonesia memiliki dua organisasi sipil Islam yang kuat, yaitu NU dan Muhammadiyah. Indonesia juga memiliki pesantren, sebagai subculture dari Islam, dimana perempuan yang diwakili figur Bu Nyai, berperan sangat penting. Faktor ketiga, menurut Lies, Indonesia memiliki perguruan tinggi Islam, dimana moderasi beragama dikembangkan. Paling penting dari itu, salah satu ciri khas Islam di Indonesia, dimana demokrasi bisa berkembang, karena perempuan mendapatkan tempat di ruang publik.

Sayangnya, dalam periode Orde Baru, kondisi justru berubah. Dalam ideologi yang memadukan pengaruh Jawa dan militer, kata Lies, perempuan dipindah perannya ke belakang, yang dikenal dengan istilah “konco wingking”.

AE Priyono Democracy Forum, Islam dan Demokrasi Kebebasan Individual dan Keadilan Sosial di Indonesia, Jumat, 16 Oktober 2020. (Foto: screenshot)

“Yang paling menyedihkan, saya kira, sehingga kita punya masalah sekarang, di era Orde Baru kita tidak diberi kesempatan melakukan kontestasi, dengan pandangan-pandangan yang datang dari Islam,” tambah Lies.

Setelah reformasi kondisinya kembali berubah, ada kelompok yang di era ini justru kembali mengangkat ide-ide berdasar teks keagamaan. Demokrasi, kemudian,seolah muncul kembali pertentangannya dengan Islam.

Tantangan Bagi Muslim

Budhy Munawar Rachman, pengasuh Esoterika-Forum Spiritualitas menyebut beberapa kemungkinan, mengapa Indonesia masih memiliki masalah ketika persoalan Islam dan demokrasi sebenarnya sudah selesai.

“Pertama kali, mungkin kita harus ingat bahwa demokrasi ini sebenarnya sesuatu yang memang baru. Betul-betul baru untuk dunia Islam. Baru dalam arti, bahwa ini adalah norma internasional yang di dunia Islam belum dikenal. Walaupun ,kita bisa mencari akar demokrasi di dalam tradisi-tradisi Islam,” kata Budhy.

Karena baru itu, dibutuhkan refleksi yang mendalam dari komunitas muslim, terutama cendekiawan, tentang ide-ide yang berkembang di dunia Islam. Hal itu perlu agar persoalan ini menjadi bagian dari Islam, dari pemikiran Islam, kata Budhy.

Para pemikir muslim Indonesia, seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, dan banyak lainnya, menurut Budhy sebenarnya sudah menunjukkan kompatibilitas Islam dengan demokrasi. Budhy memberi contoh, negara-negara mayoritas muslim yang akhirnya memilih menerapkan demokrasi ketika merdeka, adalah bukti Islam selaras dengan demokrasi.

Dia juga meyakinkan, jelas tidak ada masalah demokrasi sebagai sebuah nilai. Persoalannya tinggal teknis penerapan demokrasi dalam kenyataannya.

“Tugas kita sebagai muslim sekarang ini adalah bagaimana meningkatkan mutu dari demokrasi tersebut. Masalah kita bukan, apakah Indonesia itu negara demokrasi atau bukan karena kita adalah negara demokrasi. Nilai apa yang disumbangkan kalangan muslim terhadap proses demokratisasi itu dan meningkatkan mutu demokrasi adalah tanggung jawab kita,” papar Budhy.

Polarisasi Kian Terasa

Peneliti yang sedang menempuh program doktor di Australian National University, Nava Nuraniyah, menyebut, kelompok-kelompok dalam Islam memberi dukungan politik yang berbeda di Indonesia.

Dalam dua Pemilu terakhir, posisi keduanya semakin terlihat karena dukungan yang terpusat pada dua kubu berseberangan. Karena hanya dua kubu itulah, polarisasi semakin terasa. Perbedaan dalam demokrasi sebenarnya sesuatu yang wajar, namun dalam kasus dua Pemilu terakhir, kondisi itu justru membahayakan demokrasi.

“Polarisasi yang berimbas kepada demokrasi, adalah ketika berbagai macam permasalahan yang ada di masyarakat, dari mulai perbedaan etnis, agama, sampai ketimpangan ekonomi, itu dikerucutkan, diesensialisasikan menjadi seakan-akan itu cuma satu jenis pembelahan identitas,” kata Nava.

Dia memberi contoh, yang terjadi di Amerika Serikat antara kelompok kulit putih dan imigran serta kulit hitam. Atau di India, yang terjadi antara Hindu dengan minoritas muslim. Di Indonesia, periode ini dikenal dengan perseteruan Kadrun dan Cebong. Karena polarisasi, Pemilu yang semestinya menjadi adu program kebijakan, berubah serupa perang suci antara dua ideologi, ujar Nava.

Di Indonesia, lanjut Nava, kubu yang dianggap pluralis menang dalam Pemilu, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Dalam kasus pembubaran HTI misalnya, muncul banyak kritik karena prosedur itu tidak dilakukan melalui pengadilan.

Nava memaparkan, ada tiga mazhab dalam menyikapi kondisi yang saat ini terjadi, yang dibahas kalangan peneliti demokrasi. Aliran pertama adalah mereka yang percaya, bahwa demokrasi harus dibela dengan cara militan. Mereka percaya, kebebasan berbicara dan berkumpul bisa dibatasi untuk kelompok tertentu yang memang mengancam demokrasi. Namun, tindakan itu harus melalui jalur hukum, bukan keputusan sepihak seorang presiden.

Mazhab kedua adalah demokrasi liberal prosedural. Kelompok ini menegaskan, bahwa dalam demokrasi, negara harus mengakomodasi seluas-luasnya semua pendapat, bahkan bagi kelompok intoleran. Tujuan memberi akomodasi ini, karena pertimbangan lebih baik kelompok ini berada dalam sistem daripada bertambah radikal di luar. Jika mereka mengikut kompetisi politik yang fair, kelompok ini akan belajar menjadi lebih pragmatis. Di Indonesia, kelompok yang awalnya pro syariah, kemudian melunak karena dalam sistem demokrasi kelompok ini dipaksa melakukan proses take and give.

“Yang terakhir, sosial demokrasi. Ini lebih menekankan pada keadilan sosial, bahwa untuk memperkuat demokrasi, tidak cuma institusinya yang dikuatkan, tetapi juga rakyatnya dikuatkan. Pertama, ketimpangan ekonomi harus diselesaikan dahulu. Ketika rakyat menikmati akses setara dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan kebebasan berpendapat dalam demokrasi, maka dengan sendirinya rakyat akan merasa memiliki dan membela demokrasi,” papar Nava. [ns/ab]

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/islam-demokrasi-dan-perdebatan-yang-belum-usai/5624093.html

RAMADAN YANG MENGESANKAN

Oleh Dra. Sinta Nuriyah Wahid, M.Hum

[Ibu Negara RI Ke-4 – Ketua Umum Yayasan Puan Amal Hayati]

 

“Kalau ditilik dari segi esensinya, puasa sebenarnya mengajarkan kita untuk makan secara teratur, yakni dua kali sehari (waktu buka dan sahur). Namun pada praktiknya, dana yang dikeluarkan lebih banyak di bulan Ramadhan ketimbang di bulan-bulan lainnya. Bisa dilihat dari makanan yang dikonsumsi di bulan Ramadhan, misalnya di dalam keluarga saya. Untuk buka kami biasa makan nasi, kolak, snack dan gorengan. Sebelum tidur kami juga masih menikmati snack, belum lagi makanan untuk sahur. Jadi, kalau dipikir-pikir, dalam tataran praktik, di bulan Ramadhan ternyata memang lebih boros.”

 

 

Suasana Ramadhan

Sebagai anak dari salah satu keluarga muslim, sejak kecil—umur 5 atau 6 tahun—saya sudah diajari berpuasa. Seperti biasa, orangtua mengajari saya puasa secara dogmatik—untuk tidak mengatakan memaksa. Saya tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan untuk apa berpuasa selain bahwa itu sebagai kewajiban dari agama. Dan memang tidak pernah sedikitpun terbesit di benak saya untuk mempertanyakannya. Dalam konteks ini, rasionalitas tidak mendapatkan ruang sama sekali. Orangtua tidak pernah membiarkan anaknya menggali kesadaran dari dirinya sendiri.

Saya merasa nyaman dengan suasana di kampung yang sangat natural. Suasana puasanya lebih terasa. Dari pagi saya sudah sibuk mengumpulkan berbagai jenis makanan untuk buka. Saya ingin makan ini, itu dan segala macam. Padahal saat berbuka, makanan-makanan itu tidak termakan semuanya. Malah yang sering terjadi, minum sedikit saja saya sudah merasa kenyang, dan tidak berselera lagi untuk menyantap makanan yang lain.

Di siang hari, ummi (ibu saya) rutin menyuruh saya bersama adik-adik untuk mengaji al-Qur`an dan dipimpin oleh beliau sendiri. Di depannya sudah tersedia sebuah penggaris yang setiap saat akan melayang ke tangan kami apabila bacaan kami ada yang salah. Malam harinya, setelah shalat Isya`, kami melakukan shalat Tarawih berjamaah di surau/langgar. Bagi saya saat itu, shalat Tarawih merupakan satu di antara sekian banyak ritual Ramadhan yang paling menyenangkan. Saya bersama adik-adik dan teman-teman saya berangkat ke surau/langgar bareng-bareng. Biasalah, sebagai anak-anak kecil yang masih suka bermain, kami bergurau dan bercanda. Keramaian karena berkumpulnya para jamaah di surau/langgar membuat kami bersemangat untuk hadir di sana.

Saya melihat perbedaan puji-pujian yang dibaca ketika shalat Tarawih antara dulu dan sekarang. Seingat saya, dulu kami membaca nama-nama dan sifat-sifat Allah seperti “wujûd, qidam, baqâ`, mukhâlafat-u li al-hawâdits-i, qiyâmuh-u binafsih-i” dan seterusnya, di samping juga nama-nama dan sifat-sifat Nabi berikut ajaran-ajaran Islam lainnya yang sudah dikemas dalam bentuk syair yang dibuat oleh para ulama pesantren. Setelah shalat Tarawih, di surau/langgar biasanya ada kegiatan tadarus (ngaji al-Qur`an bersama).

Untuk anak kecil, termasuk juga saya waktu itu, yang paling sulit di bulan Ramadhan adalah dibangunkan untuk sahur sekitar jam 2 atau 3 dini hari. Biasanya sejak jam 2 ada beberapa orang yang berkeliling menabuh kentongan sambil berteriak-teriak membangunkan para penduduk kampung. Tetapi saya lebih suka melanjutkan tidur daripada bangun untuk sahur. Padahal, kalau tidak sahur besoknya ketika berpuasa saya kadang-kadang tidak kuat.

Kalau ditilik dari segi esensinya, puasa sebenarnya mengajarkan kita untuk makan secara teratur, yakni dua kali sehari (waktu buka dan sahur). Namun pada praktiknya, dana yang dikeluarkan lebih banyak di bulan Ramadhan ketimbang di bulan-bulan lainnya. Bisa dilihat dari makanan yang dikonsumsi di bulan Ramadhan, misalnya di dalam keluarga saya. Untuk buka kami biasa makan nasi, kolak, snack dan gorengan. Sebelum tidur kami juga masih menikmati snack, belum lagi makanan untuk sahur. Jadi, kalau dipikir-pikir, dalam tataran praktik, di bulan Ramadhan ternyata memang lebih boros.

Untuk hidangan buka dan sahur, yang menyiapkan adalah nenek saya yang dibantu oleh ummi dan seorang pembantu keluarga. Boleh dibilang, nenek saya adalah orang yang paling rajin di dapur. Mungkin beliau tidak terlalu percaya kepada ummi dan pembantu, kuatir masakan keduanya tidak enak. Makanya, beliau lebih sering memasak sendiri makanan untuk buka dan sahur. Dan tentu saja masakan beliau jauh berbeda dan lebih enak daripada di hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan—kalau orang Jawa bilang, berkutengnya lebih banyak.

Terdapat beberapa kebiasaan di waktu kecil yang juga kerap saya lakukan di bulan Ramadhan, utamanya di siang hari sampai sore menjelang maghrib. Di antaranya adalah main di pinggir sungai yang tak jauh di sebelah rumah saya. Orang Belanda dulu menyebut sungai tersebut “Sungai Van Hengell”, dan kemudian orang Jawa menyebutnya “Sungai Penengel”. Di sana saya biasanya mandi dan menangkap ikan-ikan kecil, kermis (kijing) atau udang. Tetapi kalau kedapatan main di situ, saya langsung dimarahi oleh nenek. Mungkin beliau kuatir terjadi apa-apa dengan saya. Atau kalau tidak, saya biasanya pergi ke lapangan melihat anak-anak lelaki main layangan. Atau kadang-kadang saya pergi ke sawah mencari kinjeng (capung) dan kotrik (capung yang lebih kecil).

Semasa masih ada kakek, saya kadang pergi ke lapangan bersama beliau untuk menonton sepakbola. Melewati rumah-rumah penduduk, kemudian galengan (pematang) sawah. Sangat menyenangkan. Perpaduan antara hangat mentari senja dan angin yang berhembus sepoi-sepoi menghadirkan sensasi tersendiri.

Kebiasaan lainnya, saya bersama teman-teman suka berkeliling kota Jombang dengan berjalan kaki sambil membawa galah mencari buah kersen (buah kecil bulat berwarna merah dan rasanya manis). Kami memanjat pohonnya, kemudian mengambil buah-buahnya yang sudah matang dengan galah yang kami bawa.

Sambil berkeliling, kami juga mencari bungkus rokok untuk diambil capnya. Kami kumpulkan cap-cap rokok itu sebanyak mungkin. Kami menggunakannya sebagai mata uang mainan. Misalnya, kami membuat bioskop-bioskopan. Biasanya kami pakai senter yang diarahkan ke tembok. Gambarnya kami buat seperti wayang kulit. Siapapun dari teman-teman yang lain hendak menonton, harus membayar dengan menggunakan uang mainan dari cap bungkus rokok itu. Kalau tidak begitu, biasanya kami main bekel, sondah, gobak sodor, dll.

 

Ramadhan di Pesantren

Ketika sudah di pesantren, di bulan Ramadhan, kami mempunyai tradisi pindah-pindah pesantren. Sebenarnya saya adalah santri di Pesantren Tambak Beras. Kemudian di bulan Ramadhan, ketika sedang libur, untuk mengisi waktu luang saya mondok di Cukir. Dan di bulan Ramadhan berikutnya, saya mondok di pesantren yang lain. Kenapa harus pindah-pindah pesantren? Karena ada beberapa kitab di sebuah pesantren yang tidak diajarkan di pesantren lain. Katakanlah, misalnya di pesantren saya, untuk persoalan puasa, kitab yang dipelajari adalah “Fath al-Qarîb”, sementara di pesantren lain yang dipelajari adalah “Fath al-Mu’în”. Sehari-hari kegiatannya adalah ngaji kitab, full dari pagi sampai sore.

Pernah di bulan Ramadhan saya mondok di Singosari, di tempatnya Ust. Bashori Alwi, khusus untuk belajar al-Qur`an. Sebenarnya beliau tidak mempunyai pesantren. Hanya saja, pada saat itu, beliau dikenal sebagai seorang hafizh (penghafal al-Qur`an) yang ahli dalam hal qirâ`ât (mambaca al-Qur`an dengan lagu), sehingga banyak orang yang datang ke tempat beliau untuk belajar al-Qur`an. Nah, karena beliau tidak mempunyai asrama khusus santri seperti di pesantren-pesantren lain, maka mereka yang belajar di sana ngekost di rumah-rumah penduduk sekitar. Kalau saya dulu ngekost di kediaman Kiyai Nahrowi yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Ust. Bashori Alwi.

Di kediaman Kiyai Nahrowi, saya dengan teman-teman mendapatkan perlakuan berbeda dengan di pesantren pada umumnya. Makanan yang saya nikmati adalah makanan rumahan yang sengaja disediakan oleh Ibu Nyai khusus untuk para santri yang ngekost di sana. Boleh dibilang agak sedikit mewah. Tetapi tetap saja, untuk urusan-urusan lain seperti mencuci pakaian, saya biasa mengerjakannya sendiri.

Namun, saya perlu menggaris bawahi, bahwa kegiatan saya nyantri di bulan Ramadhan itu tidak bisa disamakan dengan pesantren kilat seperti yang belakangan sedang marak. Sebab, pada dasarnya saya adalah santri dari sebuah pesantren, tetapi kemudian pindah—untuk sementara waktu, antara 15 sampai 20 hari, dan itu pun karena sedang libur panjang—ke pesantren lain di bulan Ramadhan untuk mempelajari kitab atau ilmu lain yang belum diajarkan pesantren saya. Sementara di pesantren kilat, yang masuk ke dalamnya adalah mereka yang belum menjadi santri (belum pernah mengenyam pendidikan di pesantren). Di situ mereka diajari tentang ibadah, seperti shalat dll., secara kilat.

Setiap bulan Ramadhan kegiatan saya selalu begitu. Selain untuk mempelajari kitab, menambah pengalaman, juga untuk “ngalap berkah” atau “tabarrukan” dari para kiyai— untuk memperbanyak guru. Dan sejak zaman dulu, para ulama besar pesantren seperti Mbah Hasyim Asy’ari, sering pindah-pindah pesantren. Tujuan utamanya adalah untuk menambah ilmu, memperbanyak guru dan mendapatkan berkah dari setiap ilmu yang dipelajari.

Dari segi metode pengajiannya, sebetulnya tidak ada yang berbeda antara satu pesantren dengan pesantren yang lain. Bedanya hanya di materinya saja. Suasananya juga berbeda. Teman-teman menjadi semakin bertambah.

 

Pengalaman Puasa Bersama Gus Dur

Awalnya, setelah menikah, saya dengan Gus Dur tinggal di rumah ‘Mertua Indah’ di daerah Matraman. Pengalaman puasa dengan Gus Dur biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Hanya saja yang enak dari dia adalah karena dia tidak pernah rewel terkait urusan makanan. Tidak banyak nuntut dan tidak merepotkan. Dia makan apa adanya, baik ketika buka, sahur, dan juga di hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan. Makanan yang paling disukainya adalah soto—soto apa saja; soto ayam, soto babat dan jenis-jenis soto yang lain. Tetapi tentu saja tidak setiap hari Gus Dur saya suguhi makanan soto. Setiap harinya saya menyediakan menu makanan yang berbeda-beda agar tidak bosan.

Setelah mempunyai anak satu, kami kemudian pindah ke Jombang dan tinggal di Pesantren Denanyar. Saat itu saya mendapatkan pengalaman menarik. Di bulan Ramadhan, saya bersama keluarga pesantren yang lain diminta secara bergiliran menjadi imam shalat Tarawih di beberapa mushalla di kampung khusus untuk ibu-ibu muslimat.

Ada momen-momen di mana saya dan Gus Dur selalu bergotong-royong dalam pekerjaan di rumah tangga, pada saat-saat tidak ada pembantu. Hanya saja memang, karena badannya agak subur, dia suka melakukan pekerjaan yang ada unsur airnya. Misalnya, kalau dia mencuci baju, saya yang menyetrika. Kalau dia mencuci perabotan, saya yang masak. Kalau dia ngepel lantai, saya yang nyapu rumah. Artinya, dia tidak menyerahkan sepenuhnya seluruh pekerjaan rumah tangga kepada saya, tetapi ada pembagian kerja yang adil dan seimbang.

Dalam hal mengurus anak juga demikian. Biasanya, yang namanya anak bayi, kalau malam pasti bangun sambil menangis minta disusui. Gus Dur biasanya bangun duluan mengganti popoknya—dulu belum pempers seperti sekarang. Setelah popoknya diganti, lalu diangkat dan diserahkan ke saya untuk disusui.

Untuk menambah uang belanja, saya melakukan kerja sambilan, yaitu menjual kacang dan es. Pekerjaan itu saya kerjakan malam hari dengan dibantu seorang pembantu yang menggoreng kacangnya, kemudian saya yang membungkus kacang dan es tersebut. Esok harinya, barang dagangan itu dibawa oleh seorang penjual dan juga dititipkan ke warung-warung.

Gus Dur memang tidak pernah enggan untuk membantu saya. Baginya, tidak ada salahnya bila suami membantu istrinya melakukan pekerjaan rumah tangga. Rasulullah saw. sendiri, yang menjadi panutan umat Muslim, semasa hidupnya juga kerap melakukannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa, di tengah-tengah kesibukan mengurus umat, beliau masih sempat menjahit bajunya sendiri.

Kalau diamati lebih jauh, kesukaan Gus Dur membantu saya dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah lebih disebabkan karena sifat romantisnya kepada saya. Harus saya akui, Gus Dur memang romantis. Dulu, ketika berada di luar negeri, Gus Dur mengirim surat-surat cinta kepada saya. Sayang sekali, surat-surat itu disimpan oleh ayah (abi) saya. Ketika rumah beliau dibongkar, lemari tempat menyimpan surat-surat itu hancur. Surat-surat itu pun hilang entah ke mana. Saya benar-benar sangat menyesalkan hal itu.

Setelah Gus Dur wafat di akhir tahun 2009, saya menemukan satu buku di antara sekian banyak buku yang dibawanya dari Baghdad-Irak. Di sampul depan buku tersebut tertulis beberapa kalimat dalam bahasa Arab dan Inggris yang ditujukan kepada saya. Tulisan tangannya sangat bagus. Kalimat pertama berbunyi, “Ma’a al-hubb wa al-tahannîy / with love and compliment” (Teriring rasa cinta dan penghormatan). Ternyata, buku tersebut dikirimkan Gus Dur kepada saya tahun 1966, tetapi tidak pernah sampai ke tangan saya. Baru setelah beliau wafat saya menemukan buku tersebut. Komentar menantu pertama saya, Mas Erman (suami Mbak Alissa), “Ya Allah bapak, masa’ kiriman bukunya baru sampai setelah 45 tahun.”

Pernah waktu di Jombang, saya dan Gus Dur naik becak. Saat itu sedang turun hujan. Biasanya, ketika turun hujan, tukang becaknya akan menutupkan tabir plastik di depan untuk melindungi penumpangnya supaya tidak terkena air. Begitu tabir plastik ditutupkan, Gus Dur tiba-tiba mencium saya. Kemudian saya bilang, “Hus…jangan gitu, nanti diintip tukang becaknya.” Dia malah menjawab, “Biarin aja, nanti biar tukang becaknya pingin.”

Sebagai seorang aktivis yang melayani masyarakat, kesibukan Gus Dur banyak sekali. Dia kerap meninggalkan saya dan anak-anak di rumah, bahkan di bulan Ramadhan sekalipun. Dia pergi ke Jakarta dan ke daerah-daerah lainnya. Mula-mula saya tidak mau ditinggalkan terus, bahkan saya sempat marah-marah sambil nangis. Tetapi lama-kelamaan saya bisa menerima itu, karena dilarang dan dicegah bagaimana pun dia juga akan tetap pergi. Kalau tidak pergi, bisa-bisa dia malah sakit.

Selama hidup dengan Gus Dur, setiap harinya saya tidak pernah melihatnya 24 jam berada di rumah. Paling lama hanya sejam atau beberapa jam, setelah itu dia pergi entah ke mana. Ada saja urusannya. Saat berada di rumah, yang dilakukannya adalah membaca buku. Yang dibacanya adalah buku-buku berbahasa Inggris, Prancis dan Arab. Ketiga bahasa ini sangat dikuasainya. Bahkan, karena senang dengan wayang kulit, dia juga menguasai bahasa Jawa Kuno (Sangsakerta). Atau kalau tidak membaca buku, biasanya dia tidur. Ketika anak-anak kami masih kecil, biasanya dia bermain bersama anak-anak sebentar, setelah itu dia tidur.

Lebih parah lagi ketika Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Waktu itu kami sudah tinggal di Jakarta. Karena kesibukannya semakin banyak, dia hampir tidak pernah ada di rumah. Sampai-sampai dia sadar sendiri, katanya, “Kalau saya terlalu lama di luar, nanti kalau pulang ke rumah, anak-anak bisa pangling ke saya. Ketika pertama kali sampai rumah, mereka mungkin akan langsung bilang, ‘Nyari siapa, Om?’”

Gus Dur sering mengajak anak-anak untuk jalan-jalan. Mereka biasanya diajak ke toko-toko buku. Tetapi anak-anak kadang tidak mau. Mereka bilang, “Nggak mau ah! Soalnya kalau di tengah jalan bapak ketemu temannya, bisa-bisa kami dicuekin sama bapak.”

 

Puasa Dawud

Saat masih di pesantren, puasa yang saya lakukan bukan hanya puasa Ramadhan, tetapi juga puasa Senin-Kamis seperti disunnahkan oleh Nabi. Kemudian, saya melihat salah seorang teman saya melakukan puasa Dawud (puasa selang-seling; hari ini puasa, hari berikutnya tidak, dan begitu seterusnya). Saya berpikir, kok sepertinya enak banget. Saya mencoba melakukan, dan saya merasa mampu. Lama-lama itu menjadi kebiasaan.

Di masa-masa awal pernikahan saya dengan Gus Dur, saya masih tetap melakukannya. Lalu ketika hamil dan kemudian melahirkan, saya berhenti berpuasa Dawud. Saya mempunyai anak kecil, tidak mungkin melakukannya. Waktu terus berjalan, dan dalam suatu kesempatan di mana saya mempunyai banyak sekali waktu luang, saya mulai melakukannya lagi.

Sampai suatu saat saya mengalami kecelakaan dalam sebuah perjalanan di bulan Ramadhan. Saya sangat bersyukur Allah masih menyelamatkan nyawa saya meskipun saya mengalami cedera amat parah. Dalam kondisi fisik yang sangat lemah, saya berhenti berpuasa, juga puasa Dawud. Kemudian, di bulan Ramadhan berikutnya, saya coba untuk berpuasa. Ternyata saya bisa dan kuat. Ketika bulan Ramadhan itu usai, saya melanjutkannya dengan puasa Dawud. Belakangan, ketika bapak mulai sering sakit, saya melakukan puasa setiap hari sampai sekarang. Tetapi saya jarang makan sahur, dan jarang sekali makan nasi. Biasanya saya hanya minum air putih dan tiga potong kue. Itupun saya sudah merasa sangat kenyang.

Tidak ada tujuan atau motivasi apapun di balik puasa yang saya lakukan setiap hari selain niat karena Allah. Saya banyak menemukan di masyarakat, ibu-ibu berpuasa untuk kelulusan anak-anak mereka menghadapi ujian sekolah. Atau untuk suami-suami mereka agar selalu sukses dalam meniti karir, baik di bidang usaha maupun politik. Malah sekarang saya banyak juga menemukan ibu-ibu pejabat yang melakukan puasa.

Saya tidak seperti itu. Saya tidak mempunyai pikiran apa-apa. Pokoknya saya berpuasa, dan itu semata-mata karena Allah. Anak-anak pernah bertanya kepada saya, “Ibu puasa tiap hari untuk apa?” Saya jawab, “Ya bukan untuk apa-apa, tetapi karena Allah.”

 

Sahur Keliling

Gus Dur diangkat menjadi presiden RI Ke-4. Kami sekeluarga mendapat hak menduduki istana negara. Memasuki bulan Ramadhan, melalui Yayasan Puan Amal Hayati yang saya dirikan jauh sebelumnya, sebuah gagasan saya cetuskan, yaitu sahur bersama kaum dhu’afa. Caranya adalah membeli makanan di warteg-warteg dan kemudian membagi-bagikannya kepada mereka yang membutuhkan, utamanya kaum dhu’afa. Waktu itu lingkupnya masih terbatas di wilayah Jakarta saja.

Kenapa sahur bersama? Kenapa bukan buka bersama? Karena buka bersama sudah banyak yang mengadakan. RT, RW, gedung bertingkat, hotel, partai politik hingga para pejabat tinggi negara, semuanya mengadakan. Namun saya heran, sebab orang-orang yang diajak berbuka kebanyakan kadang tidak berpuasa. Jangankan yang diajak, orang yang mengajak pun bahkan tidak berpuasa. Padahal tujuan buka itu untuk membatalkan puasa.

Berbeda dengan sahur bersama yang saya adakan. Setiap malam, dengan didampingi beberapa teman, saya berkeliling ke berbagai tempat di Jakarta, seperti di kolong-kolong jembatan dan perkampungan kumuh, membagi-bagikan nasi kotak kepada para fakir-miskin dan orang-orang di jalanan. Tujuannya untuk apa? Mengajak mereka untuk berpuasa. Dan saya selalu menekankan itu kepada mereka. Inilah bedanya antara buka bersama dan sahur bersama. Sebelumnya saya memberikan sedikit pengantar tentang makna dan hikmah puasa yang sebenarnya. Ketika sedang makan sahur, kami selingi dengan tanya-jawab tentang berbagai masalah kehidupan serta kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.

Buka bersama yang diadakan oleh para pejabat umumnya mengajak para sahabat dan kolega yang secara ekonomi mereka mampu. Demikian juga yang diadakan oleh partai-partai politik. Para mitra, kolega dan konstituen yang diundang berbuka adalah orang-orang ‘berkantong tebal’ alias banyak duit. Hidangan yang mereka sajikan bukan makanan biasa, melainkan makanan berkelas dan super mewah. Lantas di mana letak kepedulian mereka terhadap rakyat kecil?

Adapun sahur bersama yang saya dan teman-teman adakan benar-benar mengajak orang-orang tidak mampu, kaum lemah, kaum yang terpinggirkan dan kaum yang tidak dianggap keberadaannya. Makanan yang kami bagikan hanyalah nasi kotak. Saya berbaur dan mendengarkan keluh-kesah mereka. Saya katakan kepada mereka, bahwa di samping bersilaturrahim, bersahur bersama, saya juga belajar tentang makna hidup dan kehidupan yang sebenarnya dari saudara-saudara saya yang kurang beruntung itu.

Setelah Gus Dur dilengserkan, kegiatan sahur bersama itu tetap diadakan. Malah masyarakat di daerah-daerah juga meminta agar itu tidak hanya diadakan di Jakarta saja, tetapi juga di daerah-daerah. Nah, sejak itu kami mengadakan sahur keliling dari satu daerah ke daerah yang lain. Tiada tujuan dari kegiatan itu selain hanya untuk berbagi rasa dan membuat orang lain bahagia.

Beberapa teman ada yang mengusulkan agar dalam kegiatan itu juga mengajak orang-orang dari agama lain. Saya setuju dan kemudian kami mencobanya. Ternyata, itu mendapat sambutan sangat luar biasa dari Romo Beni dari Keuskupan, Matakin (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia) dan kelompok-kelompok lain. Oleh karena itu, kadang-kadang kami berbuka/sahur di Klenteng, kadang-kadang di halaman Gereja.

Kami kerap mengadakan sahur keliling di Jawa Timur, seperti di Pasuruan, Probolinggo, Jember dan daerah-daerah lainnya. Sebenarnya, dari segi fisik, saya dan teman-teman merasa letih sekali. Tetapi demi untuk berbagi kasih dan kehangatan kepada kaum dhu’afa, kami tetap melanjutkannya. Malah masyarakat di Jember berharap itu bisa diadakan lebih dari 1 hari. Mereka tidak mau kalau hanya 1 hari saja. Bahkan kadang, satu malam kami bisa di dua tempat mengadakan sahur bersama, yakni jam 1 dan 3. Jadi, dalam sebulan, kami bisa mengadakan di 35 tempat di berbagai daerah. Padahal bulan Ramadhan hanya 29 – 30 hari.

Kegiatan sahur keliling itu bukan tanpa perencanaan yang matang. Tiga bulan sebelum Ramadhan, saya sudah menghubungi cabang-cabang Yayasan Puan Amal Hayati yang ada di daerah; Inderamayu, Tasikmalaya, Lombok, Malang, Jember, Probolinggo dan Sumenep. Saya minta mereka membentuk panitia lokal.

Sampai sekarang, kegiatan tersebut masih terus berlangsung. Terdapat nilai-nilai pluralisme yang kami usung. Dalam berbagai kesempatan saya selalu menekankan, bahwa puasa memang mengajarkan untuk hidup rukun, saling merasakan penderitaan orang lain, saling menyayangi, saling menghormati, saling bergotong-royong dan menjalin persaudaraan antara sesama warga negara, termasuk dengan para penganut agama lain. Inilah sebetulnya maksud ayat al-Qur`an yang artinya, “Wahai sekalian para manusia, sesungguhnya Aku (Allah) menjadikan kamu sekalian bersuku-suku dan bergolong-golongan agar kamu sekalian saling berkenalan dan bergaul dengan sebaik-baiknya, karena sesungguhnya orang yang paling mulia di hadapan Allah adalah orang yang bertakwa,” [QS. al-Hujurat: 13]. Sedang maksud dari “la’allakum tattaqûn” (agar kalian bertakwa) di dalam ayat al-Qur`an [QS. al-Baqarah: 183] sehubungan dengan kewajiban puasa, adalah menjaga moralitas dan etika serta hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Dalam bingkai moralitas ini, terkandung nilai-nilai kesabaran, kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesetaraan, kebersamaan, kasih-sayang, toleransi dan nilai-nilai luhur lainnya.

Selama ini yang saya amati, masyarakat Muslim umumnya beranggapan bahwa berpuasa hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban agama tanpa mengerti hikmah dan tujuan puasa itu sendiri. Akhirnya mereka tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga, karena mereka memang tidak mengerti. Oleh karena itu, dengan kegiatan sahur keliling itu, saya berharap masyarakat dapat mengerti makna dan hakikat puasa yang sesungguhnya.

 

Mudik

Ketika berada di Jakarta (di rumah mertua bersama Gus Dur), mudik tidak mesti untuk berlebaran. Kapanpun, kalau memang diperlukan, kami biasa mudik ke Jombang. Kemudian, setelah mempunyai anak dan tinggal di Jombang, kalau lebaran kami pasti mudik ke Jakarta. Waktu itu kami naik kereta api Matarmaja (Malang, Blitar, Madiun, Jakarta). Atau kadang kami naik kereta api yang lebih bagus dengan harga tiket yang tentunya lebih mahal.

Ada hal yang paling berkesan dengan Gus Dur ketika berada di dalam kereta api. Saat sudah ngantuk, tidak peduli banyak orang atau tidak, dia pasti akan langsung tidur. Dan tidurnya bukan di atas kursi, melainkan di bawah beralaskan koran dan sebuah bantal sewaan. Terserah mau dilangkahi orang, pokoknya tidur saja. Sementara saya sendiri tidurnya di atas kursi.

Untuk keperluan buka dan sahur kami tidak mau ambil pusing, karena untuk mendapatkan makanan di atas kereta memang sangat mudah. Banyak orang yang berjualan makanan. Apalagi ketika kereta berhenti sebentar di stasiun Cirebon. Para penjual makanan berjubel naik ke dalam menawarkan berbagai jenis makanan. Kami tidak pilih-pilih makanan, apapun yang ada, mau nasi pecel atau apalah, kami langsung membelinya dan kemudian memakannya bersama-sama. Kami menikmatinya di tengah-tengah keriuhan suara manusia di dalam kereta yang tidak jauh beda dengan pasar.

 

Idul Fitri

Banyak hal yang harus disiapkan dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Di antaranya adalah kue dan makanan-makanan lainnya. Selain itu, juga baju baru untuk saya, Gus Dur dan anak-anak. Untuk urusan kue dan makanan, saya sendiri yang menyiapkan semuanya dengan dibantu oleh anak-anak, karena anak saya perempuan semua.

Kemudian, untuk urusan baju baru, saya juga yang mengurusnya. Bahkan saya yang menjahitnya sendiri, kecuali baju untuk Gus Dur. Jadi, saya yang membeli kainnya di toko. Saya pilih yang terbaik menurut saya. Setelah itu saya potong-potong sesuai ukuran badan anak-anak, lalu saya jahit hingga menjadi baju-baju yang indah dan cantik. Gus Dur kadang protes ke saya, “Kalau anak-anak dibuatin baju, kalau saya tidak.”—tentu saja ini hanya bercanda saja.

Baju untuk Gus Dur memang bukan saya yang menjahit, sebab Gus Dur mempunyai penjahit langganan. Tetapi, yang memotong dan merapikan rambutnya saya sendiri. Dari dulu sampai saya kecelakaan, untuk urusan potong rambut, Gus Dur selalu mempercayakannya kepada saya. Di dalam keluarga, banyak hal yang saya bisa dan menjadi hobi saya; memasak, menjahit, memotong rambut, merangkai bunga, dll.

Hobi-hobi saya itu pernah saya ajarkan di pesantren, khususnya kepada para santri putri. Oleh karena itulah, setiap kali pergi keluar negeri, Gus Dur selalu membelikan saya buku-buku mode, bordil, merangkai bunga, dll. Gus Dur berharap buku-buku tersebut akan membuat saya senang dan pengetahuan saya tentang semua itu semakin luas dan matang.

Tradisi lebaran Idul Fitri antara Jombang dan Jakarta berbeda. Kalau di Jombang  penyajian ketupat biasanya dilakukan pada hari ke tujuh setelah lebaran, yang disebut Lebaran Ketupat. Tetapi makanan tersebut tidak disuguhkan untuk para tamu yang berkunjung ke rumah, melainkan dikirim ke sanak keluarga dan tetangga. Sementara kalau di Jakarta, ketupat dan lauk-pauknya serta kue-kue, dihidangkan pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri untuk disantap oleh tamu yang datang bersilaturrahim.

 

Tradisi Nyekar dan Sungkem

Saat saya masih kecil biasanya ada tradisi nyekar atau ziarah kubur. Ayah saya sering melakukannya ke makam kakek dan para kiyai. Tetapi beliau tidak pernah mengajak saya dan ibu, karena perempuan memang tidak lazim berada di kuburan. Apalagi kami hidup di lingkungan pesantren. Begitu pun ketika saya sudah hidup bersama dengan Gus Dur. Dia melakukan ziarah ke makam-makam para leluhurnya. Sama seperti ayah saya, Gus Dur tidak pernah mengajak saya dan anak-anak. Dia tidak pernah mewajibkan kami melakukannya.

Tradisi sungkem juga ada. Ketika masih anak-anak, di Hari Raya Idul Fitri saya bersalaman dan meminta maaf kepada ayah dan ibu. Kemudian keduanya mengajak saya untuk mengunjungi rumah orang-orang yang lebih tua dan para sesepuh. Kami bersalaman dan meminta maaf. Keakraban dan jalinan silaturrahim di kampung memang sangat kuat, antara satu dengan yang lain saling peduli, saling bersimpati dan berempati. Tidak ada seorang pun yang merasa hidup terasing dan terabaikan, atau bahkan tersisihkan karena kemiskinan.

Sesudah menikah dan hidup dengan Gus Dur, tradisi sungkem menjadi tidak penting. Kami jarang melakukannya. Saya memang bersalaman dengannya, tetapi ketika saya meminta maaf dia hanya diam saja. Tidak memberikan respon apapun walaupun sekedar mengangguk, karena menurutnya, antara suami-istri semestinya memang harus selalu saling memaafkan, meskipun tidak ada acara saling minta maaf. Tradisi sungkem dan meminta maaf hanyalah formalitas belaka. Dari dulu Gus Dur memang tidak menyukai formalitas.

Ketika Gus Dur menjadi presiden, saya dan anak-anak mencoba membiasakan sungkeman. Tetapi tetap saja Gus Dur tidak suka. Saat kami mau bersalaman, dia bilang, “Ayo cepat, cepat! Salamannya jangan lama-lama!”

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

Gus Dur soal Kasih Sayang Terhadap Sesama Manusia

Tidak ada yang pernah meragukan sifat humanisme KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sifat yang diwujudkan melalui kasih sayang terhadap semua manusia ini terus diperjuangkan Gus Dur hingga akhir hayatnya. Tulisan “Here Rest a Humanis” (di sini istirahat seorang humanis) yang terpatri di nisan Gus Dur merupakan penghargaan tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Nilai-nilai kemanusiaan yang diterapkan oleh Gus Dur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga diintegrasikan dengan nilai-nilai agama sehingga tidak kering moral. Artinya, penghargaan dan penguatan iman seseorang, apapun agamanya sejurus dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, apapun agamanya. Di sinilah Gus Dur kerap membela kaum-kaum tertindas dan terpinggirkan, baik minoritas non-Muslim maupun kelompok-kelompok tertentu.
Terkait perjuangan humanismenya ini, pada tahun 1996 di sebuah forum, Gus Dur dikritik karena kedekatannya dengan non-Muslim dan pembelaan dirinya yang kerap ditujukan kepada mereka. Si pengkritik Gus Dur tersebut mengutip ayat:
“Muhammadur Rasulullah, walladzina ma’ahu asyiddaau ‘alal kuffari ruhamau bainahum…” (Muhammad adalah Rasulullah, dan bersama beliau adalah orang yang (bersikap) keras/tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi (bersikap) ramah tamah/kasih sayang di antara sesama (Muslim)… (QS Al-Fath: 29)
Menurut si pengkritik itu, Gus Dur tidak mengikuti ayat ini sebab beliau justru terbalik, ramah tamah terhadap non-Muslim dan sering mengkritik tegas terhadap sesama Muslim.
Dalam forum yang diselenggarakan di Masjid Sunda Kelapa Jakarta itu, Gus Dur menjawab santai dan tenang seperti biasa. Menurutnya, pergaulan bisa dilakukan dengan siapa saja. Hal itu diteladankan oleh Rasulullah sendiri, bahkan Rasulullah SAW tidak pernah membenci kaum Quraisy yang kala itu masih dalam kekafiran. Gus Dur juga menegaskan, sifat kasih sayang bisa dalam bentuk ketegasan, bukan hanya dalam bentuk kehalusan dan keramahan terhadap sesama.
Dalam pernyataan yang dikutip Muhammad AS Hikam dalam Gus Dur Ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013), Gus Dur mengatakan:
“Ayat Al-Qur’an hendaknya dipahami ilmu tafsirnya. Tidak dimaknai secara harfiah. Tegas di dalam ayat 29 QS Al-Fath berarti tegas dalam keimanan, bukan dalam pergaulan. Kita sebagai Muslim (apalagi dalam kondisi mayoritas) tentu harus tetap ramah terhadap orang non-Muslim sebagai minoritas. Kalau saya sering bersikap kritis terhadap sesama gerakan Islam di Indonesia, ya karena dalam semangat ‘tawashou bil haq’. Memberikan pembelajaran internal, memang beda dengan pembelajaran keluar. Justru ‘ruhama’ atau kasih sayang itu saya ekspresikan dengan cara kritik. Kadang-kadang terdengar keras, tetapi saya tak memonopoli kebenaran seperti kebanyakan ormas dan tokoh-tokoh Islam lainnya.”
Jadi, menurut Gus Dur kalau soal iman, maka sebagai seorang pemeluk Islam yang teguh, beliau tidak ada kompromi mengenai kebenaran keyakinannya. Namun jangan menutup mata juga bahwa ajaran Islam mengenal prinsip hablun minannas atau bergaul dengan sesama manusia, apalagi sesama anak bangsa, pemilik sah negeri ini. Di sini Gus Dur tidak mau membedakan antara Muslim dan non-Muslim dalam berangkulan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan seperti yang diajarkan agama.
Nilai-nilai kemanusiaan universal yang dilakukan oleh Gus Dur juga bersifat global. Ini ditunjukkan Gus Dur di antaranya ketika terus berjuang untuk kedaulatan rakyat Palestina dari penjajahan Israel. Ini terjadi saat malam sekitar tahun 1980-an. Kal itu, Gus Dur memangku gadis kecil bernama Zannuba Arifah Chafsoh Rahman di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bukan sedang menikmati suasana malam atau pun rekreasi, tetapi sedang mengomandani amal bakti berupa penggalangan dana untuk rakyat Palestina.
Gadis kecil yang saat ini akrab disapa Yenny Wahid tersebut mengungkapkan, saat itu ayahnya mengenakan kaos bertuliskan “Palestina”. Dalam momen itu, Gus Dur menggelar pengumpulan dana dan aksi simpati terhadap warga Palestina bersama para tokoh dan sejumlah seniman, di antaranya Sutardji Calzoum Bachri. (Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa, 2017)
Simpati kemanusiaan terhadap sebuah bangsa, terutama kelompok tertindas dan lemah (mustadh’afin) adalah salah satu persoalan pokok yang menjadi perhatian Gus Dur. Apapun agama, keyakinan, bangsa, etnis, rasnya bukan menjadi pembatas bagi Gus Dur untuk melindungi mereka, baik yang di dalam negeri maupun peran kebangsaannya di luar negeri.
Peran dan pergaulannya yang luas membuat setiap orang mempunyai kesan mendalam terhadap Gus Dur. Bahkan, kasih sayangnya yang tercurah kepada semua manusia membuatnya terus dikenang oleh setiap elemen bangsa ketika dirinya telah tiada. Bahkan, Soka University Tokyo milik Soka Gakkai yang didirikan Daisaku Ikeda hingga saat ini masih menjadikan Gus Dur sebagai ikon penggerak kebudayaan modern. (Fathoni)
Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/94960/gus-dur-soal-kasih-sayang-terhadap-sesama-manusia

Gus Dur, Gus Mus, dan Jalan Cinta untuk Diplomasi Israel-Palestina

PADA 1982, di tengah gelanggang politik Indonesia yang dicengkeram rezim Orde Baru, Gus Dur—Abdurrahman Wahid—membuat manuver untuk perdamaian internasional. Ketika itu, Gus Dur mendapat amanah sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Gus Dur bersama beberapa seniman, merancang beberapa program untuk kesenian dan sastra, untuk menguatkan kebudayaan.

Sebagai Ketua DKJ, Gus Dur mendapat  banyak kritik. Terlebih lagi, ketika itu Gus Dur juga menjadi pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Langkah Gus Dur, sebagai pemimpin kaum seniman, ditentang para kiai. Argumentasi kritik yang mengalir, “Ketua Nahdlatul Ulama kok ndalang?”

Kritik ini bukan tanpa sebab. Sebagian besar kiai belum akrab dengan seniman dan sastrawan. Hanya sedikit kiai memahami alur pemikiran Gus Dur. Hanya sedikit pula, kiai-kiai yang srawung dengan seniman.

Di tengah hujan kritik, Gus Dur terus melaju. Ia bersama beberapa sastrawan, mencetuskan ide untuk menyelenggarakan Malam Perdamaian untuk Palestina. Sastrawan-sastrawan Ibu Kota tampil turut berpartisipasi, antara lain Sutardji Calzoum Bahri, Subagyo Sastrowardoyo, dan beberapa penyair lain.

Ketika itu, Gus Dur, mengundang sahabatnya, Kiai Mustofa Bisri ( Gus Mus) membaca puisi bersanding dengan beberapa penyair. Sontak saja, Gus  Mus bingung sekaligus kaget. Ia belum pernah sekalipun tampil sebagai penyair, apalagi bersamaan dengan beberapa sastrawan yang telah dikenal publik.

Oleh Gus Dur, Gus Mus diminta membaca puisi-puisi karya sastrawan Palestina. Inilah momentum yang menjadikan Gus Mus sebagai sastrawan, sebagai budayawan.

Ketika silaturahmi ke ndalem Gus Mus, saya beberapa kali mendapatkan kisah-kisah itu dalam perbicangan di hadapan beberapa tamu. Juga, kisah-kisah menarik tentang persahabatan beliau dengan Gus Dur serta pandangannya terhadap isu Israel-Palestina.

Singkat cerita, peristiwa pada 1982 itu yang mempromosikan Gus Mus menjadi ‘penyair’.

Mustofa Bisri, ketika membacakan puisinya di acara Sastra Pelataran Semarang. (Kompas.com/SLAMET PRIYATIN)

Setelah 35 tahun berlalu, Gus Mus mengulang kembali jejak Gus Dur dengan menggelar malam puisi Doa untuk Palestina, pada akhir Agustus 2017.

Agenda yang diinisiasi Gus Mus ini dihadiri beberapa sastrawan dan cendekiawan Tanah Air, seperti Joko Pinurbo, Acep Zamzam Noor, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Jamal D Rahman, Butet Kertaredjasa, Prof Dr Mahfud MD, dan Ulil Abshar Abdalla. Tampil juga Prof Quraish Shibah dan putrinya, Najwa Shihab.

Pada agenda ini, Gus Mus membacakan puisi “Orang Palestina, Begitulah Namaku”, anggitan Harun Hashim al-Rashid. Gus Mus berdampingan dengan Slamet Rahardjo Djarot, yang membacakan puisi itu secara bilingual—Arab dan Indonesia.

Jalan cinta ditempuh Gus Mus untuk menyuarakan diplomasi perdamaian dalam konflik Israel-Palestina. Gus Mus, selama ini dikenal sebagai tokoh Muslim Indonesia yang menyuarakan moderatisme Islam dan perdamaian. Dalam beberapa kesempatan, Gus Mus berkunjung ke negara-negara Eropa dan Amerika untuk mengkampanyekan pentingnya agama yang ramah dan toleran.

Kisah-kisah Islam di Indonesia dan nilai-nilai agama yang diwariskan oleh ulama, menjadi pesan perdamaian yang dibawakan Gus Mus. Diplomasi damai inilah yang selama ini dipraktikkan oleh Gus Mus dan Gus Dur.

Konflik kebencian

Manuver-manuver Gus Dur sering disalahpahami oleh publik di negeri ini. Strategi diplomasi Gus Dur dalam isu perdamaian Israel-Palestina sering dianggap sebagai lelucon.

Langkah Gus Dur yang bersahabat dengan tokoh-tokoh Israel menuai gelombang kritik. Terlebih lagi, Gus Dur juga pernah menjadi anggota The Peres Center for Peace and Innovation, yayasan perdamaian yang didirikan mantan Presiden Israel Simon Peres.

Gus Dur juga berkawan dengan tokoh-tokoh politik dan agama di Israel. Ia bersahabat dengan Presiden Yitzak Rabin. Pada 1994, Gus Dur diundang Rabin untuk melihat prosesi penandatanganan nota perdamaian Israel-Yordania. Gus Dur juga melakukan dialog dengan beberapa pemimpin agama di Israel, untuk mengupayakan perdamaian.

Ketika menjadi presiden, pernyataan perdana yang disampaikan Gus Dur dalam konteks politik luar negeri adalah membuka hubungan dagang dengan Israel. Pernyataan Gus Dur ini disampaikan pada agenda ‘Indonesia Next’ di Jimbaran, Bali, pada Oktober 1999.

Warga Palestina berjalan di dekat sebuah tanda di tembok Bethlehem yang menyerukan untuk memboikot produk Israel.(AFP/THOMAS COEX)

Langkah tersebut membuat publik terhenyak, apalagi Gus Dur juga melihat bahwa China dan India perlu dijadikan partner ekonomi dan politik Indonesia, sebagai negara Asia yang berkembang pesat.

Lalu, mengapa harus Israel? Strategi politik ini, menurut Gus Dur berdampak signifikan bagi diplomasi politik Indonesia, baik dalam ranah regional maupun internasional.

Gus Dur berupaya membenamkan musuh-musuh imajiner bangsa Indonesia, tentang profil Israel yang selama ini dicitrakan demikian negatif di ruang publik.

“Gus Dur percaya untuk menjadikan Indonesia dapat memperoleh kematangan sebagai suatu bangsa, ia harus berani menghadapi musuh-musuh imajiner itu dan mengganti kecurigaan dengan persahabatan dan dialog,” tulis Greg Barton dalam Biografi Gus Dur yang dilansir pada 2003.

Langkah-langkah Gus Dur sering disalahpahami. Gus Dur tidak semata melobi Israel, tetapi juga merangkul Palestina. Ia bersahabat pula dengan pemimpin dan tokoh Palestina.

Ada sebuah kisah tentang Gus Dur yang sangat  perhatian dengan Palestina. Pada awal 1990-an, Gus Dur sering menyuruh keponakannya, Muhaimin Iskandar, untuk membayar rekening listrik Kedubes Palestina.

Ketika itu, Gus Dur menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama serta malang melintang sebagai cendekiawan, aktivis, dan pejuang isu-isu hak asasi manusia (HAM). Muhaimin masih nyantrik kepada Gus Dur, sebagai sekretaris pribadi.

Pada saat itu, Palestina juga belum diakui dunia internasional sebagai negara yang merdeka. Gus Dur memikirkan diplomasi Palestina di tingkat internasional, sekaligus memikirkan hal teknis untuk menopang kedaulatannya. Gus Dur tidak menginginkan perang berlarut-larut antara Israel dan Palestina.

Langkah-langkah Gus Dur sering tidak dipahami oleh orang-orang yang selama ini berteriak kencang terkait isu Israel-Palestina. Gus Dur tidak setuju dengan strategi mengirimkan relawan ke Palestina, karena tidak akan menyelesaikan masalah.

Justru, menurut Gus Dur, diplomasi dan dukungan konkret di bidang politik dan kebudayaan akan lebih berdampak signifikan.

Langkah Gus Dur melakukan manuver-manuver politik untuk diplomasi perdamaian perlu dibaca dalam bingkai yang utuh. Dukungan Gus Dur terhadap Palestina dengan jalan sastra dan politik perlu menjadi pelajaran penting.

Langkah tersebut diteruskan Gus Mus untuk mengupayakan perdamaian Israel-Palestina, melalui media cinta yang berdentum universal, yaitu puisi. Saat ini, kita menunggu diplomasi cinta untuk perdamaian di negeri-negeri Timur Tengah dan dunia internasional.

Indonesia memiliki peluang dalam ruang diplomasi perdamaian ini, melalui jalur cinta, jalan kemanusiaan.

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2018/02/06/13315291/gus-dur-gus-mus-dan-jalan-cinta-untuk-diplomasi-israel-palestina

Ijtihad Kiai Nusantara

Kiai Masduqi Ali, pengasuh pesantren Babakan Ciwaringin, pernah diminta membagi harta waris keluarga Asnawi, Lebak Ciwaringin, Cirebon. Asnawi meninggalkan seorang istri dan sepuluh anak: tujuh laki-laki dan tiga perempuan.

Sebelum pembagian waris, Kiai Masduqi memisahkan dulu harta gono gini (harta yang dihasilkan suami-istri) dan membaginya secara merata (Jawa: diparoh brak, dibagi dua). Setelah itu, istri mendapat 1/8 dan sisanya diberikan pada anak-anaknya. Anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat bagian anak perempuan (li al-dzakari mitslu haddi al-untsayain).

Namun, kata Kiai Masduqi, mengingat persaudaraan (Jawa: seseduluran) lebih berharga daripada harta, maka semua anak (laki-perempuan) mendapat bagian yang sama.

Inilah ijtihad kiai-kiai Nusantara. Pertama, harta gono gini tak ditemukan dalam setting masyarakat Arab. Pada umumnya perempuan Arab berada di dalam rumah dan sepenuhnya menjadi tangggung jawab suami. Karena itu ketergantungan istri terhadap suami cukup tinggi. Dari situ lahir konsep nafkah (nafaqah). Suami wajib menafkahi istrinya sebagai kompensasi telah mengurungnya  di rumah

Dalam kehidupan masyarakat Nusantara, suami-istri umumnya bekerja bersama-sama, saling menopang satu sama lain. Sebelum era industri pun, para istri biasa menemani suaminya bekerja di luar rumah. Entah di sawah atau pun berdagang di pasar. Pola pembagian kerjanya berbeda dengan masyarakat Arab. Perempuan Nusantara tidak mengenal “domestifikasi”. Mereka lumrah dan biasa bekerja di ruang publik

Ternyata, meski tidak disebut secara eksplisit sebagai gono gini, pembagian harta gono gini bisa dibenarkan secara fiqh. Salah satunya dikemukakan Syaikh Abdrurrahman bin Muhammad bin Husain, pengarang kitab Bughyatul Mustarsyidin. Menurutnya, jika terjadi percampuran antara harta suami dan istri dan tidak bisa dibedakan, maka bisa diselesaikan dengan cara kompromi (sulh) dan saling memberi (al-tawahub) antara keduanya. Keputusan ini dikukuhkan pada waktu Muktamar NU yang pertama.

Kedua, Kiai Masduqi membagi rata bagian waris anak laki-laki dan perempuan atas pertimbangan kemanusiaan; “persaudaraan lebih berharga daripada harta benda”. Padahal teksnya (nash) sudah jelas: “li dzakari mitslu haddil untsayayn”. Apakah Kiai Masduqi telah menghianati teks? Tidak! Beliau tetap setia menyebut laki-laki bagiannya dua kali lipat perempuan. Namun, karena ada pertimbangan lain yang lebih maslahat, teks tersebut disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan realitas. Di sinilah dialog teks dan realitas itu terjadi. Teks tidak dihadirkan kaku dalam realitas yang beku, melainkan mencair bersama realitas yang terus mengalir.

Dua contoh di atas adalah bentuk kreativitas kiai Nusantara dalam mendakwahkan Islam di Nusantara. Dalam kaidah fiqh disebut “al-adah muhakkamah” (adat istiadat/tradisi bias dijadikan hukum). Kaidah ini diambil dari sebuah hadis Nabi, “Ma ra’ahu al-muslimuna khair fa indallah wa rasulihi khair (sesuatu yang menurut orang muslim baik/maslahat, maka baik juga menurut Allah dan rasulNya. Di sinilah common sense atau “akal publik” berlaku. Karena, sebagaimana dikatakan Nabi, mustahil semua orang bersepakat dalam kesesatan, “la tajtami’u ummati ala dalalah” (umatku tak mungkin bersepakat dalam kesesatan).

Jadi, Kiai Masduqi tidak sedang mengada-ada. Tindakan dan keputusan beliau tentu berdasar pada argumentasi yang kuat dan kokoh.

Kiai Masduqi bukanlah kiai sembarangan. Beliau murid langsung Hadratu Syaikh Kiai Hasyim Asyari. Di samping sebagai sekretaris pribadi, beliau pernah menjabat kepala Pondok Tebuireng.

Saat melayat kepergian Kiai Masduqi, Gus Dur berpidato bahwa Kiai Masduqi adalah tokoh yang berjasa memasukkan sistem madrasah ke pondok pesantren-pondok pesantren. Sepeninggal Kiai Ilyas Rukyat, Gus Dur sudah berniat mengangkat beliau sebagai Syuriah PBNU, tapi Allah SWT terlebih dulu memanggil kekasihNya itu. Wallahu Alam bi Sawab. [Jamaluddin Mohammad]

NU, PALESTINA, DAN YAMAN

NU lahir merespon sekurang-kurangnya atas tiga hal, yaitu: kolonialisme, gerakan puritanisme Wahabi yang akan meratakan makam Rasulullah dan situs-situs bersejarah, dan identitas keislaman dan keindonesiaan.

NU sebagai gerakan anti-kolonialisme, ditandai dengan sikap patriotisme para kiyai dan santri dalam menghadapi kolonialisme. Dan klimaksnya adalah dikeluarkannya “Resolusi Jihad” oleh Hadzratu Syekh Hasyim Asy’ari.

Di saat makam Rasulullah dan situs-situs Islam akan diratakan rezim Wahabi Saudi, NU mengutus Romo KH. A. Wahab Chasbullah ke Saudi menyampaikan protes keras atas rencana tersebut dan menuai hasil: sampai sekarang makam Rasulullah masih terjaga.

Dan bagaimana hubungan NU, Palestina, dan Yaman? Perlu dijelaskan satu persatu hubungan NU dengan Palestina dan NU dengan Yaman.

NU DAN PALESTINA
Sebagaimana pada umumnya umat Islam dari berbagai mazhab, NU sangat memuliakan Masjidil Aqsha Palestina. Kemuliaan Palestina berdasarkan keyakinan akan Kisah Isra-Mi’raj Rasulullah dari Masjidil Aqsha yang diimani, dan pada masa Islam awal umat Islam menghadap kiblatnya ke Masjidil Aqsha yg kemudian direvisi kiblatnya ke Masjidil Haram.

Pasca pendudukan Israel atas tanah Palestina, NU adalah ormas yang dengan lantang memprotes tindakan Israel dan menggalang solidritas untuk Palestina. Tepat pada 12-15 Juli 1938 M/13 Rabiuts Tsani 1357 H dalam Muktamar NU ke-13 di Menes-Pandeglang Banten, Romo KH. A. Wahab Chasbullah secara resmi menyampaikan sikap NU atas penderitaan Palestina dengan mengatakan, “Pertolongan-pertolongan yang telah diberikan oleh beberapa komite di tanah Indonesia ini berhubung dengan masalah Palestina, tidaklah begitu memuaskan adanya. Kemudian guna dapat mencukupi akan adanya beberapa keperluan yang tak mungkin tentu menjadi syarat yang akan dipakai untuk turut menyatakan merasakan duka cita, sebagi perhatin dari pihak umat Islam di tanah ini. Atas nasib orang malang yang diderita oleh umat Islam di Palestina itu, maka sebaiknyalah NU dijadikan Badan Perantara dan Penolong Kesengsaraan umat Islam di Palestina. Maka pengurus atau anggota NU seharusnyalah atas namanya sendiri-sendiri mengikhtiarkan pengumpulan uang yang pendapatannya itu terus diserahkan kepada NU untuk diurus dan dibereskan sebagaimana mestinya”.

Pada tahun 80-an, Gus Dur bersama Gus Mus dan para seniman/budayawan mengadakan pembacaan puisi Doa untuk Palestina, sebagai penggalangan solidaritas untuk Palestina melalui strategi kebudayaan dan kultural. Dan pada tahun ini, 2017, Gus Mus mengadakan acara yang sama berama budayawan Taufik Ismail, Sutarji, Habib Quraisy Shiab, Adul Abdul Hadi, KH. Ulil Abshar Abdalla, Fatin Hamama, dan lain lain., pada saat Palestina memanas.

Pada tahun 90-an, Gus Dur yang dipercaya sebagai presiden gama-agama dunia melakukan komunikasi dan pergaulan di tingkat internasional untuk perdamaian Palestina.

Pada tahun 2017, KH. Makruf Amin selaku RAIS AM PBNU, mengajak umat Islam untuk bersama sama menggalang solidaritas untuk Palestina.

Jadi NU dalam sejarah sangat peduli dengan nasib Palestina. Karena Palestina adalah saudara. Palestina terluka, kita pun merasakan sakit.

NU DAN YAMAN
Hubungan NU dan Yaman sudah berlangsung lama. Secara tradisi keberagamaan NU dan Yaman memiliki banyak kesamaan: sama-sama pecinta bid’ah hasanah. Belakangan, banyak kader pesantren NU yang dikirim belajar di pesantren yang da di Hadramaut-Yaman.

NU juga menjadikan kitab Bughyatul Mustaryidin, anggitan Syekh Abdurrahman Ba’alwi, Mufti Yaman Pada abad 19, sebagai kitab yang absah dirujuk/mu’tabarah. Dalam kitab itu ada fatwa bahwa ardhun Jawa (baca; Indonesia) adalah dar al-Islam. Dan di kitab itu juga terdapat konsep waliyul amri dharuri bisy syaukah–juga di kitab-kitab yang lain–dan konsep ini dijadikan argumentasi keagamaan NU untuk Presiden Soekarno pada Muktamar NU di Purwokerto 26-29 Maret 1946.

Saat ini Yaman sedang diserang Arab Saudi (AS) dan sekutunya. AS lahir karena mendapatan dukungan kolonial Inggris. Sudah besar menjadi negara kolonial dengan memberikan pangkalan militer USA, mendukung invansi USA pada Irak dengan dalih adanya Senjata Pemusnah Massal (yang ternyata yang ada pembohong massal) dan belakangan menyerang Yaman. Krisis Timur Tengah pun tak lepas dari peran AS.

NU lahir dan besar sebagai kekuatan anti-kolonialisme. Tentu saja tidak setuju dan bahkan mengutuk upaya penjajahan melalui kekerasan dan peperangan yang sedang dipertontonkan AS.

Penderitaan Yaman adalah derita kita. [Mukti Ali Qusyairi]