Pos

Merebut Tafsir: Bias dan Prasangka

Oleh Lies Marcoes

Dari refleksi pengalaman hidup orang dapat mengenali bagaimana bias dan prasangka di dalam pikiran dan tingkah laku bekerja.


Ketika menjadi asisten peneliti Martin van Buinessen di Bandung, saya mendapatan pertanyaan yang mengherankan tentang mengapa program KB begitu populer di daerah penelitian kami di Sukapakir. Meskipun fenomena yang ditanyakan itu benar adanya, saya bertanya balik dari mana kesan itu ia peroleh. Rupanya hampir setiap hari ia menguping pembicaraan para tetangga, mereka sering bicara KB, bahkan dalam percakapan sehari-hari. Usut punya usut ia memaknai kata “ kabeh” (semua- dalam bahasa Sunda/Jawa) yang ia sangka sebagai kata KB. Kecurigaan itu relevan di mata seorang peneliti karena program pemerintah dalam sosialisasi KB gencar sekali. Dan penelitian ini memang untuk mengamati perubahan-perubahan sosial ekonomi di kota yang berdampak kepada pemiskinan. Di negara-negara miskin lain seperti di India, Amerika Latin, program family planning merupakan salah satu pil ajaib yang dibayangkan para ahli pembangunan sebagai obat mengatasi kemiskinan: mengurangi pelahap kue pembangunan.

Ketika menjadi asisten Julia Suryakusuma, saya mendapat kesimpulan yang sangat menarik dari para perempuan informan kami tentang perbedaan “pangkat” antara saya dan Julia. Salah satunya mereka nilai dari model sepatu boot yang kami gunakan. Punya Julia lebih tinggi dan berwarna hijau pupus mirip seragam tentara, sepatu boot saya lebih pendek warna hitam seperti sepatu anak sekolah. Tapi yang lebih mengherankan, mereka menafsirkan kepangkatan itu dari asesoris yang kami gunakan. Telinga Julia ketika itu ditindik tiga lubang sehingga ia menggunakan subang/ suweng tiga, sementara saya pakai satu pakai suweng kecil. Cara baca mereka tentang kepangkatan cocok belaka dengan alam pikiran para penyadap karet itu. Kehidupan sehari-hari mereka sebagai buruh kecil selalu berhadapan dengan hierarki sosial yang bertingkat-tingkat sangat tajam dan berimplikasi kepada kehidupan mereka: mandor kebun, kepala kebun, asisten kepala kebun, kepala pengepul, kepala kantor (ADM), sampai pemilik yang mereka sebut nyonya atau tokeh. Demikian juga dalam kehidupan sehari hari: ada menak, ada aden, dan seterusnya. Dalam kehidupan sehari-hari yang senantiasa berhadapan dengan sistem hierarki yang menentukan bagaimana cara mereka berbicara dan bertingkah laku sangat masuk akal mereka mengenali kami, pendatang dari luar dengan cara pandang kepangkatan.

Pengalaman lain ketika saya mengajak kyai Husein Muhammad menjadi bagian dari program fiqh an-Nisa. Salah satunya kami membahas isu kesehatan dan gangguan reproduksi dan kami berdiskusi dengan ibu-ibu di pesantren Cipasung. Dengan sangat serius Pak Kyai Husein menyajikan makalah berdasarkan bacaannya dari sejumlah kitab dalam tradisi Syafii bab haidl. Berdasarkan bacaanya, beliau menjelaskan ciri-ciri darah haidl untuk dibedakan dengan darah penyakit. Menurut referensi yang beliau baca (bukan tanya istri) darah penyakit dan dahar haidl dapat dibedakan dari warna dan jangka waktu keluarnya haidl. Ketika kyai menjelaskan darah penyakit dengan karakter “waktu” keluarnya darah susulan setelah masa haidl seharusnya selesai, seorang peserta bertanya” apakah menurut pak kyai kita bisa merasakan darah haidl keluar sehingga dapat mengenali batas waktunya selama 24 jam. “ “Saya pikir begitu, bukankah kalian bisa merasakan haidl itu kapan keluar dan berhenti seperti mau kebelet pipis”, ujar Kyai Husein. Dan meledaklah tawa seisi ruangan. Dari pengalaman itu Pak kyai Husein mendapatkan pelajaran maha penting soal betapa biasnya pengetahuan agama yang disusun oleh para lelaki yang sok tahu atas pengalaman perempuan.

Banyak bias dan prasangka yang saya sendiri alami dan rasakan. Dan itu selalu hadir setiap saat utamanya dalam perjumpaan-perjumpaan sosial.

Kami sekeluraga memiliki sahabat yang sudah seperti keluarga, mereka adalah pasangan gay dari Belanda. Hampir dua tahun sekali mereka tinggal di rumah, seperti tahun lalu. Setelah mereka pulang segera saya tutup kamar sebelum dibersihkan ART. Saya khawatir ada tanda-tanda yang membingungkan ART terkait dengan perilaku seksual mereka. Hari sebelumnya ART ABG rumah kami mendapati salah satu pasangan lehernya merah merah secara sangat menyolok. Dia mengatakan, “Itu Om Mak masuk angin”. Karenanya saya memeriksa kamar dengan seksama sebelum ART membersihkan kembali. Di rak kamar mandi saya melihat sebuah benda sebesar botol kecap kecil. Bagian ujung benda itu berbentuk lancip lembut menyerupai ujung corong air ukuran kecil. Di ujung lain ada alat pompa. Otak mesum saya langsung berpikir ini adalah alat untuk mengisi lubrikan, dan saya pun sms ke mereka mumpung belum terlalu jauh. Tapi mereka katakan itu bukan benda milik mereka. Kamar itu adalah kamar tamu yang biasa diisi bergantian oleh anak-anak kalau libur. Saya pun sms mereka. Anak perempuan saya membalas “ O itu pompa balon Ma, kemarin pinjem untuk ultah.”

Aiiih ini sebenarnya siapa sih yang punya otak mesum? Tiap diri niscaya punya bias dan prasangka, tapi pengetahuan bisa memupusnya!