Pos

POLITIK KESALEHAN DAN FEMINISME

Saba Mahmood, Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject (2005).
Saba Mahmood adalah salah satu pemikir sosial yang paling berpengaruh dari 20 tahun terakhir, khususnya dalam bidang antropologi, studi Islam, dan kajian feminisme. Dalam buku klasiknya, Politics of Piety, ia menggunakan penelitian etnografis dengan berbagai kelompok perempuan salehah di Kairo, Mesir untuk menyajikan otokritik terhadap ideologi dominan deperti sekularisme, liberalisme, dan feminisme. Konsep dan teori yang dikembangkan dalam buku ini seperti “self-cultivation” dan “embodiment” semakin sering digunakan dalam bidang antropologi zaman now.
Oleh Sawyer Martin French

Politics of Piety
, karya Saba Mahmood yang pertama diterbitkan tahun 2005, adalah salah satu karya akademik paling penting dan berpengaruh dalam abad ke-21. Tak terhitung berapa banyak bidang keilmuan dan aliran pemikiran sosial yang turut terguncang akibat kritik dan argumen yang dilancarkan Mahmood dalam buku ini, termasuk studi gender, studi sekularisme, antropologi, studi Islam, studi pasca-kolonial, serta gerakan feminis sendiri.
Karya ini merupakan analisis terhadap penelitian etnografis yang dilakukan oleh profesor kelahiran Pakistan itu selama tinggal di Kairo, Mesir. Mahmood meneliti sebuah fenomena yang ia sebut sebagai “gerakan kesalehan perempuan” (women’s piety movement), yang adalah bagian dari “gerakan kebangkitan Islam” (Islamic revival) secara global. Sejak tahun 1980-an, hampir seluruh dunia Islam sudah melihat perkembangan gerakan ini, yang melawan hegemoni sekularisme dan menawarkan visi bagi bangkitnya Islam yang kaffah sekaligus moderen, seperti terlihat dengan gerakan yang sering disebut “hijrah” di Indonesia pada tahun-tahun terakhir.
Ada dua konsep/teori yang sangat penting dalam buku ini, yang sering dirujuk dan terus dikembangkan oleh akademisi lain. Konsep-konsep ini antara lain adalah:
  • Pious self-cultivation, yang merupakan paradigma di mana pribadi yang agamis memiliki keinginan untuk membina dirinya untuk menjadi lebih taat dan saleh. Berbeda dari sudut pandang sekular di mana “diri” (self) adalah sumber kehendak dan kebenaran seseroang, dalam pious seld-cultivation “diri” adalah hal yang bisa diolah dan dikembangkan ke arah tertentu melalui berbagai praktek dan disiplin.
  • Embodiment adalah fokus pada tubuh sebagai ranah perwujudan dan peraihan norma, bukan sekedar alat untuk menunjukkan sebuah sifat terpuji (virtue). “Tubuh bukan kanvas simbolisme saja, namun juga bahan dan alat pokok dalam pembentukan diri-tubuh (embodied subject)” (29). Paralel dengan konsep pious self-cultivation, tubuh–dalam konsep ini–dapat jadi medan sekaligus sarana untuk perkembangan diri.
Kedua konsep di atas ini sudah menjadi kerangka dominan dalam kebanyakan literatur antropologi agama yang baru, khususnya dalam antropologi Islam.
Dalam kata pengantar, Mahmood merenungkan jalan hidupnya sendiri sebagai aktivis feminis dari Pakistan. Ia memberi otokritik terhadap sikap sekular-liberal yang kerapkali menjadi landasan bagi gerakan “progresif” dan rentan meminggirkan dan meremehkan pengalaman dan sistem nilai yang dianut orang-orang beragama, termasuk perempuan. Padahal sebenarnya ia juga mengakui bahwa ada banyak kemajuan yang sudah diraih di negara-negara di Timur Tengah sebagai hasil dari berbagai gerakan dan partai Islamis yang sering memperjuangkan demokrasi dan melawan negara otoriter. Tapi, menurut Mahmood, orang-orang Muslim saleh tetap cenderung dihina oleh kalangan progresif karena sikapnya yang sekuler dan yakin dengan kebenaran sekularisme. Ia menawarkan buku ini sebagai upaya yang tulus untuk memahami kesalehan para “ukhti-ukhti” tanpa adanya pamrih, rasa superioritas, maupun niat meremehkan. Ia menegaskan, “Kita tidak bisa lagi berasumsi bahwa cara hidup yang sekuler beserta nilai-nilai progresif dari sekularisme merupakan satu-satunya jalan yang benar untuk memberi makna kepada kehidupan ini” (xi-xii).
Di sini, Mahmood memberi analisis yang memang sangat klasik dalam tradisi antropologi, yaitu “membuat yang asing terasa biasa, dan membuat yang biasa terasa asing” (making the strange familiar and the familiar strange). Artinya, para antropolog sudah lama memberi otokritik terhadap wacana yang dominan dalam masyarakatnya dan sering menggunakan budaya asing sebagai cermin untuk menyelidiki dan mengguncangkan ideologi hegemonik. Mahmood meneruskan tradisi kritis ini dengan mencoba membongkar asumsi-asumsi feminis-sekuler tentang citra pribadi perempuan Muslim yang salehah.
Dalam Bab 1, Mahmood memaparkan berbagai kritik dan argumen yang ingin dikemukakan dalam buku ini. Ia memang terkenal di antara para antropolog akan tulisannya yang sangat padat dengan pembahasan teoretik, dan kadangkali ia dikritisi karena bagian etnografisnya agaknya kurang muncul. Di sini, akan saya coba menggambarkan berbagai argumennya dalam bab ini secara terinci, karena isi bab ini memang tidak bisa diliputi dengan ringkas.
Pertama-tama, Mahmood menjelaskan bahwa ia ingin memberi alternatif terhadap beperapa pengertian utama yang sering dipakai untuk menjelaskan kedudukan perempuan dalam gerakan-gerakan Islamis. Salah satunya adalah teori “kesadaran palsu” (false consciousness) yang melihat para perempuan salehah itu sebagai orang-orang yang tidak punya kepribadian, yang terbius oleh ideologi yang sebenarnya menindasnya. Bersama dengan perspektif ini, ada pula asumsi dalam wacana liberal bahwa ada sesuatu yang naluriah pada jati diri perempuan yang seharusnya membuatnya menolak keterkungkungan yang kerap dicitrakan sebagai keadaan Muslimah yang salehah (2). Berlawanan dengan narasi tentang “kesadaran palsu,” ada juga tulisan-tulisan yang membela perempuan-perempuan Muslim dengan menekankan bagaimana mereka juga rasional atau memiliki perlawanan (dalam pengertian liberal). Mahmood menjelaskan bahwa ia tidak ingin ikut campur dalam kedua tren tersebut yang sama-sama bertolak dari landasan asumsi-asumsi liberal. Melainkan ia justru “berusaha untuk menganalisis pengertian tentang kepribadian, agensi moril, dan politik yang melandasi amalan orang-orang dalam gerakan yang tidak liberal ini, supaya bisa memahami proyek-proyek historis apa saja yang menghidupkannya” (5). Mahmood bukannya menuju ke arah rekonsiliasi antara Islamisme dan liberalisme, tapi alih-alih justru memperlihatkan perbedaannya dan berusaha menggambarkan sifat-sifat gerakan ini pada dirinya tanpa mengindahkan penilaian liberalisme sama sekali.
Di sini kita bisa melihat bahwa Mahmood mengambil pendekatan “genealogi” (genealogy), yang dimasyhurkan oleh Michel Foucault (w. 1984) yang diteruskan dalam bidang antropologi oleh Talal Asad (mentor akademik Mahmood) dan dalam studi gender oleh Judith Butler. Pendekatan genealogi ini tidak melihat persoalan secara normatif, dan justru melihat norma-norma sebagai hasil sejarah yang biasanya diwariskan turun-menurun lewat wacana yang berwibawa dan lembaga yang berkuasa. Terkadang, norma-norma tersebut berubah dalam pergeseran kuasa dan wacana dalam sejarah. Mahmood ingin menyelidiki norma-norma yang berlaku dalam gerakan Islamis, bukan untuk mempromosikan, meyakini, atau mengamalkannya, tapi untuk melihatnya sebagai hasil dari “proyek historis.” Hal ini sama adanya dengan norma-norma liberal. Maka, buku ini merupakan upaya untuk membandingkan kedua ideologi itu dan melihat kedua-duanya dengan lebih jernih.
Mahmood juga melawan pemahaman tentang agensi (agency) yang menganggap bahwa seorang individu adalah asal dan penentu tindakannya. Sering ada karya-karya akademik yang mencoba mengidentifikasi unsur-unsur yang liberatif dalam kehidupan perempuan yang sering dianggap tertindas dan cara-cara mereka menunjukkan kepribadiannya. Mahmood kurang setuju dengan tren ini karena dengan memusatkan agensi, pendekatan ini membenarkan konsepsi atas kehidupan yang terbelah antara kuasa yang mengatur dan menindas dan agen-agen yang melawan. Pengertian ini adalah bagian dari liberalisme, yang menempatkan segala potensi untuk kebebasan pada agensi individu yang mandiri sekaligus menggambarkan segala pembatasan atas kebebasan manusia sebagai penindasan (7). Dalam perspektif liberal ini, seorang Muslimah yang menunduk kepada suaminya menjadi dipandang sebagai ditindas, dan justru ikut serta dalam penindasan dirinya seakan-akan ada cacat dalam agensinya.
Pandangan demikian berasal dari obsesi liberalisme dengan kebebasan, di mana pandangan bahwa kehidupan yang baik (yang tidak layak dikasihani) ialah di mana seorang individu dapat mencapai “kehendak sejati” (true will) yang ada dalam diri (11). Perspektif individualis ini memang bertolak belakang dengan kehidupan berkomunitas (13). Karya akademik yang bertolak dari asumsi ini memang hanya bisa menanggapi perempuan-perempuan salehah dengan meremehkannya karena terbius atau membelanya dengan mencoba menunjukkan bahwa mereka sebenarnya rasional atau justru melawan. Namun, fokusnya tidak pernah lepas dari kebebasan individu.
Sebagai alternatif, Mahmood ingin menghilangkan obsesi akademik dengan agensi individu sebagai sumber perlawanan. Menurutnya, perempuan-perempuan salehah di Mesir yang ditelitinya malah lebih bersemangat untuk meraih norma-norma yang mereka warisi, pelajari, dan amalkan ketimbang untuk untuk melawannya atau menjadi “bebas.” Tapi, sama halnya juga dengan orang-orang liberal, karena bukannya mereka lebih tercerahkan atau rasional tapi mereka juga hidup dalam dunia normatif (sekuler-humanis) yang diwarnai oleh warisan-warisan sejarah Barat dan segala pertarungannya. Dalam konsepsi ini, relasi kuasa bukan sekedar ranah penindasan, tapi sebenarnya merupakan asal-muasal segala bentuk subjektivitas, norma, dan makna dalam kehidupan manusia. Begitu memang Mahmood mengecilkan peran agensi dan lebih menekankan pentingnya tradisi, wacana, dan disiplin dalam dinamika dunia sosial. Kita semua dibentuk oleh dunia sosial kita (lagi-lagi terlihat pengaruh Foucault, Asad, dan Butler dalam argumen ini).
Sesuai dengan argumen di atas, bagi Mahmood pewarisan norma itu bukan sesuatu yang hanya dipaksakan dari luar, tapi sesuatu yang turut dibentuk dan diperkuat oleh perilaku orang-orang yang hidup dalam dunia normatif tersebut. Konsep “perfomativitas” (performativity) ini ia dapatkan dari Judith Butler, di mana proses kita menampilkan diri atau berperilaku tertentu adalah cara dihidupkannya dan dilestarikannya norma-norma yang ada. Dalam kasus Mesir, Mahmood menunjukkan bukan hanya bahwa kehidupan para perempuan salehah diwarnai oleh tradisi Islam yang diwarisinya dan dipelajarinya (yang Foucault sebut “subjektifisasi”), tapi juga bahwa amal saleh mereka terus menjadi sarana untuk menghidupkan norma-norma itu dalam masyarakat.
Sesuatu yang ditekankan Mahmood adalah pentingnya tubuh sebagai ranah kesalehan bagi para perempuan salehah, sekaligus sebagai sarananya (ingat konsep embodiment). Menurutnya, para Islamis punya pemaknaan atas tubuh yang jauh berbeda dari (dan sering disalahpahami oleh) orang-orang sekuler. Misalnya dalam norma rasa malu (haya) sebagai sifat terpuji bagi perempuan, lebih khususnya dalam kasus jilbab. Menurut logika sekuler, jilbab hanya selembar kain saja, dan yang lebih penting adalah rasa malu yang ada dalam hati seorang individu. Jilbab hanya sekedar perlambang. Nah, tapi dalam logika Islam, menurut Mahmood, pakaian merupakan cara yang penting untuk membentuk kesalehan dalam hati. Sikap atau kecenderungan (disposition) bukan hanya sesuatu yang murni yang terletak dalam hati nurani setiap individu (seperti dalam pandangan sekularisme), tapi adalah hal yang bisa dibentuk oleh amalan yang dibiasakan. Begitu para perempuan salehah Mesir berusaha mengembangkan rasa malu yang dicitakannya dengan terus-menerus memakai jilbab terlepas dari apakah dalam hati mereka sudah memang punya rasa malu atau haya. Dalam paradigma mereka, etika bukan sesuatu tentang “menemukan kehendak yang sejatinya (true desires)” dalam dirinya, tapi upaya untuk “mendekati teladan (exemplary model) untuk pribadi yang saleh” (31).
Judul buku ini menggarisbawahi bahwa gerakan kesalehan seperti yang ditelitinya mengandung unsur politis. Karena (tanpa sengaja atau disadarinya), para ukhti-ukhti ini menantang paradigma-paradigma yang dominan dalam dunia sekuler (termasuk wacana publik di Mesir).
Mahmood mengakhiri bab pertamanya ini (iya, ini memang semua masih dari bab 1, padat sekali kan?) dengan mengaitkan argumennya dengan konteks War on Terror pasca-9/11 di mana Amerika sering menggunakan retorika feminisme dan “pembebasan” perempuan sebagai alasan untuk menyerang, menyerbu, dan mengebom negara-negara Muslim–terutama dalam pendudukan Afghanistan dengan wacana tentang burqa atau cadar dan penindasan para perempuan Afghan di bawah rezim Taliban. Tapi dalam buku ini Mahmood menunjukkan bahwa untuk banyak perempuan Muslim, “kebebasan” bukan sebuah ideal, sedangkan wacana liberal menganggap itu sebagai nilai yang universal. Mahmood bertanya dengan sarkastik: “Apakah kita rela mendukung penggunaan kekerasan demi merekonstruksi struktur kebudayaan dan etika hanya supaya perempuan-perempuan salehah seperti yang saya teliti bisa diajarkan untuk menghargai konsep ‘kebebasan’?” (38).
Bab 2 memberi lebih banyak informasi tentang konteks penelitian etnografis Mahmood, yang terpusat pada tiga masjid di Kairo di daerah dengan ciri ekonomi yang beda-beda, dengan fokus khusus pada pengajian perempuan (semacam majelis taklim) yang sering berkumpul di dalamnya. Majelis ini menjadi medan utama untuk gerakan kesalehan perempuan yang mulai muncul pada tahun 1980an. Ia tulis bahwa tema besar dalam gerakan ini adalah perlawanan terhadap dominasi sekularisme dalam masyarakat Mesir, yang membuat agama seperti sekedar tradisi saja, bukan sebuah cara hidup yang kaffah (44). Gerakan ini bukan gerakan politik yang ingin menerapkan syariat Islam dalam hukum negara, tapi lebih kepada berdakwah untuk mempromosikan nilai dan praktik kesalehan dalam masyarakat sendiri (46).
Mahmood juga mengkontekstualisasikan fenomena ini dalam sejarah pemikiran Islam moderen, di mana “dakwah” sudah menjadi tekanan besar dalam wacana Islam populer (62). Begitu juga muncul banyak pendakwah perempuan (da’iyah). Mahmood tegaskan bahwa para da’iyah secara umum tidak berusaha untuk melawan patriarki, tapi lebih menpromosikan dan mempertahankan norma-etika yang tradisional. Proyeknya bukan “pembebasan” atau “kesetaraan,” tapi pembangunan pribadi menuju teladan profetik (sunnah). Bagi gerekan ini, “kebaikan” (virtue) lebih terletak di situ.
Dalam Bab 3 Mahmood memberi tiga gambaran etnografik untuk tiga kelompok pengajian di Kairo. Pertama-tama, ia mencatat bahwa para da’i moderen naik daun seiringan dengan menurunnya pengaruh para ulama tradisional, yang mencerminkan sebuah pergeseran populer dalam struktur otoritas keagamaan (82). Tapi menurut Mahmood ini bukan pergeseran total, karena para da’i (dan da’iyah) tetap merujuk kepada tradisi Islam bersama ajaran dan nilainya yang tradisional.
Bab ini juga memperlihatkan perbedaan dalam pendekatan beragama menurut posisi kelas. Guru pengajian pada masjid di daerah kelas menengah ke atas lebih menekankan hak (kebebasan) individu untuk memilih di antara berbagai fatwa, sedangkan pengajian di daerah miskin jarang-jarang guru pengajian memberi lebih dari satu pendapat dalam isu fikih (88-89). Tapi Mahmood juga ingin melawan konsep tentang “Islam rakyat” (folk Islam) yang menganggap bahwa keislaman kaum elit lebih dekat dengan tradisi ortodoks daripada keislaman rakyat, dan mencoba menunjukkan bagaimana seorang da’iyah miskin tak berpendidikan tetap merujuk kepada tradisi Islam yang otoritatif dalam pengajian yang dibawanya (92).
Mahmood juga menjelaskan bahwa salah satu hasil dari gerakan pengajian ini adalah bahwa orang awam (termasuk perempuan) semakin akrab dengan nalar fikih yang tradisional, maka bisa digunakannya untuk menelaah masalah baru dalam kehidupannya (103). Yang paling sering diperdebatkan ialah perihal etis seputar interaksi antara perempuan dan laki-laki, karena para perempuan salehah ini benar-benar ingin mengerti bagaimana mereka bisa menjaga kesalehannya dalam dunia moderen (112).
Pada akhir bab ini, Mahmood merujuk kepada konsep Talal Asad yang melihat Islam sebagai “tradisi wacana” (discursive tradition) yang diwarisi dengan struktur otoritas tertentu dan turut mengatur klaim-klaim atas kebenaran dengan kriteria yang turun-menurun dalam tradisi tersebut. Maka pengajian-pengajian yang digambarkannya dalam bab ini (walaupun sangatlah moderen) merupakan ranah reproduksi discursive tradition tersebut (115). Dalam pendekatan teoretis ini, kita bisa melihat para pegiat kesalehan dan pembela patriarki bukan sebagai “individu yang bebas berkehendak yang memperalatkan tradisi untuk kepentingannya sendiri” (115-16), tapi lebih sebagai orang-orang yang kehidupan normatifnya senantiasa dibentuk oleh warisan tradisi.
Bab 4 menggarisbawahi perbedaan fundamental antara gerakan kesalehan dan yang mengkritiknya dari sudut pandang sekuler mengenai kedudukan ritual dalam kehidupan beragama. Mahmood menegaskan bahwa kita harus peka terhadap paradigma embodiment dalam gerakan ini, di mana (seperti diterangkan di atas) tubuh dan hal-hal fisik (seperti jilbab) bukan hanya pertanda yang simbolis dan dangkal (superficial) (119). Akan tetapi:
“Gerakan, gaya, dan ekspresi formal [seperti salat] yang mewarnai hubungan seseorang dengan sebuah kode moral [seperti syariat] bukan hanya tambahan eksternal [di atas landasan yang internal] tapi sarana pokok dalam sebuah jenis hubungan yang dikembangkan di antara pribadi dengan struktur otoritas sosial, serta di antara keadaan dan keinginan seseorang dengan upaya yang dikerjakan atas diri sendiri untuk mewujudkan sebuah model kepribadian tertentu [seperti kesalehan]” (120).
Artinya amalan fisik seperti salat atau penggunaan jilbab bukan hanya manifestasi dari kesalehan di dalam hati atau simbol untuk politik indentitas Islam, tapi merupakan sarana dan upaya untuk mengembangkan kesalehan dalam diri.
Di sini Mahmood mengutip Aristoteles tentang “habitus” atau kebiasaan yang “dikembangkan lewat praktek yang rajin sampai mengakar dalam karakter seseorang dan tak tergoyahkan lagi” (136). Jadi dalam perspektif ini, karakter seseorang bukan jati diri yang alami, tapi hasil pembentukan yang bisa sengaja diperjuangkan untuk menuju sebuah ideal. Mahmood mengutip Ira Lapidus bahwa pandangan Aristotelian ini mempengaruhi pemikiran Islam sehingga konsep “habitus” ini menjadi paradigma utama dalam teori adab-akhlak seperti dalam karya al-Ghazali dan Ibnu Khaldun (137). Pendekatan ini lah yang disebut pious self-cultivation, atau pengembangan diri menuju kesalehan.
Mahmood mencatat bahwa para ukhti-ukhti ini sering dikritik bahwa keagamaannya tidak tulus (sincere) dan sangat dangkal, karena lebih menekankan rupa fisik daripada spiritualitas. Kritik ini menunjukkan prasangka bahwa keagamaan yang tepat terletak “dalam kehidupan internal sang individu” (147). Sedangkan dalam paradigma habitus atau pious self-cultivation, ini tidak masuk akal: seorang tidak mungkin dapat menunggu sampai keadaan internalnya sudah saleh sebelum menunjukkan kesalehannya dalam bentuk eksternal (dengan berjilbab misalnya), karena justru praktek-praktek eksternal itu yang menjadi sarana untuk pengembangan kesalehan dalam diri. “Perbuatan bukan hasil dari perasaan yang fitri tapi justru asalnya” (157).
Bab 5 membandingkan gerakan ini dengan pendekatan feminis sekuler terhadap agensi (agency). Lagi-lagi Mahmood menentang asumsi feminis bahwa jenis perempuan yang hidup dalam patriarki hanya ada dua: yang melawan (resistance) dan yang terbius (false consciousness). Konsep agency biasanya hanya diidentikkan dengan yang pertama. Mahmood menegaskan bahwa mereka yang berusaha menjadi perempuan salehah bisa hidup dalam sistem nilai yang sama sekali berbeda dengan etika sekuler (kebebasan):
“Cukup lah di sini dikatakan bahwa praktik-praktik para perempuan salehah seperti rasa malu dan peran gender yang tradisional bagi perempuan bukan pertanda atas rendahnya kedudukan perempuan dalam wacana Islam, tapi memperlihatkan sebuah wacana yang positif dan menyeluruh tentang eksistensi manusia dalam dunia ini” (160).
Maka agency dapat ditemukan dalam perjuangan perempuan-perempuan ini, walaupun mereka tidak melawan otoritas. Mahmood menunjukkan bahwa wacana Islami mengenai “kesabaran” merupakan sebuah jenis agency, walaupun biasanya dianggap bentuk pasif terhadap masalah yang dihadapi (174). Mahmood juga membahas beberapa kasus di mana para perempuah salehah ini merujuk kepada tradisi dan norma-norma Islam untuk menentang laki-laki seperti suaminya. Tapi lagi-lagi ini bukan “perlawanan” demi kebebasan seperti yang diidam-idamkan kaum feminis sekuler, tapi perjuangan untuk menuju kesalehan (179). Karena bagi Mahmood agency bukan sesuatu yang alami pada kodrat manusia (yaitu universal), tapi selalu terstruktur oleh wacana yang otoritatif pada zaman dan tempat tertentu.
Pada Epilog-nya, Mahmood merenungkan arti kata “politis,” dan menyimpulkan bahwa, jika cara hidup yang tradisional sudah terancam oleh aparat negara moderen, maka gerakan yang berusaha untuk mempertahankan tradisi etika tersebut akan selalu terkesan (dan memang bersifat) politis (193).
Di samping isi teoretis dan etnografis yang sangat kaya dalam buku ini, pesan paling penting secara politik adalah panggilan Mahmood kepada para feminis untuk tidak mengotot dalam ideologinya sendiri sampai-sampai memusuhi para perempuan yang konon dibelanya. Mahmood mengakhiri dengan bertanya kepada dirinya sendiri sebagai feminis: “Apakah saya memang sepenuhnya mengerti cara hidup yang saya begitu semangat ingin saya gantikan?” (197).
——————–
Dari BMR:
Kalau teman-teman tertarik dan ingin mempelajari lebih lanjut uraian Sawyer Martin French di atas, saya ingin berbagi untuk teman-teman, ebook pdf karya Saba Mahmood, Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject, yang menguraikan lebih lanjut apa yang dibahas dalam teks di atas.
Kalau teman-teman berminat dengan book pdf tersebut, silakan tulis “saya mau” dalam kolom “comment”. Saya akan berbagi link ebooknya yang akan saya taruh di akhir “comment” itu, paling lambat besok.
Salam sehat selalu ya.

Bagaimana Lika-liku KDRT di Masa Pendemi?

Tulisan ini berisi riset tentang KDRT selama wabah covid-19 terjadi

Ashilly Achidsti

Kondisi sebuah wabah bisa diibaratkan seperti situasi konflik. Orang memiliki kekacauan dan ketidakstabilan. Semua itu membuat perempuan rentan terhadap kekerasan, bahkan di tempat yang seharusnya paling aman sekalipun, rumah.

Pandemi Covid19 yang membuat tatanan perekonomian dan sosial berubah, nyatanya berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Kelompok masyarakat yang rentan dalam situasi ini salah satunya adalah perempuan. Angka Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di berbagai belahan dunia meningkat, mayoritas dilakukan suami kepada istri. Akar masalah KDRT sebenarnya adalah timpangnya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh tertanamnya norma maskulinitas. Kondisi itu diperparah dengan pembatasan aktivitas ke luar rumah yang membuat beban psikologis bertambah. Di berbagai negara, langkah responsif sudah dilakukan untuk menanggapi naiknya angka KDRT di tengah pandemi. Namun, bagaimana kesiapan pemerintah Indonesia merespon naiknya angka KDRT di masa pandemi?

Norma Maskulinitas dalam Masyarakat

Dalam tatanan masyarakat saat ini, tanggungan ekonomi biasanya bertumpu pada suami yang dianggap sebagai kepala keluarga. Meskipun fakta sebenarnya banyak pula perempuan yang menjadi kepala keluarga dan tumpuan ekonomi, namun apabila suami masih hidup dan istri bekerja, maka masyarakat menganggap sang istri hanya pencari nafkah tambahan saja. Semua ini sebenarnya dipengaruhi oleh norma maskulinitas yang sudah tertanam lama di dalam masyarakat.

Norma maskulinitas menghegemoni anggapan masyarakat dengan menempatkan laki-laki sebagai entitas yang memprioritaskan pekerjaan, mengejar status (sosial dan ekonomi), menjadi pemenang, bertindak agresif, mendominasi perempuan, berani menentukan dan mengambil resiko.[1] Dari anggapan itu, biasanya maskulinitas seorang laki-laki diukur dari beberapa hal, seperti seberapa besar jiwa kompetisi untuk menjadi pemenang, tingkat playboy dalam hubungan, sifat kekerasan yang identik dengan tingkat kejantanan laki-laki, tingkat kepercayaan diri, tingkat keberanian mengambil resiko, emosi yang meledak, dan tingkat kekuatan.[2] Dari kriteria itu, tidak heran apabila laki-laki ditempatkan oleh masyarakat sebagai pihak yang lebih tinggi dan mendominasi perempuan, termasuk dalam ranah rumah tangga.

Tuntutan masyarakat terkait norma maskulinitas di atas sebenarnya juga membebani laki-laki. Penelitian yang berjudul Age, Gender, and Suicide: A Cross-National Analysis[3] pada tahun 1993 karya Chris Girard menyatakan bahwa angka bunuh diri laki-laki paling tinggi disebabkan karena ketidakmampuan memenuhi peran-peran sosial yang secara tradisional dibebankan pada laki-laki seperti peran kepala keluarga.

Terbebaninya laki-laki atas ketidakmampuan memenuhi ekspektasi masyarakat dalam norma maskulinitas juga terjadi di masa pandemi ini. Di saat banyak pekerja dirumahkan sementara, PHK, atau bahkan kehilangan ladang usahanya membuat laki-laki yang dianggap penanggungjawab perekonomian keluarga berada dalam tekanan. Ketidakmampuan beradaptasi dalam keterbatasan ekonomi yang dihadapkan pada keharusan memenuhi sandang, papan, pangan keluarga membuat laki-laki merasa dominasinya berkurang atau bahkan timbul rasa gagal menjadi laki-laki apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan. Laki-laki yang terinternalisasi norma maskulinitas dan merasa tertekan dengan peran gendernya akan berusaha mempertahankan posisi kekuasaan dan dominasi terhadap perempuan ke arah yang cenderung ekstrem, seperti kekerasan.[4] Dihubungkan dengan anggapan kekerasan adalah indikasi kejantanan, membuat kesan di mata masyarakat jika laki-laki yang bertindak dengan kekerasan adalah hal lumrah.

Beban Psikologis dan Pembatasan Kegiatan

Relasi timpang gender dalam norma maskulinitas diperparah dengan aturan pembatasan kegiatan di luar rumah, bahkan beberapa negara menerapkan sistem lockdown. Keterbatasan ruang pribadi akan terasa karena 24 jam penuh pasangan suami istri akan selalu bersama. Apabila rumah yang menjadi tempat tinggal terdiri dari beberapa ruang yang membuat anggotanya bisa memenuhi kebutuhan ekspresi dan aktualisasi diri, maka lockdown tidak menjadi masalah. Namun, bagi keluarga dengan luas kediaman terbatas sehingga mengharuskan keduanya bersama dan menyebabkan tidak ada ruang bagi kebutuhan dirinya, maka tekanan psikologis dapat meningkat dan memicu kekerasan yang dilakukan suami kepada istri.

Meningkatnya Angka Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Terjadi pada Perempuan

Peningkatan KDRT selama pandemi terjadi di berbagai negara.[5] Di Prancis, terdapat peningkatan 30% KDRT selama pemberlakuan lockdown sejak 17 Maret 2020 silam. Argentina terdapat peningkatan 25% sejak lockdown diberlakukan mulai 20 Maret 2020. Di Kabupaten Jianli, China kantor polisi menerima 162 laporan KDRT pada bulan Februari 2020. Di Selandia Baru, 7 hari setelah lockdown diberlakukan terdapat lonjakan 20% KDRT. Kenaikan kasus KDRT dan permintaan tempat penampungan darurat juga terjadi di Kanada, Jerman, Spanyol, Inggris, serta Amerika.

Fenomena KDRT yang meningkat terjadi pula di Indonesia. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per 20 Februari hingga 17 Mei 2020 menerima 319 laporan kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah tersebut 62,93% nya adalah korban KDRT dengan bentuk kekerasan seksual, fisik, atau psikis. Peningkatan KDRT ini dapat terlihat pula di berbagai kota di Indonesia. Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta selama tanggal 16 Maret 2020 hingga 19 April 2020 menerima 97 aduan kekerasan terhadap perempuan selama wabah Covid19. Dari 97 laporan, 33 kasus merupakan aduan KDRT yang menjadi jumlah kasus terbanyak. Di Yogyakarta, lembaga Rifka Annisa pada bulan April mencatat ada kenaikan kasus yang melebihi bulan sebelumnya, 53 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi Yogyakarta selama Covid19.

Angka peningkatan KDRT ini membuat miris, perempuan mendapatkan kekerasan di tempat yang idealnya menjadi lokasi teraman baginya. Dalam kondisi Covid19 yang membatasi aktivitas ke luar rumah menambah ancaman bagi perempuan korban KDRT karena harus “terkunci” dalam satu rumah dengan pelaku kekerasan.

Respon Pemerintah Berbagai Negara dalam Menanggapi Covid19

Melihat laporan United Nation Human Rights, terdapat beberapa langkah yang ditempuh berbagai negara untuk merespon KDRT selama Covid19.[6] Langkah tersebut dapat dijadikan percontohan bagi negara lain untuk membuat kebijakan yang responsif dan melindungi perempuan.

  1. Menyatakan bahwa layanan terkait KDRT adalah hal yang penting di masa pandemi. Di beberapa negara, ketika perhatian dan fokus teralih kepada penanganan kesehatan dan mengesampingkan layanan KDRT, Spanyol dan Portugal justru mengumumkan bahwa perlindungan dan bantuan kepada korban KDRT merupakan layanan penting yang tetap harus beroperasi selama lockdown. Di New York, Amerika Serikat, tempat penampungan korban KDRT juga dikategorikan sebagai layanan penting
  2. Menyediakan rumah aman tambahan untuk menghindari terkurungnya korban KDRT dengan pelaku kekerasan. Apabila rumah menjadi tempat yang tidak aman bagi korban KDRT, maka korban akan sementara dipindahkan untuk berlindung di dalam suatu bangunan yang biasa disebut rumah aman. Lokasi rumah aman dirahasiakan untuk menghindari adanya teror atau hal yang tidak diinginkan oleh korban. Italia mengalihfungsikan bangunan yang ada menjadi rumah aman baru yang dapat diakses Sedangkan di Prancis, pemerintah membiayai hingga 20.000 hari di hotel untuk melindungi perempuan korban KDRT yang melarikan diri dari pasangannya. Di Portugal, dua rumah aman darurat dibuka dengan kapasitas untuk 100 orang.
  3. Implementasi sistem aduan yang mudah diakses, proaktif dan melindungi korban selama pandemi. Tidak hanya akses aduan online, di Kepulauan Canary, Spanyol dan di Prancis, korban kekerasan dalam rumah tangga dapat pergi ke apotek dan menyebut kata “Mask19” sebagai kata sandi untuk mencari penyelamatan dari kekerasan yang terjadi di rumah tangga. Layanan aduan sengaja ditempatkan di apotek supaya tidak menggugah kecurigaan apabila korban akan ke luar rumah di masa pandemi. Ketika korban menyatakan kata sandi Mask19 ke petugas farmasi, maka itu adalah tanda perempuan tersebut sebagai korban KDRT. Demikian pula, di Argentina, pemerintah meluncurkan kampanye yang memungkinkan perempuan korban KDRT untuk mengakses layanan farmasi dan menyatakan kata kunci “a red surgical mask” untuk mencari pertolongan. Cara-cara tersebut adalah langkah agar korban tetap dapat mengadu dan bercerita secara langsung tentang kekerasan yang mereka hadapi.

Pemerintah Indonesia dalam Merespon KDRT selama Covid19

Melihat 3 langkah berbagai negara untuk merespon naiknya angka KDRT, sayangnya Indonesia belum dapat mengikuti dengan baik. Fokus pemerintah Indonesia saat ini teralih ke permasalahan kesehatan saja dan seakan meninggalkan respon terhadap permasalahan ketimpangan gender akibat Covid19, termasuk KDRT. Dari 3 langkah di atas, kita dapat melihat keseriusan pemerintah menangani layanan KDRT selama pandemi dilihat dari komitmen, akses Rumah Aman, dan implementasi sistem aduan.

  1. Implementasi Sistem Aduan KDRT hanya Online

Saat ini, aduan layanan KDRT pemerintah hanya tersedia pada saluran online.  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menyediakan hotline 119 untuk konsultasi psikologi korban KDRT. Selain hotline, KPPA juga menyediakan website aduan dengan form terkait data diri korban, pelaku, jenis kekerasan, foto atau data pendukung sebagai bukti KDRT. Sayangnya, layanan konsultasi online tidak bisa menangkap secara penuh emosi dan luka psikologis yang dialami korban KDRT jika dibanding dengan tatap muka.

Meskipun sarana online kurang maksimal, namun perlu diapresiasi adanya gebrakan baru mulai terlihat di ranah media sosial terutama untuk menjaring korban KDRT dari angkatan milenial. Ketika pengguna twitter mengetik kata “KDRT” dalam layanan pencarian, maka yang keluar adalah rujukan menghubungi LBH APIK atau Komnas Perempuan. Tindak lanjutnya, Komnas Perempuan akan mengalihkan kepada Unit Pengaduan Rujukan (UPR). Sedangkan LBH APIK (sebagai lembaga independen di luar pemerintah), memberi kabar gembira dengan rencana layanan aduan dan pendampingan korban KDRT secara tatap muka yang rencananya akan dibuka tanggal 2 Juni 2020 mendatang. Dari beberapa lembaga tersebut, baru LBH APIK yang meskipun lembaga di luar pemerintah, namun berani untuk membuka layanan aduan langsung selama Covid19.

Jika dikaitkan, apabila pihak kepolisian sebagai layanan keamanan dasar bagi masyarakat tetap dibuka saat pandemi, layanan aduan dan konsultasi KDRT pun layaknya tetap dibuka secara tatap muka. Karena, aduan KDRT adalah layanan dasar bagi jaminan keamanan, terkhusus bagi perempuan yang merupakan entitas rawan di masa pandemi.

 

  1. Akses Rumah Aman Terhambat

Apabila korban KDRT yang sudah mengadu perlu ada tindaklanjut, seharusnya bermuara pada Rumah Aman. Sayangnya, akses Rumah Aman di Indonesia selama masa Covid19 terbatas.[7] Korban KDRT apabila akan mengakses rumah aman harus menyertakan surat bebas Covid19 yang prosedur mendapatkannya berbelit, memakan waktu, dan berbayar mandiri. Tentu Surat bebas Covid 19 bisa didapat apabila telah melakukan rapid test atau polymerase chain reaction (PCR). Namun biaya rapid test setiap daerah berbeda, berkisar antara 200 ribu-500 ribu, sedangkan PCR seharga 1 juta-2,5 juta rupiah. Padahal, mayoritas korban KDRT yang didampingi oleh LBH APIK adalah perempuan dari kalangan menengah ke bawah.[8] Tentu biaya mandiri surat bebas Covid akan memberatkan korban KDRT. Jangan sampai karena keterbatasan ekonomi untuk mengakses surat bebas Covid membuat perempuan korban KDRT lebih memilih kembali ke rumahnya meskipun dengan konsekuensi terancam setiap waktu oleh pelaku.

Jika dilihat dari keterbatasan rumah aman dan layanan aduan yang hanya terbatas online, terlihat apabila komitmen pemerintah Indonesia menyediakan layanan KDRT terbilang rendah. Apabila pemerintah fokus terhadap kalangan rentan di masa Covid19, khususnya perempuan, maka akses rumah aman seharusnya dipermudah, biaya seluruhnya ditanggung pemerintah, dan layanan aduan dibuka secara tatap muka dengan menjalankan prosedur aman.

Angka KDRT di Indonesia selama pandemi terus naik, lantas kapan pemerintah mau meningkatkan komitmennya untuk melindungi perempuan? Jangan sampai pemerintah hanya fokus ke satu hal dalam penanganan Covid, tapi melalaikan perlindungan kepada perempuan. Karena perlindungan kepada perempuan, terutama korban KDRT adalah skala prioritas. Bukankan tujuan berdirinya negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia?

 

*Penulis adalah Kagama S2 Manajemen dan Kebijakan Publik sekaligus pemerhati isu gender dan kebijakan

[1] J. R Mahalik, Locke, B. D., Ludlow, L. H., Diemer, M. A., Scott, R. P., Gottfried, M., & Freitas, G. (2003). Development of the Conformity to Masculine Norms Inventory. Psychology of Men and Masculinity, 4, 3–25.

[2] Aylin Kaya, 2018, The Role of Masculine Norms and Gender Role Conflflict on Prospective WellBeing Among Men, American Psychological Association,

[3] Chris Girard, 1993, Age, Gender, and Suicide: A Cross-National Analysis, American Sociological Review Vol. 58, No. 4 (Aug., 1993), pp. 553-574.

[4] R. M. Smith, Parrott, D. J., Swartout, K. M., & Tharp, A. T. (2015). Deconstructing hegemonic masculinity: The roles of antifemininity, subordination to women, and sexual dominance in men’s perpetration of sexual aggression. Psychology of Men and Masculinity, 16, 160 –169.

[5] UN Women, 2020, Covid-10 and Ending Violence Againts Women and Girls.

 

[6] United Nation Human Rights, 2020, Covid-19 and Women’S Human Rights: Guidance

[7] https://www.antaranews.com/berita/1506168/kecepatan-penanganan-kdrt-terkendala-saat-covid-19

[8] https://www.tempo.co/dw/2347/di-masa-pandemi-corona-perempuan-indonesia-lebih-rentan-alami-kdrt

 

*Analisis ini hasil kerjasama islami.co & RumahKitaB*

Sumber: https://islami.co/bagaimana-lika-liku-kdrt-di-masa-pendemi/

Komentar Sinis Perempuan Aktif di Publik & Kenapa Islam Membenci Itu

Oleh Sarjoko S

 

Bagaimana perempuan di luar rumah justru menjadi ajang sinisme?

 

Masih banyak komentar sinis mengenai posisi perempuan di ruang publik kita yang sangat maskulin. Terutama ketika menyangkut perjuangan kesadaran gender, sebagian orang masih berkomentar bahwa perempuan hanya memperjuangkan hal-hal yang menguntungkan dirinya saja.

Apakah perempuan mau untuk sekadar mengangkat galon?

Pertanyaan tersebut kerap penulis jumpai ketika mendiskusikan persoalan kesetaraan gender. Cukup beralasan di satu sisi. Karena faktanya ada sebagian perempuan yang juga menganggap bahwa peran tertentu adalah peran laki-laki. Misalnya di sebuah acara pengajian, bagian dari divisi perlengkapan dianggap sebagai divisinya laki-laki. Sementara perempuan selalu menempati divisi-divisi yang dianggap feminin seperti penerima tamu atau konsumsi.

Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan perempuan menghadapi tantangan internal dan eksternal yang sama kuatnya. Di Barat, fenomena untuk menolak kesetaraan juga pernah terjadi. Backlash, begitu banyak disebut oleh pengkaji feminisme, didasari pada anggapan bahwa sebenarnya laki-laki dan perempuan sudah setara. Hanya saja laki laki dan perempuan memiliki posisi dan peran sosial masing-masing.

Di Indonesia perlawanan terhadap gerakan feminisme di antaranya ditandai kemunculan gerakan seperti Indonesia tanpa feminis. Gerakan tersebut dilakukan oleh perempuan yang merasa bahwa struktur lama—yang coba didobrak oleh para feminis—dianggap sudah sangat baik dalam menjaga ‘keseimbangan sosial’. Dominasi laki-laki dianggap sebagai sebuah kodrat ilahiyah yang tak perlu diotak-atik lagi. Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi gerakan kesetaraan gender.

Jika kita telusuri lebih jauh, gerakan kesetaraan gender masih terhitung seumur jagung sejarah manusia. Di buku-buku tentang feminis, gerakan untuk memperjuangkan ruang bagi perempuan baru muncul di tahun 1800-an. Sebelum itu perempuan hidup dalam era yang secara umum kelam, meski pun beberapa perempuan tercatat menjadi simbol kedigdayaan suatu negeri.

Sebagai contoh kita lihat sejarah Inggris, salah satu negara monarki tertua di dunia. Sejak berdiri di tahun 774, Inggris baru memiliki pemimpin perempuan di tahun 1141 ketika Ratu Matilda mengklaim tahta yang kemudian hanya bertahan beberapa bulan saja. Politik Gereja yang memihak pada laki-laki menjadi salah satu sebabnya.

Bagaimana dengan Islam? Hal yang sama tidak jauh berbeda. Islam menyebar melalui jalur monarki dengan beragam penaklukan. Dalam sistem monarki selalu menempatkan laki-laki sebagai pewaris tahta. Penulis rasanya tidak pernah membaca ada pemimpin perempuan di dinasti-dinasti besar Islam.

Karena maskulinnya sistem monarki, tak mengherankan apabila teks-teks keagamaan juga diproduksi secara maskulin. Hal ini tak lepas dari intervensi kuat seorang sultan terhadap teks agamanya. Karenanya, ulama yang berseberangan dengan kemauan sultan akan mendapat hukuman, mulai dari bui hingga eksekusi.

Sejarah yang demikian, ditambah dengan faktor pembagian ruang yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang kuat dan perempuan yang lemah, membuat imajinasi kita tentang dunia sangat maskulin. Segala hal yang terlihat berkuasa disimbolkan dengan lelaki. Posisi penting seperti hakim, ulama, menteri dan lainnya selalu sebagian besar dari kelompok laki-laki.

Akhirnya kita terkesima apabila menemukan perempuan yang memegang peranan penting.

‘Tuh, perempuan sebenarnya bisa jadi menteri.’ 

‘Nah, kan. Perempuan bisa juga jadi CEO.’

‘Meski perempuan, dia bisa juga lho jadi ketua.’

Sesuatu yang dikagumi biasanya adalah sesuatu yang tidak biasa terjadi. Kekaguman atasnya menyiratkan masalah serius.

Hal ini penulis sadari ketika berkunjung di Aceh pada akhir 2018. Di sana penulis menemukan banyak sekali perempuan yang memegang peran penting dalam perjuangan sejarah Aceh. Sebut saja Tjuk Nyak Dhien, Keumalahayati, Sultanah Safiatuddin, dan lain sebagainya.

Penulis sangat mengagumi sosok Laksamana Malahayati yang disebut sebagai laksamana perempuan pertama di dunia. Ia memimpin pasukan laut  bernama Inong Balee yang berisi para janda. Malahayati membentuk pasukan itu karena suaminya tewas dalam pertempuran. Ia kemudian mengajak perempuan yang bernasib sama untuk membentuk armada laut yang kuat.

Penulis terkagum-kagum karena pasukan Malahayati pernah mengalahkan pasukan Kerajaan Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman. Namun penulis kemudian merenung dan merasakan kekecewaan. Mengapa penulis sangat bangga dengan pencapaian Malahayati, namun merasa biasa saja dengan keberhasilan banyak tokoh lelaki yang memenangkan pertempuran?

Ya, karena selama ini perempuan hidup dalam belenggu. Jika ada perempuan yang lepas dari belenggu maka dianggap sebagai sebuah keajaiban. Sayangnya, tidak semua orang bisa menangkap bahwa sejarah dicatat untuk menjadi inspirasi. Kebebasan ruang bagi perempuan semakin lama justru semakin dipersempit, baik oleh kelompok laki-laki atau pun perempuan itu sendiri.

Apa pasalnya? Banyak orang terus berupaya ‘menyadari’ bahwa perempuan adalah makhluk domestik. Sehingga pembagian peran perempuan terbatas pada hal-hal yang berada ‘di dalam rumah’. Di titik ini penulis masih bisa menerima. Banyak sekali Bu Nyai di pesantren yang memegang peranan domestik ini.

Peran domestik bukanlah sesuatu yang mudah. Justru peran domestik di pesantren ini menjadi sesuatu yang sangat vital mengingat para kiai biasanya tidak memiliki ‘pekerjaan tetap’. Hari-harinya dihabiskan untuk belajar dan mengajar. Bu Nyai inilah yang justru menghidupi keluarganya dengan mengelola toko dan usaha lain.

Jika diperhatikan, para kiai di pesantren-pesantren pun sebenarnya menjalani profesi domestik atau mendomestifikasi dirinya seumur hidupnya. Sejak kecil seorang gus (sebutan untuk anak kiai) biasanya dimasukkan ke pondok pesantren yang jauh dari rumahnya. Setelah dinyatakan cukup, seorang gus ditarik kembali oleh abahnya, lalu diminta langsung terjun di pesantren yang dikelola oleh keluarganya sepanjang hidupnya.

Domestifikasi menjadi hal yang perlu ditentang apabila dimaknai bahwa perempuan tidak bisa berperan di ruang sosial karena identitas perempuannya. Apalagi jika disokong oleh pemahaman bahwa perempuan adalah makhluk yang lebih rendah daripada laki-laki. Soal pemilihan ruang hal ini sepenuhnya harus diserahkan pada kesadaran individu.

Bagi penulis, perjuangan kesetaraan gender secara substantif bertujuan untuk mendobrak pola pikir yang timpang. Ketimpangan ini diterima karena menjadi doktrin apabila didukung dengan teks-teks yang dipahami secara subordinatif. Hal ini melahirkan belenggu yang menindas. Nah, perjuangan kesetaraan ini lebih pada penghancuran belenggu yang menindas satu identitas itu. Wallahua’lam.

*Analisis kerjasama Islami.co & Rumah KitaB*

 

Sumber: https://islami.co/komentar-sinis-perempuan-di-luar-publik-kenapa-islam-membenci-itu/

Bagaimana Proses Penyingkiran ‘manusia’ Berbasis Gender Terjadi di Sekitar Kita?

Konstruksi gender-seksualitas terjadi dan kita tidak sadar

Oleh Ust. Ahmad Z. El-Hamdi

Sebarapa sering seksualitas menjadi diskursus yang dibicarakan secara terbuka tabu dibebani dengan tabu dan ketakutan? Membicang seksualitas rasanya memiliki beban ketakutan yang sebanding dengan mendiskusikan ateisme. Jika ateisme jelas-jelas menempatkan dirinya sebagai antitesis dari teisme yang merupakan pondasi utama dan satu-satunya atas seluruh keyakinan keagamaan, seksualitas telah lama dinarasikan sebagai kekuatan jahat yang membangkang atas tatanan ketuhanan, dari mana kesengsaraan manusia di dunia bermula. Seluruh kejahatan dan kesengsaraan manusia di dunia dikonstruksi sebagai pembangkangan seksualitas manusia terhadap tatanan kebenaran (logos) Tuhan. Kecuali beberapa tafsir kelompok feminis-progresif, kisah Adam-Hawa secara konstan dibaca dalam bingkai ini.

Dari tafsir seksis atas kisah Adam-Hawa ini juga lahir pengabsahan atas seluruh kesakitan perempuan terkait dengan siklus seks biologisnya. Haid, kesakitan karena melahirkan, hingga kesengsaraan perempuan dalam menyusui bayinya diyakini sebagai bentuk hukum atas perempuan yang dianggap sebagai biang keladi pemberintakan seksualitas manusia terhadap Tuhan. Laki-laki turut serta menanggung kesengsaraan hidup di dunia karena terperangkap dalam perdaya perempuan. Sejak awal, perempuan telah diletakkan sebagai pihak penanggung dosa-dosa manusia.

Kisah Adam-Hawa ini juga akhirnya menjadi sumber utama bagaimana seksualitas dikonstruksi. Di balik pemberontakannya terhadap tuhan, kisah Adam-Hawa menjadi blue print normatif bagi pendekatan esensialis atas seksualitas manusia. Dorongan seks yang dianggap normal adalah heteroseksual yang bertujuan untuk prokreasi. Setiap penyimpangan dari pola ini dianggap sebagai patologi. Seksualitas manusia yang nrmal hanya dan hanya jika terjadi antara laki-laki dan perempuan. Di samping itu, seksualitas manusia semata-mata untuk tujuan menghasilkan keturunan (pro-kreasi). Setiap aktivitas seksual yang dilakukan untuk tujuan kesenangan (rekreasi) dianggap sebagai abnoramitas yang melawan kodrat.[1]

Dari sinilah penyingkiran terhadap berbagai orintasi seksual non-hetero bermula. Non-heteroseksual didefinisikan sebagai menyimpang (deviant), tidak alami (unnatural), buruk dan bukan laki-laki atau perempuan sesungguhnya. Apa yang disebut dengan seks alamiah-kodrati adalah hubungan seksual antar-lain jenis.

 

Seksualitas

 

Seks dan seksualitas adalah bagian penting dari kehidupan nyaris semua orang. Ia menjadi sumber penting kesenangan, motivasi sebuah tindakan, dan perekat sebuah hubungan, terutama ketika ia dikaitkan dengan kehidupan psikologis dan emosional seseorang. Sekalipun demikian, seks dan sekuslaitas juga kerap menjadi sumber kecemasan, kecanggungan, rasa malu, kesakitan, bahkan konflik interpesonal.[2]

Sekusialitas merujuk pada kecenderungan, preferensi, kebiasaan dan minat seseorang terkait dengan aktivitas seksual, biasanya—sekalipun tidak harus—dalam konteks interpersonal. Seksualitas juga sering terkait dengan orientasi seksual seseorang. Konsep seksualitas merujuk pada interrelasi antara orientasi seksual (kepada siapa/apa seseorang tertarik secara seksual), perilaku seksual (jenis-jenis aktivitas seksual yang dilakukan seseorang), dan identitas seksual (bagaimana seseorang memilih menggambarkan dirinya). Karena itu, seksualitas tidak semata-mata kategoris bilogis, namun merembes, memengaruhi, dan tidak terpisahkan dari gender, identitas agama, kelas, etnis, dan lainnya.[3]

Pendekatan esensialis atas seksualitas mengabaikan kekuatan sosial dan sejarah yang membentuk seksualitas dan tidak mengakui keragaman identitas dan dorongan seksual. Ide bahwa ada satu esensi seks yang benar (a true essence of sex), sebuah pola yang tersembunyi yang ditakdirkan oleh alam itu sendiri banyak dipertanyakan. Pandangan esensialis dianggap bersifat simplistis karena mereduksi pola hubungan dan identitas seksual yang kompleks ke semata-mata faktor biologis.[4] Seluruh elemen seksualitas memiliki sumbernya di tubuh dan pikiran, tapi kapasitas tubuh itu hanya mendapatkan maknanya dalam konteks relasi sosial tertentu.[5]

Michel Foucault menyatakan bahwa tidak ada kebenaran tunggal tentang seks dan bahwa berbagai diskursus—hukum, agama, kedokteran dan psikiatri—telah memproduksi pandangan tertentu tentang tubuh dan kesenangannya, seperangkat sensasi, kesenangan, perasaan dan perilaku tubuh yang kita sebut dengan hasrat seksual. Inilah wacana-wacana yang membentuk nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan seksual kita serta makna yang kita berikan pada tubuh. Seks bukanlah semata-mata entitas biologis yang dikuasai oleh hukum alam, tapi satu ide spesifik dalam budaya dan periode sejarah tertentu. Seks dan bagaimana kita memahaminya dikreasi melalui definisi dan kategori-kategori.

Oleh karena itu,  dia menegaskan bahwa seksualitas adalah efek wacana. Seksualitas sebaiknya tidak dipandang sebagai sesuatu yang terberi secara alamiah yang dikendalikan oleh kekuatan, atau sebagai wilayah buram yang diungkap oleh pengetahuan secara bertahap. Seks adalah nama yang terbentuk secara historis, bukan realitas alamiah yang susah dipahami, melainkan sebuah jaringan besar di mana stimulasi tubuh, intensifikasi kenikmatan, desakan wacana, formasi pengetahuan tertentu, penguatan kontrol dan resistensi saling berkaitan satu sama lain.[6]

Jadi, seksualitas itu terkonstruksi. Kategori-kategori seksual yang kita terima, peta berbagai horison yang mungkin dan yang dianggap sebagai natural, kokoh dan  pasti sesungguhnya adalah label-label yang bersifat historis dan sosial. Kita tidak bisa mereduksi kompleksitas realitas seksualitas ke dalam satu esensi tunggal.

 

Waria: Kisah Penyingkiran Berbasis Gender dan Seksualitas

Waria bisa dikatakan sebagai titik pertemuan antara “pelanggaran” konstruksi mainstream atas gender dan seksualitas. Dilihat dari performanya, menjadi waria berarti melanggar konstruksi gender mainstream di mana orang yang memiliki seks biologi jantan (male) seharus maskulin, tapi waria adalah manusia jantan (male) yang feminin. Sebagai manusia jantan (male), mestinya dia memiliki ketertarikan seksual kepada manusia betina (female), tapi karena dia merasa seorang perempuan, maka dia memiliki ketertarikan kepada manusia jantan (male).

“Pelanggaran” ini membuat waria menjadi manusia yang unchategorical. Dari sinilah kisah penyingkiran waria dimulai. Kisah waria adalah kisah manusia pinggiran dengan sekian alur hidup yang menyedihkan karena diskriminasi yang berlapis. Kisah waria lari dari keluarganya juga adalah kisah yang sangat akrab bagi telinga kita. Waria dianggap sebagai aib keluarga. Oleh karena itu, maka orang tua dan lingkungan keluarga berusaha sekuat tenaga untuk menyeret anaknya untuk tetap berlaku seperti laki-laki. Seperti laki-laki di sini berarti maskulin, perkasa, tidak boleh gemulai dan kemayu. Jika seorang anak gagal memenuhi tuntutan patron gender seperti ini, maka yang seringkali terjadi adalah kekerasan terhadap anak. Jika lingkungan keluarga yang selama ini menjadi ruang nyaman seorang anak ketika mendapati dirinya terancam telah berubah menjadi ancaman itu sendiri, maka pilihan yang tersedia adalah lari.

Penyingkiran juga terjadi di sekolah. Kalau ada siswa yang bertingkah kemayu, maka dia akan menjadi objek ejekan di lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah tidak pernah menjadi ruang nyaman bagi para waria. Tidak mengherankan jika sangat sedikit jumlah waria yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Kalau ada waria yang berhasil menyelesaikan sekolahnya  sampai perguruan tinggi, maka hampir dipastikan si waria tersebut dipaksa untuk tetap tampil sebagai laki-laki, di mana setiap kemayu­-nya muncul, dia harus bersiap menerima ejekan dan hinaan.

Waria tersingkir dari dunia pekerjaan adalah tema tua yang sejak awal menjadi paket dari cerita perjalanan waria itu sendiri. Ketika waria melamar pekerjaan, syarat yang ditetapkan adalah tidak boleh gemulai, kalau tetap kemayu maka ancamannya adalah pemecatan.[7]

Apa yang terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan pekerjaan ini sesungguhnya adalah cermin dari norma gender masyarakat secara umum. Norma gender masyarakat kita tidak memungkinkan ada ruang bagi komunitas yang bernama waria. Masyarakat kita hanya memberi tempat bagi dua jenis identitas gender, laki-laki dan perempuan. Hanya identitas laki-laki dan perempuanlah yang diakui dalam tata hubungan sosial. Laki-laki berarti maskulin, sedang perempuan berarti feminin.

Keterasingan waria dari masyarakat umum bisa dijelaskan melalui pola perilaku gender yang ditentukan oleh sebuah budaya. Wacana dominan dalam kebanyakan budaya, termasuk Indonesia, hanya mengakui dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin ini mengacu pada keadaan fisik alat reproduksi. Klasifikasi ini kemudian diikuti oleh perilaku gender yang diharapkan atas orang yang berjenis kelamin laki-laki dan orang yang berjenis kelamin perempuan. Perilaku khas gender tertentu (gender specific behaviour) dan peran gender (gender roles) ditentukan atas klasifikasi seks tersebut.

Sebuah budaya yang dengan ketat menetapkan hanya ada dua jenis kelamin bisa dibayangkan juga hanya akan menetapkan dua perilaku dan peran gender. Maskulin ditetapkan sebagai perilaku gender yang harus dimiliki bagi laki-laki, sedang bagi perempuan, ia harus bersifat dan bersikap feminin. Konformitas gender adalah keadaan ideal di mana seseorang mengikuti kaidah perilaku gender yang digariskan oleh budayanya. Nonkonformitas gender adalah keadaan di mana seseorang tidak mengikuti, baik secara sadar atau tidak, kaidah itu.

Waria merupakan nonkonformitas gender karena ia melanggar klasifikasi peran gender yang sudah digariskan. Dia adalah laki-laki secara biologis, namun penampilan fisiknya menantang terang-terangan atas norma-norma gender. Waria sedang menentang definisi tentang pria dan wanita. Mereka menggoyahkan tata peradaban yang telah dibangun di atas definisi ketat tentang laki-laki dengan kelelakiannya dan perempuan dengan keperempuanannya. Karena sikapnya yang menentang inilah maka selalu ada ruang yang memisahkan mereka dengan masyarakat umum.

Keadaan waria yang terbuang seperti ini menggiring mereka pada situasi tak ada pilihan. Terbuang dari keluarga, tidak diterima di lingkungan sekolah dan kerja, tersingkir dari masyarakat, adalah fakta keberadaan hidup seorang waria. Dalam situasi ini, semua yang dilakukan oleh waria bisa dikatakan hanya sekedar untuk bertahan hidup. Beruntung jika seorang waria mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai. Namun, kebanyakan mereka tidak memiliki pekerjaan yang layak untuk tetap bertahan hidup. Bisa dikatakan tidak ada pilihan pekerjaan yang tersedia bagi komunitas ini. Tidak mengherankan jika hampir di berbagai kota, kita melihat para waria menjadi pengamen jalanan di siang hari dan menjadi pekerja seks di malam hari. Hampir di setiap kota memiliki tempat yang bisa dianggap sebagai lokus kehidupan komunitas waria: salon-salon kecantikan, pemondokan kumuh, dan tempat pelacuran.[8]

Struktur sosial-budaya-politik-agama telah sempurna menggiring komunitas waria ini ke dalam situasi hidup yang mencekam. Keluarga, masyarakat dan negara secara bersama-sama menciptakan situasi yang tidak memungkinkan mereka untuk memiliki akses pekerjaan seperti orang lain. Ketika mereka pada akhirnya berada dalam situasi hidup yang memilukan ini, mereka semakin dipojokkan dengan stigma yang berlapis. Jika stigma awal hanya mengarah pada status kewariaan mereka, maka sekarang mereka mendapatkan penghujatan atas kepelacurannya dan kegelandangannya.[9]

Kesempurnaan penyingkiran ini semakin menemukan momentumnya ketika agama yang selama ini dipuja sebagai tempat berlindung bagi mereka yang teraniaya dan tersingkirkan tidak memberikan apa-apa, tapi justru menjadi bagian dari agen yang turut meminggirkan, menista dan mendiskriminasi mereka. Agama yang ke mana-mana mendaku dirinya sebagai pemberi kasih tampak di mata waria sebagai teror yang tanpa henti. Teror itu bisa betul-betul berwujud dalam bentuk serangan fisik orang-orang yang mengaku sebagai pencinta dan pembela agama,[10] maupun teror psikologis akibat ajaran agama yang terus-menerus diindoktrinasi kepada semua orang tentang kedosaan waria. Indoktrinasi bahwa waria adalah dosa menjadi teror spikologis yang menghantui ke mana pun waria pergi. Bahkan ketika seorang waria hendak beribadah berdasarkan perintah agamanya pun dia harus melampaui perang batin yang luar biasa, karena hatinya selalu diberondong pertanyaan apakah ibadahnya diterima oleh Tuhan ataukah tidak hanya karena dia adalah waria.[]

[1] J. Weeks, Sexuality (London: Tavistock, 1986), 13.

[2] Roger Willoughby, “Key Concept: Sexuality,” dalam Dave Trotman, dkk (eds.), Education Studies: The Key Concepts (New York: Routledge, 2018), 88-9.

[3] Ibid., 87.

[4] Weeks, Sexuality, 15.

[5] Ibid.

[6] M. Foucault, The History of Sexuality (Middlesex: Penguin, 1988), 105-156.

[7] Ariyanto & Rido Triawan, Hak Kerja Waria: Tanggung Jawab Negara (Jakarta: Arus Pelangi & Friedrich Ebert Stiftung, 2007).

[8] Endah Sulistyowati, “Waria: Eksistensi dalam Pasungan,” dalam Srinthil, 5 (Oktober 2003).

[9] Dalam banyak hal, negara ini menyamakan antara pengamen dengan gelandangan. Tidak heran ketika ada operasi terhadap gelandangan, banyak para pengamen yang terangkut serta.

[10] Banyak ditemui komunitas waria atau kegiatan waria diserang oleh orang-orang yang mengaku membela agama dengan alasan waria adalah manusia pendosa.

*Analisis ini kerjasama Islami.co & Rumah KitaB*

Sumber: https://islami.co/bagaimana-proses-penyingkiran-manusia-berbasis-gender-terjadi-di-sekitar-kita/

Hak Perempuan: Dalih Pamungkas Bernama Syariah

Reformasi hukum demi melindungi perempuan di negara muslim sering dijegal dengan alasan Syariah Islam. Namun politisasi agama demi merawat tradisi patriarkat itu kian ditolak, termasuk dari kalangan ulama Fiqh.

 

Nasib perempuan di Mauritania adalah sederet panjang tanda tanya. Ketika pemerintah mengusulkan rancangan legislasi perlindungan perempuan, untuk kesekian kali parlemen menolak mengesahkannya.

Padahal RUU tersebut bisa membantu “mengikis prasangka dan sikap diskriminatif terhadap perempuan dan remaja putri,“ begitu bunyi salah satu bagian naskah yang disusun pemerintah.

Pengesahan UU Perlindungan Perempuan termasuk dimotori oleh Menteri Kehakiman Haimouda Ould Ramdane yang menyebut tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai “kejahatan.“ Menurut naskah RUU tersebut, korban pelecehan seksual kelak bisa mendakwa pelaku di pengadilan.

Pada 2018 silam pemerintah gagal meyakinkan parlemen buat meloloskan legislasi tersebut. Kelompok oposisi mengritik kesetaraan hak bagi perempuan bertentangan dengan Syariah Islam. Kini pemerintah menyusun rancangan baru untuk melunakkan sikap partai-partai konservatif.

Kontroversi seputar hak perempuan di bawah bayang-bayang Fiqh Islam juga terjadi di negara muslim lain. Di Indonesia misalnya, Undang-undang Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan (RUU-PKS) dituduh melegalkan zina.

Padahal cekcok ideologi seperti itu diyakini akan kian menyudutkan perempuan. Akibatnya legislasi yang awalnya diniatkan untuk membantu, malah justru berdampak sebaliknya.

Lobi politik dari langit 

Diskursus seputar hak perempuan banyak dicampuri oleh “lobi agama” yang berusaha menggalang dukungan politik, keluh Saad Eddin al-Hilali, Guru Besar Perbandingan Hukum di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Termasuk ke dalam “lobi agama“ adalah “ulama tua yang muncul di media untuk mempengaruhi opini publik, tanpa mengindahkan mereka yang berpandangan lain dan terlepas dari apakah pendapat mereka sejalan dengan ajaran agama atau tidak,“ kata dia.

Dengan kata lain, kaum oposan menggunakan Syariah Islam sebagai alat untuk meredam upaya memperkuat hak perempuan. Siapapun yang menentang akan mudah terseret ke dalam tuduhan melawan perintah Tuhan.

“Seakan pendapatnya datang dari Allah“ 

Al-Hilali geram menyimak lobi kaum konservatif. “Kita harus mencegah, bahwa setiap individu bisa berlaku seakan-akan pendapatnya langsung datang dari Allah,“ tukas dia.

“Pada dasarnya setiap fatwa Fiqh bisa mengandung kebenaran atau kekeliruan, bahkan jika ia dikeluarkan oleh level tertinggi sekalipun.“

Mauritania termasuk negara yang marak praktik sunat perempuan. Namun legislasi yang dibuat untuk melindungi perempuan berulangkali dijegal partai-partai konservatif di parlemen.

Mauritania termasuk negara yang marak praktik sunat perempuan. Namun legislasi yang dibuat untuk melindungi perempuan berulangkali dijegal partai-partai konservatif di parlemen.

 

Hal serupa diungkapkan Marwa Sharafeldin. Menurut guru besar ilmu hukum di Universitas Harvard itu, praktik menggunakan dalih “bertentangan dengan ajaran agama“ buat menolak sebuah undang-undang yang melindungi perempuan, tidak bisa diterima.

Tuduhan ini hanya memperkuat pandangan Islamofobia, bahwa Islam ikut mendukung kekerasan terhadap perempuan. Terkadang ada yang sengaja memicu bimbang antara legislasi hukum dan agama untuk mencapai sasaran politik lain, kata Sharafeldin.

“Dengan cara itu sejumlah perwakilan Islam Politik berusaha mencari untung di atas nasib perempuan.“

Minimnya perlindungan hukum 

Proses legislasi yang terlunta-lunta turut memicu dampak negatif pada nasib perempuan. Di Mauritania misalnya, konstitusi belum mendefinisikan atau mengkriminalisasi kekerasan seksual secara layak, tulis organisasi HAM Human Rights Watch dalam sebuah studinya.

Dan karena hukum pidana tidak mendefinisikan secara gamblang praktik pemerkosaan atau serangan seksual lain, justru korban sendiri yang sering mendapati diri menjadi kejaran aparat.

“Jika perempuan tidak mampu meyakinkan lembaga kehakiman, bahwa hubungan seksual tidak dilakukan secara sukarela, maka si pendakwa bisa berubah menjadi yang terdakwa,” tulis HRW.

Pun di Mesir perdebatan tentang hak perempuan berulangkali meruak di gedung parlemen. Sejak beberapa bulan terakhir wakil rakyat di Kairo sudah membahas rancangan Undang-undang Pencatatan Sipil. Terutama partai-partai konservatif menuduh RUU tersebut lebih mengutamakan perempuan ketimbang laki-laki, sesuatu yang dianggap bertentangan dengan agama dan tradisi.

Azza Soliman, aktivis HAM Mesir

Azza Soliman, aktivis HAM Mesir

Oleh Azza Soliman, aktivis HAM dan pendiri LSM “Pusat Bantuan Hukum Perempuan Mesir,” praktik mencampurkan agama dalam pembahasan hak sipil perempuan dianggap tidak bermanfaat, “kalau saya melibatkan diri dalam pembahasan itu, saya kan tidak melakukannya atas dasar Syariah,” kata dia kepada DW, “melainkan merujuk pada penderitaan perempuan.”

Menurutnya defisit perundang-undangan berdampak secara langsung terhadap kehidupan perempuan. “Undang-undang Pernikahan misalnya mengakibatkan proses perceraian memakan waktu bertahun-tahun. Hal serupa terjadi dalam proses hukum yang melibatkan hak perempuan, kebebasan menggunakan uang atau hak menjenguk anak setelah perceraian.”

Terutama proses persidangan kekerasan terhadap perempuan berlangsung terlalu lambat, keluh Soliman.

Dia terutama menyayangkan perilaku politisi konservatif yang hampir selalu menggunakan Syariah Islam sebagai “argumen tandingan“ dalam pembahasan hak perempuan atau keluarga.

Tradisi kuno seperti konsep “harga diri laki-laki” dan keluarganya seringkali disamarkan dengan jubah agama. “Kalau yang dibahas adalah isu lain seperti ekonomi atau kriminalitas, Syariah kan juga tidak digunakan untuk menolak amandemen perundang-undangan.“

rzn/vlz

 

Sumber: https://www.dw.com/id/hak-perempuan-dalih-pamungkas-bernama-syariah/a-53586265

Mengapa Perempuan (masih) Bertahan Diperbincangkan dalam Diskursus Islam?

Di mana dan seperti apa perempuan ditempatkan secara bermartabat dalam bangunan pemikiran ( epistemologi) Islam?

Pertanyaan itu menyeruak di benak saya setelah mengikuti diskusi buku Gendered Morality: Classical Islamic Ethics of the Self, Family and Society (Columbia University, Juli 2019) yang ditulis oleh Zahra Ayubi, asisten profesor di Darmouth University New Hampshire Amerika. Pertanyaan itu bernada gugatan yang membutuhkan jawaban yang jujur. Rabu pagi, 20 Mei 2020, diskusi buku virtual itu diselenggarakan oleh We Lead, sebuah jaringan pemberdayaan tujuh LSM feminis. We Lead merasakan kuatnya arus fundamentalisme yang mengancam tubuh dan eksitensi perempuan sekaligus keindonesaan yang ragam.

Pada kenyataannya, diskusi menjadi sangat istimewa, bukan hanya karena pemantiknya, tetapi juga karena penulisnya, Zahra Ayubi, hadir di sepanjang diskusi, meskipun waktu di California sudah menjelang sahur. Diskusi diantarkan dan diberi catatan oleh Ulil Abshar Abdalla, cendekiaan Muslim Indonesia, yang selama beberapa tahun terakhir mengampu“Ngaji Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali secara daring. Kehadiran Ulil penting, karena salah satu kitab yang dibahas dalam buku Gendered Morality: Classical Islamic Ethics of the Self, Family and Society ini adalah kitab karya Abu Hamid Muhammad al- Ghazali atau Imam Ghazali.

Sementara itu,  amina wadud (nama beliau secara resmi ingin ditulis tanpa huruf kapital) mengantarkan diskusi langsung ke pokok masalahnya. amina meminta Zahra Ayubi menjelaskan tentang motivasi, basis argumen, serta analisisnya atas tiga kitab tasawuf yang dikajinya yaitu Kimiyai Saadat karya Imam Ghazali, Akhlaaq-i Nasiri karya Nasiruddin Tusi dan Akhlaaq-i Jalali karya Jalaluddin Davani, dua kitab terakhir lebih populer di Iran.Dalam pengantarnya, Ulil menjelaskan, dan saya sepakat, bahwa selama ini tasawuf dianggap ilmu yang ramah perempuan karena mampu menghadirkan sisi “feminin” Tuhan. Tasawuf, bagi sejumlah feminis Muslim, bahkan menjadi obat frustrasi mereka atas ajaran Islam, dalam cabang lain, yang  cenderung misoginis dan patriarkal. Misalnya dalam ilmu fikih atau kalam.

Perempuan dibahas dengan terlebih dahulu diposisikan sebagai subordinat laki-laki. Mereka milik ayahnya atau laki-laki dari garis keturunan ayahnya, atau suaminya. Mereka dianggap separuh laki-laki, dan anggapan itu diturunkan secara praktis ke dalam kesaksian, hak waris, atau dalam perkawinan yang membolehkannya dipoligami, atau menjadi penyebab tak diperbolehkannya menjadi imam.

Sebelumnya, sudah ada kajian yang mengulas tasawuf dan relasinya dengan gender, di antaranya buku The Tao of Islam. Karya Sachiko Murata ini membahas tentang spiritualitas Islam yang memperlihatkan aspek keseimbangan Yin dan Yang atau aspek maskulin dan feminin (Jalal dan Jamal) dalam sifat-sifat Tuhan. Buku lainnya seperti My Soul is a Woman karya Annemarie Schimmel menguraikan tentang aspek feminin dalam spiritualitas Islam.  Namun, kajian dan analisis Zahra Ayubi, memberikan temuan yang berbeda.

Konstruksi ajaran tentang akhlak/etika, sebagaimana dikaji dalam tiga karya ahli tasawuf di atas,   sepenuhnya bias gender laki-laki. Seluruh kerangka bangunan pemikiran dalam tasawuf tentang etika/ahlak itu hanya melulu membahas bagaimana seharusnya laki-laki berakhlak dan mencapai tingkatan akhlak tertinggi. Dalam bukunya, Zahra Ayubi menyajikan bukti bagaimana para cendekiawan Islam abad pertengahan itu membuat sebuah sistem filsafat etika yang secara inheren berimplikasi gender dengan meniadakan pengalaman perempuan sebagai subyek.

Kajian Zahra Ayubi sangat penting dan terhitung baru. Selama ini kajian gender dalam Islam umumnya mengkritik tafsir Al-Quran, hadis atau tradisi fikih yang patriarkal. Dalam ajaran sufi, sebagaimana temuan Zahra Ayubi, citra ideal manusia adalah seorang laki-laki yang mampu menguasai diri dan hawa nafsunya. Sifat itu hanya mungkin dikuasai oleh kalangan elit (para bangsawan dengan kelas sosial tinggi). Sebab, hanya golongan kelas ataslah yang dianggap sanggup secara intelektual memahami ilmu filsafat serta dapat mencapai realisasi akhlak tertinggi.

Secara metodologis, Zahra Ayubi langsung “mengintrogasi” teks (content analysis). Untuk dapat menganalisis bagaimana gender dipahami dalam teks-teks yang dikaji, Zahra Ayubi terlebih dahulu membongkar maskulinitas dan bias kelas yang terkandung dalam teks, terutama bagaimana laki-laki, dan secara spesifik laki-laki elite, sejak lahir telah dikondisikan untuk menjadi patriakh/pemimpin di masyarakat. Penting untuk disadari bahwa duduk soalnya bukan sekadar perempuan tidak disertakan dalam sebuah teks, melainkan bagaimana keseluruhan teks-teks akhlak mensyaratkan bentuk hubungan tertentu yang berdasarkan subordinasi dari pihak lain (misalnya istri atau budak) kepada laki-laki dalam upayanya menjadi lebih beretika.

Menurut Zahra Ayubi, dalam pemahaman tasawuf, kajian akhlak dan fikih ternyata memiliki “strata”yang berbeda. Fikih dianggap sebagai diskursus etik untuk rakyat kebanyakan yang tak membutuhkan pemikiran berat, melainkan panduan praktis tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Sementara akhlak dianggap sebagai diskursus etik yang dirumuskan oleh pemikiran filsafat, dan karenanya, hanya diperuntukkan bagi kelas atas/priyayi/ terpelajar.

Dalam penelitiannya, Zahra Ayubi menyimpulkan bahwa diskursus mengenai etika dalam tasawuf bukan hanya bias gender laki-laki, tetapi juga bias kelas karena berorientasi pada kalangan elit laki-laki. Tentu saja dalam pembahasan akhlak ini dibahas tentang perempuan sebagaimana juga budak. Namun, pokok kajiannya adalah bagaimana seharusnya etika seorang laki-laki ketika menghadapi (godaan)  perempuan atau budak. Jadi, perempuan dibahas sebagai batu uji kualitas akhlak atau pelengkap penderita atas ujian kemuliaan jiwa para laki-laki.

Konsep akhlak dalam tasawuf adalah “refinement of nafs(penyucian jiwa). Ulil menambahkan bahwa proses penyucian jiwa dalam ilmu tasawuf terdiri dari tiga konsep yakni:  takhalli (membersihkan hati dari sifat-sifat buruk), tahalli (mengisi dengan sifat-sifat baik), dan  tajalli (puncak usaha manusia menjadi manusia yang berlaku etis). amina wadud menjelaskan hal itu terkait dengan konsep Insaanul Kamil, yang memang sangat berpusat kepada penyucian jiwa kaum laki-laki. Menurut Zahra,“refinement of nafs”ini ternyata  sebuah konsep yang semata-mata untuk pembersihan jiwa laki-laki. Jadi, tak berbeda dengan epistemologi pada bidang fikih dan tafsir, dalam tasawuf teks-teks akhlak itu penuh dengan bias gender.

Menurut Zahra Ayubi, pada hakikatnya disiplin ilmu etika (akhlak) menawarkan perspektif dasar tentang makna menjadi manusia, utamanya dalam konsep dien (agama), menurut Islam yang menawarkan cara dan jalan hidup bagi seluruh manusia. Namun, terlepas dari diskursus etika yang kaya tersebut, masih banyak asumsi-asumsi yang harus dibongkar agar kemanusiaan setiap manusia dapat diakui sepenuhnya, sehingga diskursus ini dapat berkontribusi dalam menjawab bagaimana mencapai keunggulan dan keluhuran manusia dari perspektif Islam, yaitu sebagai insan kamil sebagaimana disinggung oleh amina wadud.

Zahra Ayubi melihat bahwa dalam teks-teks tersebut, pertanyaan soal gender sebetulnya dapat diajukan bukan hanya dalam persoalan-persoalan yang seringkali mendiskusikan perihal perempuan, seperti bab pernikahan, melainkan dalam keseluruhan bab apapun di dalam teks-teks itu. Sebab semua isu yang dibahas mencakup isu gender. Ia melihat bahwa, pertama, teks-teks itu, meskipun yang ia kaji berbahasa Farsi (Persia) yang secara literal tidak mengenal kata ganti (pronoun) gender laki-laki dan perempuan, namun ketika membaca konteksnya, tampak bahwa teks-teks tersebut merujuk hanya kepada laki-laki.

Misalnya, ketika mendiskusikan bagaimana menjadi manusia dan Muslim yang lebih baik, atau ketika membahas konsep nafs dan bagaimana mengontrolnya, yang dimaksudkan teks adalah bagaimana menjadi laki-laki Muslim yang lebih baik dan dapat mengontrol nafs. Contoh lainnya, diskusi mengenai kemasyarakatan, seperti bagaimana menjadi pemimpin yang baik dan menghadapi lawan, seluruhnya berkonteks pada kepemimpinan laki-laki di masyarakat.

Kedua, konstruksi akhlak dalam tradisi Islam sebagai cara hidup (way of life) selama ini merupakan upaya yang eksklusif. Diskursus etika yang bertujuan pada penyucian dan peningkatan diri masih mengeksklusi kelompok-kelompok lain berdasarkan gender, abilitas, rasionalitas, kelas, dan ras.

Stereotype tentang rasionalitas merupakan aspek yang menyebabkan perempuan tidak ditimbang dalam konstruk epistemologi tasawuf sebagaimana dalam epistemologi lainnya (fikih, akidah, filsafat, politik). Padahal seluruh bangunan epistemologi itu terfokus kepada rasionalitas. Hal ini agaknya telah menjadi sebab perempuan dieksklusi dalam teks. Padahal rasionalitas seharusnya tak berjenis kelamin dan tak melalui jalan yang sama. Namun, kemampuan reproduksi perempuan, seperti menstuasi, hamil, melahirkan, nifas, yang dalam teks Al Qur’an diakui sebagai sebuah peristiwa yang berat di atas berat “wahnan ‘ala wahnin”, telah digunakan sebagai argumen bahwa rasionalitas perempuan lebih rendah.

Hal itu diperhubungkan dengan terhalangnya perempuan dalam menjalankan ibadah. Peristiwa reproduksi yang dialami perempuan telah dipakai sebagai penghukuman atas ketidaksetaraan dan tidak-sederajatnya perempuan dengan laki-laki. Kemampuan esensialnya telah dijadikan stigma bahwa perempuan kurang rasional dibanding laki-laki, serta implikasi-ilmpikasi lanjutannya yang berangkat dari prasangka yang sama kemampuan reproduksinya menyebabkan perempuan kekurangan rasionalitasnya.

Bagi Nur Rofiah, salah seorang penggagas KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), buku Zahra semakin menguatkan pandangannya bahwa ada masalah dalam sistem pengetahuan Islam, termasuk dalam tasawuf yang dianggap netral selama ini. Tasawuf ternyata juga diwarnai oleh kesadaran maskulin (menjadikan laki-laki sebagai standar). Selama berabad-abad pengalaman perempuan dengan tubuhnya, dengan kemampuan reproduksinya tidak dipertimbangkan dalam sistem ajaran/pengetahuan Islam. Sejarah panjang peradaban manusia, termasuk peradaban Islam diwarnai oleh tradisi yang“tidak memanusiakan perempuan”. Hal ini memunculkan cara pandang kolektif (termasuk dalam pikiran perempuan) bahwa laki-laki dianggap sebagai standar kemanusiaan perempuan.

Padahal pengalaman biologis maupun sosial perempuan, seperti melahirkan dan menyusui,  serta impilkasi sosialnya tidak pernah dialami laki-laki. Pengalaman perempuan dengan reproduksinya jarang sekali hadir dalam kesadaran laki-laki. Sementara itu, para laki-laki menguasai posisi strategisnya, termasuk dalam mengkonstruksikan konsep ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan dan perbedaan dalam menentukan standar kemaslahatan dalam relasi gender. Sebuah konsep‘maslahat’sepenuhnya bersandar kepada standar kaum laki-laki.

Contoh paling gampang adalah ketika menentukan izin poligami. Secara etika/fikih dan akhlak, poligami dibenarkan karena perempuan memiliki batasan waktu dalam melakukan hubungan seksual. Alih-alih berempati pada perempuan yang sedang menstruasi, hamil atau melahirkan dan nifas, laki-laki menganggap halangan itu telah mengganggu kemaslahatannya, dan karenanya, mereka merumuskan haknya sendiri agar tetap bisa aktif bersetubuh kapanpun mereka membutuhkannya.

Atas dasar itu,  mereka merumuskan poligami sebagai hak yang diperbolehkan bagi laki-laki. Contoh lain soal perkawinan anak perempuan dengan laki-laki dewasa. Praktik yang meninggalkan penderitaan dan trauma bagi anak perempuan itu dianggap maslahat karena perkawinan itu memberi kemaslahatan bagi laki-laki yang merasa punya hak untuk berulang kali mendapatkan keperawanan melalui perkawinan anak.

Pentingnya reproduksi untuk keberlangsungan makhluk hidup yang melahirkan sejumlah pengalaman biologis pada perempuan tidak akan pernah kompatibel dengan konsep akhlak menurut tubuh dan pengalaman maskulin sepanjang dibangun berdasarkan kepentingan lelaki. Karenanya, bagi amina wadud, pembacaan ulang atas isu ini mengharuskan kita untuk mengintegrasikan secara radikal pengalaman ragawi/tubuh seluruh manusia (tidak hanya perempuan) dalam mengkonstruksikan pemahaman mengenai manusia atau insan kamil, dan kemudian meningkatkannya, sehingga spiritual refinement tidak hanya dialokasikan pada ritual ibadah formal semata.

Kembali kepada pertanyaan yang saya ajukan di atas, sebegitu di-kuyo-kuyonya perempuan dalam epistemologi Islam, mengapa perempuan (tetap) bertahan dalam Islam?  Zahra Ayubi menyatakan bahwa teks-teks, seperti dalam kitab-kitab yang ia telaah, sebaiknya tidak lantas diabaikan begitu saja. Dibutuhkan upaya untuk dikaji kembali secara kritis dan mendalam, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis pada tingkat yang lebih filosofis dan kosmik. Kita bisa bertanya apa landasan yang etis dalam memaknai apa arti menjadi Muslim, apa tujuan keberadaan manusia dan apa makna berserah diri kepada Allah.

Ia merekomendasikan agar para intelektual Muslim bersama-sama memikirkan secara bersungguh-sungguh filsafat etika yang lebih inklusif yang tidak hanya konstruksi kebahagiaan berdasar konsep penggunaan akal (sehingga rasionalitas menempati posisi terpenting dan mengabaikan pengalaman lainnya). Definisi akhlak seperti saat ini problematis karena mengeksklusi pengalaman perempuan.

Secara ideal, teks – teks dalam ilmu akhlak seharusnya dapat mengakui keberagaman manusia, bukan hanya secara gender, tapi juga ras, abilitas, dan kelas. Adanya keragaman itu bisa jadi akan melahirkan keragaman standar, dan bukan ketunggalan standar dalam pencapaian “refinement”. Dan itu lebih wajar, karena berbagai perbedaan, konstruksi sosial, dan tantangan struktural akan melahirkan perbedaan-perbedaan dalam mendefinisikan penghalang bagi tiap individu dalam mencapai pemenuhan potensi nafsnya.

Saya berdiskusi secara virtual dengan beberapa kolega sesama feminis. Ada sejumlah jawaban yang menurut saya cukup masuk akal. Jawaban terbanyak adalah karena perempuan tak memiliki keberanian atau kesanggupan untuk keluar. Tali yang mengerangkengnya secara ekonomi, kultural dan struktural begitu kuat dan ketat. Bayangkan, sejak hari pertama kelahiran perempuan, bata pertama bangunan tembok pengamanannya telah ditancapkan, ia menjadi anak perempuan (bin) dari seorang ayah dan seluruh garis hirarki patriakhnya yang merasa punya hak atas dirinya.

Kepada si bayi perempuan, segera ditetapkan kewajibannya untuk menjaga harkat martabat keluarga dan lingkaran-lingkaran yang makin membesar sampai harus menjaga martabat “umat Islam. Jika kelak ia memilih murtad, misalnya, berapa banyak yang merasa punya hak untuk menghukumnya? Dalam makna ini, pertanyaan soal betah atau tidak betah menjadi tidak relevan.

Kedua, sejumlah jawaban yang menegaskan bahwa dalam agama sebetulnya ada aspek-aspek yang bersifat afeksi, kehangatan, rasa damai, hubungan yang khusyuk antara individu perempuan dengan Tuhannya. Pengalaman ini memang tidak dikodifikasi menjadi ilmu pengetahuan atau mengalami institusionalisasi. Itu karena pengalaman mereka tak dikenali oleh laki-laki yang selama ini mengkonstruksikan epistemologi Islam. Aspek-aspek kehangatan agama itu hidup dan diturunkan sebagai rahasia antar perempuan lintas generasi. Pengalamannya dalam bereproduksi penjadi pengalaman eksklusif,  yang bagi mereka, tak akan kunjung memahaminya (laki-laki) bahkan menganggapnya sebagai barang tabu. Mereka memilih melakukan percintaan batin dengan Rabnya, yang mereka daku sebagai kekasihnya.

Pilihan lain, keluar dari Islam untuk mengambil agama atau ideologi lain yang membela perempuan, seperti filsafat dan pemikiran sekuler yang bertumbu kepada sistem hukum. Namun, ini pun belum tentu tersedia ruang bagi perempuan. Kaum feminis arus terus bekerja keras dalam memastikan perempuan senantiasa hadir dan dipertimbangkan.

Pilihah terakhir, saya kira ini merupakan jalan yang banyak ditempuh oleh kalangan feminis Muslim, termasuk Dr. Zahra Ayubi: merebut tafsir! Epistemologi Islam  telah menyajikan kekayaan metodologi yang dapat dikritisi dan dipakai kembali untuk melakukan kritik dengan menghadirkan pengalaman-pengalaman perempuan sebagai kebenaran yang sah! Dengan cara itu epistemologi Islam dapat dikaji ulang dan direkonstruksi![]

 

Lies Marcoes

Peneliti senior untuk tema-tema keislaman dan pemberdayaan masyarakat. Kini mengelola Rumah KitaB.
Sumber: https://islami.co/mengapa-perempuan-masih-bertahan-diperbincangkan-dalam-diskursus-islam/?fbclid=IwAR1-yYt_Mo8ZBvFk3jKvb89xk2aPvdAxJEXqfC5A54RQKqVdQF6DLE1nfnM
rumah kitab

Apakah Aisyah Seorang Feminis?

Belakangan ini ada diskusi kecil-kecilan menyangkut pertanyaan apakah Aisyah seorang feminis?

Aisyah r.a. adalah perawi (yang meriwayatkan) hadis Nabi paling terpercaya, salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang memberi kepastian sebagai salah satu mata rantai perawi yang menjamin bahwa suatu hadis benar-benar berasal dari Rasulullah. Sebagai istri Nabi, ia memiliki legitimasi sebagai saksi tentang perilaku dan ucapan Nabi terhadap dirinya, baik sebagai perempuan atau sebagai istri.

Di antara sekian banyak hadis-hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah, kita dapat mencari tahu soal perilaku Nabi kepada perempuan. Dari hadis Aisyah, kita mendapatkan gambaran tentang sikap Nabi yang santun, tidak memaksa, mendengarkan, mengakomodasi pendapat pandangan, dan bahkan protes kaum perempuan agar mengakhiri kekerasan suami terhadap istrinya. Atas  perannya itu, oleh kalangan feminis Muslim, Aisyah disebut-sebut sebagai seorang feminis.

Namun sekelompok perempuan lain (dan lelaki), tidak setuju dengan predikat itu. Argumennya, secara historis Aisyah (dan Islam) lahir pada abad ke-7, dan Islam berkembang menjadi sebuah peradaban unggul, sebelum jatuh dan masuk ke era kolonial. Islam telah lebih dulu menempatkan perempuan secara terhormat, setara, dan adil jauh sebelum kalangan feminis Barat memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Kalangan feminis baru bicara keadilan perempuan di penghujung abad 18, di abad 19 dan meluas di abad 20, sementara Aisyah telah lebih dulu 13 abad sebelumnya.

Alasan lain, agaknya terletak pada label feminis dan feminisme itu sendiri. Feminis (orangnya), atau feminisme (cara pandang/filsafat/ideologinya), atau aksi/advokasi feminis (sebagai gerakan sosial, panduan aksi menuju perubahan agar lebih baik bagi perempuan), dianggap sebagai suatu gerakan anti-kemapanan yang berpengaruh negatif kepada perempuan. Feminisme juga dianggap sebagai gerakan kebebasan dari Barat. Kata “Barat” dalam konteks feminisme sering mengandung stigma negatif ketimbang positif. Artinya bisa dianggap kebebasan yang kebablasan, atau dikelompokkan sebagai sekuler, anti-agama serta anti-keluarga.

Faktanya, feminisme memang sebuah gerakan pemikiran sekaligus gerakan sosial yang menggugat dan mengguncang tatanan norma keluarga dan norma sosial serta hubungan-hubungan yang telah mapan yang berlaku dalam sistem masyarakat patriarki (berpusat kepada lelaki).

Feminisme melihat secara kritis kemapanan hubungan-hubungan itu, yang di dalamnya dapat ada upaya melanggengkan posisi subordinat perempuan dengan alasan-alasan takhayul dan misoginis (membenci perempuan); perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki (Adam), perempuan lemah fisik, mental dan ingatannya; perempuan kurang akalnya karena setiap bulan haid, perempuan sudah dimuliakan di rumah dan perumahan perempuan merupakan ketentuan Tuhan, perempuan sumber fitnah, atau anggapan perempuan tidak bisa amanah, perempuan tidak bisa memimpin, nilai perempuan separuh lelaki dan seterusnya.

Feminisme juga menyoal secara kritis hal-hal yang dianggap tak perlu lagi dibahas terkait hubungan-hubungan personal (di dunia privat) atau hubungan sosial, politik (di dunia publik) antara lelaki dan perempuan. Padahal tidak sedikit hubungan-hubungan itu memunculkan ketidakadilan meskipun telah dikodifikasikan ke dalam sistem keyakinan agama baik dalam akidah (keyakinan) maupun dalam sistem hukum (fikih, utamanya dalam rumpun fikih keluarga/perdata—ahwal asy syahsiyah).

Hal ketiga yang membuat feminisme ditakuti adalah karena mereka dianggap anti-keluarga. Tapi apa dan bagaimana feminisme bekerja?

Feminisme menyangkut aksi

Dalam pemahaman saya, sederhananya begini. Ketika seseorang atau sekelompok orang (bisa perempuan, atau lelaki tapi umumnya perempuan) mempertanyakan dengan kritis mengapa (ada) perempuan mendapatkan hambatan untuk memperoleh hak-haknya secara adil dengan alasan karena dia perempuan sehingga dengan hilangnya hak-hak itu ia atau mereka mengalami penindasan, maka orang tersebut disebut separuh feminis.

Dikatakan baru separuh feminis sebab, berbeda dari “isme” lainnya, feminisme adalah sebuah sistem berpikir (filsafat) atau cara pandang (perspektif) yang selalu mendialektikakannya dengan aksi untuk perubahan guna mengakhiri penindasan.

Feminisme adalah satu kesatuan tindakan yang dimulai dari berpikir atau bertanya secara kritis mengapa perempuan mengalami penindasan, dilanjutkan dengan aksi untuk mengakhiri penindasan itu. Demikianlah cara kerja feminis—bertanya-tanya, berpikir, membangun, dan menguji teori tentang sebab musabab penindasan, dan melakukan aksi untuk mengakhirinya. Ketika melakukan aksi, inspirasinya bisa dari mana-mana. Feminis Muslim mengambilnya dari ajaran Islam.

Sebagai “isme”, feminisme merupakan pemikiran modern. Ini menyangkut perempuan dan posisinya sebagai warga negara. Pemikiran dan aksi feminisme lahir dalam lintasan sejarah masyarakat modern. Artinya, feminisme berada dalam masyarakat yang telah memiliki aturan bernegara, aturan tentang hubungan rakyat dan negara, ada pemerintahan, ada rakyat, ada sistem parlemen dan ada sistem hukum, dan lain-lain yang berfungsi mengatur atau meregulasi. Masalahnya,  dalam cara mengatur itu perempuan sering tak dikalkulasi dengan ragam alasannya, antara lain alasan yang bersifat takhayul yang datang dari penafsiran manusia atas teks agama.

Kaitan dengan kolonialisme

Berbeda dari sejarah lahir dan munculnya feminisme di Barat, di dunia berpenduduk Muslim seperti Indonesia, Mesir, India beberapa wilayah di Afrika Utara, feminisme lahir bersamaan dengan kesadaran dan perlawanan terhadap penindasan yang disebabkan oleh kolonialisme.

Para feminis di Barat punya persoalannya sendiri. Meski penderitaannya bisa sama dengan perempuan di wilayah kolonial, namun akar masalahnya berbeda. Di Eropa, terkait soal diskriminasi dalam hak mendapatkan upah dan hak bersuara; di Amerika soal serupa sebagaimana di Eropa, namun berakar dari diskriminasi berbasis warna kulit. Pokoknya kontekstual sekali.

Namun meskipun perempuan di Barat tak mengalami persoalan kolonialisme serupa perempuan di negara-negara berpenduduk Muslim, pengalaman perempuan dalam dunia kolonialisme dapat mereka resapi dan pelajari. Muncul kesadaran kritis bahwa penjajahan adalah kejahatan kemanusiaan.

Mereka kemudian ikut melakukan perlawanan dengan menolak kolonialisme seperti yang dilakukan Estella (Stella) Zeehandelaar, seorang penganut feminis kerakyatan di Belanda. Ia mendukung perjuangan Kartini melawan aturan pembatasan bagi perempuan untuk meraih pendidikan bagi kaum perempuan. Perjuangan yang sama dilakukan kaum sosialis di Belanda yang membela hak-hak bagi lelaki kaum Bumi Putera untuk mengakses pendidikan hanya karena mereka bukan aristokrat dan bukan anak pangreh praja (birokrat).

Perempuan-perempuan di dunia jajahan menghadapi praktik diskriminasi berganda. Dari penjajah mereka didiskriminasi dengan memperlakukan rendah kaum jajahannya (baik lelaki maupun perempuan), sementara dari sisi adat dan budaya, perempuan mengalami pengekangan dengan alasan semata-mata karena perempuan dengan atribut-atribut (negatif) sebagai perempuan.

Aisyah adalah inspirasi positif bagi kaum feminis Muslim yang meyakini perempuan berhak atas pendidikan dan untuk pintar seperti Aisyah.

Jadi perjuangan kaum feminis adalah perjuangan bagi kaum perempuan agar mereka mendapatkan hak-haknya. Misalnya hak untuk lahir tanpa disesali hanya karena berkelamin perempuan, hak untuk tidak disunat dengan prasangka demi mengontrol libido seksnya, hak untuk tumbuh dengan mendapatkan gizi tanpa pilih kasih, hak untuk pendidikan dan bersekolah tanpa restriksi, hak untuk mendapatkan informasi yang benar, hak untuk bersuara dan berpendapat dan didengar pendapatnya, hak mendapatkan kedudukan yang setara dalam ragam pekerjaan, hak untuk menolak dikawinkan secara paksa, hak untuk tidak mengalami kekerasan, hak untuk mendapatkan rasa aman di rumah, di komunitas dan di ruang umum/publik, termasuk tidak dilecehkan dalam cara mereka berpakaian (misalnya pakai hijab atau pakai baju di atas lutut), hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan kelamin biologis dan kelamin sosialnya (gender) sebagai perempuan.

Bagi kaum feminis di negara-negara mayoritas Islam, mereka berjuang dengan agenda mereka sendiri: Mengatasi buta huruf, menghentikan praktik sunat, kawin usia anak, mengatasi larangan keluar rumah setelah mencapai usia tertentu, menolak pemaksaan memakai pakaian berdasarkan aturan yang didakukan sebagai kewajiban mutlak, menolak pemasangan kontrasepsi di luar kepentingan tubuh dan kesehatannya, menolak larangan bersekolah dan larangan ikut mengaji di pesantren. Dalam sejarah pesantren, baru pada tahun 1924 perempuan di lingkungan pesantren boleh ikut mengaji kitab di luar baca Al-Quran.

Berkat Kartini, kita semua kaum perempuan secara historis mendapatkan kesempatan pendidikan. Dalam bentuk aksi, gagasan emansipasi itu diteruskan oleh sejumlah tokoh pergerakan dan pendidikan seperti Dewi Sartika dan Rohana Koedoes. Di Muhammadiyah dan NU, pintu pendidikan dibuka bagi perempuan. Bahkan mereka yang kini menolak feminisme pun menerima manfaat dari perjuangan para perintis persamaan hak dalam pendidikan bagi kaum perempuan.

Lalu bagaimana dengan Aisyah? Karena feminisme adalah pemikiran di era modern maka cara membacanya adalah, “Apa pengaruh Aisyah bagi feminisme di dunia Islam?”. Sebab di eranya, feminisme memang jelas tidak (belum) ada, sebagaimana juga isme-isme yang lain yang berkembang di dunia Islam pasca-kolonial: Wahabisme, Salafisme, Sosialisme Arab, dan sejumlah isme yang muncul dalam khazanah politik dunia Islam.

Belakangan isme-isme itu berkembang dan menjadi ideologi dalam dunia modern yang ikut memandu umat Islam untuk keluar dari dunia penjajahan, kemiskinan atau kesulitan ekonomi, politik pada umumnya. Inspirasinya mungkin bercermin dari dua periode zaman Nabi yaitu periode Makkah dan Madinah.

Bagi kaum feminis Muslim, mereka juga mengambil inspirasi dari ajaran agama Islam baik dari elemen tasawuf, sejarah politik kekuasaan maupun dari teks-teks suci seperti Al-Quran/ tafsir, hadis, dan dari kodifikasi hukum Islam (fikih ). Ini tak ada bedanya dengan mereka yang menolak feminisme dalam dunia Islam. Mereka juga mengambil inspirasi dari sumber-sumber ajaran Islam tadi yang mereka sebut Islam sebagai world view.

Ada pun Aisyah, atau sahabat Nabi yang lain atau Nabi Muhammad sendiri, bagi kedua kelompok itu merupakan teks yang dibaca dan ditafsirkan. Aisyah dan sejarah Nabi serta teks-teks keagamaan terutama Al-Quran dan hadis menjadi sumber rujukan bagi mereka untuk menemukan ajaran, nilai, pedoman untuk menentukan apakah menerima atau menolak feminisme, apakah perempuan perlu diperjuangkan hak-haknya atau dibiarkannya tunduk pada ragam alasan yang menindasnya.

Selanjutnya tinggal bergantung kepada metodologi (manhaj) dalam mendekati rujukan atau teks itu. Bagi kalangan feminis, terutama yang menekuni kajian hadis dan sejarah Islam di periode awal, melihat Aisyah adalah sebagai teladan yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sederajat dengan lelaki dalam menerima amanah sebagai perawi hadis.

Aisyah adalah contoh perempuan yang bisa memimpin peperangan untuk menegakkan hal yang ia percayai sebagai kebenaran, Aisyah adalah teladan dalam menolak perkawinan paksa. Aisyah adalah inspirasi positif bagi kaum feminis Muslim yang meyakini perempuan berhak atas pendidikan dan untuk pintar seperti Aisyah.

Bekal yang dimiliki kaum feminis Muslim adalah keyakinan bahwa Allah meletakkan secara setara antara lelaki dan perempuan dan Allah menjanjikan pahala dan hukuman setimpal bagi lelaki atau perempuan. Namun melalui seperangkat metodologi dan tools yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan dan advokasi, kaum feminis Muslim memastikan bahwa sistem yang bekerja dalam negara tidak boleh diskriminatif berdasarkan prasangka jenis kelamin. Di sanalah konsep keberpihakan digunakan sebagai pijakan kesadaran kritis itu.

Dengan pengertian itu, bagi saya, menyebut Aisyah bukan (sumber inspirasi) feminis merupakan sebuah pemahaman yang ahistoris. Kenyataannya, banyak yang memperjuangkan hak-hak perempuan sebagaimana diajarkan dalam prinsip agama Islam telah mengambil teladan dan inspirasi dari Aisyah.

 

Lies Marcoes, 5 Mei 2020

rumah kitab

Merebut Tafsir: Feminiskah Aisyah?

Oleh Lies Marcoes

Belakangan ada diskusi kecil-kecilan menyangkut pertanyaan apakah Aisyah seorang feminis?
Aisyah r.a., adalah perawi hadis Nabi paling terpercaya, salah seorang sahabat Nabi yang memberi kepastian sebagai salah satu mata rantai perawi yang menjamin bahwa suatu hadis benar-benar berasal dari Rasulullah. Aisyah adalah istri Nabi dan karenanya memiliki legitimasi sebagai saksi tentang perilaku dan ucapan Nabi terhadap dirinya baik sebagai perempuan atau sebagai istri. Di antara sekian banyak hadis-hadis yang sanadnya melalui Aisyah, tentu kita dapat mencari tahu soal perilaku Nabi kepada perempuan. Dari hadis Aisyah kita mendapatkan gambaran tentang sikap Nabi yang santun, tidak memaksa, mendengarkan, mengakomodasi pendapat pandangan dan bahkan protes kaum perempuan agar mengakhiri kekerasan suami terhadap istrinya. Atas “peran”nya itu, oleh kalangan feminis Muslim, Aisyah disebut-sebut sebagai seorang feminis.

Namun sekelompok perempuan lain (dan lelaki), tidak setuju dengan predikat itu. Argumennya, secara historis Aisyah (dan Islam) lahir abad ke 7, Islam berkembang menjadi sebuah peradaban unggul, sebelum jatuh dan masuk ke era kolonial. Islam telah lebih dulu menempatkan perempuan secara terhormat, setara dan adil jauh sebelum kalangan feminis Barat memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Kalangan feminis baru bicara keadilan perempuan di penghujung abad 18, di abad 19 dan meluas di abad 20, sementara Aisyah telah lebih dulu di abad ke 7.

Alasan lain, agaknya terletak pada label feminis dan feminisme itu sendiri. Feminis (orangnya) atau feminisme ( cara pandang/ filsafat/ ideologinya) atau aksi/advokasi feminis (sebagai gerakan sosial, panduan aksi menuju perubahan agar lebih baik bagi perempuan), dianggap sebagai suatu gerakan anti kemapanan yang berpengaruh negatif kepada perempuan. Feminisme juga dianggap sebagai gerakan kebebasan dari Barat. Kata “Barat” dalam konteks feminisme sering mengandung stigma negatif ketimbang positif. Artinya, bisa dianggap bebas-bebasan yang kebablasan, atau dikelompokkan sebagai sekuler, anti agama serta anti keluarga.

Nyatanya feminisme memang sebuah gerakan pemikiran sekaligus gerakan sosial yang menggugat dan mengguncang tatanan norma keluarga dan norma sosial serta hubungan-hubungan yang telah mapan yang berlaku dalam sistem masyarakat patriarki (berpusat kepada lelaki). Sebab feminisme melihat SECARA KRITIS kemapanan hubungan-hubungan itu yang didalamya DAPAT mengandung pelanggengan posisi subordinat perempuan dengan alasan-alasan takhayul dan misoginis (membenci perempuan); perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki (Adam), perempuan lemah fisik, mental dan ingatannya; perempuan kurang akalnya karena setiap bulan haid, perempuan sudah dimuliakan di rumah dan perumahan perempuan merupakan ketentuan Tuhan, perempuan sumber fitnah, atau anggapan perempuan tidak bisa amanah, perempuan tidak bisa memimpin, nilai perempuan separuh lelaki dan seterusnya.

Feminisme juga menyoal SECARA KRITIS hal-hal yang dianggap tak perlu lagi dibahas terkait hubungan -hubungan personal ( di dunia privat) atau hubungan sosial, politik ( di dunia publik) antara lelaki dan perempuan. Padahal tak sedikit hubungan-hubungan itu memunculkan ketidakadilan meskipun telah dikodifikasikan ke dalam sistem keyakinan agama baik dalam aqidah (keyakinan) maupun dalam sistem hukum ( fiqh utamanya dalam rumpun fiqh keluarga/perdata – ahwal asy syahsiyah).

Hal ketiga yang membuat feminisme ditakuti adalah karena mereka dianggap anti keluarga.

Tapi apa dan bagaimana feminisme bekerja? Dalam pemahaman saya, sederhananya begini. Ketika seseorang atau sekelompok orang (bisa perempuan, atau lelaki tapi umumnya perempuan) mempertanyakan dengan KRITIS, mengapa (ada) perempuan mendapatkan hambatan untuk memperoleh hak-haknya secara adil dengan alasan KARENA DIA PEREMPUAN sehingga dengan hilangnya hak-hak itu ia/ mereka mengalami penindasan, maka orang tersebut disebut SEPARUH feminis.

Dikatakan baru separuh feminis, sebab, berbeda dari “isme” yang lain, FEMINISME adalah sebuah sistem berpikir (filsafat) atau cara pandang (perspektif) yang SELALU mendialektikakannya dengan AKSI untuk perubahan guna MENGAKHIRI penindasan. Feminisme adalah satu kesatuan tindakan yang dimulai dari berpikir /bertanya secara kritis mengapa perempuan mengalami penindasan, dilanjutkan dengan AKSI untuk mengakhiri penindasan itu. Demikianlah cara kerja feminis – bertanya-tanya, berpikir, membangun dan menguji teori tentang sebab musabab penindasan, dan melakukan aksi untuk mengakhirinya. Ketika melakukan AKSI inspirasinya bisa dari mana-mana. Feminis Muslim mengambilnya dari ajaran Islam.

Sebagai “isme” feminisme merupakan pemikiran modern. Ini menyangkut perempuan dan posisinya sebagai WARGA NEGARA. Pemikiran dan aksi feminisme lahir dalam lintasan sejarah masyarakat modern. Artinya feminisme berada dalam masyarakat yang telah memiliki aturan bernegara; aturan tentang hubungan rakyat dan negara, ada pemerintahan, ada rakyat, ada sistem parlemen dan ada sistem hukum dan lain-lain yang berfungsi mengatur/meregulasi. Masalahnya dalam cara mengatur itu perempuan sering tak dikalkulasi dengan ragam alasannya, antara lain alasan yang bersifat takhayul yang datang dari penafsiran manusia atas teks agama.

Berbeda dari sejarah lahir dan munculnya feminisme di Barat, di dunia berpenduduk Muslim seperti Indonesia, Mesir, India beberapa wilayah di Afrika Utara, feminisme lahir bersamaan dengan kesadaran dan perlawanan terhadap penindasan yang disebabkan oleh kolonialisme. Para feminis di Barat punya persoalannya sendiri. Meski penderitaannya bisa sama dengan perempuan di wilayah kolonial, namun akar masalahnya berbeda. Di Eropa, terkait soal diskriminasi dalam hak mendapatkan upah dan hak bersuara; di Amerika soal serupa sebagaimana di Eropa namun berakar dari diskriminasi berbasis warna kulit. Pokoknya kontekstual sekali. Namun meskipun perempuan di Barat tak mengalami persoalan kolonialisme serupa perempuan di negara-negara berpenduduk Muslim, pengalaman perempuan dalam dunia kolonialisme dapat mereka resapi dan pelajari. Muncul kesadaran kritis bahwa penjajahan adalah kejahatan kemanusiaan. Mereka kemudian ikut melakukan perlawanan dengan menolak kolonialisme seperti yang dilakukan Estella (Stella) Zeehandelaar, seorang penganut feminis kerakyatan di Belanda. Ia mendukung perjuangan Kartini melawan aturan pembatasan bagi perempuan untuk meraih pendidikan bagi kaum perempuan. Perjuangan yang sama dilakukan kaum sosialis di Belanda yang membela hak-hak bagi lelaki kaum Bumi Putera untuk mengakses pendidikan hanya karena mereka bukan aristokrat dan bukan anak “pangreh praja” (birokrat).

Perempuan-perempuan di dunia jajahan menghadapi praktik diskriminasi berganda: dari penjajah mereka didiskriminasi dengan memperlakukan rendah kaum jajahannya (baik lelaki maupun perempuan), sementara dari sisi adat dan budaya perempuan mengalami pengekangan dengan alasan semata-mata karena perempuan dengan atribut-atribut (negatif) sebagai perempuan.

Jadi perjuangan kaum feminis adalah perjuangan bagi kaum perempuan agar mereka mendapatkan hak-haknya. Misalnya hak untuk lahir tanpa disesali hanya karena berkelamin perempuan, hak untuk tidak disunat dengan prasangka demi mengontrol libido seksnya, hak untuk tumbuh dengan mendapatkan gizi tanpa pilih kasih, hak untuk berpendidikan dan bersekolah tanpa restriksi, hak untuk mendapatkan informasi yang benar, hak untuk bersuara dan berpendapat dan didengar pendapatnya, hak mendapatkan kedudukan yang setara dalam ragam pekerjaan, hak untuk menolak dikawinkan secara paksa, hak untuk tidak mengalami kekerasan, hak untuk mendapatkan rasa aman di rumah, di komunitas dan di ruang umum/publik, termasuk tidak dilecehkan dalam cara mereka berpakaian (misalnya pakai hijab atau pakai baju di atas lutut), hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan kelamin biologis dan kelamin sosialnya (gender) sebagai perempuan.

Bagi kaum feminis di negara-negara mayoritas Islam, mereka berjuang dengan agenda mereka sendiri: mengatasi buta huruf, menghentikan praktik sunat, kawin usia anak, mengatasi larangan keluar rumah setelah mencapai usia tertentu, menolak pemaksaan memakai pakaian berdasarkan aturan yang didakukan sebagai kewajiban mutlak, menolak pemasangan kontrasepsi di luar kepentingan tubuh dan kesehatannya, menolak larangan bersekolah dan larangan ikut ngaji di pesantren. Dalam sejarah pesantren, hanya baru 1924 perempuan di lingkungan pesantren boleh ikut ngaji kitab di luar baca Al Qurian.

Berkat RA Kartini, kita semua kaum perempuan SECARA HISTORIS mendapatkan kesempatan pendidikan. Dalam bentuk AKSI, gagasan emansipasi itu diteruskan oleh sejumlah tokoh pergerakan dan pendidikan seperti R.Dewi Sartika, Rohana Koedoes dll. Di Muhammadiyah dan NU, pintu pendidikan dibuka bagi perempuan. Bahkan mereka yang kini menolak feminisme pun menerima manfaat dari pejuangan para perintis persamaan hak dalam pendidikan bagi kaum perempuan.

Lalu bagaimana dengan Aisyah r.a.? Karena feminisme adalah pemikiran di era modern maka cara bacanya adalah “apa pengaruh Aisyah bagi feminisme di dunia Islam”?. Sebab di eranya feminisme memang jelas tidak (belum) ada, sebagaimana juga isme-isme yang lain yang berkembang di dunia Islam paska kolonial: Wahabisme, Salafisme, Sosialisme Arab dan sejumlah isme yang muncul dalam khazanah politik dunia Islam. Belakangan isme-isme itu berkembang dan menjadi ideologi dalam dunia modern yang ikut memandu umat Islam untuk keluar dari dunia penjajahan, kemiskinan atau kesulitan ekonomi, politik pada umumnya. Inspirasinya mungkin bercermin dari dua periode zaman Nabi yaitu periode Mekkah dan Madinah.

Bagi kaum feminis Muslim mereka juga mengambil inspirasi dari ajaran agama Islam baik dari elemen tasawuf, sejarah politik kekuasaan maupun dari teks-teks suci seperti al Qur’an / tafsir, hadis dan dari kodifikasi hukum Islam (fiqh). Ini tak ada bedanya dengan mereka yang menolak feminisme dalam dunia Islam. Mereka juga mengambil inspirasi dari sumber-sumber ajaran Islam seperti Al Qur’an / tafsir, hadis dan kodifikasi hukum Islam yang mereka sebut Islam sebagai worldview. Adapun Aisyah, atau sahabat Nabi yang lain atau Nabi Muhammad Saw sendiri, bagi kedua kelompok itu merupakan TEKS yang dibaca dan ditarfsirkan. Aisyah dan sejarah Nabi serta teks-teks keagamaan terutama Al-Quran dan Hadis menjadi sumber rujukan bagi mereka untuk menemukan ajaran, nilai, pedoman untuk menentukan apakah menerima atau menolak feminisme; apakah perempuan perlu diperjuangkan hak-haknya atau dibiarkannya tunduk pada ragam alasan yang menindasnya.

Selanjutnya tinggal bergantung kepada METODOLOGI (manhaj) dalam mendekati rujukan/ teks itu. Bagi kalangan feminis, terutama yang menekuni kajian hadis dan sejarah Islam di periode awal, melihat Aisyah r.a. adalah sebagai teladan yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sederajat dengan lelaki dalam menerima amanah sebagai perawi hadis. Aisyah adalah contoh perempuan yang bisa memimpin peperangan untuk menegakkan hal yang ia percayai sebagai kebenaran, Aisyah adalah teladan dalam menolak perkawinan paksa, Aisyah adalah inspirasi positif bagi kaum feminis Muslim yang meyakini perempuan berhak atas pendidikan dan untuk pintar seperti Aisyah. Bekal yang dimiliki kaum feminis Muslim adalah keyakinan bahwa Allah meletakkan secara setara antara lelaki dan perempuan dan Allah menjanjikan pahala dan hukuman setimpal bagi lelaki atau perempuan. Namun melalui seperangkat metodologi dan tools yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan dan advokasi, kaum feminis Muslim memastikan bahwa sistem yang bekerja dalam negara tidak boleh diskriminatif berdasarkan prasangka jenis kelamin. Di sanalah konsep kepemihakan digunakan sebagai pijakan kesadaran kritis itu.

Dengan pengertian itu, bagi saya, menyebut Aisyah bukan (sumber inspirasi) feminis merupakan sebuah pemahaman yang a-historis. Kenyataannya banyak yang memperjuangkan hak-hak perempuan sebagaimana diajarkan dalam prinsip agama Islam telah mengambil teladan dan inspirasi dari Aisyah r.a.

Lies Marcoes,5 Mei 2020.

Menyelisik Gerakan Tanpa Feminis di Indonesia

Sebelas perempuan duduk melingkar di selasar lobi FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan, Banten. Satu di antaranya tampak dominan, berkhotbah. Kali itu soal K-Pop dan dampak buruknya ke sepuluh mahasiswi UIN di sekelilingnya. Ia membawa serta bayi laki-lakinya, yang selama pertemuan tepekur tenang di pangkuan ibunya.

“Di UIN banyak cewek yang mengidolakan banget korea-koreaan. Maka kita membahas, apakah kecintaan kita terhadap K-Drama dan K-Pop itu sebuah kecintaan yang hakiki, yang bikin kita bahagia atau enggak,” ujar Ayu Fitri, pengkhotbah tadi, kepada kumparan seusai acara, Jumat (5/4).

Tajuk pertemuan kala itu berjudul Fake Love, satire cerdas yang ia ambil dari judul lagu boyband Korea Selatan, BTS. Tiap minggu, komunitas Yuk Hijrah membahas isu yang berbeda, terentang dari ragam kultur pop, percintaan, sampai janji bagi perempuan di surga. Ayu, alumni UIN angkatan 2012, dan dua orang temannya membikin komunitas tersebut tiga tahun lalu.

Di tengah pertemuan, pembahasan melebar. Ayu mengkritik keberadaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan menyinggung soal feminisme. Kepada peserta diskusi yang tampak kurang familier terhadap isu ini, Ayu menyebut ruh RUU PKS tidak islami.

“Aturannya itu nggak ada pembatasan yang jelas. Bahkan, kalau yang sudah dihapus ya, katanya ada pemaksaan berpakaian. Saya pernah nonton cuplikan video, ibu-ibu bilang, ‘Kalau saya mendidik anak saya pakai kerudung terus anak nggak mau, berarti nanti bisa dijerat dong sama RUU ini?’ Itu menurut saya ngenes banget,” kata Ayu.

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Andi Komara, telah mengklarifikasi isu tersebut. Ia menduga ada pihak-pihak yang sengaja menyebarkan informasi salah tersebut kepada publik. “RUU PKS tak mengatur masalah pakaian,” kata Andi kepada Antara pertengahan Februari lalu.

Sementara soal feminisme, Ayu juga mengambil posisi bertentangan. Semangat feminisme agar perempuan tak lagi ditindas, adalah sesuatu yang bagus. Namun, menurutnya, feminisme sekarang kebablasan.

“Penginnya perempuan nggak cuma di rumah, bisa kerja, berkarier. Saya lihat jadi kebablasan. Karena sekarang kalau lihat di lowongan pekerjaan saja, yang lebih banyak dibutuhkan perempuan. Iklan-iklan yang sebenarnya nggak perlu juga jadi pakai perempuan. Bukan cuma memakai perempuan sebagai pekerja, tapi sebagai objeknya,” kata Ayu.

Ia lalu menyebutkan beberapa pandangan feminis lain yang membuatnya resah. Contoh yang ia berikan adalah perkara izin pada suami atau orang tua saat perempuan hendak keluar rumah dan perihal menutup aurat.

“Ide feminis belakangan ini kan mengarahkan izin sama suami, sama bapak, itu bikin ribet. Perempuan juga bebas mengeksplorasi tubuhnya, bebas mau ditunjukkin mau ditutupin terserah. Otomatis secara langsung feminis bertabrakan dengan Islam,” jelas Ayu.

Ayu dan Yuk Hijrah UIN-nya bukanlah satu-satunya gerakan yang berseberangan dengan feminisme. Ia juga bukan yang pertama. Sebelumnya, Muslimah HTI secara terbuka menggelar demonstrasi menolak feminisme di Indonesia pada paruh awal 2015. Ada pula kelompok-kelompok kecil macam Himmah Youth Community yang menggelar diskusi soal feminisme melalui grup WhatsApp.

Namun, yang belakangan mencuri perhatian tentu saja akun Instagram Indonesia Tanpa Feminis. Kepada 3.000-an pengikut, akun tersebut rutin mengunggah jargon dan slogan bahwa Indonesia tidak butuh feminisme. Pada dasarnya alasannya tunggal: feminisme tidak sesuai dengan ajaran Islam.

“Aku adalah makhluk yang diciptakan. Jadi apakah diriku adalah milikku?” tulis akun tersebut di salah satu unggahannya. Surat Al-Quran Ali Imran 109 lalu disematkan, yang diikuti sebuah kesimpulan: Jadi tubuhku bukan milikku, tapi milik Allah.

Unggahan tersebut senada dengan lantang biografi yang ada di bawah username akun tersebut, “Tubuhku bukan milikku. Indonesia tidak membutuhkan feminisme.” Meski kini kalimat pertama slogan tersebut telah dihapus, unggahan-unggahan baru hampir tiap hari rutin muncul.

Sayang, jargon-jargon tersebut amat jarang diikuti argumen bernas. Kebanyakan hanya berisi slogan yang mengulang-ulang betapa tidak pentingnya feminisme. Sindiran pada aktivis dan penganut feminisme juga kerap disematkan, seperti bahwa semua feminis keras kepala.

“Dia (antifeminis) mau menyuarakan pendapatnya ya hak. Pertanyaannya, apa yang mereka tahu tentang feminisme? Penolakan itu saya tidak melihat argumennya,” timpal Lies Marcoes, pakar kajian Islam dan gender sekaligus Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama, Rabu (3/4).

Lies kemudian menjelaskan, bagaimana slogan “tubuhku otoritasku” yang diseru aktivis feminis merupakan buah pemikiran kritis yang berangkat dari ketertindasan perempuan. Menurutnya, feminisme adalah kunci satu-satunya yang memiliki kemampuan melihat persoalan ketimpangan kuasa dan penindasan yang terjadi pada perempuan sejak berabad-abad lalu.

“Ilmu-ilmu sosial yang ada tidak bisa melihat relasi kuasa gender. Kenapa? Human rights, misalnya, tidak bisa menembus ruang domestik,” kata Lies.

Dia mencontohkan, dulu semasa belum ada feminisme, kasus kekerasan terhadap perempuan oleh suaminya susah ditangani oleh aktivis HAM, karena hukum tak bisa menembus ruang domestik rumah tangga. Kini feminisme hadir untuk memecahkan masalah itu.

“Itu yang menurut saya tidak diketahui atau tidak dipelajari teman-teman yang bicara dia menolak (feminisme),” terangnya

Setali tiga uang, Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin juga mengeluarkan kritik senada. Ia menilai, ada mispersepsi terhadap konsep “my body is mine” tersebut.

“Barangkali disangkanya kalo ‘my body is mine’ itu kita boleh melakukan apa saja yang melewati norma. Padahal kalau dalam konsep feminisme, menurut saya tubuh perempuan itu harus kita proteksi, harus kita jaga, dan kita harus tahu bahwa tubuh kita ini sebagai perempuan tidak boleh dijadikan objek seksual,” kata Mariana.

Meski turut mengkritik unggahan @indonesiatanpafeminis, Mariana melihat kesempatan ini sebagai celah awal untuk membuka dialog lebih jauh bagi audiens lebih luas.

“Saya sih nggak ingin menjadikan ini sebagai sebuah permusuhan. Sebaiknya kita buka dialog, ‘Sebenarnya feminis ini apa sih?’ Kalau perlu mereka juga memberikan kontribusi, feminisme macam apa yang diperlukan bangsa ini,” kata Mariana di Hotel Mercure, Sabang, Jakarta Pusat, Kamis (4/4).

Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Dinar Dewi Kania, menilai kritik dari akun penolak feminisme terlalu dangkal. Meski Dinar sendiri tak setuju dengan feminisme, ia menilai unggahan @indonesiatanpafeminis tak mencerminkan gerakan penolakan yang lebih luas.

“Saya tahu mereka itu sepertinya penolakannya terhadap ide isme-nya. Cuma di bawah-bawahnya. Hanya aspek pragmatis saja yang mereka perhatikan,” ujar Dinar kepada kumparan di Kampus UI, Depok, Jawa Barat.

Dinar mengibaratkan pertentangan Islam dan feminisme sama dengan penolakan Islam terhadap sosialisme dan komunisme.

“Kalau perjuangan saja, mengedukasi, itu ada irisannya dengan Islam. Tapi bukan berarti Islam itu feminis. Sosialis mau berjuang terhadap keadilan sosial. Islam kan juga memperjuangkan itu. Artinya apakah sosialisme itu sama dengan Islam? Tidak.”

Dinar, Doktor Pendidikan dan Kajian Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor itu melanjutkan, “Kenapa Islam menolak komunisme, karena itu sudah menjadi -isme, kan. (-Isme) itu suatu pandangan hidup yang dia punya konsep Tuhan, dia sudah punya konsep kehidupan, konsep barang, konsep agama, dan lain-lain.”

Bertemu di RUU PKS

Bersamaan dengan riuh Indonesia Tanpa Feminis di jagat maya, kedua kubu pendukung dan penolak feminisme di Indonesia bertemu di palagan RUU PKS yang sampai kini tengah digodok di DPR. Mereka yang menolak feminisme merasa RUU PKS tak segaris dengan norma dan aturan yang mereka yakini.

Sederhananya, RUU PKS bertujuan untuk “…mencegah dan menghentikan terjadinya kekerasan seksual yang di dalamnya termasuk pemerkosaan, praktik pelacuran secara paksa, perbudakan dan penyiksaan seksual di dalam rumah tangga, di tempat kerja, dan di ruang publik.”

Bagian pencegahan pemerkosaan dalam rumah tangga ini menjadi salah satu yang paling diperhatikan khalayak. Terlebih, setelah komentar berapi-api Tengku Zulkarnain yang tak memperhatikan pendapat perempuan soal hubungan seksual dalam sebuah keluarga. Tengku mendapat kritikan tajam lalu ia pun menyesali komentarnya.

Kalis Mardiasih, penulis sekaligus aktivis pro-RUU PKS, menilai komentar miring terhadap soal perkosaan dalam rumah tangga RUU PKS macam yang diutarakan Tengku berakar dari ketidakpahaman belaka. “Kalau dalam hubungan seksual ada kekerasan, itu yang kita permasalahkan. Kalau melayani baik-baik, dengan suka hati, ya tidak apa-apa,” ujar Kalis, Sabtu (6/4).

“Tapi, ketika pasanganmu meminta layanan dengan pemaksaan, eksploitasi, dan kekerasan, kamu justru punya alat untuk melindungi dirimu,” tambah Kalis.

Meskipun begitu, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Qudwah, Nur Hamidah, menilai pemidanaan secara langsung terduga kekerasan seksual dalam rumah tangga yang kiranya nanti terwujud lewat RUU PKS, belum terlalu bijak. Ia menekankan, ada satu tuntunan dalam agama yang alpa dibahas dalam polemik ini.

“Bisa jadi, orang melakukan pemaksaan, memerkosa istri, karena, maaf, banyak juga ustaz yang bilang seperti ini, ‘Para perempuan, para istri, kalau menolak suami maka sampai pagi malaikat melaknat.’ Betul ada hadis itu. Tapi apakah Islam memang seperti itu, istilahnya, langsung to the point?” tanya Nur Hamidah memulai argumennya.

Menurutnya, sebetulnya Islam telah menjelaskan hak-hak seorang perempuan untuk dilayani oleh seorang suami. “Ada hak-hak perempuan dilayani suami dengan istilah al-Istinta’—bercumbu. Itu ada satu buku yang dari hadis Rasulullah. Artinya, seorang laki-laki ada hak untuk dilayani, tapi seorang suami punya kewajiban memberikan kemesraan.”

“Jadi,” lanjut Nur Hamidah, “di balik hukumnya, kan harusnya ada pembinaan terlebih dahulu. Jangan hanya gara-gara salah satu sunah Rasul tidak diterapkan oleh sebagian suami-suami muslim, akhirnya wanita-wanita merasa terzalimi.”

Di lain pihak, RUU PKS ini juga ditolak oleh Dinar dan organisasi-organisasi yang tergabung di Aliansi Cinta Keluarga. Sejak 2016, mereka telah memprotes daftar inventaris masalah (DIM) dan mengikuti pertemuan-pertemuan di Badan Legislatif. Namun, saat RUU PKS berhasil masuk ke Prolegnas, revisi yang mereka harapkan tak dikabulkan. Akhirnya, lobi ke beberapa fraksi partai di DPR menjadi jalan yang kemudian dicoba.

“Kami mengirim surat resmi ke fraksi—ke Gerindra, PPP, dan PAN. Ke PKS juga sudah, duluan, makanya mereka menolak (RUU PKS) itu juga karena kami melobi mereka, ngasih DIM-nya, kami serahkan,” kata Dinar.

Menurutnya, pada awalnya PKS menerima RUU PKS meski dengan revisi. “Tapi karena perjalanannya begitu, ya (jadi) menolak. Yang penting kami secara resmi ngajuin (surat ke fraksi). Kalau diterima ya sudah. Begitu saja usahanya.”

Sumber: https://kumparan.com/@kumparannews/menyelisik-gerakan-tanpa-feminis-di-indonesia-1qqYYFRvJbc

Peran Penting Kaum Feminis Muslim

Oleh: Ulil Abshar Abdalla, MA.

SEKARANG ini nyaris mustahil mempertahankan tafsir tradisional mengenai relasi gender dengan hanya menjadikan kitab suci sebagai legitimasinya. Justru kalau kita tidak melakukan pembacaan ulang, maka kita akan tampak seperti orang dari sejarah masa lampau yang lahir kembali di era sekarang. Lain soal kalau kita misalnya ingin melakukan proyek politik untuk melawan modernitas dengan menciptakan pola kehidupan baru berdasarkan ajaran agama dari abad 7 – 8 M, karena ada juga kelompok-kelompok Islam yang sengaja menjadikan konsep-konsep yang patriarkhis seperti itu sebagai landasan untuk membangun komunitas baru yang mereka jadikan sebagai alat perlawanan terhadap modernitas. Jadi, tradisi digunakan sebagai alat untuk melawan modernitas. Ini adalah semacam the weaponization of tradition atau menjadikan tradisi sebagai senjata untuk melawan modernitas yang banyak dilakukan oleh kaum fundamentalis. Sebagaimana kita tahu bahwa kelompok fundamentalis menjadikan konsep-konsep tradisional seperti soal perkawinan anak, poligami, aurat, dan lain sebagainya sebagai senjata melawan modernitas yang mereka anggap sudah terlalu kebablasan.

Kita lihat aspirasi peradaban sebagian besar umat Muslim di dunia saat ini adalah bagaimana antara al-turâts (tradisi) dan al-hadâtsah (modernitas) atau antara al-ashâlah dan al-mu’âsharah itu bisa berjalan bersamaan, bagaimana antara “kita menjadi bagian dari dunia modern yang laju perkembangannya sangat cepat” dengan “kita mengjangkarkan diri kepada tradisi yang otentik” bisa koeksis. Berbeda dengan kaum fundamentalis di mana aspirasi peradaban mereka membenturkan antara al-turâts dan al-hadâtsah atau antara al-ashâlah dan al-mu’âsharah.

Kiranya opsi yang kedua lebih masuk akal ketimbang membenturkan antara tradisi dan modernitas. Karena kalau membenturkan, maka yang akan muncul adalah ketegangan terus-menerus di dalam kehidupan sosial. Inilah yang menyebabkan opsi kaum fundamentalis di mana-mana selalu menghasilkan suasana kehidupan yang penuh dengan ketegangan. Dari sisi bahasa, misalnya, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa yang penuh dengan kebencian dan agresi sehingga menciptakan suasana sosial yang sama sekali tidak menyenangkan, selain juga polarisasi. Maka opsi yang lebih masuk akal adalah bagaimana melihat zaman sekarang dengan zaman masa lampau bisa bertemu dan bisa didamaikan hari ini. Karena itu upaya-upaya pembacaan ulang dari kaum feminis muslim menjadi bagian dari gerakan global untuk melakukan penelaahan terhadap tradisi Islam, terutama yang terkait dengan isu spesifik yaitu isu gender relation (relasi gender).

Harus diakui bahwa konsep keadilan dalam Islam merupakan konsep yang sangat vital dan harus dimaknai dalam dimensinya yang luas. Keadilan bukan hanya dalam pengertian keadilan politik atau ekonomi, tetapi juga keadilan dalam isu yang spesifik yaitu keadilan gender. Maka upaya penelaahan ulang sebagaimana dilakukan di dalam buku ini tidak akan ada habis-habisnya. Wilayahnya akan terus terbuka karena tantangannya tidak pernah berhenti, khususnya tantangan yang datang dari kaum fundamentalis dan kaum radikal. Di samping itu modernisasi sosial-kultural yang berlangsung di masyarakat juga tidak bisa distop.

Situasi-situasi di dalam dunia modern sekarang ini menimbulkan kontradiksi-kontradiksi yang paradoks. Kalau kita tidak terjun untuk memberikan interpretasi yang tepat, paradoks di dalam modernitas bisa dijadikan alat oleh kaum fundamentalis untuk membenarkan proyek politik mereka sebagai bentuk perlawanan terhadap dunia modern dengan cara-cara yang bermasalah karena menimbulkan konflik-konflik di dalam kehidupan sosial yang riil.

Corak-corak kehidupan baru yang ditawarkan oleh modernitas itu memunculkan kontradiksi-kontradiksi dengan tradisi-tradisi yang kita peluk selama ini. Kalau ini tidak diselesaikan, lama-lama itu bisa menjadi bom waktu. Bagaimana mendamaikan antara konsep keluarga yang lama di dalam komunitas Muslim yang basisnya adalah QS. al-Nisa`: 34 dengan tuntutan-tuntutan pembagian peran baru di dalam masyarakat modern. Ini adalah kontradiksi, dan kontradiksi semacam ini banyak sekali. Kalau ini tidak direkonsiliasikan dengan pembacaan baru tentu akan sangat berbahaya.

Kalau kita tidak melakukan pembacaan ulang, maka pilihannya ada dua, dan dua-duanya tidak ideal. Pertama, kita meninggalkan agama sama sekali. Ini adalah salah satu pilihan yang ditempuh oleh sebagian orang, “Apa gunanya agama di dalam dunia modern seperti sekarang ini? Kita tidak butuh agama, karena modernitas sudah memberikan seluruh perangkat konseptual yang kita perlukan untuk hidup saat ini. Makanya kita tidak membutuhkan agama atau tradisi.” Kedua, kita meninggalkan modenitas. “Apa pentingnya modernitas? Kita sudah punya sistem kehidupan sendiri yang berasal dari wahya dan itu lebih superior daripada modernitas.”

Kedua pilihan itu sama sekali tidak ideal dan tidak menyenangkan karena akibatnya memaksa orang untuk menempuh pilihan ather or, ini atau itu, memaksa orang untuk memilih salah satu: meninggalkan tradisi atau meninggalkan modernitas, padahal kedua-duanya kita butuhkan. Makanya buku-buku semacam ini sangat penting karena masyarakat Muslim yang hidup di dunia modern membutuhkan peta konseptual baru dalam navigating atau di dalam menjalani kehidupan baru sekarang ini.

Mungkin ada semacam tuduhan bahwa upaya yang kita lakukan hanyalah pembenaran saja terhadap modernitas dengan menggunakan dalil agama—atau hanya mencari-cari akal saja atau hîlah fiqhîyyah melegitimasi kehidupan saat ini. Tentu saja tidak! Ini bukan hîlah atau sekedar melegitimasi kehidupan modern dengan agama, tetapi ini adalah kebutuhan riil yang dihadapi masyarakat. Masyarakat berhadapan dengan situasi riil di mana mereka harus menata hubungan baru antara laki-laki dan perempuan atau suami dan istri.

Opsi kaum fundamentalis yang ingin membawa kita ke dalam dunia abad ke-7 Masehi, misalnya, itu akan menimbulkan kesulitan yang luar biasa. Sementara opsi kaum yang pro modernitas secara total dengan menafikan agama itu juga akan menimbulkan masalah besar karena memaksa orang untuk meninggalkan agama. Jadi, tidak ada lain kecuali menempuh jalan tengah dengan memadukan kedua-duanya, agama dan modernitas.

Tetapi memadukan kedua-duanya tentu saja tidak mudah, karena kita harus mempunyai kemampuan membaca tradisi di dalam konteks baru dan sekaligus membaca konteks baru di dalam konteks tradisi. Kalau kita meminjam istilahnya Fazlur Rahman kita harus melakukan “gerak ganda”, gerak dari belakang maju ke depan dan dari depan mundur ke belakang. Kalau sekedar maju ke depan saja (meninggalkan agama/tradisi) atau mundur ke belakang saja (meninggalkan modernitas), itu mudah sekali, tidak membutuhkan kerja intelektual-konseptual yang rumit. Justru yang sulit adalah bagaimana melakukan “gerak ganda” atau maju ke depan dan mundur ke belakang secara bersamaan tanpa menimbulkan konflik. Makanya jangan meng-underestimate kerja-kerja pembacaan ulang sebagaimana yang tertuang di dalam buku ini, karena kerja-kerja semacam itu tidaklah mudah.

Kerja-kerja pembacaan ulang bisa juga menimbulkan ketidakpercayaan dari dua pihak, yaitu kaum fundamentalis yang menolak modernitas secara total dan kaum modernis yang menolak agama secara total. Kaum fundamentalis akan menganggapnya sebagai upaya yang menggunakan agama untuk menjustifikasi modernitas, sementara kaum modernis akan menganggapnya sebagai upaya yang memaksa-maksakan agama supaya relevan dengan modernitas. “Ah, itu hanya akal-akalan kaum liberal-progresif untuk menjadikan agama tetap hidup saat ini, padahal sudah saatnya agama itu mati,” misalnya begitu. Jadi, dua kelompok itu bisa menuduh kerja-kerja pembacaan ulang sebagai upaya yang tidak akan pernah berhasil.

Namun di dalam kehidupan riil yang terjadi justru berkebalikan dari apa yang dikatakan oleh dua kelompok tersebut. Bahwa, suka atau tidak suka, mayoritas kaum beragama melakukan penafsiran ulang terhadap tradisi dan juga terhadap kehidupan yang mereka alami sekarang ini. Jadi, mereka tidak meninggalkan agama dan juga tidak meninggalkan modernitas, sebab mereka memang membutuhkan dua-duanya. Selama ini itulah yang mereka kerjakan dalam berbagai bentuknya, mulai dari penerimaan terhadap negara modern atau negara-bangsa, penerimaan terhadap institusi keuangan modern, penerimaan terhadap sistem sekolah modern, penerimaan terhadap konsep demokrasi-Pemilu, dan seterusnya.

Semua itu menunjukkan adanya upaya dari kaum beragama untuk mengambil jalan tengah. Suka atau tidak suka opsi jalan tengah itu sudah berkerja dari sejak dulu sampai sekarang. Bahkan bisa dikatakan opsi jalan tengah itu, atau al-jam’ bayna al-turâts wa al-hadâtsah atau al-jam’ bayna al-ashâlah wa al-mu’âsharah sudah dikerjakan sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad Saw., yang kemudian pada zaman sahabat, zaman tabi’in, zaman tabi’ al-tabi’in, sampai ke zaman keemasan peradaban Islam. Kenapa dikatakan demikian? Karena Kanjeng Nabi Saw. sendiri ketika mengenalkan konsep-konsep baru dalam Islam itu tidak menolak sama sekali keberadaan institusi-institusi peradaban yang sudah ada pada zamannya selama tidak bertentangan dengan inti ajaran Islam. Demikian juga para sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan seterusnya.

Ketika para ulama Muslim mengadopsi ilmu-ilmu dari Yunani dan kemudian mencoba untuk mendamaikannya dengan akidah Islam itu sesungguhnya adalah upaya mencari opsi jalan tengah. Tetapi yang menarik sejak zaman dulu kelompok yang disebut dengan Khawarij selalu ada hingga sekarang. Apa itu kelompok Khawarij? Yaitu kelompok yang ingin mencari jalan mudah dengan menempuh opsi yang sangat sederhana. Di sini Khawarij bisa digunakan dalam dua pengertian sekaligus, yaitu orang yang ingin menempuh opsi maju ke depan saja atau mundur ke belakang saja.

Di dalam sejarah Islam opsi yang dipilih oleh kelompok Khawarij itu selalu tidak berhasil, selalu kalah, karena tidak realistis. Memang sangat mudah, dan selalu memunculkan persepsi bahwa opsi yang mereka tempuh itu tampak lebih Islami daripada orang yang menempuh jalan tengah. Tetapi sejatinya itu tidak masuk akal di dalam kerangka kehidupan riil. Jadi, kajian-kajian baru yang kita lakukan sebetulnya merupakan upaya dengan semangat meneruskan semangat peradaban yang sudah ada sejak zaman klasik hingga zaman sekarang. Karena sejak dulu umat Muslim memang menempuh jalan tengah semacam ini. Artinya, apa yang dilakukan di dalam buku ini bukanlah sesuatu yang menyimpang dari trajectory peradaban Islam.

Setiap negara Muslim mempunyai policy yang berbeda-beda terkait masalah perundang-undangan. Ada negara yang mengadopsi presentasi yang besar dari syariat Islam dalam perundang-undangan modern. Ada juga negara yang mengadopsi syariat Islam tetapi dengan reinterpretasi yang radikal, seperti yang terjadi di Maroko dan Tunisia. Terutama di Tunisia di mana poligami pernah dilarang dan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam karena tafsir yang progresif soal poligami sudah pernah dikemukakan oleh para aktivis dan pemikir Muslim sejak awal abad ke-20 M, di antaranya oleh Thahir al-Haddad melalui buku karyanya “Imra’atunâ fî al-Syarî’ah wa al-Mujtama’”. Thahir al-Haddad menulis buku ini di tahun 1930-an tentang keharusan menafsir ulang konsep-konsep dalam hukum keluarga, misalnya soal wilâyah, qiwâm ah, poligami, dan lain sebagainya.

Meskipun berbeda, tetapi intinya adalah bahwa ketika memasuki era modern atau era pasca-kolonial atau setelah merdeka negara-negara Muslim berhadapan dengan situasi yang dilematis. Di satu sisi mereka mewarisi perundang-undangan yang berasal dari fikih tradisional, tetapi di sisi yang lain mereka berhadapan dengan fakta bahwa ada hukum positif modern yang jauh lebih efektif di dalam mengatur kehidupan modern, terutama di dalam sektor-sektor yang berkaitan dengan muamalah.

Mereka mewarisi rezim perundang-undangan modern yang berasal dari era kolonial yang tidak bisa dicampakkan begitu. Rezim perundang-undangan modern ini berasal dari tradisi Eropa yang jauh lebih bisa menjawab tantangan-tantangan modern dan itu tidak bisa diberikan oleh fikih tradisional. Tetapi mereka juga tidak bisa membuang tradisi fikih. Di sini terdapat problem antara al-turâts dan al-hadâtsah atau antara al-ashâlah dan al-mu’âsharah dalam sektor perundang-undangan.

Umumnya negara-negara Muslim—sebagian besar—menempuh opsi jalan tengah. Mereka tidak membuang warisan perundang-undangan modern seperti yang dilakukan oleh ISIS dan Taliban, dan juga tidak membuang warisan perundang-undangan yang berasal dari agama lalu menjadi negara sekuler murni seperti di Barat dan Eropa. Jadi, mereka menempuh opsi jalan tengah.

Indonesia juga menempuh opsi yang sama, yaitu opsi jalan tengah. Di sini kita tidak hanya mengenal Peradilan Agama (PA) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), tetapi juga mengenal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang yang dibuat oleh parlemen dan tidak seluruhnya didasarkan kepada tradisi fikih. Melakukan pemfikihan total terhadap institusi peradilan modern itu tidak mungkin, dan mengabaikan fikih secara total juga tidak masuk akal. Makanya yang terjadi adalah kompromi yang melahirkan jalan tengah.

Negara punya otoritas untuk mengeksekusi undang-undang. Tetapi negara berani mengeksekusi suatu undang-undang atau mengadopsi konvensi internasional mengenai isu-isu HAM, gender, dan lain sebagainya itu karena adanya lapisan progresif di kalangan umat Muslim yang mendukung tindakan negara dari sudut argumen keagamaan. Kalau tidak ada lapisan progresif di kalangan umat Muslim sendiri yang memberikan legitimasi teologis terhadap policy negara, negara akan mengalami kesulitan untuk mengadopsi konvensi atau undang-undang modern misalnya soal penghapusan kekekerasan terhadap perempuan. Maka peran para tokoh seperti Thahir al-Haddad, Rifa’at Rafi’ al-Thahthawi, Qasim Amin, Nawal al-Sa’dawi, KH. Masdar F. Mas’udi, KH. Husein Mohammad, Musdah Mulia, Lies Marcoes, dan tokoh-tokoh lain yang disebut sebagai feminis muslim itu sangat penting. Tanpa keberadaan mereka negara akan merasa ketakutan untuk menempuh suatu opsi legal yang tidak populer karena berlawanan dengan aspirasi masyarakat Muslim.

Salah satu kasus yang perlu disebut adalah kasus pembahasan Undang-Undang Perkawinan pada tahun 1974 yang menimbulkan resistensi luar biasa dari kalangan umat Muslim. Saat itu di Indonesia belum ada lapisan para pemikir progresif Muslim seperti sekarang yang memberikan dukungan kepada upaya pemerintah. Ketika itu upaya pemerintah malah dianggap sebagai upaya westernisasi dan sekularisasi. Karena belum ada kelompok-kelompok civil society yang memberikan dukungan. Akibatnya, Undang-Undang itu tetap lolos tetapi dengan pemangkasan luar biasa di sana-sini. Jadi, dukungan kultural dari dalam masyarakat sendiri terhadap kebijakan pemerintah menyangkut perundang-undangan itu sangat penting dan tidak bisa diabaikan.

Keberadaan para feminis muslim seperti Thahir al-Haddad dan lain sebagainya memang tidak langsung bisa mengubah keadaan. Tetapi pemikiran-pemikiran mereka yang semula dianggap sebagai pemikiran-pemikiran ideo-sinkretik, kelihatan janggal dan tidak populer, tetapi secara perlahan-lahan karena tuntutan konteks sosial, akhirnya pemikiran-pemikiran semacam itu menyebar ke dalam masyarakat. Ini sekaligus merupakan kabar gembira atau motivasi bagi para pemikir muslim agar tidak putus asa karena melihat gagasan-gagasan mereka ditolak oleh sebagian besar masyarakat pada suatu zaman. Karena penolakan pada suatu momen tertentu tidak berarti bahwa gagasan itu akan mati seketika. Gagasan itu tetap hidup dan secara perlahan ketika konteks berubah akan menemukan bumi semai baru. Amin al-Khuli pernah mengatakan bahwa “seringkali sebuah pemikiran yang bermula sebagai heresy (harthaqah) atau gagasan yang menyimpang sehingga dimusuhi oleh ortodoksi, tetapi karena perkembangan waktu pemikiran itu justru berubah menjadi ortodoksi.” Gagasan yang semula dianggap aneh dan dikucilkan kemudian menjadi mazhab dominan pada suatu masa.[]

Tahar Haddad (Arabic: الطاهر الحداد‎; 1899 – December 1935) was a Tunisian author, scholar and reformer.

Image source: https://en.wikipedia.org/wiki/Tahar_Haddad