Perempuan Melawan Tumbang

Persoalan ketidakadilan gender masih menjadi realitas pahit di masyarakat. Perempuan miskin mengalami dua kali impitan. Pertama, karena mereka miskin. Kedua, karena mereka perempuan. Bagi banyak perempuan, kemiskinan ini diciptakan. Nilai, proses sosial, kelembagaan, dan praktik diskriminasi berbasis prasangka secara sistematis membuat mereka teralienasi dari sumber daya ekonomi, sosial, dan politik.

Pemiskinan perempuan di Bali terbungkus dalam alih kepemilikan lahan untuk pariwisata, sementara di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dipengaruhi perkawinan di bawah umur dan kelahiran generasi buruh rantau. Penyebab lain adalah alih kepemilikan dan fungsi lahan menjadi rimba kelapa sawit seperti di Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Aceh.

Bahasan tentang pemiskinan perempuan ini terekam dalam buku “Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan”, yang disusun oleh Lies Marcoes-Natsir (INSISTPress, 2014). Selain dirangkai dalam teks, kisah perjuangan perempuan juga diterjemahkan ke dalam bingkai foto. Narasi tentang perempuan ini dihasilkan melalui perjalanan selama Sembilan bulan di delapan wilayah Nusantara.

Situasi yang menyudutkan perempuan ini tidak selalu direspons dengan pasrah. Hayat dari Aceh melawan diskriminasi akibat tertular HIV melalui LSM HIV NAD Support Group. Ibu Rini dari pedalaman Kalimantan Barat berjuang melawan mafia kelapa sawit program perkebunan inti rakyat, melalui jalur advokasi. Mama Katarina dari Ende gencar menolak penambangan pasir besi, menggerakkan jaringan gereja dan kelompok-kelompok masyarakat.

Bukan hanya di Indonesia, perjuangan perempuan juga terjadi di berbagai belahan dunia. Gerakan sosial tersebut dijabarkan dalam buku “Ecofeminism”, karya kolaborasi ahli fisika yang memiliki latar belakang gerakan ekologis, Vandana Shiva, dengan ilmuan sosial, Maria Mies (IRE Press, 2005). Buku ini mengupas gerakan sosial dari sudut pandang ekofeminisme, pemikiran feminis yang memandang ada keterkaitan alam dan perempuan di tengah budaya patriarki.

Buah pikiran dari karya ini adalah visi subsistence prespective atau survival perspective, visi untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Mereka melihat perjuangan untuk mempertahankan hidup merupakan sebuah tindakan kritis dari sesuatu yang bersifat agresif, eksploitatif, dan destruktif. Apabila ekonomi patriatki mengedepankan pertumbuhan ekonomi, sistem ekonomi subsistence prespective mengutamakan hidup.

Ekofeminisme tumbuh dari beragam gerakan sosial pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Istilah ekofeminisme menjadi populer setelah aksi menentang perusakan yang dipicu bencana ekologis yang terus terjadi. Kebocoran nuklir di Three Mile Island menggerakkan sejumlah perempuan di Amerika Serikat berkumpul dalam konferensi ekofeminisme yang pertama pada Maret 1980.

Gerakan perempuan terkait dengan lingkungan semakin gencar, antara lain, pendirian Jaringan Perlawanan Internasional terhadap Rekayasa Genetika dan Reproduktif (1984), kongres di Swedia (1985), Banglades (1988), dan Brasil (1991). Dari sejumlah pertemuan tentang ekofeminisme, diambil kesimpulan, pembebasan perempuan merupakan bagian dari suatu perjuangan untuk melestarikan kehidupan.

[LITBANG KOMPAS/IGP].

1 reply
  1. Klinik kecantikan jakarta says:

    726441 383589Aw, i thought this was an really excellent post. In concept I would like to invest writing in this way moreover – taking time and actual effort to manufacture a extremely excellent article but exactly what do I say I procrastinate alot and no indicates apparently go completed. 452219

    Balas

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.