rumah kitab

Merebut Tafsir: Pada akhirnya, memang sendirian

Terbangun dini hari, terbawa hari-hari kemarin, terbangun untuk menyiapkan sahur. Takbir dan beduk telah berhenti. senyap, sunyi.

Saya lahir dari keluarga besar, bersepuluh. Ayah ibuku juga keluarga besar. Hari Raya adalah hari kumpul keluarga. seperti banyak keluarga di Indonesia, kita selalu ingin bersama keluarga, minimal di Hari Raya.

Dalam keluarga Jawa, senantiasa bersama adalah niscaya. Tak hanya mengandung nilai namun secara sosiologis orang Jawa / Sunda dan suku-suku bangsa di Indonesia, atau bahkan Asia kita selalu diajari untuk kumpul bersama, mencari sanak saudara dulu tatkala kita merantau. Kita sejak kecil tak dibiasakan sendiri, kita selalu diajari untuk berbagi dan bersama-sama. Itu adalah nilai dan bahkan hakikat bermasyarakat. “Mangan-ora mangan kumpul”.

Namun ada kalanya bersama-sama, juga menjadi watak dan sikap dalam berprilaku. Orang tak berani bersikap ksatria, bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya sendiri, tak berani menghargai diri sebagai manusia merdeka, sebagai manusia yang bertanggung jawab. Kebersamaan melemahkan dan menghancurkan karsa sendiri.

Suami saya, orang Minang, juga dari keluarga besar, yang rumah gadangnya benar-benar “rumah gadang sambilan ruang”. Ia datang dari keluarga yang mementingkan keluarga, silaturahi, bersama-sama. Ketika saya akan kuliah di Belanda dengan meninggalkan tiga orang anak, ia melihat saya begitu bimbang. Terutama karena dia tak ada di samping saya. Suami saya bagi saya adalah sang patokan, ensiklopedia hidup, tempat saya minta pertimbangan. Tempat saya titip bacaan. Ia mengajarkan kepada saya soal nilai sendiri. Ia mengingatkan, manusia lahir sendiri dan kelak pulang pun sendiri. Meskipun shalat berjamaah, puasa di bulan yang sama ( Ramadhan) buka sahur bersama-sama, naik haji dengan berjuta umat dari seluruh dunia. Tuhan hanya akan menilai amalan, keikhlasan dan ketundukkan kita masing-masing. Tak berombongan, tak berjamaah tak berkloter-kloter, tak bersama-sama.

Tiga tahun lalu sang patokan saya pergi meninggalkan saya sendiri. Malam ini malam Idul Fitri ia seperti mengingatkan kembali, tak perlu sedih dan gentar, kelak kita pun pulang menuju Cahaya sendirian dengan membawa buku rapor sendiri! Selamat Idul Fitri Maaf lahir Batin.

 

Lies Marcoes, 24 Mei 2020.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.