Menyelamatkan anak-anak pejihad asing ISIS yang terlantar

Selama beberapa tahun terakhir, puluhan ribu pejihad asing memutuskan untuk bergabung dengan kelompok militan yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS di Irak dan Suriah.

Sebagian besar berasal dari Rusia -dan ada sekelompok pejihad dari Indonesia- yang juga membawa keluarganya.

Kini dengan ambruknya kekhalifahan yang pernah mereka deklarasikan di Irak maupun Suriah, nasib keluarga para petarung ISIS itu menjadi tidak jelas.

Di ruang sarapan pagi sebuah hotel mewah di ibu kota Irak, Baghdad, di tengah-tengah para pengusaha dan tamu internasional, kehadiran empat anak dengan wajah pucat terasa janggal.

Anak-anak berusia tiga hingga enam tahun itu melahap mangkuk sereal atau bubur gandum dengan penuh semangat namun hening.

Jelas mereka bukan sedang berlibur.

Dua perempuan duduk bersama mereka, salah seorang menggendong bayi. Berbeda dengan keempat anak itu, kedua perempuan tampaknya merupakan warga Irak dan bahasa tubuh mereka jelas berjarak dengan anak-anak itu, yang tampak bingung dan curiga.

Tiba-tiba, beberapa pria berjas di meja sebelah melirik arloji mereka kemudian berdiri dan berjalan ke arah perempuan serta anak-anak tadi, yang segera mengikuti dari belakang sembari menelusuri koridor hotel berlantai marmer itu.

Di luar sudah ada dua mobil besar menunggu.

Petugas keamanan dengan pakaian loreng dan kaca mata hitam berkomunikasi lewat walkie talkie sambil membawa anak-anak itu masuk mobil bersama dengan salah seorang perempuan yang menggendong bayi. Kedua perempuan tadi adalah pembantu yang dibayar.

Para pengawal ikut masuk, menutup pintu, dan konvoi kedua mobil lepas melaju menuju bandara.

Yang saya saksikan tadi adalah warga Rusia, diplomat Rusia, dan agen intelijen yang menjemput warga muda negara mereka dari gelombang besar pascaperang Irak untuk dibawa pulang.

Malam itu saya melihat lagi kelima kakak beradik tadi di siaran stasiun TV Rusia pada saat mengakhiri perjalanannya, dipandu menuruni tangga pesawat oleh salah seorang pria yang tadi duduk di meja sebelah saat sarapan pagi.

Di bawah lampu kilat kamera, anak-anak itu tampak bingung saat diserahkan kepada keluarga mereka yang menyambut dengan penuh kegembiraan. Dan pria tadi, yang berusia 50-an tahun dengan badan tinggi tampak gelagapan saat diwawancara karena berupaya mengatasi emosinya yang meluap.

Nama dia Ziyad Sabsabi, seorang politikus Rusia dan merupakan utusan Presiden Chechnya, Rusia selatan, untuk kawasan Timur Tengah. Republik Chechnya, yang merupakan bagian dari Rusia, berpenduduk mayoritas umat Muslim.

Malam sebelumnya, saya duduk bersamanya di sofa sebuah hotel. Dia memperlihatkan gambar dan video di telepon genggamnya berupa anak laki-laki dan perempuan di rumah yatim piatu di Baghdad. Dari sanalah anak-anak itu diambil: beberapa berhasil diselamatkan namun masih banyak yang hilang.

Dia menangis ketika berbicara tentang anak-anak itu.

Mereka adalah anak-anak dari para pria yang meninggalkan negara mereka untuk bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah dan belakangan tewas atau dinyatakan bersalah maupun terlibat dalam kejahatan yang mengerikan.

Namun seperti ditanyakan pejabat itu berulang-ulang, ‘Apa yang salah dilakukan anak-anak itu?’

Ibu mereka, tuturnya, adalah para perempuan muda Muslim yang diperdaya para suaminya untuk bergabung dengan ISIS. Mereka tampaknya menduga akan diajak untuk berlibur -atau suaminya mendapat kerja- di Turki namun kenyataannya dibawa melintasi perbatasan ke Suriah atau Irak.

Kini, seiring dengan kekalahan ISIS di medan perang, sebagian besar dari para suami itu sudah tewas atau dipenjara sementara istri dan anak mereka hilang tanpa bekas. Ratusan keluarga dari pejihad asing ISIS ditahan di Irak namun belum semua nama mereka diungkapkan.

Kelima anak yang saya lihat tadi awalnya dibawa ke rumah yatim piatu dan Ziyad Sabsabi berhasil mengidentifikasi mereka. Lewat perundingan panjang, dia mendapat izin agar anak-anak yang tergolong beruntung itu bisa dipulangkan.

Yang lainnya? Saya berbicara lewat telepon dengan beberapa perempuan paruh baya di Chechnya yang putus asa menanti berita tentang putri dan cucu mereka.

Banyak perempuan dan anak-anak asal Chechnya yang tidak diketahui keberadaan setelah pejihad asing ISIS -yang merupakan suami/ayah mereka- tewas atau ditangkap.

Salah seorang saya panggil Zamira. Putrinya, Seda, menelepon secara rutin selama dua setengah tahun, awalnya dari Suriah -tempat dia tinggal bersama suami pejihadnya. Setelah suaminya itu tewas, Seda menelepon dari Irak, tempat tinggalnya bersama suami kedua.

Namun pasukan Irak bergerak maju ke pusat kota Mosul pada bulan Juli dengan bom yang menghujani kota itu dan tidak pernah ada lagi telepon. Zamira tidak tahu apakah putrinya dan dua cucu kecilnya masih hidup atau sudah mati.

Zamira tidak meragukan kalau putrinya tidak bersalah. “Seda mencoba berulang kali untuk membujuk suaminya pulang,” tegasnya, “Namun begitu mereka di sana, mereka terperangkap.”

Jika Seda kelak memang bisa ditemukan, pemerintah Rusia mungkin tidak sepakat karena beberapa janda petarung ISIS ditangkap begitu tiba kembali di kampung halamannya.

Sementara pemimpin otoriter Chechnya, Ramzan Kadyrov, menegaskan bahwa memulangkan anak-anak itu merupakan sebuah kehormatan walau mungkin butuh waktu bertahun-tahun.

Di hotel di Baghdad, Sabsabi -utusan Kadyrov tadi- kembali ke misinya: menelusuri rangkaian wajah-wajah malaikat yang dia cari sambil mengusap lagi air matanya yang lain.

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/dunia-42272192

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.