Melindungi Anak dengan Sikap Terbuka

Oleh: Lies Marcoes-Natsir & Faqihuddin Abdul Kodir  

 

YAYASAN Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) atas dukungan OSLO Coalition melalui program NDIT akan menyelenggarakan seminar internasional dan peluncuran buku “Fikih Hak Anak: Menimbang Pandangan Al-Qur`an, Hadits dan Konvensi Internasional untuk Perbaikan Hak-hak Anak”, pada Selasa, 5 Juli 2022, Pukul: 08.30 – 12.30 WIB, Ruang Theater Kampus UIII Cisalak, Sukmajaya, Depok.

Secara khusus Dr. Lena Larsen dari Oslo Coalition hadir untuk memberikan sambutan. Sementara pengantar akan disampaikan Prof. Dr. Jamhari Makruf, Wakil Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Sejumlah tokoh diundang menjadi pembicara, seperti: Prof. Dr. Nelly van Dorn (Perwakilan Oslo Coalition), Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A. (Guru Besar Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga), Usman Hamid, S.H, M.Phil. (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia), dan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, M.A. (Penulis). Dan Prof. Dra. Nina Nurmila, Ph.D. (Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Islam Internasional Indonesia) bertindak sebagai moderator.

______________

 

Buku “Fikih Hak Anak: Menimbang Pandangan Al-Qur`an, Hadits dan Konvensi Internasional untuk Perbaikan Hak-hak Anak ini diolah dari paper-paper hasil penelitian mandiri yang dilakukan oleh para peneliti Rumah KitaB. Mereka adalah: Fadilla Dwinati Putri yang dibantu Lies Marcoes mengumpulkan bahan dari data lapangan serta kajian referensi tentang regulasi hak-hak akan seperti Konvensi Hak-hak Anak serta Undang-Undang Perlindungan Anak; Jamaluddin Muhammad yang juga dibantu Lies Marcoes melakukan kajian tentang fikih dan analisis yang memperlihatkan kesenjangan antara fikih tradisional dan kebutuhan adanya fikih kontemprer dengan menimbang perubahan corak keluarga, tanggungjawab orang tua terutama ayah dan peran laki-laki dalam keluarga, hadirnya negara bangsa paska kolonial, isu dan analisis gender; Achmat Hilmi bersama Faqihuddin Abdul Kodir menulis kajian tentang tantangan membaca teks keagamaan dengan ragam metodologi terutama maqâshid al-syarî’ah; Rifa Tsamratus Sa’adah bertanggungjawab mengumpulkan kajian tafsir al-Qur`an yang dalam penajaman isu gendernya dibantu oleh Faqihuddin Abdul Kodir dan Lies Marcoes; serta Faqihuddin Abdul Kodir secara khusus mengkaji hadits. Seluruh fokus penelitian ini adalah soal upaya pemenuhan hak-hak anak dari pendekatan keagamaan yang disandingkan dengan nilai-nilai yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak.

Kajian ini berangkat dari sebuah landasan keyakinan bahwa lahirnya setiap anak di seluruh tempat di dunia, membawa harapan, cita-cita, dan mimpi manusia yang terus mengalami pembaruan. Tidak ada yang mengingkari bahwa anak adalah harapan masa depan. Mereka akan membuat masa depan, karena mereka adalah penentu masa depan seluruh bangsa dan harapan yang lahir untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan cita-cita masa depan.

Perkembangan pemikiran tentang hak-hak asasi manusia dalam skala internasional telah mendorong munculnya perhatian dan kesadaran mengenai pentingnya penguatan dan penghormatan hak-hak tersebut bagi seluruh manusia tanpa kecuali. Berangkat dari Prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai pengakuan terhadap kehormatan semua anggota keluarga umat manusia dan hak-hak mereka secara setara, dan dengan berpijak pada kebebasan, keadilan, dan kedamaian di dunia, maka hak-hak anak dan urgensi perlindungannya menjadi bagian tak terpisahkan dari hak-hak asasi manusia secara menyeluruh.

Secara normatif, setiap keluarga di dunia telah terikat dan karenanya mesti mengakui hak-hak anak sebagai nilai-nilai universal yang secara juridis legal formal ditetapkan pada tahun 1989 ketika Konvensi Hak-hak Anak (Convention On The Rights of The Child) diadopsi sebagai kesepakatan dunia dengan beberapa negara yang melakukan pengecualian. Secara umum warga dunia berkomitmen untuk mewujudkan tujuan-tujuan sebagaimana  diatur di dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia untuk Anak pada tahun 1990. Sebagai bentuk kesepakatan itu, setiap negara kemudian mengembangkan aturan atau Undang-Undang. Negara Indonesia misalnya bahkan telah lebih dahulu memasukannya ke dalam konstitusi negara yaitu ke dalam UUD 45 Pasal 20, Pasal 28B, Pasal 28D. Setelah itu Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Perlindungan Peradilan Pidana Anak, dan UU No. 35 Tahun 2014 sebagai perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Besarnya upaya untuk memberi jaminan perlindungan kepada anak melalui jaminan hukum merupakan sebuah bukti bahwa anak adalah bagian dari masyarakat yang sangat rentan mengalami pelanggaran haknya. Dalam laporan tahunan 2010, UNICEF menyatakan bahwa anak telah menjadi suluh dalam perang di lebih dari 30 konflik bersenjata di Afrika sejak tahun 1970 akibat beragam penyimpangan penggunaan senjata seperti bom dan ranjau yang menargetkan individu serta operasi mobilisasi anak. Dilaporkan juga pada tahun 2003, bahwa selama lebih dari 15 tahun sebelumnya sebanyak dua juta anak di dunia tewas dalam konflik bersenjata, sebagaimana sekitar enam juta anak lainnya terkena ledakan bom. Sebagian dari mereka menderita kerusakan tubuh secara permanen, dan puluhan juta anak lainnya menderita gangguan psikologis dan trauma cukup parah.

Dalam setiap konflik, anak menjadi pihak yang paling beresiko. Namun resiko pada anak perempuan akan lebih berat. Dengan menggunakan analisis gender kita dapat melihat bahwa dalam situasi amanpun anak perempuan mengalami resiko berkali lipat dari laki-laki karena faktor gendernya. Mereka menjadi sasaran kekerasan seksual, perdagangan manusia, dilacurkan, mengalami kerja berlipat ganda, dan mereka paling cepat tersingkir dari dunia pendidikan dengan alasan-alasan yang didasarkan pada rendahnya penghargaan kepada anak perempuan.

Tidak hanya dalam keadaan konflik, bahkan dalam keadaan damaipun, hak-hak anak sangat rentan dilanggar termasuk dalam hak hidup, hak untuk berada di dalam keluarga dan masyarakat, hak atas kesehatan, hak kembang-tumbuh, hak pengasuhan dan perlindungan dan hak pendidikan. Berdirinya UNICEF sebagai lembaga perlindungan anak di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1946 setelah berakhirnya Perang Dunia ke II menunjukkan banyak hal yang terkait dengan anak. Dampak kolonialisme telah memunculkan problem maha dahsyat kepada anak-anak laki-laki atau perempuan di dunia berkembang yang umumnya dialami oleh wilayah bekas koloni dari negara-negara jajahan Eropa dan Amerika. Mayoritas mereka berada di wilayah yang semula menjadi kekuasaan kesultanan Islam.

Islam adalah agama yang menjadi sumber kebudayaan dan peradaban dunia yang juga memberi perhatian kepada isu anak. Islam tak hanya mengutamakan aspek ibadah tetapi juga muamalah (isu-isu sosial ekonomi) dan al-ahwâl al-syakhshîyyah  (isu-isu keluarga). Dalam ketiga rumpun ajaran Islam itu anak, sebagaimana perempuan, menjadi subyek perhatian dalam mengatur posisi, peran, dan tata hubungan mereka dengan pihak lain, terutama di dalam hubungan-hubungan keluarga. Secara umum tentu saja aturan yang dibangun dalam Islam bertujuan untuk memberi perlindungan dan kemaslahatan kepada anak. Namun dalam stuktur sosial yang ada kedudukan anak di dalam keluarga, masyarakat berpotensi memunculkan relasi yang timpang seperti dalam relasi antara orang dewasa dengan anak-anak; suami dengan istri; orang tua dengan anak dan seterusnya, anak dalam kelompok mayoritas dengan minoritas dan seterusnya.

Sebagai sebuah sistem nilai sekaligus praksis yang mengatur hubungan-hubungan sosial itu, Islam telah menawarkan aturan- aturan yang terkait dengan anak, baik aturan  yang bersifat normatif/nilai-nilai maupun yang bersifat praksis/terapan. Namun sebegitu jauh karena cakupan dan jangkauan penerapannya hanya mencakup relasi-relasi yang masih berada dalam lingkup privat, personal dan terbatas, perlindungan yang ditawarkan Islam terutama untuk yang bersifat terapan dianggap tidak dapat mencakup kebutuhan riil anak-anak dewasa ini. Hambatan yang paling besar adalah karena ajaran yang mengatur tentang tata hubungan bagi anak pada umumnya lahir dalam satu tatanan masyarakat patriark yang benar-benar masih berpusat kepada keluarga (ayah, atau laki-laki lain dari garis ayah)  di saat kekuatan keluarga masih bertumpu kepada sistem kekerabatan atau klan karena negara bangsa belum lahir sementara bangunan hubungan umat dan kekuasaan tak lagi menjadi model di dunia setelah terbentuknya negara bangsa. Apalagi kemudian Islam masuk ke dalam era kolonialisme dan berlanjut ke pembentukan sistem negara bangsa (republik) yang modern di mana keluarga hanya menjadi bagian kecil saja dalam pengaturan keluarga dan untuk pemenuhan hak-hak anak.

Harus diakui, akibat kolonialisme, dan konflik-konflik internal, serta berakhirnya masa kejayaan dan keemasan Islam yang ditandai dengan matinya pengembangan pengetahuan di internal dunia Islam, umat Muslim mengalami kemacetan paradigmatik dalam mengembangkan hak-hak anak yang berakar dari tradisi pemikiran Islam sendiri. Dalam perkembangannya paradigma untuk pemenuhan hak-hak anak mengalamai polarisasi, antara yang bertumpu pada hukum hukum internasional yang mengabaikan atau tidak mengadopsi pengalaman umat Muslim di satu pihak, dan umat Muslim sendiri yang terus berkuat dengan aturan-aturan fikih yang memang telah mengatur secara rinci tentang tata cara mengurus anak dalam keluarga yang enggan memperhatikan perkembangan internasional yang telah melahirkan konvensi-konvensi tentang anak.

Sebagaimana dijelaskan di bagian Pengantar dan seterusnya, buku ini merupakan ikhtiar untuk mengatasi kemacetan paradigmatik itu dalam upaya bersama menawarkan  perlindungan  anak dengan menyerap pengalaman umat Muslim. Cara yang dilakukan adalah melakukan dialog reflektif atas tiga domain besar sumber hukum yang secara de facto berkembang di dunia: hukum internasional konvensi hak anak, hukum Islam (fikih), dan yang menjadi sumber hukumnya itu sendiri yaitu al-Qur`an dan hadits.

Sebagaimana dilihat, buku ini terbagi ke dalam dua pembahasan. Pembahasan pertama mengurai norma-norma hukum dan pandangan agama yang telah tersedia dalam khazanah pemikiran dan karya para pendahulu yang mencurahkan perhatiannya kepada isu anak. Pembahasan kedua mencakup tawaran dekonstruksi pembahasan isu anak yang berupaya mempertemukan dua norma, sekaligus dua karakter, sumber hukum yang membahas isu hak anak yaitu norma regulasi (hukum positif) dan norma agama.

Pembahasan berangkat dari sekumpulan informasi untuk menjawab: sejauh mana dua norma  itu menyediakan seperangkat aturan yang dapat melindungi dan memenuhi hak anak di era kontemporer dewasa ini. Utamanya dari sisi norma agama yang secara historis telah dibangun selama berabad-abad di masa lampau. Ketika itu fikih dijadikan rujukan tunggal untuk urusan al-ahwâl al-syakhshîyyah atau hukum perdata, sementara norma regulasi seperti CRC, atau Konvensi Internasional tentang hak anak, dirumuskan di abad belakangan ketika struktur dan relasi-relasi sosial di dalam dan di luar keluarga telah berubah.

Pada pembahasan bagian pertama, dihadirkan beberapa persoalan; antara lain, problem cara pandang norma-norma (terutama norma agama) yang berorientasi kepada pendekatan legalistik sebagai prasyarat pemenuhan hak anak. Pendekatan itu berkonsekuensi pada pengabaian kepentingan anak itu sendiri karena subyek orientasi pendekatan legalistik itu (terutama dalam fikih) ternyata bukan anak melainkan orang dewasa. Di samping itu, problem lainnya ada pada fikih sendiri yang menganggap pemenuhan hak anak hanya bertumpu kepada tanggung-jawab individu (dalam tataran keluarga), tanpa menuntut negara, lembaga non negara, korporasi, perusahaan-perusahaan, lembaga dan organisasi, masyarakat secara umum, termasuk badan-badan dunia terutama kerjasama antar negara-negara Islam.

Sebagai tawaran, yang dibahas pada bagian kedua, konstruksi buku ini telah menggambarkan refleksi yang memperlihatkan perlunya kolaborasi antar norma. Artinya, baik norma agama maupun aturan hukum positif harus melakukan refleksi internal apakah semangat norma-norma itu betul-betul untuk memberikan hak-hak kepada anak atau masih ada hal yang perlu diperbaiki dan diperkuat. Kolaborasi dimaksud adalah tidak menutup peluang melainkan saling membuka diri dan memperkuat antar norma-norma atau aturan dengan tujuan utamanya yaitu semata-mata demi perlindungan anak.

Harus diakui, dalam upaya kolaborasi itu, kedudukan Undang-Undang (UU) seolah-olah lebih rendah dari norma agama. Ini dapat dimaklumi karena buku ini berangkat dari khazanah pemikiran umat Muslim. Hal yang terpenting UU harus berkolaborasi dengan konvensi internasional, atau dengan hukum adat dan hukum fikih sepanjang hasilnya untuk kebutuhan terbaik bagi anak. Begitu juga dengan hukum Islam, sebagai norma ia tidak boleh merasa paling benar dan paling sempurna dengan mengabaikan pengalaman sumber hukum lain meski nuansanya sekuar sekalipun.

Dalam pendekatan kolaboratif itu, norma-norma yang diatur dalam Islam harus terbuka  kepada  berbagai buah peradaban dunia, aturan, hukum, dan konvensi yang dengan sungguh-sungguh telah mengupayakan perlindungan bagi anak. Hal yang harus dilakukan adalah saling menguatkan bahwa norma dan aturan itu sejauhmana sudah benar-benar memberikan penguatan untuk pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak.

Sejauh ini, dalam konteks Indonesia regulasi yang tersedia sudah cukup jelas berkehendak untuk memberikan pemenuhan dan perlindungan hak anak. Namun pernyataan itu masih harus diuji untuk memastikan bahwa semua UU terkait dengan anak yang telah ada  sudah benar-benar memberikan perlindungan kepada anak. Karenanya harus ada kesediaan uji materi terkait konten dan teks dari UU yang sudah ada. Studi Rumah KitaB dalam soal batas kedewasaan misalnya menunjukkan antara satu UU dengan UU yang lain masih berbeda-beda; dalam UU pemilu batas kedewasaan itu 17 tahun, tetapi untuk menikah harus 19 tahun, dan untuk UU trafficking ditetapkan batasannya 20 tahun.

Masih banyak contoh lain yang memperlihatkan adanya ketegangan dan silang seketa antara norma hukum dengan norma agama, di internal negara dan internal pandangan norma agama. Buku ini sebagaimana dilihat telah menekankan pentingnya upaya kolaborasi antar norma sepanjang bertujuan untuk perlindungan anak.

Perlunya konsolidasi dan kolaborasi di internal norma agama juga terkait dengan tradisi. Dalam hukum keluarga di Indonesia didasarkan teori resepsi yang dikembangkan sejak masa kolonial, tradisi atau kultur atau adat diterima sebagai hukum dan diserap menjadi hukum agama jika telah berlaku di dalam masyarakat meskipun dari sisi fikih/syariat belum tentu diterima. Sejauh penelitian untuk buku ini dilakukan, aspek kultur masih menjadi PR besar. Pada konteks ini, buku ini menegaskan bahwa hukum Islam harus hadir untuk menguatkan kultur dan norma agar anak-anak memperoleh hak dan perlindungan.

Sebagaimana dapat dibaca dalam bab satu sampai empat, bagian kedua dari buku ini  telah  mengarah pada upaya agar hukum (fikih) Islam tidak terjebak pada problem yang sama yang dialami oleh norma hukum atau regulasi. Bab-bab dalam buku ini telah mengupayakan agar hukum Islam tidak diposisikan sebagai aturan yang paling benar dan paling sempurna dan kebal kritik, melainkan menjadi norma yang dapat menguatkan norma yang lain (hukum postitif) demi memastikan anak-anak memperoleh hak-haknya, bahkan dengan mengakui kelemahan atau kekurangan dari cara kerja dan konsep-konsep yang ada dalam norma agama yang selama ini telah tersedia.

Sebagaimana diruaikan di semua bab dari buku ini, pembahasan hukum Islam terkait hak-hak anak ternyata belum sepenuhnya ditujukan untuk merespons kebutuhan anak, tapi lebih untuk merespons kondisi orang dewasa, yang asumsinya kelak secara resiprokal akan menjamin hak-hak anak. Orang dewasa dibahas secara sangat mendetail dengan asumsi sebagai prasyarat yang harus dimiliki oleh mereka (orang tua/orang dewasa) agar mampu memenuhi kewajibannya sebagai pihak yang dapat melindungi anak. Namun ironisnya, terkait dengan hak anak sendiri ternyata porsi pembahannya justru sangat kecil.

Atas dasar itu pembahasan dalam buku tentang hak-hak anak ini berangkat dari kebutuhan anak dengan kerangka maqâshid al-syarî’ah. Hal yang sama juga terkait dengan kajian tafsir dan hadits. Dalam membedah isu-isu yang danggap penting dalam perlindungan anak, buku ini menawarkan kerangka maqâshid al-syarî’ah yang tidak alergi dalam mencari dan menemukan aturan, norma atau inisiatif yang sudah ada seperti di UU, atau di peraturan lainnya selama betul-betul memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak.

Dalam kodifikasi hukum, pengalaman umat Muslim sebetulnya telah memadai. Seperti diketaui, pada awalnya dalam pencarian kebenaran, hukum Islam dilakukan kajian perbandingan antar metodologi dan antar mazhab. Satu sama lain diuji untuk memutuskan mana yang paling benar secara metodologis (tanpa memikirkan isi teks). Namun pada akhirnya, untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kontemporer, metode komparasi yang kaku  seperti itu sudah tidak dapat dilakukan lagi bahkan ditinggalkan. Sekarang semua ikhtiar dilakukan dengan cara  eklektik dan campuran: memakai mazhab Syafi’i dalam satu hal, tapi memakai mazhab Hanafi dalam hal lain sambil menanggalkan mazhab Syafi’i. Cara itu sekarang telah biasa dilakukan misalnya dalam perumusan hukum Islam di berbagai  lembaga, seperti Bahtsul Masail di NU dan keputusan fatwa MUI di Indonesia. Jadi untuk kebutuhan memberikan kepastian hukum (agama), segala sumber hukum yang berlaku dalam hukum Islam digunakan dengan mengambil seluruh khazanah keagamaan dari mazhab apapun. Pada akhirnya semuanya diambil selama itu bisa menjawab kebutuhan kontemporer.

Jadi buku ini berupaya menawarkan maqâshid al-syarî’ah sebagai kerangka yang  kuat untuk memastikan anak menjadi subjek dan terpenuhi haknya. Pembahasan tentang hak anak  menjadi lebih komprehensif ketika kerangka maqâshid al-syarî’ah berangkat dari kebutuhan anak itu sendiri. Dengan kerangka seperti itu, maka konsep prinsipil yang harus dijadikan landasan adalah hak anak, misalnya hak untuk hidup. Sementara aspek lainnya adalah partikular belaka yang harus tunduk dan menyesaikan dengan konteks, waktu dan keadaan.

Untuk memastikan bahwa kajian keagamaan, yaitu fikih, tafsir al-Qur`an dan kajian hadits dapat membuka diri kepada isu-siu baru terkait isu perempuan sembari menggunakan kerangka maqâshid al-syarî’ah atau kerangka lain yang sejenisnya seperti Mubadalah, buku ini mengusulkan agar dilakukan sejumlah kajian dan riset untuk tema-tema berikut:

Pertama, pemutakhiran riset-riset yang terkait situasi buruk anak di dalam atau di luar keluarga, di wilayah privat atau publik. Ini untuk menjelaskan bahwa problem anak saat ini  sama sekali tak sama dengan yang dibayangkan oleh umat Muslim di masa lampau sebagaimana dibayangkan dalam hukum-hukum fikih yang terlihat jejaknya dalam cara mengatasi  masalah itu yang masih betumpu kepada  penyediaan santunan anak yatim-piatu. Riset serupa ini juga diperlukan untuk mengenali karakteristik anak yatim piatu dewasa ini yang tak hanya berwujud yatim piatu karena tidak lagi memiliki ayah dan ibu, tetapi yatim piatu secara sosial di mana ayah dan ibu dihilangkan keberadaannya akibat sistem eksploitasi ekonomi yang menghisap kaum miskin seperti migrasi, sistem pengelolaan sumber ekonomi yang eksploitatif, sistem putting out di industri perkotaan atau karena mobilisasi orang tua yang memaksa mereka meninggalkan anak-anak di kampung.

Kedua, menyajikan kajian tentang keragaman anak; bahwa anak itu tidak tunggal dari sisi suku, ras, agama, gender, keadaan fisik, latar belakang geografi yang membedakan akses, partisipasi, penerimaan manfaat dan kontrol mereka atas sumber daya yang tersedia berupa sumber daya alam, ekonomi, politik, dan waktu.

Ketiga, pemutakhiran riset tentang kekerasan kepada anak dalam bentuk-bentuk yang harus didalami secara mendasar. Misalnya kekerasan yang tak kentara namun benar-benar nyata seperti pemaksaan perkawinan dengan menyalahgunakan aturan fikih seperti kawin mut’ah, kawin sirri dan sejenisnya. Riset terkait kekerasan juga harus dilakukan dengan menyadari perkembangan dan penyimpangan sosial media. Fikih dan tafsir keagamaan yang bersumber dari al-Qur`an dan hadits membutuhkan kajian yang cukup yang dapat menjelaskan soal model-model pengasuhan anak yang terlepas dari sistem kekerabatan tradisional sehingga pengawasan pada pengasuhan anak tak lagi memadai. Munculnya balita yang menjadi korban penggunaan gadget yang mengalami gangguan bicara, gangguan fokus, autis yang muncul di masa pengasuhan bukan bawaan, atau anak yang semakian tempramental dan cenderung menjadi pelaku kekerasan.

Keempat, pemutakhiran riset untuk isu-isu khusus gender di mana anak perempuan mengalami penyingkiran dari lembaga pendidikan, tempat kerja, ruang publik, atau mengalami beban kerja yang berlipat ganda.

Kelima, pemutakhiran riset kekerasan kepada anak dalam situasi konflik fisik, psikis, sosial ekonomi.

Keenam, hal yang tak kalah penting adalah pemutakhiran riset dari dampak menguatnya konservatisme agama yang menyebabkan anak menjadi korban pendekatan keagamaan yang tekstualis yang melahirkan praktik kawin anak, sunat perempuan, kawin paksa, dan pola asuh yang hegemonik dan doktriner pada anak yang menjauhkan mereka dari dunia permainan untuk tumbuh kembangnya yang relevan.

Kajian kajian serupa itu harus hadir dalam referensi umat Muslim ketika bicara tentang hak-hak anak. Dengan melakukan upaya-upaya pemutakhiran data dan analisis, kita akan mendapatkan jalan untuk panduan ke depan tentang bagaimana hak-hak anak dapat dikembangkan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai yang berlaku dan dikenali dalam Islam. Sebagaimana dalam kajian gender, sangat penting untuk membangun paradigma baru dalam metode pembacaan teks, antara lain maqâshid al-syarî’ah yang digunakan untuk melihat hak-hak anak. Hal lain yang dapat dilakukan adalah meletakakkan secara setara sumber-sumber hukum yang ada baik dari konvensi, hukum fikih maupun tafsir al-Qur`an dan hadits. Hal yang tak kalah penting adalah mendialektikkan sumber hukum yang ada  dengan cara yang lebih membaca solusi ke depan, dengan membaca tantangan yang lebih nyata berbasis riset.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.