Ketika Tanah Tak Hanya Dipandang Sekadar Tanah

Oleh Nur Hayati Aida

Dalam jangka 10 tahun, terhitung sejak tahun 2013 sampai 2018, Indonesia setidaknya telah kehilangan 635 ribu ha lahan sawah dan lima juta petani. Data ini merujuk pada siaran pers Badan Pusat Statistik pada bulan  Oktober 2018.

Tanah-tanah itu berubah menjadi area tambang, perumahan, lahan industri, area wisata, pertokoan, dan hal-hal lain. Ketika masih berupa sawah serapan pekerjanya cukup besar, namun ketika terjadi  pemindahan kepemilikan tanah, kemanfaatan,  dan penguasaannya dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal kapital atau korporasi.

Masyarakat kecil di pedesaan yang bekerja di sawah kemudian tergususr atau mundur secara perlahan tanpa memiliki banyak pilihan bekerja di bidang lain. Desa tak lagi mampu menjadi penyedia kebutuhan pangan karena semakin terbatasnya lahan pertanian.

Dalam teori modernitas, ujar Mohammad Shohibuddin, dosen IPB dan kandidat doktor University of Amsterdam, Belanda, pintu keluar dari kemiskinan akibat menyempitnya usaha pertanian skala kecil untuk tujuan komersial, masyarakat desa kemudian beralih pada usaha non pertanian. Bila apa yang diasumsikan ini berjalan linear, seharusnya kemiskinan bisa dientaskan. Namun, usaha non pertanian itu ternyata tak sepenuhnya sanggup menampung dan menyerap migrasi pekerja pertanian karena tak ada proteksi atas usaha-usaha kecil mereka. Konsekuensinya,  situasi ini memaksa mereka yang tergusur dari usaha pertanian migrasi ke kota-kota (dengan keahlian yang berbeda dan karenannya menjadi seadanya) atau menjadi buruh migran di negara tetangga.

Persoalan tidak berhenti sampai di situ saja. Ternyata perpindahan alih fungsi tanah, tutur  Lies Marcoes, Direktur Eksekutif Rumah KitaB, memiliki dampak lain yang selama ini tidak terlihat, yaitu kawin anak.

Kawin anak, lanjut Lies Marcoes, merupakan salah satu dampak dari alih fungsi tanah. Penelitian Rumah KitaB pada tahun 2015-2016 menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang mengalami krisis agraria,  seperti seluruh pulau Kalimantan (kecuali Kalimantan Timur),  NTB, Sulawesi Tengah, Barat, dan Selatan, Bengkulu,  Jawa Barat, menyumbang setidaknya 17% sampai 25% kasus kawin anak untuk Indonesia.

Sekilas, alih fungsi lahan dan kawin anak tidak terlihat kaitannya. Namun, dengan metode peneitian yag mengandalkan ketajaman analisis feminis, persoalan kawin anak dapat terbaca.  Akibat alih fungsi lahan, laki-laki atau ayah yang kehilangan pekerjaan harus beralih profesi.  Dan korporasi baru tak selalu menampung mereka. Untuk menutupi kebutuhan hidup, Istri/ ibu kemudian menjadi pencari nafkah dengan bekerja keluar dari desa karena hanya itu lapangan pekerjaan yang tersedia. Akibatnya, anak perempuan menanggung beberapa kemungkinan yang mengarah kepada perkawinan anak. Pertama, menjadi pengganti ibu dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, misalnya mengasuh adik dan mengurus keluarga, akibtanya mereka berhenti sekolah.  kedua, menjadi pengantin di usia anak-anak. Kemungkinan kedua ini terjadi karena hal itu satu-satunya solusi atau cara untuk mengurangi beban hidup yang harus ditanggung keluarga atau agar ibu tak harus menangung beban moral atas penjagaan anak perempuannya karena bekerja di luar rumah.

Masalahnya, meski ada perubahan peran gender (lelaki di rumah dan istri bekerja) ternyata tak secara otomatis dapan mengganti perubahan peran gender dalam keluarga. Lelaki tetap menikmati peran gender  menggantikan peran istrinya sebagai pencari nafkah. Relasi gender tradisional itu tak berubah, meski pada realitasnya laki-laki sebagai kepala rumah tangga tak lagi mampu menafkahi keluarga.

Tanah dalam hal ini,  tidak semata-mata dipandang sebagai tanah yang literal yakni piece of land dan tak memiliki makna apa-apa, begitu kata  Ulil Abshar Abdalla, intelektual muda Nahdlatul Ulama. Tanah harus juga dipandang sebagai wathan (Tanah dan Air) yang hamparannya tertanam sejarah, ikatan emosional, struktul sosial. Ketika terjadi alih fungsi tanah akan berakibat juga  pada relasi sosial yang terhampar di atasnya.

Muhammad Shohibuddin, dalam diskusi bukunya yang berjudul Wakaf Agraria: Signifikansi Wakaf bagi Agenda Reforma Agraria pada 2 Juli 2019 di PBNU, menawarkan gagasan wakaf agraria untuk merespons krisis lahan ini. Wakaf agraria, menurut Mohamad Shohibuddin, adalah sebuah ikhtiar untuk menjamin kesejahteraan umum.

Jika selama ini wakaf tanah lebih banyak diperuntukkan untuk masjid atau tempat pekuburan, maka wakaf agraria yang dimaksudkan oleh Mohamad Shohibuddin adalah wakaf untuk kegiatan produktif, misal pertanian, yang hasilnya digunakan  untuk kemaslahatan masyarakat yang terlemahkan oleh sistem. Untuk menghindari konflik di kemudian hari, tanah wakaf harus dikelola secara komunal.

Wakaf agraria ini, meminjam istilah Kiai Sahal Mahfud, adalah bagian dari fikih sosial. Fikih sosial, menurut Ulil Abshar Abdalla, adalah salah satu bentuk respons agama dalam menghadapi masalah riil yang dihadapi masyarakat. Fikih tak lagi menjadi sesuatu yang kaku, klasik, atau lari dari realitas di mana ia digunakan.

Wakaf agraria adalah sebuah ikhtiar untuk merespons dan mengatasi persoalan sosial, dan terutama juga terkait dengan perkawinan anak yang menjadi dampak tidak langsung dari alih fungsi lahan.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.